• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

Berdasarkan data distribusi diatas dapat dilihat bahwa dari 195 pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari sampai Desember 2012 terdapat 114 orang (58,5%) pasien berjenis kelamin laki-laki dan 81 orang (41,5%) pasien berjenis kelamin perempuan. Rasio penderita laki-laki dan perempuan adalah 1,4. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pearle et al tahun 2005 dimana pria memiliki kemungkinan dua sampai tiga kali lipat lebih besar untuk menderita batu saluran kemih dibandingkan wanita.

Menurut Michael et al dalam Campbell (2013), rasio penderita batu saluran kemih bagi ras Asia adalah 1,8 yang dilakukan tindakan ESWL. Meskipun demikian, Scales et al (2005) menyatakan seiring dengan berjalannya waktu, rasio penderita batu saluran kemih berjenis kelamin pria

dan wanita akan semakin mengecil. Tren penurunan rasio ini telah terjadi sejak tahun 1980. Hal ini menyebabkan selisih jumlah penderita pria dan wanita tidak begitu besar.

Untuk distribusi berdasarkan kelompok usia, pada penelitian ini didapati bahwa pasien terbanyak berada pada kelompok usia 45-51 dengan persentase 25,1% atau sebanyak 49 pasien dan kelompok usia 52-58 dengan persentase 17,9% atau sebanyak 35 pasien. Rata-rata usia pasien adalah 49 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Hiatt dalam Campbell (2013), dimana batu saluran kemih sangat jarang ditemukan pada pasien dengan usia dibawah 20 tahun dan mencapai puncak insiden pada dekade keempat, kelima dan keenam dari kehidupan.

Menurut Johnson, salah satu pengaruhnya adalah terjadinya menopause pada wanita yang terjadi pada periode usia tersebut. Hal ini juga menyebabkan rendahnya angka kejadian batu saluran kemih pada wanita sebelum usia 50 tahun karena kadar estrogen dalam tubuh juga mempengaruhi proses resorpsi kalsium yang merupakan salah satu bahan pembentuk batu. Puncak insiden terjadinya batu pada wanita Asia seperti di Jepang berada pada usia 50-79 tahun. Sementara pada pria, insiden meningkat pada periode usia tersebut disebabkan faktor metabolisme dalam tubuh serta gaya hidup. (Yasui, 2008)

Pada distribusi berdasarkan lokasi batu, dapat dilihat bahwa sebanyak 86,15% atau 168 pasien yang menjalani ESWL merupakan pasien dengan letak batu di ginjal meliputi Upper Calyx, Medium Calyx, Lower Calyx, dan

Renal Pelvic. Hal ini sesuai dengan Guideline EAU 2013 yang menyatakan

bahwa pasien dengan letak batu ginjal sebaiknya diberikan modalitas terapi ESWL karena tindakan ini lebih minimal invasif dibandingkan modalitas lainnya dan memiliki SFR yang tinggi. Tindakan ESWL lebih baik dilakukan pada pasien letak batu ginjal dibandingkan tindakan PCNL karena pada tindakan ESWL, SFR dan efikasi terapi tidak dipengaruhi oleh ukuran batu. Sampai saat ini, ESWL masih merupakan pilihan utama dalam terapi batu ginjal dengan ukuran dibawah 20 mm.

SFR pasca ESWL pada kasus batu ginjal dengan lokasi Lower Calyx

cenderung rendah dibandingkan lokasi lainnya. SFR dapat hanya berkisar antara 25%-85%. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yang juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan terapi, seperti ukuran Calyx yang terlalu panjang (diatas 10 mm), infundibulum yang sempit (dibawah 5 mm), serta sudut antara infundibulum dan pelvis ginjal yang cenderung curam. Akibat disintergrasi batu yang tidak maksimal, fragmen pecahan ESWL

cenderung menetap di Lower Calyx dan menjadi pencetus untuk

pembentukan batu yang baru. Dikarenakan SFR yang rendah, maka pilihan terapi yang saat ini digunakan pada batu di Lower Calyx dengan ukuran diatas 10 mm adalah tindakan endourologi seperti PCNL atau RIRS.

Sebanyak 13,85% atau 27 orang pasien memiliki batu dengan letak ureter yang terbagi atas Upper Ureter, Middle Ureter, Distal Ureter.

Menurut Preminger et al, pada batu dengan letak proksimal, SFR yang dihasilkan antara ESWL dan URS cenderung sama yaitu 82%. Akan tetapi, perbedaan SFR yang mencolok akan muncul jika dibandingkan pada Middle

Ureter dan Distal Ureter. Pada batu dengan letak Middle Ureter, SFR pada

ESWL adalah 72% sementara pada URS adalah 83%. Pada batu dengan letak Distal Ureter, SFR pada ESWL adalah 73% sementara pada URS adalah 97%. Sehingga, pada tatalaksana batu dengan letak Mid Ureter dan

Distal Ureter, yang menjadi pilihan utama adalah URS, akan tetapi ukuran

batu dan pilihan pasien juga dijadikan bahan pertimbangan.

Berdasarkan ukuran batu, 99 dari 195 pasien atau 50,8% memiliki batu berukuran 11-20 mm. Sementara 55 pasien atau 28,2 memiliki batu berukuran 6-10 mm. Menurut Paterson et al (2002), batu berukuran dibawah 10 mm yang dilakukan tindakan ESWL memiliki hasil terapi yang memuaskan dan tidak bergantung pada lokasi dan komposisi batu. Seiring dengan meningkatnya ukuran batu, rata-rata SFR menurun dari 79,9% (63% – 90%) pada batu dibawah 10 mm, 64,1% (50% - 82,7%) pada batu berukuran 11-20 mm, dan 53,7% (33.3% - 81.4%) pada batu berukuran diatas 20 mm. Walaupun hasil yang lebih baik dapat dicapai melalui PCNL

atau RIRS untuk batu diatas 10 mm, prosedur tersebut cenderung invasif dan hanya dilakukan pada indikasi tertentu.

Batu berukuran dibawah 20 mm masih memiliki baku emas ESWL sebagai modalitas terapinya. Akan tetapi, penggunaan ESWL pada batu dengan ukuran diatas 20 mm masih kontroversial. SFR untuk batu diatas 20 mm pada ESWL adalah sekitar 34%, sementara SFR pada PCNL adalah sekitar 90%. Pada pasien-pasien tersebut, ESWL yang dikombinasi dengan pemasangan stent pada uretra dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pada terapi ulang pasien. Pada pasien dengan ukuran batu diatas 30 mm diperlukan terapi definitif yang optimal dan ESWL sebaiknya dihindari. Pasien dengan ukuran batu diatas 3 cm yang dilakukan ESWL hanya memiliki SFR 27% dalam 3 bulan.

Pada batu ureter, ESWL digunakan sebagai lini pertama pada kasus batu ureter proksimal dengan baik ukuran dibawah 10 mm maupun diatas 10 mm dengan SFR antara 70%-89%. Akan tetapi, URS digunakan sebagai lini pertama pengobatan batu mid ureter dan distal ureter baik ukuran diatas 10 mm maupun dibawah 10 m dengan SFR antara 93%-97%. (Preminger et al, 2007)

Berdasarkan tabel distribusi SWR, didapat bahwa 107 pasien (54,9%) pasien diterapi dengan SWR antara 3000-4000. Menurut Pischchalnikov (2006), dengan menurunkan SWR, komplikasi akibat gelombang seperti rusaknya jaringan dapat dikurangi. Dengan menurunkan SWR dari 120 kali per menit menjadi 60-90 kali per menit dapat meningkatkan SFR. (Semins, 2008)

Meskipun demikian, jumlah gelombang kejut yang dapat dihasilkan dalam setiap sesi bergantung pada jenis alat dan kekuatannya. Sampai saat ini, belum ada penelitian yang menentukan batas maksimal SWR yang dapat diberikan kepada pasien.

Dokumen terkait