• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Pasien Batu Saluran Kemih yang Dilakukan Tindakan Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Pasien Batu Saluran Kemih yang Dilakukan Tindakan Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2012"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

Karakteristik Pasien Batu Saluran Kemih yang Dilakukan Tindakan Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

Oleh :

MUHAMMAD HARITSYAH WARLI 100100010

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Karakteristik Pasien Batu Saluran Kemih yang Dilakukan Tindakan Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

di RSUP. Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

MUHAMMAD HARITSYAH WARLI 100100010

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ABSTRAK

Batu saluran kemih merupakan penyakit dengan jumlah pasien terbesar di poli urologi di Indonesia. Penyakit ini dapat menyerang baik laki-laki maupun perempuan dengan berbagai kategori usia. Lokasi dan ukuran batu saluran kemih menjadi faktor yang menentukan jenis modalitas terapi yang akan dilakukan. Salah satu modalitas terapi yang umum dilakukan adalah ESWL. ESWL merupakan modalitas terapi yang minimal invasif dengan memanfaatkan gelombang kejut yang dihantarkan melalui tubuh untuk menghancurkan batu.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain potong lintang (cross-sectional) yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2012. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis 195 data rekam medis pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL selama periode Januari sampai Desember 2012 yang dipilih dengan metode total

sampling.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien batu saluran kemih yang dilakukan ESWL mayoritas berjenis kelamin pria (58,5%) dengan rata-rata usia 49 tahun. Lokasi terbanyak adalah batu ginjal (86,1%), umumnya terletak di Renal Pelvic. Ukuran batu terbanyak berada pada kategori 11-20 mm (50,8%), sementara SWR yang umumnya digunakan berada pada interval 3000-4000 (54,9%).

(4)

ABSTRACT

Urolithiasis is a disease with largest amount of patients in urology clinic in Indonesia. It may affect male and female in every age category. Location and size of urinary tract stone become one of determining factors in choosing modality of therapy. One of the modality therapies is ESWL. It is a minimal invasive therapy using shock waves that delivered to our body in order to dissolve stones in urinary tract.

The aim of this research is to find out characteristics of patients with urolithiasis undergoing ESWL procedures at Haji Adam Malik General Hospital Medan in 2012.

This research is a descriptive study with cross-sectional design, which arranged at Haji Adam Malik General Hospital Medan. Data were collected by analyzing 195 medical records of patients with urolithiasis undergoing ESWL from January to December 2012. Samples were selected using total sampling method.

The result of this study shows that majority of patients undergoing ESWL were male (58.5%) with average age of 49 years old. Most of the stones were located in kidney (86.1%), specifically located at Renal Pelvic with stone sizes between 11-20 mm (50.8%), and SWR that commonly used are between 3000-4000 (54.9%).

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang diberikan sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan. Karya tulis ilmiah yang berjudul “Karakteristik Pasien Batu Saluran Kemih yang Dilakukan Tindakan

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) di RSUP Haji Adam Malik

Medan Tahun 2012” ini merupakan salah satu syarat kelulusan dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyelesaian karya tulis ini, dimulai dari penentuan judul hingga hasil penelitian ini selesai, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan rasa terimah kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Orang tua penulis, dr. Syah Mirsya Warli, Sp.U dan dr. Zaimah Z. Tala, MS, Sp.GK yang telah mendidik dan membesarkan serta senantiasa memberikan curahan kasih sayang, doa dan dukungan kepada penulis.

2. Dosen Pembimbing, dr. Ramlan Nasution, Sp.U yang selalu memberikan masukan dan arahan yang berguna dalam menyelesaikan tugas karya tulis ini.

3. Dosen Penguji I, dr. Andriamuri Prima Putra Lubis, SpAN dan Dosen Penguji II, dr. Terapul Tarigan, SpA(K) yang telah memberikan ide, kritik dan saran yang membangun dalam pengerjaan karya tulis ini.

4. Dosen Penasehat Akademik, dr. Mutiara Indah Sari, M.Kes, yang terus memberikan motivasi selama perkuliahan

(6)

6. Teman-teman penulis selama menjalani pendidikan di FK USU, Annisa Putri, Octisa, Elvita, Harmen, Mufti, Hasfi Fauzan, Rizky Keumala, Dina Utami, Adja, Tya Sharitsa, Suci, Dwi Atikah, Sarah, Cut Putri, Luthfi, Rahmat, Fariz, Ilham, Davis, Aulia, Egi, Akim, Al, Nanda, Imam, Rivhan, Reza, Anom, Gita, Lasa, teman-teman kelompok praktikum A3, seksi acara PMB FK USU 2013, dan teman-teman angkatan 2010 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang selalu membuat hari-hari perkuliahan selama tujuh semester menjadi menyenangkan.

Penulis menyadari bahwa pada karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk laporan hasil penelitian yang lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih yang besar dalam dunia ilmu pengetahuan terutama bidang ilmu kedokteran.

Medan, Desember 2013 Penulis

Muhammad Haritsyah Warli

DAFTAR ISI

(7)

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Batu Saluran Kemih ... 5

2.1.1 Proses Pembentukan Batu Saluran Kemih ... 5

2.1.2 Jenis-Jenis Batu Saluran Kemih ... 7

2.1.3 Manifestasi Klinis dan Evaluasi Pasien Batu Saluran Kemih ... 12

2.1.4 Penatalaksanaan Batu Saluran Kemih ... 16

2.2 Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) ... 21

2.2.1 Cara Kerja ESWL ... 20

2.2.2 Indikasi dan Kontraindikasi Tindakan ESWL ... 24

2.2.3 Komplikasi Tindakan ESWL ... 25

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 27

(8)

3.2 Definisi Operasional ... 27

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 30

4.1 Jenis Penelitian ... 30

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

4.2.1 Waktu Penelitian ... 30

4.2.2 Tempat Penelitian ... 30

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 31

4.3.1 Populasi Penelitian ... 31

4.3.2 Sampel Penelitian ... 31

4.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 31

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 31

4.4.1 Jenis Data ... 31

4.4.2 Cara Pengumpulan Data ... 31

4.4.3 Pengolahan dan Analisis data ... 32

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 33

5.1 Hasil Penelitian ... 33

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 33

5.1.2 Deskripsi Data Penelitian ... 33

5.2 Pembahasan ... 38

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

6.1 Kesimpulan ... 42

6.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN

(9)

Nomor Judul Halaman

2.1 Hal-hal yang Perlu Dipertimbangkan dalam

Identifikasi Pasien Batu Saluran Kemih

14

2.2 Diagnosa Laboratorium Batu Saluran Kemih 15

2.3 Kontraindikasi Tindakan ESWL 25

5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia 34

5.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin 35

5.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Lokasi Batu 35

5.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Ukuran Batu 36

5.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Lokasi dan

Ukuran Batu

37

5.6 Distribusi Sampel Berdasarkan SWR 38

(10)

Nomor Judul Halaman

2.1 Tahapan Saturasi Urin 5

2.2 Skema Pembentukan Batu Struvite 11

2.3 Skema Pembentukan Batu Asam Urat 12

2.4 Algoritma Penatalaksanaan Non-Invasiv Batu

Saluran Kemih

18

2.5 Skema Cara Kerja Generator Elektromagnetik

Menggunakan Lensa Akustik

22

2.6 Skema Cara Kerja Generator Elektromagnetik

Menggunakan Reflektor Parabolik

23

2.7 Skema Cara Kerja Generator Piezoelektrik 24

(11)

AH Absorptive Hypercalciuria

EAU European Association of Urology

ESWL Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy

IVP Intra Venous Pyelography

IVU Intra Venous Urography

KUB Kidney, Ureter, Bladder X-Ray

NCCT Non-Contrast Computed Tomography

PCNL Percutaneous Nephrolithotomy

RIRS Retrograde Renal Surgery

RSUP Rumah Sakit Umum Pusat

SFR Stone-Free Rate

SWR Shock Wave Rate

URS Uretroscopy

WHO World Health Organization

(12)

Nomor Judul

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Ethical Clearance

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian Lampiran 4 Data Induk Penelitian

Lampiran 5 Output Data Hasil Penelitian

(13)

ABSTRAK

Batu saluran kemih merupakan penyakit dengan jumlah pasien terbesar di poli urologi di Indonesia. Penyakit ini dapat menyerang baik laki-laki maupun perempuan dengan berbagai kategori usia. Lokasi dan ukuran batu saluran kemih menjadi faktor yang menentukan jenis modalitas terapi yang akan dilakukan. Salah satu modalitas terapi yang umum dilakukan adalah ESWL. ESWL merupakan modalitas terapi yang minimal invasif dengan memanfaatkan gelombang kejut yang dihantarkan melalui tubuh untuk menghancurkan batu.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain potong lintang (cross-sectional) yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2012. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis 195 data rekam medis pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL selama periode Januari sampai Desember 2012 yang dipilih dengan metode total

sampling.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien batu saluran kemih yang dilakukan ESWL mayoritas berjenis kelamin pria (58,5%) dengan rata-rata usia 49 tahun. Lokasi terbanyak adalah batu ginjal (86,1%), umumnya terletak di Renal Pelvic. Ukuran batu terbanyak berada pada kategori 11-20 mm (50,8%), sementara SWR yang umumnya digunakan berada pada interval 3000-4000 (54,9%).

(14)

ABSTRACT

Urolithiasis is a disease with largest amount of patients in urology clinic in Indonesia. It may affect male and female in every age category. Location and size of urinary tract stone become one of determining factors in choosing modality of therapy. One of the modality therapies is ESWL. It is a minimal invasive therapy using shock waves that delivered to our body in order to dissolve stones in urinary tract.

The aim of this research is to find out characteristics of patients with urolithiasis undergoing ESWL procedures at Haji Adam Malik General Hospital Medan in 2012.

This research is a descriptive study with cross-sectional design, which arranged at Haji Adam Malik General Hospital Medan. Data were collected by analyzing 195 medical records of patients with urolithiasis undergoing ESWL from January to December 2012. Samples were selected using total sampling method.

The result of this study shows that majority of patients undergoing ESWL were male (58.5%) with average age of 49 years old. Most of the stones were located in kidney (86.1%), specifically located at Renal Pelvic with stone sizes between 11-20 mm (50.8%), and SWR that commonly used are between 3000-4000 (54.9%).

(15)

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penyakit batu saluran kemih adalah penyebab nyeri ketiga tersering pada saluran kemih setelah infeksi dan gangguan patologis pada prostat. Penyakit ini merupakan penyakit umum yang sering ditemukan baik pada hewan maupun manusia. Penamaan yang menyangkut penyakit batu saluran kemih dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu (Stoller, 2008).

Batu saluran kemih adalah bentuk agregat polycrystalline yang dibentuk oleh berbagai macam kristaloid dan matriks organik. Terdapat beberapa jenis batu saluran kemih yang utama berdasarkan komponen pembentuknya yaitu: batu kalsium oksalat, batu kalsium fosfat, batu struvit, batu asam urat, dan batu sistin. Batu saluran kemih dapat berada dimanapun dalam saluran kemih seperti di ginjal, ureter dan kandung kencing (Stoller et al, 2009).

Pembentukan batu dipengaruhi oleh kepekatan urin yang bergantung pada pH urin, kandungan ion dalam urin, konsentrasi zat terlarut dan lain-lain. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi pembentukan batu pada manusia seperti faktor usia, jenis kelamin, ras, letak geografis, diet dan konsumsi cairan, penggunaan obat obatan dan ada tidaknya penyakit penyerta. Riwayat keluarga juga menjadi salah satu faktor dimana 25% penderita memiliki keluarga dengan riwayat penyakit batu saluran kemih (Stoller et al, 2009).

Diperkirakan 10% pria dan 5% wanita di Amerika Serikat akan mengalami penyakit batu saluran kemih dalam hidupnya (Pearle et al, 2007). Prevalensi kejadian penyakit ini telah bertambah dua kali lipat dari periode 1964 sampai 1972 dan cenderung stabil sejak tahun 1990an (Romero et al, 2010).

(16)

cenderung meningkat secara signifikan dari studi yang dilakukan sebelumnya. (Romero et al, 2010)

Di Jepang, insiden kejadian batu saluran kemih telah meningkat dua kali lipat dalam periode 40 tahun baik pada pria maupun wanita. Pada tahun 1965, insidennya berkisar 54 individu per 100.000 populasi. Kenaikan ini terjadi secara signifikan pada 10 tahun terakhir sehingga pada tahun 2005 insiden batu di Jepang mencapai 115 individu per 100.000 populasi. Insiden pada pria meningkat secara drastis sejak tahun 1990an, sementara pada wanita peningkatan terjadi lebih perlahan (Yasui et al, 2005).

Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih menempati porsi terbesar dari jumlah pasien di klinik urologi. Dari data yang pernah dipublikasi didapatkan peningkatan jumlah penderita batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847 pasien pada tahun 2002. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai tersedianya alat pemecah batu ginjal non-invasif Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) yang secara total mencakup 86% dari seluruh tindakan bidang urologi (Rahardjo, 2004).

Terdapat beberapa cara dalam penatalaksanaan batu saluran kemih. Hal ini bergantung pada ukuran, bentuk, dan lokasi batu serta ada tidaknya edema pada ureter. Batu dengan ukuran 4-5 mm memiliki kemungkinan 40-50% untuk dapat keluar secara spontan, sementara batu dengan ukuran diatas 6 mm kemungkinannya dibawah 5% untuk dapat keluar secara spontan. Modalitas lain yang dapat dilakukan seperti penggunaan obat yang dapat melarutkan batu, dan tindakan seperti ESWL, PCNL dan URS (Stoller, 2008).

(17)

digunakan, ukuran, mobilitas dan durability (Stoller, 2008). Tingkat keberhasilan suatu tindakan ESWL ditentukan oleh jenis kelamin, ukuran dan letak batu serta pelaksanaan tindakan ESWL (Farrands et al, 2011).

1.2Rumusan Masalah

Bagaimanakah karakteristik pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan Extracorporeal Shockwave Lithotripsy di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012 ?

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui karakteristik pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui sebaran usia penderita batu saluran kemih pada pasien di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012

2. Untuk mengetahui sebaran jenis kelamin penderita batu saluran kemih pada pasien di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012 3. Untuk mengetahui sebaran lokasi batu saluran kemih pada pasien

batu di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012

4. Untuk mengetahui variasi ukuran batu saluran kemih pada pasien batu di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012

5. Untuk mengetahui variasi jumlah tembakan pada tindakan ESWL yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012

1.4Manfaat Penelitian

(18)

2. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi petugas kesehatan dan mahasiswa kedokteran

3. Sebagai acuan dalam bidang urolithiasis dan ESWL untuk penelitian selanjutnya

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batu Saluran Kemih

2.1.1 Proses Pembentukan Batu Saluran Kemih

Batu saluran kemih merupakan agregat polycrystalline yang terbentuk dari berbagai macam kristaloid dan matriks organik. Terbentuknya batu dipengaruhi oleh saturasi urin. Saturasi urin bergantung pada pH urin, ion-ion, konsentrasi zat terlarut, dan lain lain.

Hubungan antara konsentrasi zat terlarut dengan terbentuknya batu sangat jelas. semakin besar konsentrasi ion, maka kemungkinan ion akan mengendap akan semakin tinggi. Apabila konsentrasi ion meningkat, ion akan mencapai suatu titik yang disebut solubility product (Ksp). Bila konsentrasi ion meningkat diatas titik ini, maka akan dimulai proses perkembangan kristal dan nukleasi.

Gambar 2.1. Tahapan saturasi urin

Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Urinary Lithiasis. Pearle, M. 45;1257

Nucleation will occur Inhibitors not generally effective

Crystal growth will occur Crystal aggregation will occur

Inhibitors will impede or prevent crystallization De novo nucleation is very slow Heterogeneous nucleation may occur

Matrix may be involved

(20)

Teori nukleasi menegaskan bahwa batu saluran kemih terbentuk dari kristal-kristal atau benda asing dari urin yang kadarnya jenuh. Akan tetapi, batu tidak selalu terbentuk dari pasien yang tinggi tingkat eksresinya atau beresiko dehidrasi. Teori inhibitor kristal merupakan teori lain pada pembentukan batu. Menurut teori ini, batu terbentuk karena rendahnya konsentrasi ion-ion yang menjadi inhibitor alami dari batu tersebut seperti magnesium, sitrat dan pirofosfat. Akan tetapi, validitas teori ini masih dipertanyakan, akibat banyak orang yang mengalami defisiensi ion-ion tersebut tidak mengalami gangguan batu saluran kemih (Stoller, 2008)

Bahan utama pembentuk batu adalah komponen kristalin. Terdapat beberapa tahap dalam pembentukan kristal yaitu nukleasi, growth, dan agregasi. Nukleasi merupakan awal dari proses pembentukan batu dan dipengaruhi oleh berbagai substansi seperti matriks proteinaceous, benda asing, dan partikel lain. Nukleasi heterogen (epitaxy) merupakan jenis nukleasi yang umum terjadi pada pembentukan batu. Hal ini disebabkan nukleasi heterogen membutuhkan energi yang lebih sedikit daripada nukleasi homogen. Sebuah tipe kristal akan menjadi nidus untuk nukleasi tipe kristal lain, contohnya kristal asam urat akan menjadi nidus untuk nukleasi kalsium oksalat (Stoller, 2008)

Komponen matriks pada batu bervariasi tergantung jenis batu. Komponen matriks biasanya hanya 2-10% dari berat batu tersebut. Komposisi matriks yang dominan adalah protein dengan sedikit hexose atau

hexosamine. Peran matriks pada inisiasi pembentukan batu masih belum

diketahui secara sempurna. Matriks dapat berperan sebagai nidus untuk agregasi kristal atau sebagai perekat komponen-komponen kristal kecil (Stoller, 2008).

Urin normal mengandung chelating agent seperti sitrat, yang menghambat proses nukleasi, pertumbuhan dan agrefasi kristal-kristal yang mengandung ion kalsium. Inhibitor lainnya adalah calgranulin,

Tamm-Horsfall protein, glycosaminoglycans, uropontin, nephrocalcin, dan lain

(21)

bila pada pemeriksaan substansi tersebut kadarnya dibawah normal, maka akan terjadi agregasi kristal yang akan membentuk batu (Coe et al, 2005).

Nephrocalcin ,glikoprotein yang bersifat asam dan disekresikan oleh ginjal,

dapat menghambat nukleasi, pertumbuhan dan agregasi dari kalsium oksalat (Pearle et al, 2012)

Batu saluran kemih biasanya terbentuk dari kombinasi berbagai faktor, dan jarang terbentuk dari kristal yang tunggal. Batu lebih sering terbentuk pada pasien dengan konsumsi protein hewani yang tinggi atau konsumsi cairan yang kurang. Batu juga dapat terbentuk dari kondisi-kondisi metabolic seperti distal renal tubular acidosis, Dent’s disease,

hyperparathyroidism, dan hyperoxalouria (Coe et al, 2005)

2.1.2 Jenis Batu Saluran Kemih 2.1.2.1 Batu Kalsium

Kalsium yang didapat dari makanan diserap sebanyak 30-40% di usus halus dan 10% diserap di usus besar. Absorpsi kalsium bervariasi bergantung pada konsumsi kalsium tersebut. Kalsium diserap pada fase ionik, dan penyerapan kalsium tidak sempurna karena pembentukan kompleks kalsium pada lumen usus. Substansi yang dapat menghasilkan kompleks kalsium adalah fosfat, sitrat, oksalat, sulfat dan asam lemak (Pearle et al, 2012).

Kalsifikasi dapat berlangsung dan berakumulasi pada duktus pengumpul, menghasilkan batu saluran kemih. Kira-kira 80-85% dari seluruh kejadian batu adalah batu kalsium. Batu kalsium sangat sering terjadi akibat kenaikan kadar kalsium dalam urin, kenaikan kadar asam urat dalam urin, naiknya kadar oksalat dan menurunnya sitrat dalam urin (Stoller, 2008)

(22)

urin dan angka kejadian batu. (Pearle et al, 2012). Konsentrasi kalsium dalam urin yang tinggi menyebabkan meningkatnya saturasi garam kalsium pada urin dan menurunnya aktivitas inhibitor seperti sitrat dan kondroitin sulfat (Stoller, 2008).

a. Absorptive Hypercalciuric Nephrolithiasis

Konsumsi kalsium normal rata-rata per hari adalah 900-1000 mg. Kira-kira 150-200 mg akan dieksresikan melalui urin. Absorptive

hypercalciuria (AH) adalah suatu keadaan meningkatnya absorpsi kalsium

pada usus halus, terutama jejunum. Hal ini diakibatkan meningkatnya jumlah kalsium yang disaring oleh glomerulus, mengakibatkan surpresi dari hormon paratiroid. Selanjutnya, reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal akan menurun, mengakibatkan hiperkalsiuria. Kaskade fisiologis ini adalah sebagai respon dari meningkatnya absorpsi kalsium di usus halus. (Stoller, 2008)

AH terbagi atas 3 tipe yaitu tipe I, II, dan III. Tipe I AH bersifat independen dari diet dan merupakan 15% dari seluruh kasus batu kalsium. Pada AH tipe I, terdapat peningkatan kadar kalsium dalam urin meskipun dilakukan restriksi diet kalsium. Tipe II AH merupakan penyebab batu saluran kemih yang cukup umum dan bergantung pada diet. Pada tipe II AH, eksresi kalsium normal pada restriksi kalsium diet. Pasien harus membatasi konsumsi kalsium sekitar 400-600mg/hari. Tipe III AH disebabkan kebocoran fosfat pada ginjal. Menurunnya kadar fosfat mengakibatkan meningkatnya sintesis 1, 25-dihidroksivitamin D. Kaskade fisiologis tersebut akan meningkatkan absorpsi fosfat dan kalsium pada usus dan meningkatnya eksresi kalsium dari ginjal, mengakibatkan hiperkalsiuria (Pearle et al, 2012).

b. Resorptive Hypercalciuric Nephrolithiasis

(23)

Hiperkalsemia merupakan tanda umum dari hiperparatiroid. Hormon paratiroid menghasilkan peningkatan kadar fosfor dalam urin dan menurunnya kadar fosfor dalam plasma, diikuti dengan meningkatnya kalsium plasma dan urin.

c. Renal Hypercalciuria

Ginjal menyaring sekitar 270 mmol kalsium dan melakukan reabsorpsi lebih dari 98% diantaranya untuk mempertahankan homeostasis kalsium. Sekitar 70% reabsorpsi kalsium berlangsung di tubulus proksimal. Reabsorpsi kalsium tersebut berlangsung secara paraselular.

Pada hiperkalsiuria renal, kerusakan pada tubulus ginjal mengakibatkan gangguan pada reabsorpsi kalsium. Hal ini menyebabkan meningkatnya kadar kalsium dalam urin. Kadar kalsium dalam serum tetap normal disebabkan ginjal yang kehilangan kalsium dikompensasi oleh meningkatnya absorpsi kalsium melalui pencernaan dan mobilisasi kalsium dari tulang diakibatkan peningkatan hormon paratiroid (Pearle et al, 2012).

d. Hyperoxalouric calcium nephrolithiasis

Hyperoxalouric calcium nephrolithiasis disebabkan oleh

meningkatnya kadar oksalat dalam urin yaitu diatas 40 mg dalam 24 jam. Biasanya hal ini ditemukan pada pasien dengan inflammatory bowel disease,

diare kronik, dan dehidrasi berat dan jarang ditemukan yang diakibatkan oleh konsumsi oksalat yang berlebih.

(24)

e. Hypocitraturic calcium nephrolithiasis

Sitrat merupakan inhibitor penting dari batu saluran kemih. Meningkatnya permintaan metabolic di mitokondria sel-sel ginjal menyebabkan menurunnya eksresi urin. Hal ini terjadi pada asidosis

metabolik, hipokalemia, puasa, hipomagnesia, androgen dan

glukoneogenesis (Pearle et al, 2012).

Bila membentuk kompleks dengan kalsium, akan menurunkan konsentrasi kalsium dan menurunnya energi untuk nukleasi. Sitrat juga menghambat agglomerasi, nukleasi spontan dan pertumbuhan kristal dari kalsium oksalat dan menurunkan kadar monosodium urat (Pearle et al, 2012).

2.1.2.2 Batu Struvite

Menurut Griffith (1978) dalam Sellaturay (2011), batu struvite dibentuk dari magnesium, ammonium dan fosfat. Pertama kali ditemukan oleh Ulex, seorang geologis asal Swedia pada abad ke-18. Nama ‘struvite’ berasal dari diplomat dan ilmuwan Rusia H.C.G von Struve. Brown menemukan bahwa bakteri akan memecah urin dan memfasilitasi pembentukan batu. Ia mengisolasi Proteus vulgaris dari inti batu yang sekarang diketahu mensekresikan urease.

Batu struvite umumnya ditemukan pada wanita dan sering berulang dalam waktu singkat. Mikroorganisme lain yang memecah urea dan dapat menyebabkan batu struvite adalah Proteus, Pseudomonas, Providencia,

Klebsiella, Staphylococci, dan Mycoplasma. Kadar amonia yang tinggi dari

organisme-organisme tersebut mengakibatkan alkalinisasi pH urin sampai 7,2 sehingga kristal MAP akan mengendap (Stoller, 2008).

(25)

fosfat tidak tersedia pada saat urin bersifat asam, oleh karena itu batu struvite tidak terbentuk saat kondisi fisiologis. Pada kondisi patologis, dimana terdapat bakteri yang menghasilkan urease, urea akan dipecah menjadi amonia dan asam karbonat. Selanjutnya, amonia akan bercampur dengan air untuk menghasilkan ammonium hidroksida pada kondisi basa, dan akan menghasilkan bikarbonat dan ion karbonat. Alkalinisasi urin oleh reaksi urease tadi menghasilkan NH4, yang akan membentuk ion karbonat

dan ion trivalent fosfat. Inilah yang akan membentuk batu struvite (Sellaturay, 2011)

Proteus mirabilis Mg2+

pH

Struvite (MgNH4PO4)

Infection stone

Ca2+

Hydroxyapatite (Ca5(PO4)3OH)

Carbonate apatite (Ca5(PO4)3CO3)

H2PO4–→ H+ + HPO42–

HPO42–→ H+ + PO43–

(NH2)2CO + H2O → 2NH3 + CO2

NH3 + H2O → OH– + NH4+

CO2 + H2O → H2CO3

H2CO3→ H+ + HCO3–

HCO3–→ H+ + CO32–

Urease

Gambar 2.2. Skema pembentukan batu struvite

Sumber : Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Urinary Lithiasis. Pearle, M. 45;1283

2.1.2.3 Batu Asam Urat

(26)

Terdapat 3 faktor utama pada pembentukan batu asam urat yaitu pH urin yang rendah, volume urin yang rendah dan hyperuricosuria. Faktor patogenesis utama adalah pH urin yang rendah karena umumnya pasien dengan batu asam uran memiliki kadar eksresi asam urat yang normal (Pak et al, 2003).

Low urinary pH

Obesity ↔ Insulin resistance Congenital

disorders Uricosuric

medications Myeloproliferative

disorders

Low urine volume Hyperuricosuria Uric acid nephrolithiasis

Diarrheal states

High animal protein diet

Primary gout

Gambar 2.3. Skema pembentukan batu asam urat

Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Urinary Lithiasis. Pearle, M. 45;1277

Hiperurikosuria menjadi faktor predisposisi pada pembentukan batu asam urat dan batu kalsium oksalat karena menyebabkan supersaturasi urin. Pasien dengan kadar asam urat dalam urin dibawah 600mg/hari memiliki batu yang lebih sedikit dari pasien yang memiliki kadar asam urat diatas 1000mg/hari dalam urin.

Batu asam urat dapat dihasilkan secara kongenital, didapat, atau idiopatik. Kelainan congenital yang berhubungan dengan batu asam urat melibatkan transpor urat di tubulus ginjal atau metabolisme asam urat menyebabkan hiperurikosuria. Kelainan didapat dapat berupa diare kronik, turunnya volume urin, penyakit-penyakit myeloproliferatif, tingginya konsumsi protein hewani, dan obat obatan yang menyebabkan 3 faktor diatas (Pearle et al, 2012).

(27)

Banyak gejala serta tanda yang dapat menyertai penyakit batu saluran kemih. Walaupun begitu, ada juga beberapa batu yang tidak menunjukkan gejala atau tanda khusus tetapi ditemukan pada hasil pemeriksaan radiologi. Gejala-gejala yang sering timbul pada pasien dapat berupa nyeri, hematuria, mual, muntah, demam, dan gangguan buang air kecil seperti frekuensi, urgensi dan disuria. (Pahira & Pevzner, 2007).

Nyeri merupakan gejala yang paling sering menyertai penyakit batu saluran kemih, mulai dari nyeri sedang sampai nyeri berat yang memerlukan pemberian analgesik. Nyeri biasanya terjadi pada batu di saluran kemih bagian atas, dengan karakter nyeri bergantung pada lokasi batu, ukuran batu, derajat obstruksi, dan kondisi anatomis setiap orang yang berbeda-beda. Nyeri yang terjadi dapat berupa kolik maupun nonkolik (Pearle et al, 2012)

Nyeri kolik pada ginjal biasanya terjadi diakibatkan meregangnya ureter atau collecting duct, diakibatkan adanya obstruksi saluran kemih. Obstruksi juga menyebabkan meningkatnya tekanan intraluminal, meregangnya ujung-ujung saraf, dan mekanisme lokal pada lokasi obstruksi seperti inflamasi, edema, hiperperistaltik dan iritasi mukosa yang berpengaruh pada nyeri yang dialami oleh pasien (Stoller, 2008)

Pada obstruksi di renal calyx, nyeri yang terjadi berupa rasa nyeri yang dalam pada daerah flank atau punggung dengan intensitas bervariasi. Nyeri dapat muncul pada konsumsi cairan yang berlebihan. Pada obstruksi

renal pelvic dengan diameter batu diatas 1 cm, nyeri akan muncul pada

sudut costovertebra. Nyeri yang timbul dapat berupa nyeri yang redup sampai nyeri yang tajam yang konstan dan tidak tertahankan, dan dapat merambat ke flank dan daerah kuadran abdomen ipsilateral (Stoller, 2008).

(28)

dihantarkan melalui nervus ilioinguinal atau cabang genital dari nervus

genitofemoral (Stoller, 2008).

Insiden hematuria pada pasien batu saluran kemih diperkirakan mencapai 90% berdasarkan teori yang ada. Akan tetapi, tidak adanya hematuria tidak menjadi jaminan bahwa batu saluran kemih tidak terjadi. Diperkirakan 10% pasien memiliki hasil negatif pada pemeriksaan mikroskopi dan dipstick (Lallas et al, 2011)

Pemeriksaan urinalisis lengkap diperlukan untuk memastikan diagnosa batu saluran kemih berdasarkan hematuria dan kristaluria dan pH urin. Pasien biasanya mengeluhkan warna urin yang seperti teh pekat. Pada 10-15 % kasus, mikrohematuria tidak terjadi akibat obstruksi komplit dari ureter.

Demam yang berhubungan dengan adanya batu saluran kemih menunjukkan suatu kondisi hjjjjj gawat darurat. Demam merupakan salah satu dari gejala sepsis selain takikardi, hipotensi dan vasodilatasi. Sementara itu, mual dan muntah terjadi akibat kolik yang dirasakan oleh pasien (Stoller, 2008).

Tabel 2.1 Hal-hal yang Perlu Dipertimbangkan dalam Identifikasi Pasien Batu Saluran Kemih

Hal-hal yang perlu digali dalam anamnesis

Pertanyaan yang diajukan

Kronologis kejadian batu Usia, ukuran batu, jumlah batu,

ginjal yang dipengaruhi oleh batu, batu keluar spontan atau dilakukan intervensi, infeksi terkait, gejala yang terjadi

Penyakit penyerta Chrohn’s disease, colectomy,

sarcoidosis, hyperparathyroidism, hyperthyroidism, gout,

(29)

Riwayat pemakaian obat Acetazolamide, asam askorbat, kortikosteroid, antasida yang mengandung kalsium, triamterene, acyclovir, indinavir

Pekerjaan dan gaya hidup

Sumber : Penn Clinical Manual of Urology (2008). Urinary Stone Disease. Pahira, J dan Pevzner, M;8:24

Setelah menggali riwayat pasien, evaluasi yang dilakukan adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang detail merupakan komponen penting dalam evaluasi pasien dengan batu saluran kemih. Hal-hal yang dapat dilihat seperti takikardia, berkeringat, mual, demam, dan menyingkirkan kemungkinan kemungkinan kelainan pada abdomen dan lumbal (Pahira dan Pevzner, 2007)

Tabel 2.2 Diagnosa Laboratorium Pasien Batu Saluran Kemih

Pengukuran Kadar normal Tujuan

Kalsium darah 8.8-10.3 mg/dl Deteksi hiperparatiroid, kelebihan

vitamin D, sarkoidosis

Fosfat darah 2.5-5.0 mg/dl Deteksi hiperparatiroid

Kreatinin darah 0.6-1.2 mg/dl Dekteksi Chronic Kidney Disease

Bikarbonat darah

20-28 mmol/L Deteksi Renal Tubular Acidosis

Cl- darah 95-105 mmol/L Deteksi Renal Tubular Acidosis

K+ darah 3.5-4.8 mmol/L Deteksi Renal Tubular Acidosis,

gangguan makan dan penyakit gastrointestinal

Volume urin >1.5 L/hari Deteksi volume urin yang rendah

akibat batu Kalsium urin <300mg/ hari (pria)

<250mg/hari(wanita)

Deteksi hiperkalsiuria

Oksalat urin <40mg/hari Deteksi hiperoksalouria

(30)

asam urat

Fosfat urin 500-1500 mg/hari Supersaturasi kalsium fosfat

Sitrat urin >450mg/hari (pria) >550mg/hari(wanita)

Deteksi kadar sitrat yang rendah

Asam urat <800mg/hari (pria)

<750mg/hari(wanita)

Deteksi hiperurikosuria

Sumber : Calcium Kidney Stone (2010). Worchester, E.M.

Pemeriksaan anjuran selanjutnya adalah pemeriksaan radiologi. Bila tersedia, pemeriksaan ultrasonografi merupakan instrumen diagnostik radiologi yang utama pada pasien. Ultrasonografi dapat mengidentifikasi lokasi batu pada calyx, pelvis, ureter, dan lain-lain. Di Amerika Serikat, pada pasien batu saluran kemih, pemeriksaan ultrasonografi memiliki sensitivitas 78% dan spesifisitas 31% (Turk et al, 2013).

Selain ultrasonografi, pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan foto polos. Foto polos (KUB) dapat digunakan untuk melihat posisi batu di ginjal, ureter, dan kandung kemih. KUB memiliki sensitivitas 90% dalam mendeteksi batu saluran kemih, dan 92% batu dapat ditentukan melalui tindakan ini (Turk et al, 2013). KUB dapat dijadikan pilhan untuk pemeriksaan yang cepat, ekonomis dan akurat. Akan tetapi, foto polos tidak dapat digunakan untuk mendeteksi batu yang bersifat non-opaque dan batu berukuran dibawah 2 mm (Pahira dan Pevzner, 2007)

IVP (Intravenous Pyelogram) adalah prosedur diagnostik untuk menentukan batu intrarenal dan kondisi anatomi ureter. IVP memiliki sensitivitas dan spesifisits yang tinggi untuk menentukan lokasi batu dan derajat obstruksi. IVP dapat mendeteksi batu radiolucent dan kelainan anatomi yang berhubungan dengan pembentukan batu. (Pahira dan Pevzner, 2007)

Non Contrast Computed Tomography (NCCT) telah menjadi standar

(31)

membantu bila diagnosa belum pasti. NCCT dapat mendeteksi batu asam urat dan batu xanthine yang bersifat radiolucent pada foto polos. NCCT memiliki sensitivitas 97% dan spesivisitas 96% (Turk et al, 2013).

2.1.4 Penatalaksanaan Batu Saluran Kemih 2.1.4.1 Penatalaksanaan Konservatif

Penatalaksanaan konservatif diberikan pada pasien tanpa riwayat batu saluran kemih. Penatalaksanaan non-farmakologis dapat mengurangi insiden rekuren batu per 5 tahun sampai 60%. Penatalaksanaan konservatif berupa :

1. Konsumsi cairan minimal 8-10 gelas per hari dengan tujuan menjaga volume urin agar berjumlah lebih dari 2 liter per hari 2. Mengurangi konsumsi protein hewani sekitar 0,8 – 1,0

gram/kgBB/hari untuk mengurangi insiden pembentukan batu 3. Diet rendah natrium sekitar 2-3 g/hari atau 80-100 mEq/hari

efektif untuk mengurangi eksresi kalsium pada pasien dengan hiperkalsiuria

4. Mencegah penggunaan obat-obat yang dapat menyebabkan

pembentukan batu seperti calcitrol, suplemen kalsium, diuretic kuat dan probenecid

(32)

Previous episode? Stone episode (resolved) No Yes Conservative measures

Urine output to 2 liters/day

↓ Sodium intake

Meat intake (all types)

Hx: Previous episodes Onset of stones Bowel disease Gout Diabetes Medications Family Hx? Serum studies 24-hr urine studies

Other stone disease Uncomplicated calcium stone disease

Normocalcemia No bowel disease No UTI

Normocalciuria Hypercalciuria

Potassium citrate Thiazides

With potassium citrate if urine citrate value is normal

With potassium citrate if ↓ urine citrate

Hypercalcemia Hyperuricemia (gout) Uric acid stones Infection stones Cystinuria Hyperparathyroid investigation Potassium citrate Allopurinol Fluids, tiopronin (Thiola) Relapse Antibiotics Acetohydroxamic acid for severe

cases

[image:32.595.118.550.84.433.2]

Allopurinol

Gambar 2.4 Algoritma penatalaksanaan non-invasiv batu saluran kemih Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Evaluation and Medical Management of Urinary Lithiasis. Pearle, M. 46;1331

2.1.4.2 Penatalaksanaan Spesifik

1. Batu kalsium

Untuk Absorptive hypercalciuria tipe I dapat diberikan diuretik tiazid 25-50 mg untuk menurunkan kadar kalsium dalam urin sampai 150 mg/hari. Hal ini terjadi melalui turunnya volume urin yang mengakibatkan kompensasi meningkatnya reabsorpsi natrium dan kalsium di tubulus proksimal. Alternatif lain yang dapat diberikan yaitu chlorthalidone 25-50 mg, indapamide 1,25-2,5 mg/hari (Stoller, 2008).

(33)

dan suplemen kalium sitrat juga dapat diberikan apabila penatalaksanaan konservatif tidak efektif. Pada AH tipe III, diberikan orthophospate yang akan menurunkan kadar 1,25(OH)2D3 dan meningkatkan kadar inhibitor dalam urin.

Tiazid juga diberikan pada renal hiperkalsiuria untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus. Hal ini akan menormalkan kadar kalsium dalam serum dan menurunkan kadar hormon paratiroid. Diet natrium juga dikurangi menjadi 2 g/hari dan menjaga natrium urin dibawah 100 mEq/hari.

Pada hiperoksalouria primer, pyridoxine dapat menurunkan produksi oksalat endogen. Dosis pyridoxine yang dianjurkan adalah 100-800 mg/hari. Orthophospate oral juga dapat diberikan dalam dosis 4 kali sehari. Magnesium oral, suplemen kalium sitrat dan konsumsi cairan yang ditambah dapat membantu terapi (Turk et al, 2013)

Pasien dengan hipositraturia diberikan kalium sitrat untuk meningkatkan pH intraselular dan produksi sitrat. Selain kalium sitrat, konsumsi jus lemon setiap hari yang dilarutkan dalam 2 liter air akan meningkatkan kadar sitrat dalam urin (Stoller, 2008).

2. Batu asam urat

(34)

3. Batu sistin

Pasien dengan batu sistin harus meningkatkan konsumsi cairan agar mendapatkan urin sekitar 3,5 liter setiap harinya untuk disolusi maksimal dari batu sistin. Alkalinisasi urin menggunakan kalium sitrat atau sodium bikarbonat digunakan untuk menjaga pH urin 7,5-8,5. Urin yang alkali akan meningkatkan larutnya sistin dalam urin (EAU Guideline, 2013).

Bila pengobatan diatas tidak berhasil dan kadar sistin dalam urin diatas 3 mmol per hari, maka dapat diberikan tiopronin. Dosis tiopronin yang digunakan adalah 250 mg per hari. Tiopronin dianggap lebih baik dari pendahulunya yaitu D-penicillamine yang dianggap menimbulkan banyak efek samping (EAU Guideline, 2013).

2.1.4.3 Modalitas terapi

1. Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)

Tehnik PCNL dilakukan melalui akses pada lower calyx, selanjutnya dilakukan dilatasi menggunakan balloon dilator atau Amplatz dilator dengan bantuan fluoroscopy dan batu dihancurkan menggunakan elektrohidrolik, ultrasonic atau litotripsi laser (Pearle et al, 2012)

Indikasi melakukan PCNL adalah batu staghorn, batu ginjal dengan ukuran diatas 3 cm, batu sistin, adanya abnormalitas ginjal dan saluran kemih bagian atas, kegagalan pada ESWL dan uretroscpy, dan batu pada ginjal hasil transplantasi. PCNL tidak dapat dilakukan pada kondisi perdarahan, infeksi saluran kemih yang tidak terkontrol, dan faktor-faktor yang mengakibatkan PCNL tidak optimal seperti obesitas dan splenomegaly (Stoller, 2008)

2. Uretroscopy (URS)

(35)

lithoclast. Lithotrites elektrohidrolik memiliki tenaga 120 volt yang dapat menghasilkan gelombang kejut. Lithotrites ultrasonik memiliki sumber energi piezoceramic yang dapat mengubah energi listrik menjadi gelombang ultrasonik 25.000 Hz, sehingga dapat efektik mengakibatkan fragmentasi pada batu tersebut (Stoller, 2008)

URS efektif digunakan pada batu ureter dengan tingkat keberhasilan 98-99% pada batu ureter distal, 51-97% pada batu mid ureter dan 58-88% pada batu ureter atas. URS memiliki komplikasi seperti abrasi mukosa, perforasi ureter, dan striktur ureter (Stoller, 2008).

2.2 Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) 2.2.1 Cara Kerja ESWL

Prinsip kerja alat ESWL adalah menggunakan gelombang kejut. Gelombang kejut adalah gelombang tekanan yang berenergi tinggi yang dapat dialirkan melalui udara maupun air. Ketika berjalan melewati dua medium yang berbeda, energi tersebut dilepaskan, menyebabkan batu terfragmentasi. Gelombang kejut tidak menyebabkan kerusakan bila melewati substansi dengan kepadatan yang sama. Oleh karena air dan jaringan tubuh memiliki kepadatan yang sama, gelombang kejut tidak merusak kulit dan jaringan dalam tubuh. Batu saluran kemih memiliki kepadatan akustik yang berbeda, dan bila dikenai gelombang kejut, batu tersebut akan pecah, Setelah batu terfragmentasi, batu akan keluar dari saluran kemih (Pahira dan Pevzner, 2007).

Terdapat beberapa mekanisme dalam pemecahan batu melalui ESWL bergantung pada energi yang digunakan, yaitu :

1. Generator elektrohidrolik

(36)

gelombang kejut yang dihasilkan oleh elektroda akan mengenai batu pada F1. Kekurangan generator elektrohidrolik ini adalah tekanannya yang berfluktuasi dan daya hidup elektroda yang singkat.

2. Generator elektromagnetik

Generator elektromagnetik menggunakan gelombang kejut yang berbentuk silinder atau datar. Gelombang yang datar akan difokuskan oleh sebuah lensa akustik sementara gelombang silinder akan direfleksikan oleh sebuah reflector parabolik. Prinsip kerja generator ini cukup sederhana, yaitu sebuah shock tube yang diisi air mengandung 2 plat silinder yang dipisahkan oleh lembaran pelindung. Ketika arus listrik dikirimkan satu atau kedua konduktor, gerakan plat terhadap air dan sekitarnya menghasilkan suatu gelombang tekanan. Tenaga elektromagnetik terbentuk yang disebut dengan tekanan magnetik menyebabkan gelombang kejut di air. Energi dari gelombang kejut yang dihasilkan dikonsentrasikan pada target melalui lensa akustik. Selanjutnya, tenaga akan difokuskan pada satu titik fokal dan diposisikan terhadap target (F2) (Pearle et al, 2012).

Acoustic lens

Membrane

Electromagnetic coil

[image:36.595.204.398.451.662.2]

F2

Gambar 2.5 Skema cara kerja generator elektromagnetik menggunakan lensa akustik

(37)

Electromagnetic coil

[image:37.595.173.423.86.309.2]

Reflector F2

Gambar 2.6 Skema cara kerja generator elektromagnetik menggunakan reflektor parabolik

Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Evaluation and Medical Management of Urinary Lithiasis. Pearle, M. 46;1331

Generator elektromagnetik lebih mudah dikontrol dan mudah diproduksi. Keuntungan lainnya adalah pajanan terhadap tubuh pada daerah yang luas menyebabkan nyeri yang kurang. Titik fokal yang kecil dengan energi yang besar meningkatkan efektifitas dari pemecahan batu. (Pearle et al, 2012). Akan tetapi, hal ini juga meningkatkan resiko hematoma subkapsular sekitar 3,1-3,7% menurut Dhar (2004) dalam Pearle (2012). Hematoma perinefrik juga terjadi pada 12% pasien menurut Piper (2001) dalam Pearle (2012)..

3. Generator piezoelektrik

(38)

piezoelektri diletakkan pada suatu tempat berbentuk seperti mangkok untuk menghasilkan konvergensi gelombang. Fokusnya adalah pusat geometrik dari bentuk mangkok tersebut.

Piezoceramic element

[image:38.595.188.564.189.380.2]

F2

Gambar 2.7 Skema cara kerja generator piezoelektrik

Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Evaluation and Medical

Management of Urinary Lithiasis. Pearle, M. 46;1331

Keuntungan dari generator ini adalah fokus yang akurat, dan kemungkinannya untuk dilakukan tindakan tanpa anastesi karena kekuatan energi yang tendah pada kulit saat gelombang kejut memasuki tubuh. Oleh karena itu, litotripter piezoelektrik menjai pilihan karena merupakan pilihan yang paling nyaman dibandingkan sumber energi lain. Kekurangannya adalah tenaga yang dihasilkan kurang sufisien, sehingga memperlambat proses pemecahan batu secara efektif. Piezoelektrik menghasilkan tekanan puncak yang paling besar dibandingkan dengan litotripter lain, akan tetapi dikarenakan volume dari piezoelektrik yang kecil maka energi yang dihantarkan menjadi berkurang (Pearle et al, 2012)

(39)

Tindakan ESWL hanya dapat dilakukan pada batu dengan lokasi ginjal dan ureter. Lebih dari 90% batu pada orang dewasa dapat ditatalaksana dengan ESWL. ESWL merupakan pilihan utama terapi pada batu proksimal ureter dengan ukuran dibawah 10 mm dan 10-20 mm, baik pada ureter proksimal maupun distal.

Tingkat kesuksesan tindakan ESWL untuk batu dengan ukuran kurang dari 20 mm adalah 80-90%. Batu yang terletak di lower calyx dan ureter memiliki tingkat fragmentasi 60-70%. Akan tetapi, tingkat kesuksesan juga ditentukan oleh komposisi batu dan pelaksanaan ESWL (Stoller, 2008)

Kontraindikasi pelaksanaan ESWL terbagi 2, yaitu kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif.

Tabel 2.2 Kontraindikasi Tindakan ESWL

Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif

Kehamilan Kalsifikasi arteri

Perdarahan Aneurisma

Obstruksi di bawah lokasi batu Alat pacu jantung

Infeksi saluran kemih yang tidak terkontrol

Obesitas

Malformasi skeletal

Sumber : Penn Clinical Manual of Urology (2008). Urinary Stone Disease. Pahira, J dan Pevzner, M;8:253

2.2.3 Komplikasi tindakan ESWL

Sebagaimana tindakan lainnya, ESWL juga memiliki beberapa komplikasi seperti :

• Steinstrasse

• Pertumbuhan fragmen residu

• Kolik renal

• Bakteriuria pada pasien batu non-infeksi

• Sepsis

(40)

Dysrhythmia

(41)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

[image:41.595.115.507.225.392.2]

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kerangka konsep bagi penelitian ini adalah

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian

3.2 Definisi Operasional

Pasien yang Dilakukan Tindakan ESWL di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012 merupakan pasien batu saluran kemih yang menjalani tindakan ESWL di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan pada tahun 2012.

Usia

a. Definisi : Usia pasien yang menderita batu saluran kemih

yang tercatat di rekam medis

b. Alat ukur : Rekam medis

c. Cara ukur : Observasi rekam medis

d. Hasil ukur : Distribusi berdasarkan kelompok umur

(42)

Jenis kelamin

a. Definisi : Sifat jasmani dan rohani yang membedakan diri

seseorang.

b. Alat ukur : Rekam medis

c. Cara ukur : Observasi rekam medis

d. Hasil ukur : Laki-laki, Perempuan

e. Skala pengukuran : Nominal

Lokasi Batu

a. Definisi : Lokasi batu merupakan letak batu di dalam

traktus urinarius yang didapatkan dengan

pemeriksaan radiologis

b. Alat Ukur : Rekam medis

c. Cara Ukur : Observasi rekam medis

d. Hasil Ukur : Renal Calyx, Renal Pelvic, Upper Ureter, Middle

Ureter, Distal Ureter

e. Skala Pengukuran : Nominal

Ukuran Batu

a. Definisi : Ukuran batu merupakan diameter terbesar dari

sebuah batu

b. Alat Ukur : Rekam medis

c. Cara Ukur : Observasi rekam medis

d. Hasil Ukur : < 5 mm, 5 – 10 mm, 10 – 20 mm, >20 mm

e. Skala Pengukuran : Rasio

Shock Wave Rate

a. Definisi : Jumlah gelombang kejut yang dapat dihasilkan

pada setiap sesi ESWL

b. Alat ukur : Rekam medis

c. Cara ukur : Observasi rekam medis

(43)
(44)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dengan desain penelitian cross-sectional (potong lintang), yaitu dengan melakukan pengamatan dan pengukuran sesaat terhadap data rekam medis penderita batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL yang tercatat di RSUP Haji Adam Malik pada bulan Januari hingga Desember 2012

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1 Waktu Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan selama dua bulan, yaitu dari bulan Agustus hingga September 2013

4.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Tempat ini dipilih karena RSUP Haji Adam Malik Medan adalah Rumah Sakit tipe A, yaitu rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas, sesuai SK MENKES No. 335/MENKES/SK/VII/1990 yang merupakan tempat rujukan dari berbagai sarana pelayanan kesehatan sehingga cukup representatif untuk dijadikan acuan sumber data epidemiologi khususnya di provinsi Sumatera Utara. Selain itu RSUP H Adam Malik Medan juga adalah Rumah Sakit Pendidikan sesuai SK MENKES No. 502/MENKES/SK/IX/1991, sehingga memudahkan peneliti dalam proses pengumpulan data untuk penelitian ini.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Penelitian

(45)

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian dipilih dengan metode total sampling, dimana seluruh populasi digunakan menjadi sampel penelitian.

4.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi 4.3.3.1 Kriteria Inklusi

Data rekam medis penderita batu saluran kemih di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012

4.3.3.2 Kriteria Ekslusi

Data rekam medis yang tidak lengkap

4.4 Metode Pengumpulan Data 4.4.1 Jenis Data

Jenis data yang dipakai pada penelitian ini adalah data sekunder. Data yang digunakan sebagai sumber informasi diperoleh dari rekam medis hasil pemeriksaan batu saluran kemih penderita di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Januari sampai Desember 2012.

4.4.2 Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan merupakan data rekam medis hasil pemeriksaan batu saluran kemih penderita di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Januari sampai Desember 2012 yang telah dipilih menjadi sampel. Data yang telah didapat kemudian dicatat serta dikelompokkan sesuai dengan variabel yang digunakan.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu editing,

coding, entry, cleaning data, dan saving. Langkah pertama, editing,

(46)

ke dalam program komputer; kemudian, cleaning data, dengan melakukan pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam memasukkan data; terakhir, saving, data kemudian disimpan dan siap dianalisa. Semua data yang telah dikumpulkan, dicatat dan dikelompokkan kemudian diolah menggunakan program

(47)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini merupakan Rumah Sakit Pemerintah yang tergolong dalam kategori rumah sakit Kelas A. Sesuai dengan SK Menkes No. 547/Menkes/SK/VI/1994, RSUP HAM merupakan rumah sakit rujukan bagi wilayah pembangunan A di Sumatera yaitu Provinsi Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau. RSUP HAM juga ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 1991.

5.1.2 Deskripsi Data Penelitian

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari rekam medis hasil pemeriksaan batu saluran kemih penderita di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Januari sampai Desember 2012.

Jumlah seluruh data yang tercatat adalah 195 data rekam medis lengkap dan berisi nomor rekam medis, nama pasien, usia, jenis kelamin, lokasi batu, ukuran batu, dan SWR yang digunakan.

5.1.2.1 Distribusi Pasien Batu Saluran Kemih yang Dilakukan Tindakan ESWL Berdasarkan Usia

(48)
[image:48.595.106.488.125.355.2]

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Usia

Kelompok Usia Jumlah Persentase (%)

17-23 5 2.6

24-30 8 4.1

31-37 21 10.8

38-44 33 16.9

45-51 49 25.1

52-58 35 17.9

59-65 31 15.9

66-72 10 5.1

73-80 3 1.5

Jumlah 195 100%

Dalam Tabel 5.1, dapat dilihat bahwa karakteristik usia dibagi menjadi 9 kelompok usia. Masing-masing kelompok usia memiliki interval 7. Pembagian kelompok usia tersebut dilakukan berdasarkan rumus Sturges.

Berdasarkan tabel 5.1, didapati bahwa pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL yang terbanyak berada pada kelompok usia 45-51 tahun sebanyak 49 orang (25,1%), 52-58 tahun sebanyak 35 orang (17,9%), dan 38-44 tahun sebanyak 33 orang (16,9%). Rata-rata usia pasien adalah 49 tahun, dengan usia terkecil adalah 17 tahun dan usia terbesar adalah 78 tahun.

5.1.2.2 Distribusi Pasien Batu Saluran Kemih yang Dilakukan Tindakan ESWL Berdasarkan Jenis Kelamin

(49)
[image:49.595.107.488.126.212.2]

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

Laki-laki 114 58.5

Perempuan 81 41.5

Jumlah 195 100

Berdasarkan tabel 5.2, didapati bahwa pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL terbanyak adalah berjenis kelamin laki-laki, dengan persentase 58,46% atau sebanyak 114 orang. Sisanya berjenis kelamin perempuan, yaitu dengan persentase 41,53% atau sebanyak 81 orang. Rasio antara penderita pria dan wanita adalah 1,4.

5.1.2.3 Distribusi Pasien Batu Saluran Kemih yang Dilakukan Tindakan ESWL Berdasarkan Lokasi Batu

Distribusi lokasi batu saluran kemih pada pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Lokasi Batu

Jenis Batu Lokasi Batu Jumlah Persentase (%)

Batu Ginjal

Upper Calyx 19 9.7

86.1

Medium

Calyx 47 24.1

Lower Calyx 40 20.5

Renal Pelvic 62 31.8

Batu Ureter

Upper Ureter 18 9.2

13.9

Middle

Ureter 6 3.1

Distal Ureter 3 1.5

[image:49.595.107.488.479.714.2]
(50)

Berdasarkan tabel 5.3, didapati bahwa kebanyakan pasien yang menjalani ESWL merupakan pasien dengan letak batu di ginjal yaitu sebanyak 168 pasien atau 86,1% dari keseluruhan pasien, sementara sisanya, 27 pasien atau 13,9% merupakan pasien dengan letak batu di ureter. Pada batu di ginjal, lokasi terbanyak berada di Renal Pelvic sebanyak 62 kasus (31,8%), sementara di ureter, lokasi terbanyak berada di Upper Ureter

sebanyak 18 kasus (9,2%).

5.1.2.4 Distribusi Pasien Batu Saluran Kemih yang Dilakukan Tindakan ESWL Berdasarkan Ukuran Batu

[image:50.595.107.489.375.503.2]

Distribusi ukuran batu saluran kemih pada pasien yang dilakukan tindakan ESWL dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Ukuran Batu

Ukuran Batu (mm) Jumlah Persentase (%)

<5 26 13.3

5-10 55 28.2

11-20 99 50.8

>20 15 7.7

Jumlah 195 100

Berdasarkan tabel 5.4, 99 dari 195 pasien (50,8%) memiliki batu berukuran 11-20 mm, 55 pasien (28,2%) memiliki batu berukuran 5-10 mm, 15 pasien (7,7%) memiliki batu berukuran diatas 20 mm, dan 26 pasien (13,3%) memiliki batu berukuran dibawah 5 mm.

5.1.2.5 Distribusi Lokasi dan Ukuran Batu Saluran Kemih pada Pasien yang Dilakukan Tindakan ESWL

(51)
[image:51.595.96.500.166.547.2]

Tabel 5.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Lokasi dan Ukuran Batu

Lokasi Batu Ukuran Batu Total

< 5 mm 6-10 mm 11-20 mm >20 mm

Upper Calyx N

% 4 2.1 5 2.5 9 4.6 1 0.5 19 9.7

Medium Calyx N

% 9 4.6 15 7.6 21 10.8 2 1.1 47 24.1

Lower Calyx N

% 7 3.5 8 4.1 19 9.7 6 3.1 40 20.5

Renal Pelvic N

% 3 1.5 15 7.6 38 19.5 6 3.2 62 31.8

Upper Ureter N

% 2 1.1 6 3.1 10 5.0 0 0 18 9.2

Middle Ureter N

% 1 0.5 3 1.5 2 1.1 0 0 6 3.1

Distal Ureter N

% 0 0 3 1.5 0 0 0 0 3 1.5

Total N 26 55 99 15 195

% 13.3 28.2 50.8 7.7 100

(52)

5.1.2.6 Distribusi SWR pada Pasien Batu Saluran Kemih yang Dilakukan Tindakan ESWL

[image:52.595.108.488.249.380.2]

Distribusi Shock Wave Rate pada pasien yang dilakukan tindakan ESWL dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.6 Distribusi Sampel Berdasarkan SWR

Shock Wave Rate Jumlah Persentase (%)

<3000 25 12,8

3000-4000 107 54,9

4100-5000 58 29,7

>5000 5 2,6

Jumlah 195 100

Berdasarkan tabel 5.5, 54,9% sampel atau 107 pasien menggunakan SWR antara 3000 sampai 4000 dan 29,7 % atau 58 pasien menggunakan SWR antara 4100 sampai 5000.

5.2 Pembahasan

Berdasarkan data distribusi diatas dapat dilihat bahwa dari 195 pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari sampai Desember 2012 terdapat 114 orang (58,5%) pasien berjenis kelamin laki-laki dan 81 orang (41,5%) pasien berjenis kelamin perempuan. Rasio penderita laki-laki dan perempuan adalah 1,4. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pearle et al tahun 2005 dimana pria memiliki kemungkinan dua sampai tiga kali lipat lebih besar untuk menderita batu saluran kemih dibandingkan wanita.

(53)

dan wanita akan semakin mengecil. Tren penurunan rasio ini telah terjadi sejak tahun 1980. Hal ini menyebabkan selisih jumlah penderita pria dan wanita tidak begitu besar.

Untuk distribusi berdasarkan kelompok usia, pada penelitian ini didapati bahwa pasien terbanyak berada pada kelompok usia 45-51 dengan persentase 25,1% atau sebanyak 49 pasien dan kelompok usia 52-58 dengan persentase 17,9% atau sebanyak 35 pasien. Rata-rata usia pasien adalah 49 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Hiatt dalam Campbell (2013), dimana batu saluran kemih sangat jarang ditemukan pada pasien dengan usia dibawah 20 tahun dan mencapai puncak insiden pada dekade keempat, kelima dan keenam dari kehidupan.

Menurut Johnson, salah satu pengaruhnya adalah terjadinya menopause pada wanita yang terjadi pada periode usia tersebut. Hal ini juga menyebabkan rendahnya angka kejadian batu saluran kemih pada wanita sebelum usia 50 tahun karena kadar estrogen dalam tubuh juga mempengaruhi proses resorpsi kalsium yang merupakan salah satu bahan pembentuk batu. Puncak insiden terjadinya batu pada wanita Asia seperti di Jepang berada pada usia 50-79 tahun. Sementara pada pria, insiden meningkat pada periode usia tersebut disebabkan faktor metabolisme dalam tubuh serta gaya hidup. (Yasui, 2008)

Pada distribusi berdasarkan lokasi batu, dapat dilihat bahwa sebanyak 86,15% atau 168 pasien yang menjalani ESWL merupakan pasien dengan letak batu di ginjal meliputi Upper Calyx, Medium Calyx, Lower Calyx, dan

Renal Pelvic. Hal ini sesuai dengan Guideline EAU 2013 yang menyatakan

(54)

SFR pasca ESWL pada kasus batu ginjal dengan lokasi Lower Calyx

cenderung rendah dibandingkan lokasi lainnya. SFR dapat hanya berkisar antara 25%-85%. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yang juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan terapi, seperti ukuran Calyx yang terlalu panjang (diatas 10 mm), infundibulum yang sempit (dibawah 5 mm), serta sudut antara infundibulum dan pelvis ginjal yang cenderung curam. Akibat disintergrasi batu yang tidak maksimal, fragmen pecahan ESWL

cenderung menetap di Lower Calyx dan menjadi pencetus untuk

pembentukan batu yang baru. Dikarenakan SFR yang rendah, maka pilihan terapi yang saat ini digunakan pada batu di Lower Calyx dengan ukuran diatas 10 mm adalah tindakan endourologi seperti PCNL atau RIRS.

Sebanyak 13,85% atau 27 orang pasien memiliki batu dengan letak ureter yang terbagi atas Upper Ureter, Middle Ureter, Distal Ureter.

Menurut Preminger et al, pada batu dengan letak proksimal, SFR yang dihasilkan antara ESWL dan URS cenderung sama yaitu 82%. Akan tetapi, perbedaan SFR yang mencolok akan muncul jika dibandingkan pada Middle

Ureter dan Distal Ureter. Pada batu dengan letak Middle Ureter, SFR pada

ESWL adalah 72% sementara pada URS adalah 83%. Pada batu dengan letak Distal Ureter, SFR pada ESWL adalah 73% sementara pada URS adalah 97%. Sehingga, pada tatalaksana batu dengan letak Mid Ureter dan

Distal Ureter, yang menjadi pilihan utama adalah URS, akan tetapi ukuran

batu dan pilihan pasien juga dijadikan bahan pertimbangan.

(55)

atau RIRS untuk batu diatas 10 mm, prosedur tersebut cenderung invasif dan hanya dilakukan pada indikasi tertentu.

Batu berukuran dibawah 20 mm masih memiliki baku emas ESWL sebagai modalitas terapinya. Akan tetapi, penggunaan ESWL pada batu dengan ukuran diatas 20 mm masih kontroversial. SFR untuk batu diatas 20 mm pada ESWL adalah sekitar 34%, sementara SFR pada PCNL adalah sekitar 90%. Pada pasien-pasien tersebut, ESWL yang dikombinasi dengan pemasangan stent pada uretra dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pada terapi ulang pasien. Pada pasien dengan ukuran batu diatas 30 mm diperlukan terapi definitif yang optimal dan ESWL sebaiknya dihindari. Pasien dengan ukuran batu diatas 3 cm yang dilakukan ESWL hanya memiliki SFR 27% dalam 3 bulan.

Pada batu ureter, ESWL digunakan sebagai lini pertama pada kasus batu ureter proksimal dengan baik ukuran dibawah 10 mm maupun diatas 10 mm dengan SFR antara 70%-89%. Akan tetapi, URS digunakan sebagai lini pertama pengobatan batu mid ureter dan distal ureter baik ukuran diatas 10 mm maupun dibawah 10 m dengan SFR antara 93%-97%. (Preminger et al, 2007)

Berdasarkan tabel distribusi SWR, didapat bahwa 107 pasien (54,9%) pasien diterapi dengan SWR antara 3000-4000. Menurut Pischchalnikov (2006), dengan menurunkan SWR, komplikasi akibat gelombang seperti rusaknya jaringan dapat dikurangi. Dengan menurunkan SWR dari 120 kali per menit menjadi 60-90 kali per menit dapat meningkatkan SFR. (Semins, 2008)

(56)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan serta analisis data yang diperoleh dari rekam medik penderita batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL di RSUP Haji Adam Malik Medan maka kesimpulan yang didapatkan adalah :

1. Penderita batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012 sebanyak 195 pasien. 2. Pasien terbanyak berada pada kelompok usia 45-51 tahun (25,1%)

dengan rata-rata usia 49 tahun.

3. Mayoritas pasien batu saluran kemih yang dilakukan tindakan ESWL berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 114 orang (58,5%)

4. Lokasi batu terbanyak adalah batu ginjal sebanyak 168 kasus (86,1%), dan sebanyak 62 kasus (31,8%) berada di Renal Pelvic

5. Ukuran batu terbanyak berada pada kategori 11-20 mm yaitu sebanyak 99 kasus (50,8%)

6. SWR terbanyak berada pada kategori 3000-4000 yaitu sebanyak 107 kasus (54,9%)

1.2 Saran

1. Bagi dokter dan tenaga kesehatan, agar dapat mendokumentasikan data pasien dengan lebih maksimal sehingga dapat memberikan hasil yang lebih maksimal dalam bidang penelitian dan bidang lainnya. 2. Bagi pasien batu saluran kemih, agar dapat lebih memahami modalitas

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymus., 2010. Guideline Batu Saluran Kemih. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia.

Coe, F.L., Evan, A., Worcester, E., 2005. Kidney Stone Disease. Journal of Clinical Investigation.

Farrands, R., Turney, B.W., Kumar, P.V.S., 2011. Factors Predicting the Success of Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy in the Treatment

of Ureteric Calculi. British Journal of Medical and Surgical Urology.

Lallas, C.D., Chiura, A.N., Das, A.K., Bagley, D.H., 2011. Urolithiasis Location and Size and the Association with Microhematuria and

Stone-Related Symptoms. Journal of Endourology.

Paterson R.F., Lifshitz D.A., Kuo R.L., Siqueira J.R., Lingeman J.E., 2002.

Shockwave Lithotripsy Monotherapy For Renal Calculi. Brazil:

Journal of the Brazilian Society of Urology

Pahira, J.J., Pevzner, M., 2007. Penn Clinical Manual of Urology:

Nephrolithiasis. Amerika Serikat: Saunders Elsevier

Pearle, M.S., Calhoun, E.A., Curhan, G.C., 2007. Urologic Disease in

America: Urolithiasis. Amerika Serikat: National Institute of

Diabetic, Digestive and Kidney Diseases

Pearle, M.S., Lotan, Y. 2012. Campbell Walsh Urology 10th Edition:

(58)

Pishchalnikov Y.A., McAteer J.A., William J.C., 2006. Why Stones Break

Better at Slow Shockwave Rates than at Fast Rates. Amerika

Serikat: Journal of Endourology

Preminger G.M., Tiselius H.G., Assimos D.

Gambar

Gambar 2.1. Tahapan saturasi urin
Gambar 2.2. Skema pembentukan batu struvite
Gambar 2.3. Skema pembentukan batu asam urat
Tabel 2.2 Diagnosa Laboratorium Pasien Batu Saluran Kemih
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis Penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode cross sectional (potong lintang) untuk mengetahui karakteristik pasien retinoblastoma di Rumah Sakit

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross-sectional) terhadap 68 Ibu yang mempunyai anak usia kurang dari 5 tahun di RSUP

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional retrospektif, di mana peneliti akan mendeskripsikan angka kejadian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dimana data diambil hanya sekali bagi

Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dimana data diambil hanya sekali bagi

Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dimana data diambil hanya sekali bagi

Bahan dan metode: Penelitian ini adalah merupakan penelitian deskriptif observasional dengan rancangan potong lintang (cross sectional) terhadap 32 orang anak pasien

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dengan desain cross-sectional (potong lintang), yaitu dengan melakukan pengamatan sesaat untuk mengetahui