• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK STATUS GIZI PENDERITA TUBERKULOSIS MENINGITIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KARAKTERISTIK STATUS GIZI PENDERITA TUBERKULOSIS MENINGITIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE SKRIPSI"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh : FAKHRI AMIR

160100148

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

KARAKTERISTIK STATUS GIZI PENDERITA

TUBERKULOSIS MENINGITIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE 2015-2018

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh : FAKHRI AMIR

160100148

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)
(4)

i

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Karakteristik Status Gizi Penderita TB Meningitis di RSUP HAM Medan Periode 2015-2018

Nama Mahasiswa : Fakhri Amir Nomor Induk : 160100148

Proposal penelitian ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada ujian Proposal penelitian.

Medan, 27 November 2019 Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Prof. DR. dr. Ridha Darmajaya, Sp. BS NIP. 197305142002121002

(5)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan berkat-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini berjudul “Karakteristik Status Gizi Penderita TB Meningitis di RSUP Haji Adam Malik Periode 2015-2018” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar- besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), yang banyak memberikan dukungan selama proses penyusunan skripsi.

2. Dosen Pembimbing, Prof. DR. dr. Ridha Dharmajaya, Sp. BS yang banyak memberikan arahan, masukan, ilmu, dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sedemikian rupa.

3. Ketua Penguji, dr. Sabri, M.Ked (Neusurg), Sp.BS dan Anggota Penguji, dr. Dwi Faradina, M.Ked(OG), Sp, OG (K) untuk setiap kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan dan ilmu yang diberikan dari mulai awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

5. Kedua orang tua, Ir. Amir Syarifuddin, MM dan Diah Rossita Nasution, AP, S.Sos, saudara penulis, Indri Atikah Amir, yang selalu mendukung, memberikan semangat, kasih sayang, bantuan dan rasa kebersamaan yang tidak pernah berhenti sampai penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabat penulis, Sela, Nabes, Sarah, Yasa, Pira, Pani, Dila, Awik, Bg Amien, Anca, Weje dan sahabat terbaik lainnya yang tak bisa disebut

(6)

iii

satu per satu saling bahu membahu menolong satu sama lain dari awal perkuliahan sampai selesainya skripsi ini.

7. Sahabat penulis diluar FK USU, Sarah Tejok, Enjoy Baya, Pitri, Dila Sod seluruh bagian dari komunitas FANCY, atas tawa dan tangis yang dialami Bersama penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi konten maupun cara penulisannya. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap skirpsi ini dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangsih bagi bangsa dan Negara terutama dalam bidang pendidikan terkhususnya ilmu kedokteran.

Medan, 27 November 2019 Penulis,

Fakhri Amir 160100148

(7)

iv DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... ii

Daftar Gambar ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Singkatan ... viii

Abstrak …….. ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1 Tujuan Umum ... 2

1.3.2 Tujuan Khusus ... 2

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.4.1 Manfaat Untuk Peneliti ... 3

1.4.2 Manfaat Untuk Mahasiswa ... 3

1.4.3 Manfaat Untuk Masyarakat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Meninges ... 4

2.2 Tuberkulosis Meningitis... 6

2.2.1 Definisi ... 6

2.2.2 Epidemiologi ... 7

2.2.3 Etiologi ... 7

2.2.4 Faktor Resiko ... 7

2.2.5 Klasifikasi ... 8

2.2.6 Patofisiologi ... 8

2.2.7 Patogenesis ... 9

2.2.8 Manifestasi Klinis ... 10

(8)

v

2.2.9 Alur Diagnosis ... 11

2.2.10 Diagnosis Banding ... 14

2.2.11 Tatalaksana ... 15

2.2.12 Pencegahan ... 18

2.2.13 Prognosis ... 18

2.3 Kernig’s and Brudzinski’s sign ... 18

2.4 Glasgow Coma Scale ... 19

2.5 Status Gizi ... 21

2.5.1 Definisi ... 21

2.5.2 Prevalensi ... 22

2.6 Kerangka Teori... 23

2.7 Kerangka Konsep ... 23

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 24

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

3.3.1 Populasi ... 24

3.3.2 Sampel ... 24

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 25

3.5 Metode Analisa Data ... 25

3.6 Alur Penelitian ... 26

3.7 Definisi Operasional... 27

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 28

4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 28

4.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel... 28

4.2 Pembahasan ... 30

4.1.1 Distribusi berdasarkan jenis kelamin ... 30

4.1.1 Distribusi berdasarkan usia ... 31

(9)

vi

4.1.1 Distribusi berdasarkan tempat tinggal ... 33

4.1.1 Distribusi berdasarkan GCS ... 34

4.1.1 Distribusi berdasarkan status gizi... 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 37

5.2 Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

LAMPIRAN ... 44

(10)

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Anatomi meningeal... 5

2.2 Anatomi meningeal... 6

2.3 Gejala meningitis ... 10

2.4 CT-Scan TBM ... 13

2.5 Kerangka teori ... 23

2.6 Kerangka konsep ... 23

2.7 Alur penelitian ... 26

4.1 Distribusi Frekuensi berdasarkan jenis kelamin ... 31

4.2 Distribusi Frekuensi berdasarkan usia ... 32

4.3 Distribusi Frekuensi berdasarkan tempat tinggal ... 33

4.4 Distribusi Frekuensi berdasarkan GCS... 35

4.5 Distribusi Frekuensi berdasarkan status gizi ... 36

(11)

viii

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Analisis CSS ... 12

2.2 Kategori GCS ... 20

2.3 Respon Menyeringai Anak ... 20

2.4 Kategori IMT ... 21

4.1 Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian ... 29

4.2 Distribusi Frekuensi berdasarkan jenis kelamin ... 30

4.3 Distribusi Frekuensi berdasarkan usia ... 31

4.4 Distribusi Frekuensi berdasarkan tempat tinggal ... 33

4.5 Distribusi Frekuensi berdasarkan GCS... 34

4.6 Distribusi Frekuensi berdasarkan status gizi ... 35

\

(12)

ix

DAFTAR SINGKATAN BCG :bacillus calmette-guerin

BTA : bakteri tahan asam CSS : cairan serebrospinal CT : computed topography FK : fakultas kedokteran GCS : glasgow coma scale

HIV : human immunodeficiency virus IMT : indeks massa tubuh

LCS : liquor cerebrospinal

MRI : magnetic resonance imaging OAT : obat anti-tuberculosis PCR : polymerase chain reaction

RSUPHAM : rumah sakit umum pusat haji adam malik SAH : subarachnoid hemorrhage

SSP : system saraf pusat

TB : mycobacterium tuberculosis TBM : tuberculosis meningitis USU : universitas sumatera utara VPS : ventriculoperitoneal shunt WHO : world health organization

(13)

x

ABSTRAK

Latar Belakang. Tuberculosis meningitis merupakan infeksi leptomeninges yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan infeksi meningitis serius yang biasa ditemukan di negara endemic terhadap tuberculosis. Indonesia berada pada peringkat ke-3 dengan prevalensi TB tertinggi di dunia. Tuberculosis meningitis terjadi sebesar (3,2%) dari kasus komplikasi infeksi primer TB dan (83%) disebabkan karena komplikasi infeksi primer paru setelah HIV. Penyakit tuberculosis meningitis pada penderita tanpa HIV (2%) dan (14%) pada penderita yang teringeksi HIV meningkatkan risiko terjadinya meningitis TB sebanyak (50%). Incidence rates TBM di spesifik umur dari 31,5 per 100.000 (<1tahun) sampai 0,7 per 100.000 (10-14 tahun) di Western Cape, Afrika Selatan. (25%) pasien TB mengalami gizi kurang di seluruh dunia seperti anoreksia, absorpsi nutrisi terganggu, atau peningkatan katabolisme tubuh. Tujuan. Mengetahui karakteristik status gizi pada penderita Tuberkulosis Meningitis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan periode 2015-2018 Metode. Penelitian ini berjenis deskriptif dengan pendekatan cross-sectional dan sampel dikumpulkan melalui data sekunder sebanyak 58 sampel.

Hasil. Dari 58 pasien TB meningitis mayoritas pada laki-laki sebesar 32 orang (55,2%), mayoritas terjadi pada usia 17-30 (24,1%), bertempat tinggal diluar kota medan (74,1%),GCS komposmentis (70,7%), gizi kurang (56,9%). Kesimpulan. Status gizi tertinggi pada penderita TB meningitis adalah status gizi kurang atau malnutrisi.

Kata Kunci : status gizi, meningitis tuberculosis, karakteristik

(14)

xi

ABSTRACT

Background. Tuberculosis meningitis is a leptomeninges infection caused by Mycobacterium tuberculosis and a serious meningitis infection commonly found in endemic countries against tuberculosis. Indonesia is ranked 3rd with the highest TB prevalence in the world. Tuberculosis meningitis occurred (3.2%) of cases of complications of primary TB infection and (83%) was caused by complications of lung primary infection after HIV. Tuberculosis meningitis in patients without HIV (2%) and (14%) in HIV-infected patients increases the risk of TB meningitis by (50%). TBM Incidence rates at specific ages from 31.5 per 100,000 (<1 year) to 0.7 per 100,000 (10-14 years) in Western Cape, South Africa. (25%) TB patients experience malnutrition worldwide such as anorexia, impaired absorption of nutrients, or increased body catabolism. Aim.

Knowing the characteristics of nutritional status in patients with Meningitis Tuberculosis in the Haji Adam Malik General Hospital Medan 2015-2018 period Method. This research was a descriptive type with a cross-sectional approach and samples were collected through secondary data of 58 samples. Results. Of the 58 TB patients with majority meningitis in men (32.2%), the majority occurred at age 17-30 (24.1%), residing outside the Medan city (74.1%), GCS compositions (70 , 7%), malnutrition (56.9%). Conclusion. The highest nutritional status in people with TB meningitis is malnutrition or malnutrition.

Keywords: nutritional status, tuberculosis meningitis, characteristics

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. Pada TB ekstra paru, gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada TB Meningitis, nyeri dada pada TB Pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondylitis TB dan lain-lainnya (Kementrian Kesehatan RI, 2016).

Indonesia sebagai salah satu negara dengan prevalensi TB yang cukup tinggi juga sering ditemukan adanya kasus TB Meningitis. Meningitis merupakan masalah kesehatan terutama dalam bidang kesehatan anak dan sebagian besar terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang karena tingginya angka kematian dan kecacatan. Menurut WHO Tahun 2009, persentase TB Meningitis terjadi sebesar 3,2% dari kasus komplikasi infeksi primer TB dan 83% disebabkan karena komplikasi infeksi primer paru setelah HIV. Penyakit TB Meningitis pada penderita tanpa HIV adalah 2% dan 14%

pada penderita yang terinfeksi HIV yang meningkatkan risiko terjadinya meningitis TB sebanyak 50% (Randa, 2017).

Diperkirakan sebanyak 9.27 juta kasus baru (139/100.000 populasi) di tahun 2007 dan prevalensi kasus adalah 13,7 juta (206/100.000 populasi).

Incidence rates tuberkulosis meningitis di spesifik umur dari 31.5 per 100.000 (<1 tahun) sampai 0,7/100.000 (10-14 tahun) di Western Cape, Afrika Selatan. Mortalitas terhadap TB Meningitis di India diperkirakan sebanyak 1,5/100.000 populasi (Murthy, 2010).

(16)

2

Gizi kurang sering dijumpai pada pasien yang menderita TB. Prevalensi gizi kurang pada pasien TB dewasa tinggi, khususnya negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. 25% pasien TB yang terdokumentasi dalam kasus baru TB mengalami gizi kurang di seluruh dunia. Status nutrisi yang buruk pada pasien TB disebabkan oleh absorpsi nutrisi terganggu, atau peningkatan katabolisme tubuh. Gizi kurang pada pasien TB jika tidak teridentifikasi segera akan menyebabkan permasalahan kesehatan yang lebih serius, seperti peningkatan angka mortalitas (Salsabela et al., 2016).

Ventrikel merupakan tempat diproduksi nya CSS tepatnya oleh sel ependymal, di ventrikel terdapat Blood CSF Barrier sebagai pelindung ventrikel terhadap zat-zat yang bisa masuk ke dalam ventrikel antara lain Glukosa, Oksigen, Ion, Vitamin dan juga bakteri. Bakteri memerlukan Glukosa untuk energi sehingga glukosa yang diperlukan oleh tubuh diambil oleh bakteri dan menyebabkan hipoglikemi dan absorpsi nutrisi terganggu (Lestari et al., 2016).

Berdasarkan kondisi di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Karakteristik Status Gizi Terhadap Penderita TB Meningitis.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah karakteristik status gizi pada penderita TB Meningitis di RSHAM periode ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui karakteristik status gizi pada penderita TB Meningitis di RSHAM periode 2015-2018

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik status gizi terhadap penderita TB Meningitis di RSUP Haji Adam Malik berdasarkan usia.

(17)

2. Mengetahui interpretasi status gizi terhadap penderita TB Meningitis di RSUP Haji Adam Malik berdasarkan jenis kelamin.

3. Mengetahui interpretasi status gizi terhadap penderita TB Meningitis di RSUP Haji Adam Malik berdasarkan tempat tinggal

4. Mengetahui interpretasi status gizi terhadap penderita TB Meningitis di RSUP Haji Adam Malik berdasarkan GCS.

5. Mengetahui interpretasi status gizi terhadap penderita TB Meningitis di RSUP Haji Adam Malik berdasarkan IMT

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat untuk Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan menambah pengalaman dalam menerapkan ilmu yang didapat selama kuliah ke dalam praktik nyata.

1.4.2 Manfaat untuk Mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian yang serupa atau lebih lanjut.

1.4.3 Manfaat untuk Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan juga sebagai sumber pelajaran bagi masyarakat.

(18)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANATOMI MENINGES

Otak dan saraf tulang belakang dikelilingi oleh 3 lapisan meninges.

Lapisan terluar meninges adalah fibrous membrane yang padat, duramater. Di dalam tengkorak kepala, dura membentuk lapisan dalam dari cranial periosteum dan melekat pada tulang. Dibawah foramen magnum, dura dan periosteum terpisah dan dipisah oleh fat-filled ruang epidural. Lapisan tengah meninges, arachnoid bergabung dengan dura oleh lapisan dari fibroblast, lapisan pembatas dural. Lapisan ketiga meninges adalah pia mater yang mengikuti pembuluh darah ke otak dan parenkim saraf tulang belakang dan memproyeksikan ke dalam ventricle untuk membentuk plexus choroideus. Pia mater dan ependymal ventricular menyatu pada foramina Luschka dan Magendie. CSS terkandung pada ruang subarachnoid dan tertutup diantara arachnoid dan pia.

Otak dibungkus oleh meningen. Yang terdiri dari duramater dan lapisan dalamnya leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan piamater (Badrul,. 2018) :

1. Duramater

Lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh darah dan fibrosa ke dalam tulang itu sendiri. Disampaikan oleh (Drake, et al,. 2014) dura mater merupakan lapisan tebal, keras, dan lapisan terluar menutup otak.

(19)

Gambar 2.1 Anatomi meningeal (Gray’s anatomy, 2015)

2. Arachnoidea

Membrana arachnoidea melekat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural.

Menurut (Drake, et al,. 2014) lapisan arachnoid merupakan lapisan tipis, avascular, lapisan dalam dari dura matter.

3. Piamater

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fissura dan sekitar pembuluh darah.

(20)

6

Gambar 2.2 Anatomi meningeal (Gray’s anatomy, 2015)

2.2 TUBERKULOSIS MENINGITIS

2.2.1 Definisi

Penyebab utama dari Tuberkulosis Meningitis adalah Mycobacterium tuberculosis, yang merupakan bakteri utama penyebab tuberculosis paru.

Berproliferasi ke SSP yang menyebabkan infeksi ditempat lain dari bagian tubuh (Bartzatt, et al,. 2011). Meningitis adalah suatu inflamasi pada membran araknoid, piamater, dan cairan serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan subaraknoid disekeliling otak dan medula spinalis serta ventrikel (Pemula and Apriliana, 2016).

TBM merupakan infeksi meningitis serius yang biasanya ditemukan di negara endemic terhadap tuberculosis. Cara satu-satunya untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas adalah dengan diagnosis lebih awal dan pengetahuan terhadap komplikasi untuk pengobatan yang sesuai dan strategis (Murthy, 2010).

(21)

2.2.2 Epidemiologi

Indonesia berada pada peringkat ke-3 dengan prevalensi TB tertinggi di dunia setelah India dan China (Rosandali et al., 2016). Insiden TB Meningitis sebanding dengan TB primer, umumnya bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang. Faktor predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan, cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus (Huldani, 2012).

2.2.3 Etiologi

Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab utama tuberculosis adalah gram-positif,, aerobic, non-spora, non-motilitas, batang pleomorfik yang sering dikaitkan dengan Actinomycetes (Galimi, 2011). Penamaan ini didasarkan pada kemampuan M. tuberculosis untuk mempertahankan ikatan dengan fuschin yang disebabkan oleh tingginya kandungan lipid pada dinding sel. Pewarnaan dengan carbol fushin ini dikembangkan oleh Ziehl dan Neelsen untuk pewarnaan preparat apus M. tuberculosis (Bakhtiar, 2016).

2.2.4 Faktor Risiko

Faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan risiko Meningitis di antaranya adalah status immunocompromised (infeksi human immunodefi ciency virus, kanker, dalam terapi obat imunosupresan, dan splenektomi), trauma tembus kranial, fraktur basis kranium, infeksi telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi, adanya benda asing di dalam sistem saraf pusat (contoh:

ventriculoperitoneal shunt), dan penyakit kronik seperti gagal jantung kongestif, diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan sirosis hepatic (Meisadona et al., 2015).

(22)

8

2.2.5 Klasifikasi

TB Meningitis diklasifikasikan menjadi tiga derajat oleh British Medical Research Council (Pemula and Apriliana, 2016) :

a) Derajat 1 : Ditandai dengan GCS 15 tanpa kelainan neurologis fokal b) Derajat 2 : Ditandai dengan GCS 15 dengan deficit neurologis fokal, atau

GCS 11-14

c) Derajat 3 : Ditandai dengan GCS ≤10.

2.2.6 Patofisiologi

Jalur masuk utama dari M. tuberculosis adalah paru-paru lebih dari 98%

kasus. Selama lesi di paru-paru semakin berkembang, bacilli masuk melalui pembuluh darah dan system limfatik untuk menginfeksi banyak bagian tubuh, paling banyak adalah hati, limpa, pancreas, lymph node, dan meninges (Starke, 2010). Pada dewasa dan remaja kandungan mycobacteria didalam tubuh mungkin tidak menunjukkan suatu gejala dan bisa menyebabkan suatu kondisi laten sampai respon imun mengenali atau reaktifasi imun yang menyebabkan lesi di SSP (Kechagia et al., 2012).

Bakteri tahan asam ini masuk ke dalam tubuh inang melalui droplet inhalasi. Infeksi local di paru menjadi luas dan menyebar secara hematogen ke ekstraparu termasuk system saraf pusat (SSP). Penyebaran hematogen bisa terjadi pada saat awal infeksi sebelum dikendalikan oleh system imun adaptif orang yang terinfeksi TBM. Bakteri basil tersebut berdiam di meningeal atau parenkim otak sebagai hasil dari pembentukan focus subpial atau subependimal kecil dari lesi kaseosa metastatic yang dikenal sebagai Fokus Rich. Focus rich semakin membesar sehingga ruptur atau pecah dan masuk ke dalam ruang subarachnoid dan masuk ke dalam ruang subarachnoid dan menyebabkan meningitis

(Sulistyowati et al., 2017).

(23)

Tahap berikutnya adalah proses rupturnya dari Rich focal dan lepasnya basili ke dalam ruang subarachnoid lalu mengaktivasi proses peradangan T sel dependent granulomatous sebagai respon terhadap berkembangnya tuberculosis meningitis (Kechagia et al., 2012).

2.2.7 Patogenesis

Menurut konsep modern makrofag, limfosit T dan melalui interaksi dari komponen yang memproduksi ɣ-interferon, interleukin 1-β dan tumor nekrosis faktor (Kechagia et al., 2012). Sitokin tumor nekrosis faktor alpha (TNF-α) merupakan neuropathogenesis dari M. tuberculosis (Rock et al., 2008). Secara makroskopik menemukan bukti bahwa perkembangan TBM memiliki 2 tahap.

Yang pertama adalah masuknya bacilli ke tubuh host dengan invasi paru dan regional lymph node menyebar mengarah ke formasi primer kompleks. Tahap selanjutnya, rupturnya Rich focus dan basili tersebar ke ruang subarachnoid memberi T cell dependepent granulomnatosus inflammatory respon terhadap perkembangan TBM (Starke, 2010).

Menurut (Rock et al., 2008) TNF-α berperan sebagai definitive dalam pembentukan dan penahanan granuloma dari infeksi mycobacterial, SSP memproduksi TNF-α dari bacterial meningitis untuk mengubah permeabilitas BBB dan CSS leukositosis.

Reaksi peradangan mungkin dapat merusak saraf, menghentikan sirkulasi CSS, dan thrombus-trombus kecil dari peredaran darah menyebabkan cerebral infark.(Starke, 2010). Obstruksi dari CSS yang menyebabkan hidrosefalus dan vasculitis yang ikut berperan dalam menyebabkan infark dan merusak saraf yang tidak bisa diperbaiki. Penghambatan dari peradangan dan gejala sisa dari TBM dapat dicegah. Meskipun thalidomide yang menghambat TNF-α tidak menunjukan perubahan yang berarti pada anak. Kortikosteroid seperti dexamethasone yang menekan produksi sitokin rperadangan dan kemokin menunjukkan perubahan yang lebih baik dan di rekomendasi kan sebagai terapi

(24)

10

ajuvan pada pasien TBM (Be et al., 2015).

2.2.8 Manifestasi Klinis

Gambar 2.3 Gejala Meningitis meliputi mual, dan muntah, sakit kepala, demam, dan kaku kuduk

Gejala utama meningitis adalah sakit kepala berat, demam tinggi, fotofobia dan perubahan status mental. Tingkat kesadaran pasien dapat berbeda tergantung dari derajat penyakit. Pada kasus yang berat biasanya terjadi penurunan kesadaran. Pemeriksaan neurologis ditemukan kaku kuduk yang dapat disertai dengan tanda Kernig dan Brudzinski. Pemeriksaan funduskopi terkadang memperlihatkan edema papil (Sari and Rosalinda, 2018). Menurut (Ariya, 2012) gejala TBM terdiri dari 3 stadium, yaitu :

1. Stadium I atau stadium prodromal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan Nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah

2. Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak.

Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seleuruh tubuh menjadi

(25)

kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intracranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat.

3. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan yang sebagaimana mestinya.

2.2.9 Alur Diagnosis

Penegakan diagnosis TB Meningitis didasarkan pada karakteristik klinis, seluler laboratorium, mikrobiologi (LCS), dan radiological imaging (Masfiyah et al., 2013). Diagnosis TBM berdasarkan deteksi Bakteri Tahan Asam (BTA) pada apusan LCS (Ersoz et al., 2012).

Lumbar pungsi dilakukan kepada semua pasien yang dicurigai menderita encephalitis yang berhubngan dengan akut meningitis, jika mereka menunjukkan tanda dan gejala terlibatnya cerebral seperti (Jarrin et al., 2016) :

a) Kejang

b) Penurunan kesadaran c) Kebingungan

d) Tanda neurologic focal

Diagnosis pasti TBM dapat ditegakkan setelah dilakukan pungsi lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di SSP (defisit neurologis). BTA dan atau M.tuberculosis terdeteksi menggunakan metode molekular dan atau setelah dilakukan kultur CSS (Huldani, 2012). Pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap CSS tetap menjadi landasan baku emas (Feng et al., 2014). Menurut (Sulistyowati et al., 2017) specimen diteteskan ke kaca objek dan dibuat hapusan direk. Setelah kering di udara, hapusan dilakukan pengecatan dengan Ziehl Neelsen untuk pemeriksaan mikroskopis BTA. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan pada mikroskop cahaya dengan perbesaran lensa objektif 1000x dan minyak imersi. Deteksi BTA positif adalah minimal 1 (satu) BTA pada minimal

(26)

12

100 (seratus) lapangan pandang.

Karakteristik klinik seperti gejala yang lebih lama (>6 hari), CSS pleiocytosis sedang, dan timbulnya focal defisit meningkatkan kemungkinan TBM. Temuan karakteristik terhadap CSS pada TBM meliputi (Marx and Chan, 2011) :

a) Lymphocytic-predominant pleiocytosis. Jumlah sel putih normal diantara 100 dan 500 cells/µL. Pada gejala awal, jumlah lebih rendah dan neutrophil predominan mungkin muncul.

b) Meningkatnya jumlah protein, normal diantara 100 dan 500mg/gL c) Rendahnya kadar glukosa, biasanya kurang dari 45mg/dL atau CSS

: ratio plasma <0,5.

Tabel 2.1 Analisis CSS

Warna Tekanan CSS (mmH2O)

Eritrosit Leukosit Glukosa (mg/dL)

Normal Jernih 70-180 0 0 – 5

limfosit 0 PMN

50-75

Traumatik Darah (+).

Supernatan jernih

Normal

4mg/dL per 5000

RBC

SAH Darah (+).

Supernatan jernih

atau Normal

Meningitis bacterial

Keruh atau purulent

0 Meningiti

TBC

Normal atau purulent

0 Meningitis

Viral

Normal Normal atau

0 Normal

atau

Normal

Meningitis Jamur

Normal atau keruh

Normal atau

0

(27)

(Mehta et al., 2012) mengatakan bahwa deteksi M. tuberculosis pada CSS juga dapat menggunakan PCR yang telah dikembangkan menggunakan IS6110, 65 kDa, 38kDa, devR MPB-64 atau PPE gene target dengan berbagai macam sensitivitas. Sensitivitas menggunakan PCR menjadi lebih baik dibandingkan Computed Topography (CT Scan) sebagai deteksi PCR M. tuberculosis DNA di CSS, sementara CT scan hanya menunjukkan lesi yang patologi. Volume sample CSS berperan sangat penting untuk mencapai hasil PCR yang baik. Pada penelitiannya penderita TBM anak dapat mendeteksi 10 femtogram (fg) dari DNA dan itu setara denan 2-3 tubercle bacilli.

Pemeriksaan radiologi berupa CT scan tidak selalu spesifik menggambarkan adanya kelainan pada TB Meningitis. Gambaran obliterasi sisterna basalis oleh eksudat isodens atau hiperdens ringan sebagai temuan yang paling umum ditemukan. Gambaran yang lebih baik dapat ditemukan dari pemeriksaan MRI, khususnya MRI dengan kontras yang menunjukkan penebalan leptomeningeal dan eksudat sisterna. Manifestasi lainnya yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi TB Meningitis adalah komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu hidrosefalus, vasculitis, infark dan neuropati kranial (Taheri et al., 2014).

Gambar 2.4 CT-Scan TBM, CT kontras pada pasien TBM menunjukkan adanya peningkatan pada sisterna basalis dan meninges dengan dilatasi ventricle (Piyush Ojha, 2015)

(28)

14

GeneXpert MTB/RIF merupakan mesin pendeteksi bakteri Mycobacterium tuberculosis dengan cepat dalam waktu kurang dari 2 jam, mesin ini dapat juga mendeteksi resistenssi obat dari pasien. Pemeriksaan tradisional menggunakan apusan mikroskopi sputum merupakan pemeriksaan yang tidak mahal, cocok untuk laboratorium sederhana, spesifisitas yang tinggi tetapi membutuhkan waktu yang lama. Kultur TB tradisional dan tes resistensi obat membutuhkan waktu berminggu-minggu. Berikut ini adalah mesin pemeriksaan TB dan resistensi obat yaitu (Evans, 2011):

a) MODS b) Griess c) MGIT

d) Thin-layer agar e) Colorimetric assays 2.2.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari TBM adalah fungal meningitis, viral meningoencephalitis, dan noninfeksius seperti CSS, leptomeningeal metastasis, dan sarcoidosis (Starke, 2010).

Jenis fungi yang biasa menyerang meningeal adalah Cryptococcus neoformans, Candida albicans, Histoplasma Capsulatum, Blastomycoses, dan Coccidiodes immitis. Fungal meningitis biasa menyerang pasien yang terkena immunocompromised dan gejalanya mirip meningitis seperti demam, pusing, mual, muntah, kaku kuduk. (Parikh et al., 2013).

Viral meningoencephalitis merupakan suatu kegawat daruratan, encephalitis berarti adanya proses inflamasi pada parenkim otak yang disertai dengan disfungsi otak seperti pusing, kebingungan, disfungsi kognitif (memori akut, berbicara, dan gangguan orientasi), perubahan perilaku, agitasi, perubahan kepribadian, gangguan neurologis focal (anomia, disphasia, hemiparesis) dan kejang (Steiner et al., 2010).

(29)

Tanda dan gejala Leptomeningeal metastasis yang paling sering muncul harus disingkirkan dari manifestasi penyakit parenkim, efek samping kemoterapi atau radiasi untuk pengobatan. Leptomeningeal metastasis juga harus dibedakan dari kronik TBM, infeksi fungal, atau sarcoidosis dan toxic ensefalopati. Menurut (Chamberlain, 2010) Leptomeningeal metastasis menunjukkan gejala yang pleomorfik dengan tanda dan gejala di 3 wilayah :

a) Hemisfer cerebral b) Saraf kranial

c) Sumsum tulang belakang

Meningeal sarcoidosis merupakan multisystem penyakit granuloma yang dapat melibatkan system saraf pusat (SSP) dalam banyak cara, sehingga menyulitkan untuk mendiagnosa (Khoury et al., 2009). Gejala neurologi pada pasien neurosarcoidosis adalah cranial neuropati, aseptic meningitis, lesi yang lebar, ensefalopati, vaskulopati, kejang, hipotalamic-pituitary disorder, hidrosefalus, myelopati, peripheral neuropati dan myopati. Karna etiologi masih belum diketahui maka manifestasi berbeda (Krumholz and Stern, 2014)

2.2.11 Tatalaksana

Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan BTA melalui apusan atau kultur, baik dari sputum, darah, maupun CSS (Kementrian Kesehatan RI, 2016). Hal ini karena pemeriksaan terbaik juga mungkin tidak dapat menemukan basil tuberculosis pada pasien TBM, infeksi HIV, dan anak kecil.

Maka, pada kondisi ini atau pada pasien dimana dicurigai tuberculosis, maka penilaian klinis dapat digunakan untuk memulai terapi empiris sembari menunggu hasil pmeriksaan (TB CARE I, 2014).

a) Farmakologi

TB paru dan ekstra pari ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis

(30)

16

yang sama, yaitu rifampisisn, isoniazid, piraazinamid, etambutol selama 2 bulan fase intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH).

Para ahli merekomendasikan pemberian terapi obat anti tuberculosis pada TBM selama minimal 9 hingga 12 bulan (WHO, 2010). WHO dan PDPI mengklasifikasian TBM ke dalam kategori I terapi tuberculosis. Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus TB Meningitis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. Namun, pada pasien ini diberikan terapi OAT awal berupa RHZES. Penambahan streptomisin merupakan tatalaksana tepat karena tuberculosis dengan kondisi berat atau mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin (Thamrin, 2015).

Pada dewasa, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 5 (4-6) mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari;rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari;pirazinamid 25 (20–30)mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari;etambutol 15 (15–20) mg/kgBB, maksimum 1.600 mg/hari; streptomisin 12-18 mg/kgBB.

Dosis kortikosteroid antara lain deksametason 0,4 mg/kgBB atau prednison 2,5 mg/kgBB (Chin, 2014).

Pada anak, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 10 (7–15) mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari; rifampisin 15 (10–20) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari; pirazinamid 35 (30–40) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari; etambutol 20 (15–25) mg/kgBB, maksimum 1.000 mg/hari. Dosis kortikosteroid antara lain deksametason 0,6mg/kgBB atau prednison 2-4mg/kgBB (Nahid et al., 2016).

Pemberian deksametason intravena (kortikosteroid) pada pasien ini terbukti memperbaiki klinis pasien. Hal ini terlihat pada peningkatan kesadaran pasien setiap harinya. Peran kortikosteroid pada terapi TB Meningitis telah dilaporkan bermanfaat dalam sejumlah penelitian. Angka mortalitas menurun dengan pemberian kortikosteroid intravena. Terapi dengan deksametason atau prednisolon yang di-tappering offselama 6-8 minggu direkomendasikan pada pasien TB Meningitis. Kortikosteroid sebaiknya diberikan intravena pada awalnya

(31)

dan dilanjutkan dengan pemberian per oral sesuai klinis pasien (Nahid et al., 2016).

Respon jaringan terhadap inflamasi pada TB Meningitis adalah eksudat inflamasi mendorong struktur pada bagian dasar otak, nervus dan pembuluh darah di daerah ini. Vaskulopati mempengaruhi sirkulus Willisi, sistem vertebrobasiler, dan cabang kecil dari arteriserebri media menyebabkan infark. Selanjutnya, eksudat di basal menghambat aliran cairan serebrospinal setinggi tentorium menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan hidrosefalus (PR and RV, 2016).

Proses patofisiologi pada TB Meningitis ini yang mendorong penggunaan antiinflamasi kortikosteroid untuk memodifikasi kerusakan jaringan yang terjadi.

Pemberian kortikosteroid dapat menekan respons inflamasi dalam ruang subaraknoid sehingga mengurangirisiko edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Selain itu,pemberian kortikosteroid terbukti memperbaikioutcomedengan penurunan tingkat mortalitas dan keparahan dari komplikasi neurologis. (Beek et al., 2012)

Deksametason dengan dosis 0,6 mg/kg/hari (anak) dan 0,4 mg/kg/hari (dewasa) ekuivalen dengan prednisolon dosis 2-4 mg/kg/hari (anak) dan 2,5 mg/kg/hari (dewasa). Keduanya merupakan kortikosteroid injeksi pilihan untuk diberikan pada kasus TB Meningitis. Durasi pemberian selama 4 minggu dengan tapering2-4 minggu setelahnya (Thwaites et al., 2013).

b) Bedah

Sejak berkembangnya efektifitas dari terapi antituberkulosis, peran dari bedah sebagian besar telah berputar untuk menangani komplikasi yang serius dari efek massa tuberculoma dan draining dari abses otak. Hydrocephalus disangkut pautkan merupakan komplikasi dari basal meningitis dimana aliran dari CSS terblok dari jalur keluarnya pada ventricle keempat dari jalur penyerapannya di

(32)

18

vili arachnoid atau kemungkinan destruksi dari vili arachnoid nya itu sendiri.

Hydrocephalus merupakan komplikasi yang paling parah dari infeksi dari TBM dan dapat ditatalaksana dengan diuretic, osmotic agent, lumbar pungsi, external ventricular drainage, atau VentriculoPeritoneal Shunt (VPS). VPS dan waktu penggunaan pada anak masih kontroversial. Beberapa penelitian menganjurkan melakukan VPS pada waktu awal hydrocephalus, terutama pada grade ringan sampai sedang (grade I/II/III) dan melakukan uji coba drainase eksternal pada kasus dengan tingkat yang sangat buruk (grade IV). Peran dari VPS telah diperiksa pada TBM-terkait hydrocephalus menunjukkan hasil yang sukses dengan kisaran 40 sampai 50% dan komplikasi dari VPS adalah 30% (Rock et al., 2008).

2.2.12 Pencegahan

Vaksinasi terhadap penyakit tuberculosis menggunakan vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) dari galur Mycobacterium bovis yang telah dilemahkan.

BCG efektif mencegah tuberculosis milier, TB paru berat dan TB meningitis pada anak-anak, tetapi tidak untuk TB paru pada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena efek perlindungan vaksin BCG yang diberikan pada saat bayi berlangsung hingga 10 tahun (Rosandali et al., 2016).

2.2.13 Prognosis

Prognosis pada kasus ini adalah dubia ad malam. Prognosis berdasarkan diagnosis pasien saat ini yaitu TBM derajat 3 dengan GCS 10 memiliki risiko kematian yang tinggi (Prado and Dewey, 2014). Mortalitas pada pasien TBM termait dengan hidrosefalus, resistensi obat, gagal terapi, lanjut usia, kejang, penurunan kesadaran, derajat 3 saalt masuk rumah sakit dan infeksi HIV (Lype, et al., 2014).

(33)

2.3 KERNIG’S AND BRUDZINSKI’S SIGN

Tes diagnostik fisik termasuk memeriksa pasien untuk tanda-tanda Kernig dan Brudzinski. Tes Kernig melibatkan upaya untuk meluruskan kaki pasien dari posisi lutut dan pinggul yang tertekuk, dengan rasa sakit pada peregangan pasif yang menunjukkan tanda positif. Tes Brudzinski melibatkan melenturkan kepala pasien yang telentang sambil memeriksa untuk melihat apakah kaki dapat melentur ke atas pinggul (Parikh et al., 2013). Berikut ini adalah cara melakukan Kernig’s Sign dan Brudzinski sign menurut (Ward et al., 2010) :

a) Kernig’s sign

Pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Vladimir Mikhailovich Kernig, pertama sekali adalah posisikan pasien dalam posisi supine dengan pinggul dan lutut dalam keadaan fleksi. Perlahan-lahan lutut pasien diekstensikan jika ditemukan ada rasa nyeri yang melibatkan otot hamstring itu adalah hasil dari radangnya akar saraf sciatic. Tanda Kernig (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135o kaki tidak dapat diekstensikan sempurna disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

b) Brudzinski’s sign I (Brudzinski Leher)

Salah satu tangan pemeriksa diletakkan di dada pasien dan tangan satu lagi dileher pasien. Pasien memfleksikan leher hingga dagu menyentuh dada. Dikatakan (+) jika gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai

c) Brudzinski’s sign II (Brudzinski Kontralateral Tungkai)

Pasien berbaring telentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti pada Kernig). Tanda Brudzinski II (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral (Mehndiratta et al., 2012).

d) Brudzinski’s sign III (Brudzinski Pipi)

Jari pemeriksa menekan kedua pipi pasien dengan perlahan didaerah os zygomaticum jika ditemukan adanya flexi involunter dari lengan bawah dan lengan atas maka dikatakan (+) (Mehndiratta et al., 2012)

(34)

20

e) Brudzinski’s sign IV (Brudzinski Simfisis)

Pemeriksa memberikan tekanan pada simfisis pubis menggunakan kedua ibu jari. Dikatakan (+) jika ada gerakan spontan dari pinggul dan lutut fleksi dan abduksi dari kaki (Ward et al., 2010).

2.4 GLASGOW COMA SCALE

Merupakan skala ukur neurologi yang dikembangkan oleh Universitas Glasgow pada tahun 1974 sebagai metode objektif untuk menentukan derajat kesadaran pasien. Ada 3 area yang dievaluasi (mata, lisan, dan gerakan motoric).

Pasien dengan keadaan sadar akan didapatkan skor 13 atau lebih, pada pasien yang memiliki masalah pada otak dan tampak kebingungan memiliki skor 9-12 dan pasien pada tingkat kesadaran yang parah memiliki skor ≤ 8 (Wright, 2013).

Tabel 2.2 Kategori GCS

Best Response

Adult GCS Pediatric GCS Score

Eye No eye opening No eye opening 1

Eye opening to pain Eye opening to pain 2 Eye opening to verbal

command

Eye opening to speech 3 Eyes open

spontaneously

Eyes open spontaneously 4

Verbal No verbal response No vocal response 1

Incomprehensible sounds

Inconsolable, agitated 2 Inappropriate words Inconsistently consolable,

moaning

3 Confused conversation Cries, but is consolable,

inappropriate interactions

4 Orientated Smiles, oriented to sounds,

follows objects, interacts

5

Motor No motor response No motor response 1

Extension to pain Extension to pain 2

Flexion to pain Flexion to pain 3

Withdrawal from pain Withdrawal from pain 4

Localizing pain Localizing pain 5

Obeys commands Obeys commands 6

(35)

Komunikasi dengan anak atau perawat diperlukan untuk menentukan respons verbal anak tersebut. Sebagai alternatif dari respons verbal, dapat digunakan respons menyeringai (Dewanto et al., 2009).

Tabel 2.3 Respon Menyeringai anak

Respons Menyeringai Skor

Aktivitas spontan fasial/oro motoric yang normal 5

Reaksi spontan normal berkurang atau hanya bereaksi terhadap sentuhan 4

Reaksi menyeringai yang hebat terhadap nyeri 3

Reaksi menyeringai yang ringan terhadap nyeri 2

Tidak ada respons terhadap nyeri 1

2.5 STATUS GIZI

2.5.1 Definisi Status Gizi

Status gizi adalah gambaran keadaan gizi seseorang yang ditentukan berdasarkan perhitungan IMT (Widianti, 2012). Status gizi merupakan keadaan kesehatan yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri (Ali, 2013).

Saat ini terdapat berbagai metode pengukuran antropometri tubuh yang dapat digunakan sebagai screening. Metode tersebut antara lain pengukuran indeks massa tubuh, lingkar pinggang, lingkar panggul, lingkar lengan atas, serta perbandingan lingkar pinggang dan lingkar panggul (Sheila, 2012). IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa diatas umur 18 tahun. Tidak dapat diterapkan pada bayi, ibu hamil, anak remaja, olahragawan (Supariasa, 2012)

(36)

22

Tabel 2.4 Kategori Status Gizi berdasarkan IMT

Status Gizi IMT (kg/m2)

Sangat Kurus < 14,9

Kurus 15,0 – 18,4

Normal 18,5 – 22,9

Massa Tubuh Berlebih 23,0 – 27,4

Obesitas 27,5 – 40,0

Sangat Obesitas >40,0

2.5.2 Prevalensi

Prevalensi malnutrisi cukup tinggi di negara berkembang disebabkan kurangnya aktivitas menyusui dan adanya penyapihan menggunakan susu formula yang diencerkan bagi kelompok usia kurang dari 1 tahun, sedangkan bagi kelompok usia 2 tahun ke atas karena asupan protein dan kalori yang tidak adekuat. Malnutrisi merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan banyak implikasi, seperti gangguan pertumbuhan tulang dan perkembangan otak (Prado and Dewey, 2014).

Kondisi infeksi mengakibatkan penurunan nafsu makan, menginduksi katabolisme dan meningkatkan kebutuhan zat gizi. Malnutrisi rentan terhadap infeksi karena adanya gangguan system imun. Salah satu penyakit infeksi yang sering dikaitkan dengan malnutrisi adalah TB. Pada pasienn TB umumnya ditemukan keadaan anoreksia, malabsorbsi makronutrien dan mikronutrien, serta perubahan metabolism yang menyebabkan terjadinya wasting. Pada sebuah studi kohort di Amerika Serikat menyatakan bahwa 45% pasien TB mengalami penurunan berat badan dan 20% mengalami anoreksia. Peningkatan produksi sitokin yang memiliki aktivitas proteolitik dan lipolitik menyebabkan peningkatan penggunaan energi pada pasien TB. Dengan demikian, malnutrisi merupakan manifestasi klinis yang sering ditemukan pada pasien TB (Batubara et al., 2017).

(37)

2.6 KERANGKA TEORI

Gambar 2.5 Kerangka Teori

2.7 KERANGKA KONSEP

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.6 Kerangka Konsep

M. tuberculosis masuk ke Tubuh

Klasifikasi berdasarkan perhitungan IMT Kondisi

laten

Status Gizi

Status Gizi

Terapi OAT atau Bedah

TB Meningitis

• Anamnesa

• Pemeriksaan fisik

• Pemeriksaan penunjang Menyebar melalui

hematogenous

Bakteri masuk ke CSF

Mengganggu absorbsi Glukosa

Bakteremia endothel vaskular

Meningkatnya adhesi protein terhadap leukosit Kondisi

Aktif

(38)

24

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan menggunakan pendekatan potong lintang (cross-sectional) dimana subjek yang diteliti tidak diberikan perlakuan dan pengambilan data dilakukan dengan sekali pengukuran.

Pengumpulan data didapatkan dari data sekunder yaitu rekam medik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui karakteristik status gizi pada penderita TB Meningitis di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini mengumpulkan data dari tahun Januari 2015 sampai Desember 2018 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien TB Meningitis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Januari 2015 sampai Desember 2018

3.3.2 Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh popilasi.

Metode samplimg pada penelitian ini adalah total sampling, yaitu dengan mengambil selur

uh jumlah populasi pasien TB Meningitis.

(39)

Sampel penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu sebagai berikut :

1. Kriteria inklusi

a. Penderita TB Meningitis di RSUP H. Adam Malik periode 2015- 2018

b. Gejala klinis, analisis LCS, kultur/sediaan apus Gram menunjukkan kecurigaan TBM

2. Kriteria ekslusi

a. Pasien dengan data rekam medik yang tidak lengkap

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekam medis status gizi pasien TB Meningitis di RSUP Haji Adam Malik periode Januari 2015 – Desember 2018. Data-data tersebut dicatat kemudian dikelola untuk hasil penelitian.

3.5 METODE ANALISIS DATA

Data yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan variabel selanjutnya diolah dan dianalisis menggunakan program computer berupa aplikasi statistic. Data selanjutnya akan diolah peneliti dengan proses editing, coding, entry, cleaning dan saving.

a) Editing, dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.

b) Coding, data yang telah terkumpul kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan computer.

c) Semua data yang telah dikumpulkan dicatat, dikelompokkan, dan diolah.

d) Entry, data kemudian dimasukkan kedalam program computer.

(40)

26

Lokasi RSUP Haji Adam Malik

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Mencatat Rekam Medik Pasien

Tuberkulosis Meningitis Pengumpulan

Data

Analisis Data

Kesimpulan

e) Cleaning data, dengan melakukan pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam memasukkan data.

f) Saving, data kemudian disimpan untuk dianalisis menggunakan program Statistical Package for the Social Sciences. Selanjutnya data tersebut ditampilkan dalam bentuk table, diagram, ataupun grafik.

3.6 ALUR PENELITIAN

Gambar 2.7 Alur penelitian

(41)

3.7 DEFINISI OPERASIONAL

1. TB Meningitis adalah suatu infeksi pada leptomeninges berupa arachnoid, piamater.

a. Cara ukur : observasi b. Alat ukur : rekam medis c. Skala ukur : nominal

d. Hasil ukur : Derajat TB Meningitis:

1) Derajat 1 : GCS 15 2) Derajat 2 : GCS 11-14 3) Derajat 3 : GCS ≤10

2. Status gizi adalah gambaran keadaan gizi berdasarkan perhitungan IMT

a. Cara ukur : observasi b. Alat ukur : rekam medis c. Skala ukur : ordinal

d. Hasil ukur : Indeks Massa Tubuh :

1) Sangat Kurus (IMT <14,9kg/m2) 2) Kurus (15,0 – 18,4 kg/m2) 3) Normal (18,5 – 22,9 kg/m2)

4) Massa tubuh berlebih (23,0 – 27,4 kg/m2) 5) Obesitas (27,5 – 40,0 kg/m2)

6) Sangat obesitas (>40,0 kg/m2)

(42)

28 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN

4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no.17 Medan, kelurahan Kemenangan, kecamatan Medan Tuntungan, kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini berdiri sejak 21 Juli 1993 dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/390/2014 tanggal 17 Oktober 2014 ditetapkan sebagai rumah akit rujukan nasional. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan ini juga merupakan jenis rumah sakit umum kelas A dan rumah sakit Pendidikan, sehingga peneliti dapat melakukan penelitian di rumah sakit ini. Penelitian ini dilakukan di sub bagian rekam medis RSUP HAM Medan (Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, 2018).

Pada Juni 2007, RSUP HAM telah berubah status menjadi Badan Layanan Umum (BLU) bertahap dengan tetap mengikuti pengarahan yang diberikan oleh Ditjen Yanmed dan Departemen kewangan untuk perubahan status menjadi BLU penuh.

4.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel.

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder beruoa data rekam medis pasien yang berobat ke RSUP HAM Medan. Penelitian dilakukan dengan metode total sampling, jumlah sempel penelitian ini adalah 58 pasien TBM yang pernah berobat di RSUP Haji Adam Malik Medan dari tahun 2015- 2018. Dibawah ini diuraikan distribusi frekuensi dari sampel penelitian :

(43)

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Sampel Penelitian

Frekuensi (n) Persentase (%) Jenis

Kelamin

Laki- laki 32 55,2

Perempuan 26 44,8

Usia

Bayi (0-1 tahun) 10 17,2

Batita (1-3 tahun) 8 13,8

Balita (3-5 tahun) 1 1,7

Anak-anak (5-12 tahun) 10 17,2

Remaja (12-17 tahun) 2 3,4

Dewasa Muda (17-30 tahun) 14 24,1

Dewasa (30-60 tahun) 13 22,4

Tempat Tinggal

Medan 15 25,9

Luar Kota Medan 43 74,1

GCS

Komposmentis 41 70,7

Apatis 5 8,6

Somnolen 6 10,3

Delirium 5 8,6

Sporo koma 1 1,7

IMT

Sangat Kurus 33 56,9

Kurus 6 10,3

Normal 13 22,4

Pre Obese 3 5,2

Obesitas 3 5,2

Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin, terlihat bahwa mayoritas pasien TBM adalah laki-laki sebanyak 32 (55,2%) sedangkan perempuan sebanyak 26 (44,8%). Usia subjek penelitian sebagian besar pada dewasa muda dengan rentang 17-30 sebanyak 14 (24,1%), selanjutnya dewasa dengan rentang 30-60 tahun sebanyak 13 (22,4%), sedangkan paling sedikit yaitu balita dengan rentang 3-5 tahun sebanyak 1 (1,7%).

Subjek penelitian paling banyak bertempat tinggal di luar kota medan sebanyak 43 (74,1%), sedangkan subjek penelitian bertempat tinggal di medan sebanyak 15 (25,9%). Subjek penelitian dengan GCS komposmentis sebanyak 41 sampel (70,7%), GCS somnolen sebanyak 6 sampel (10,3%), lalu GCS apatis dan delirium dengan jumlah sampel yang sama yaitu 5 (8,6%), sedangkan paling sedikit sporo koma 1 sampel (1,7%).

Pada status gizi berdasarkan IMT didapatkan bahwa mayoritas status gizi pasien TBM adalah sangat kurus sebanyak 33 (56,9%), selanjutnya status gizi

(44)

30

normal sebanyak 13 (22,4%), paling sedikit adalah status gizi pre-obese dan obesitas sebanyak masing-masing 3 sampel (5,2%).

4.2 PEMBAHASAN

4.2.1 Distribusi Penderita TB Meningitis Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki- laki 32 55,2

Perempuan 26 44,8

Total 58 100

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa penderita TB Meningitis dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 32 orang (55,2%) dan penderita TB Meningitis dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 26 orang (44,8%). Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penderita TB Meningitis lebih banyak diderita oleh laki-laki yaitu 32 orang (55,2%) dibandingkan dengan perempuan 26 orang (44,8%). Hal ini sama dengan penelitian (Souza et al., 2014) yang melakukan penelitian di Brazil yang mengakatan bahwa laki-laki memliki risiko lebih tinggi menderita TBM daripada perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki lebih sering menderita malnutrisi, kemiskinan, infeksi, alkoholik, kanker, diabtes dan menderita HIV/AIDS serta menggunakan imunosupresant..

Tetapi penelitian ini tidak sesuai dengan (Forssbohm et al., 2008; Fiske et al., 2010; Ducomble et al., 2013) yang dilakukan di Jerman tentang ekstrapulmonal dan tb meningitis nasional mengatakan bahwa pasien dengan manifestasi ekstrapulmonal lebih sering diderita oleh perempuan dan imigran.

Penelitian pendukung ini dapat dijadikan sebagai referensi pathogenesis TBM berdasarkan jenis kelamin dan etnis dan juga factor resiko berdasarkan jenis kelamin, umur, dan lingkungan tempat tinggal.

(45)

Gambar 4.1 Distribusi frekuensi TBM berdasarkan jenis kelamin

4.2.2 Distribusi Penderita TB Meningitis Berdasarkan Usia

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi berdasarkan Usia

Kategori Usia Frekuensi Persentase (%)

Bayi (0-1 tahun) 10 17,2

Batita (1-3 tahun) 8 13,8

Balita (3-5 tahun) 1 1,7

Anak-anak (5-12 tahun) 10 17,2

Remaja (12-17 tahun) 2 3,4

Dewasa Muda (17-30 tahun) 14 24,1

Dewasa (30-60 tahun) 13 22,4

Total 58 100

Pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penderita TBM berdasarkan usia yaitu bayi berusia angtara 0-1 tahun berjumlah 10 orang (17,2%), batita berusia antara 1-3 tahun berjumlah 8 orang (13,8%), balita berusia antara 3-5 tahun berjumlah 1 orang (1,7%), anak-anak berusia antara 5-12 tahun berjumlah 10 orang (17,2%),

4 10 13 4

7 7 11 2

2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7 2 0 1 8

JENIS KELAMIN

Laki-laki Perempuan

(46)

32

2 4 3 1

2 5 0 00 0 0 11 3 5 1

0 0 2 0

4 2 5 2

1 2 9 1

2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7 2 0 1 8

USIA

Bayi Batita Balita Anak-anak Remaja Dewasa Muda Dewasa

remaja berusia antara 12-17 tahun berjumlah 2 orang (3,4%), dewasa muda berusia antara 17-30 tahun berjumlah 14 orang (24,1%), dewasa berusia antara 30-60 tahun berjumlah 13 orang (22,4%). Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa TBM paling banyak diderita oleh dewasa muda berusia antara 17-30 tahun yaitu 14 orang (24,1%) dan paling sedikit diderita oleh balita berusia antara 3-5 tahun yaitu 1 orang (1,7%).

Hal ini sejalan dengan penelitian (atlas, 2012; Ducomble et al., 2013;

Masfiyah et al., 2013) umur sampel rata-rata berada pada usia produktif dan usia reproduktif 39,59 usia tersebut merupakan suatu kondisi dimana sitem imun berada dalam puncak kematangannya. Ada juga teori yang menyatakan bahwa adanya meningitis TB disebabkan karena kondisi immunocompromised sehingga infeksi menyebar ke organ lain. Keadaan immunocompromised didapatkan pada usia muda maupun geriatri.

Gambar 4.2 Distribusi frekuensi TBM berdasarkan usia

(47)

4.2.3 Distribusi Penderita TB Meningitis Berdasarkan Tempat Tinggal

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi berdasarkan Tempat Tinggal

Tempat Tinggal Frekuensi Persentase (%)

Medan 15 25,9

Luar Kota Medan 43 74,1

Total 58 100

Pada tabel 4.3 dapat disimpulkan bahwa distribusi sampel berdasarkan tempat tinggal tertinggi ada pada kelompok di luar kota Medan sebanyak 43 sampel (74,1%). Hal ini sejalan dengan penelitian (Ramalingam, 2015) 42 penderita meningitis TB dirawat di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2011- 2014. Berdasarkan penelitian (Kartasasmita, 2009) yang mengatakan bahwa dilakukan metode estimasi insidensi TB dan evaluasi TB di komunitas atau di suatu negara dengan menilai ARTI (annual risk of tuberculosis infection) di populasi umum. Jumlah kasus TB baru di indonesia 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Dilakukan penelitian untuk mengetahui angka ARTI di Sumatera Barat dari pemeriksaan tuberkulin didapatkan angka prevalensi infeksi mencapai 8% sehingga didapatkan nilaii ARTI 1%, rata-rata menunjukkan 96 kasus BTA positif TB per 100.000 populasi.

Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 didapatkan prevalensi 12 bulan TB di Indonesia 1%, dengan kisaran 0,3% Lampung sampai 2,5% Papua.

3 3 12 2

8 14 12 4

2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7 2 0 1 8

TEMPAT TINGGAL

Medan Luar Kota Medan

(48)

34

Gambar 4.3 Distribusi frekuensi TBM berdasarkan tempat tinggal

4.2.4 Distribusi Penderita TB Meningitis Berdasarkan GCS

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi berdasarkan GCS

Klasifikasi GCS Frekuensi Persentase (%)

Komposmentis 41 70,7

Apatis 5 8,6

Somnolen 6 10,3

Delirium 5 8,6

Sporo koma 1 1,7

Total 58 100

Dari tabel 5.3 dapat dilihat bahwa GCS paling banyak komposmentis sebanyak 41 sampel (70,7%), GCS somnolen sebanyak 6 sampel (10,3%), lalu GCS apatis dan delirium dengan jumlah sampel yang sama yaitu 5 (8,6%), sedangkan paling sedikit sporo koma 1 sampel (1,7%). Hal ini bertentangan dengan (Chou et al., 2010; RV et al., 2012) yang mengatakan bahwa pasien banyak dating ke rumah sakit dengan keadaan Stage II berdasarkan British Medical Research Council : Stage I (GCS 15), Stage II (GCS 15 dengan deficit neurologis maupun GCS 11-14), Stage III ≤ 10.

Tingkat keparahan dari tampilan klinis TBM berkaitan erat dengan prognosis, banyak factor dan berbagai macam scoring yang telah dikembangkan untuk memprediksi perjalanan penyakit TBM dan untuk mengevaluasi regimen pengobatan. Pasien dengan GCS Stage III memiliki prognosis yang buruk dan tingkat mortalitas yang lebih tinggi. (Gu et al., 2015).

(49)

Gambar 4.4 Distribusi frekuensi TBM berdasarkan GCS

4.2.5 Distribusi Penderita TB Meningitis Berdasarkan Status Gizi

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi berdasarkan Status Gizi

Kategori IMT Frekuensi Persentase (%)

Sangat Kurus 33 56,9

Kurus 6 10,3

Normal 13 22,4

Pre Obese 3 5,2

Obesitas 3 5,2

Total 58 100

Pada tabel 5.5 dapat dilihat bahwa status gizi berdasarkan IMT didapatkan bahwa mayoritas status gizi pasien TBM adalah sangat kurus sebanyak 33 (56,9%), selanjutnya status gizi normal sebanyak 13 (22,4%), paling sedikit adalah status gizi pre-obese dan obesitas sebanyak masing-masing 3 sampel (5,2%).

Hal ini sejalan dengan penelitian (Singh and Sunggoro, 2015) yang dilaksanakan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, sebanyak 50 pasien TB berat memiliki indeks massa tubuh (IMT) kurang dari 18,5 kg/m2. Penelitian lain yang dilakukan oleh Karyadi, dkk. dan penelitian lain di Brazil menunjukkan hasil

6 12 18 4,5

0 2 1 23 1 1 01 3 1 00 0 0 1

2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7 2 0 1 8

GCS

Komposmentis Apatis Somnolen Delirium Sporo koma

(50)

36

serupa, yakni 63,7% pasien TB memiliki IMT kurang dari 18,5 kg/m2. Hubungan antara malnutrisi dengan TB telah diketahui sejak lama. Malnutrisi dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi TB dan sebaliknya, TB juga sering menyebabkan malnutrisi.

Gambar 4.5 Distribusi frekuensi TBM berdasarkan status gizi

5 13 12 4

1 1 1 0

3 3 6 11 0 2 11 0 2 0

2 0 1 5 2 0 1 6 2 0 1 7 2 0 1 8

STATUS GIZI

Sangat Kurus Kurus Normal Preobesitas Obesitas

(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai karakteristik status gizi penderita tb meningitis di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2015-2018, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Penderita TB meningitis paling banyak di derita oleh laki-laki yaitu berjumlah 32 orang (55,2%) sedangkan perempuan berjumlah 26 orang (44,8%)

2. Penderita TB meningitis paling banyak diderita oleh dewasa muda berusia antara 17 sampai dengan 30 tahun yaitu berjumlah 14 orang (24,1%), diikuti dengan dewasa (30-60 tahun) berjumlah 13 orang (22,4%), anak- anak (5-12 tahun) berjumlah 10 orang (17,2%), bayi (0-1 tahun) berjumlah 10 orang (17,2%), batita (1-3 tahun) berjumlah 8 orang (13,8%), remaja (12-17 tahun) berjumlah 2 orang (3,4%), balita (3-5 tahun) berjumlah 1 orang (1,7%).

3. Penderita TB meningitis paling banyak dari luar kota medan yaitu berjumlah 43 orang (74,1%) sedangkan yang berasal dari kota medan 15 orang (25,1%).

4. Penderita TB meningitis paling banyak dengan GCS komposmentis yaitu berjumlah 41 orang (70,7%), diikuti dengan somnolen berjumlah 6 orang (10,3%), delirium dan apatis masing-masing berjumlah 5 orang (8,6%), yang paling sedikit adalah sporo koma berjumlah 1 orang (1,7%).

5. Penderita TB meningitis paling banyak dengan status gizi sangat kurus yaitu berjumlah 33 orang (56,9%), diikuti dengan normal berjumlah 13 orang (22,4%), status gizi kurus berjumlah 6 orang (10,3%), yang paling sedikit adalah pre obese dan obesitas masing-masing berjumlah 3 orang (5,2%).

(52)

38

5.2 SARAN

1. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan untuk memperluas pengetahuan tentang TB meningitis deperti pemeriksaan untuk menegakkan diagnose, penanganan TB meningitis, serta komplikasi dan prognosis yang lebih jelas.

2. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini lebih lanjut dengan mrngambil sampel yang lebih besar, atau dengan melakukan perbandingan dengan karakteristik populasi dari rumah sakit lain (penelitian multicentre).

3. Bagi RSUP Haji Adam Malik Medan dapat meningkatkan kualitas status rekam medis, terutama informasi mengenai jenis dan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasien.

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi meningeal (Gray’s anatomy, 2015)
Gambar 2.2 Anatomi meningeal (Gray’s anatomy, 2015)
Gambar 2.3 Gejala Meningitis meliputi mual, dan muntah, sakit kepala, demam, dan kaku  kuduk
Tabel 2.1 Analisis CSS
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Persiapan Kegiatan diawali dari penyusunan Renja yang dibuat pada

UNIT TAYANAN PENGADAAN {UtP} KABUPATEN KTATEN POK'A PENGADAAN PEKERJMN KONSTRUKSI -

Jawab Pokja ULP untuk mengoreksi aritmatik berpedoman pada IIPS yaitu volume harus sesuai dan Pokja ULP tidak merubah harga satuan penawaran melainkan merubah

Ayo belajar (tepuk tangan 3 kali) Bila kau ingin cerdas.. Bila kau ingin pintar Ayo

[r]

FOTO MAKET STUDI PERANCANGAN HOTEL.. Universitas