• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan diagnosis TB Meningitis didasarkan pada karakteristik klinis, seluler laboratorium, mikrobiologi (LCS), dan radiological imaging (Masfiyah et al., 2013). Diagnosis TBM berdasarkan deteksi Bakteri Tahan Asam (BTA) pada apusan LCS (Ersoz et al., 2012).

Lumbar pungsi dilakukan kepada semua pasien yang dicurigai menderita encephalitis yang berhubngan dengan akut meningitis, jika mereka menunjukkan tanda dan gejala terlibatnya cerebral seperti (Jarrin et al., 2016) :

a) Kejang

b) Penurunan kesadaran c) Kebingungan

d) Tanda neurologic focal

Diagnosis pasti TBM dapat ditegakkan setelah dilakukan pungsi lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di SSP (defisit neurologis). BTA dan atau M.tuberculosis terdeteksi menggunakan metode molekular dan atau setelah dilakukan kultur CSS (Huldani, 2012). Pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap CSS tetap menjadi landasan baku emas (Feng et al., 2014). Menurut (Sulistyowati et al., 2017) specimen diteteskan ke kaca objek dan dibuat hapusan direk. Setelah kering di udara, hapusan dilakukan pengecatan dengan Ziehl Neelsen untuk pemeriksaan mikroskopis BTA. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan pada mikroskop cahaya dengan perbesaran lensa objektif 1000x dan minyak imersi. Deteksi BTA positif adalah minimal 1 (satu) BTA pada minimal

12

100 (seratus) lapangan pandang.

Karakteristik klinik seperti gejala yang lebih lama (>6 hari), CSS pleiocytosis sedang, dan timbulnya focal defisit meningkatkan kemungkinan TBM. Temuan karakteristik terhadap CSS pada TBM meliputi (Marx and Chan, 2011) :

a) Lymphocytic-predominant pleiocytosis. Jumlah sel putih normal diantara 100 dan 500 cells/µL. Pada gejala awal, jumlah lebih rendah dan neutrophil predominan mungkin muncul.

b) Meningkatnya jumlah protein, normal diantara 100 dan 500mg/gL c) Rendahnya kadar glukosa, biasanya kurang dari 45mg/dL atau CSS

: ratio plasma <0,5.

Tabel 2.1 Analisis CSS

Warna Tekanan CSS (mmH2O)

Eritrosit Leukosit Glukosa (mg/dL)

(Mehta et al., 2012) mengatakan bahwa deteksi M. tuberculosis pada CSS juga dapat menggunakan PCR yang telah dikembangkan menggunakan IS6110, 65 kDa, 38kDa, devR MPB-64 atau PPE gene target dengan berbagai macam sensitivitas. Sensitivitas menggunakan PCR menjadi lebih baik dibandingkan Computed Topography (CT Scan) sebagai deteksi PCR M. tuberculosis DNA di CSS, sementara CT scan hanya menunjukkan lesi yang patologi. Volume sample CSS berperan sangat penting untuk mencapai hasil PCR yang baik. Pada penelitiannya penderita TBM anak dapat mendeteksi 10 femtogram (fg) dari DNA dan itu setara denan 2-3 tubercle bacilli.

Pemeriksaan radiologi berupa CT scan tidak selalu spesifik menggambarkan adanya kelainan pada TB Meningitis. Gambaran obliterasi sisterna basalis oleh eksudat isodens atau hiperdens ringan sebagai temuan yang paling umum ditemukan. Gambaran yang lebih baik dapat ditemukan dari pemeriksaan MRI, khususnya MRI dengan kontras yang menunjukkan penebalan leptomeningeal dan eksudat sisterna. Manifestasi lainnya yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi TB Meningitis adalah komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu hidrosefalus, vasculitis, infark dan neuropati kranial (Taheri et al., 2014).

Gambar 2.4 CT-Scan TBM, CT kontras pada pasien TBM menunjukkan adanya peningkatan pada sisterna basalis dan meninges dengan dilatasi ventricle (Piyush Ojha, 2015)

14

GeneXpert MTB/RIF merupakan mesin pendeteksi bakteri Mycobacterium tuberculosis dengan cepat dalam waktu kurang dari 2 jam, mesin ini dapat juga mendeteksi resistenssi obat dari pasien. Pemeriksaan tradisional menggunakan apusan mikroskopi sputum merupakan pemeriksaan yang tidak mahal, cocok untuk laboratorium sederhana, spesifisitas yang tinggi tetapi membutuhkan waktu yang lama. Kultur TB tradisional dan tes resistensi obat membutuhkan waktu berminggu-minggu. Berikut ini adalah mesin pemeriksaan TB dan resistensi obat yaitu (Evans, 2011):

Diagnosis banding dari TBM adalah fungal meningitis, viral meningoencephalitis, dan noninfeksius seperti CSS, leptomeningeal metastasis, dan sarcoidosis (Starke, 2010).

Jenis fungi yang biasa menyerang meningeal adalah Cryptococcus neoformans, Candida albicans, Histoplasma Capsulatum, Blastomycoses, dan Coccidiodes immitis. Fungal meningitis biasa menyerang pasien yang terkena immunocompromised dan gejalanya mirip meningitis seperti demam, pusing, mual, muntah, kaku kuduk. (Parikh et al., 2013).

Viral meningoencephalitis merupakan suatu kegawat daruratan, encephalitis berarti adanya proses inflamasi pada parenkim otak yang disertai dengan disfungsi otak seperti pusing, kebingungan, disfungsi kognitif (memori akut, berbicara, dan gangguan orientasi), perubahan perilaku, agitasi, perubahan kepribadian, gangguan neurologis focal (anomia, disphasia, hemiparesis) dan kejang (Steiner et al., 2010).

Tanda dan gejala Leptomeningeal metastasis yang paling sering muncul harus disingkirkan dari manifestasi penyakit parenkim, efek samping kemoterapi atau radiasi untuk pengobatan. Leptomeningeal metastasis juga harus dibedakan dari kronik TBM, infeksi fungal, atau sarcoidosis dan toxic ensefalopati. Menurut (Chamberlain, 2010) Leptomeningeal metastasis menunjukkan gejala yang pleomorfik dengan tanda dan gejala di 3 wilayah :

a) Hemisfer cerebral b) Saraf kranial

c) Sumsum tulang belakang

Meningeal sarcoidosis merupakan multisystem penyakit granuloma yang dapat melibatkan system saraf pusat (SSP) dalam banyak cara, sehingga menyulitkan untuk mendiagnosa (Khoury et al., 2009). Gejala neurologi pada pasien neurosarcoidosis adalah cranial neuropati, aseptic meningitis, lesi yang lebar, ensefalopati, vaskulopati, kejang, hipotalamic-pituitary disorder, hidrosefalus, myelopati, peripheral neuropati dan myopati. Karna etiologi masih belum diketahui maka manifestasi berbeda (Krumholz and Stern, 2014)

2.2.11 Tatalaksana

Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan BTA melalui apusan atau kultur, baik dari sputum, darah, maupun CSS (Kementrian Kesehatan RI, 2016). Hal ini karena pemeriksaan terbaik juga mungkin tidak dapat menemukan basil tuberculosis pada pasien TBM, infeksi HIV, dan anak kecil.

Maka, pada kondisi ini atau pada pasien dimana dicurigai tuberculosis, maka penilaian klinis dapat digunakan untuk memulai terapi empiris sembari menunggu hasil pmeriksaan (TB CARE I, 2014).

a) Farmakologi

TB paru dan ekstra pari ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis

16

yang sama, yaitu rifampisisn, isoniazid, piraazinamid, etambutol selama 2 bulan fase intensif dan rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH).

Para ahli merekomendasikan pemberian terapi obat anti tuberculosis pada TBM selama minimal 9 hingga 12 bulan (WHO, 2010). WHO dan PDPI mengklasifikasian TBM ke dalam kategori I terapi tuberculosis. Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus TB Meningitis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. Namun, pada pasien ini diberikan terapi OAT awal berupa RHZES. Penambahan streptomisin merupakan tatalaksana tepat karena tuberculosis dengan kondisi berat atau mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin (Thamrin, 2015).

Pada dewasa, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 5 (4-6) mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari;rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari;pirazinamid 25 (20–30)mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari;etambutol 15 (15–20) mg/kgBB, maksimum 1.600 mg/hari; streptomisin 12-18 mg/kgBB.

Dosis kortikosteroid antara lain deksametason 0,4 mg/kgBB atau prednison 2,5 mg/kgBB (Chin, 2014).

Pada anak, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 10 (7–15) mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari; rifampisin 15 (10–20) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari; pirazinamid 35 (30–40) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari; etambutol 20 (15–25) mg/kgBB, maksimum 1.000 mg/hari. Dosis kortikosteroid antara lain deksametason 0,6mg/kgBB atau prednison 2-4mg/kgBB (Nahid et al., 2016).

Pemberian deksametason intravena (kortikosteroid) pada pasien ini terbukti memperbaiki klinis pasien. Hal ini terlihat pada peningkatan kesadaran pasien setiap harinya. Peran kortikosteroid pada terapi TB Meningitis telah dilaporkan bermanfaat dalam sejumlah penelitian. Angka mortalitas menurun dengan pemberian kortikosteroid intravena. Terapi dengan deksametason atau prednisolon yang di-tappering offselama 6-8 minggu direkomendasikan pada pasien TB Meningitis. Kortikosteroid sebaiknya diberikan intravena pada awalnya

dan dilanjutkan dengan pemberian per oral sesuai klinis pasien (Nahid et al., 2016).

Respon jaringan terhadap inflamasi pada TB Meningitis adalah eksudat inflamasi mendorong struktur pada bagian dasar otak, nervus dan pembuluh darah di daerah ini. Vaskulopati mempengaruhi sirkulus Willisi, sistem vertebrobasiler, dan cabang kecil dari arteriserebri media menyebabkan infark. Selanjutnya, eksudat di basal menghambat aliran cairan serebrospinal setinggi tentorium menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan hidrosefalus (PR and RV, 2016).

Proses patofisiologi pada TB Meningitis ini yang mendorong penggunaan antiinflamasi kortikosteroid untuk memodifikasi kerusakan jaringan yang terjadi.

Pemberian kortikosteroid dapat menekan respons inflamasi dalam ruang subaraknoid sehingga mengurangirisiko edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Selain itu,pemberian kortikosteroid terbukti memperbaikioutcomedengan penurunan tingkat mortalitas dan keparahan dari komplikasi neurologis. (Beek et al., 2012)

Deksametason dengan dosis 0,6 mg/kg/hari (anak) dan 0,4 mg/kg/hari (dewasa) ekuivalen dengan prednisolon dosis 2-4 mg/kg/hari (anak) dan 2,5 mg/kg/hari (dewasa). Keduanya merupakan kortikosteroid injeksi pilihan untuk diberikan pada kasus TB Meningitis. Durasi pemberian selama 4 minggu dengan tapering2-4 minggu setelahnya (Thwaites et al., 2013).

b) Bedah

Sejak berkembangnya efektifitas dari terapi antituberkulosis, peran dari bedah sebagian besar telah berputar untuk menangani komplikasi yang serius dari efek massa tuberculoma dan draining dari abses otak. Hydrocephalus disangkut pautkan merupakan komplikasi dari basal meningitis dimana aliran dari CSS terblok dari jalur keluarnya pada ventricle keempat dari jalur penyerapannya di

18

vili arachnoid atau kemungkinan destruksi dari vili arachnoid nya itu sendiri.

Hydrocephalus merupakan komplikasi yang paling parah dari infeksi dari TBM dan dapat ditatalaksana dengan diuretic, osmotic agent, lumbar pungsi, external ventricular drainage, atau VentriculoPeritoneal Shunt (VPS). VPS dan waktu penggunaan pada anak masih kontroversial. Beberapa penelitian menganjurkan melakukan VPS pada waktu awal hydrocephalus, terutama pada grade ringan sampai sedang (grade I/II/III) dan melakukan uji coba drainase eksternal pada kasus dengan tingkat yang sangat buruk (grade IV). Peran dari VPS telah diperiksa pada TBM-terkait hydrocephalus menunjukkan hasil yang sukses dengan kisaran 40 sampai 50% dan komplikasi dari VPS adalah 30% (Rock et al., 2008).

2.2.12 Pencegahan

Vaksinasi terhadap penyakit tuberculosis menggunakan vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) dari galur Mycobacterium bovis yang telah dilemahkan.

BCG efektif mencegah tuberculosis milier, TB paru berat dan TB meningitis pada anak-anak, tetapi tidak untuk TB paru pada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena efek perlindungan vaksin BCG yang diberikan pada saat bayi berlangsung hingga 10 tahun (Rosandali et al., 2016).

2.2.13 Prognosis

Prognosis pada kasus ini adalah dubia ad malam. Prognosis berdasarkan diagnosis pasien saat ini yaitu TBM derajat 3 dengan GCS 10 memiliki risiko kematian yang tinggi (Prado and Dewey, 2014). Mortalitas pada pasien TBM termait dengan hidrosefalus, resistensi obat, gagal terapi, lanjut usia, kejang, penurunan kesadaran, derajat 3 saalt masuk rumah sakit dan infeksi HIV (Lype, et al., 2014).

Dokumen terkait