• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2. Pembahasan

Hasil korelasi antara data curah hujan observasi dengan data TRMM memperlihatkan dimana nilai koefisien korelasi (r) bervariasi untuk setiap stasiun observasi. Perbedaan nilai koefisien korelasi tersebut dikarenakan perbedaaan topografi lokasi stasiun dan juga perbedaan musim yang terjadi didaerah tersebut baik maju atau mundurnya musim yang berjalan. Dari 4 (empat) stasiun utama yang dipergunakan, memperlihatkan curah hujan harian dari stasiun observasi di wilayah pantai Timur memiliki korelasi yang signifikan di bandingkan dengan stasiun di wilayah lainnya. Korelasi terendah antara data curah hujan harian stasiun observasi dan satelit TRMM berada di stasiun yang berada di wilayah pegunungan.

Pola dinamika cuaca dan iklim di Sumatera Utara sangat beragam. Letak geografis Sumatera Utara sangat unik dimana diapit oleh dua perairan yaitu: Selat Malaka dan Samudera Hindia serta dilalui pegunungan bukit barisan yang membentang dari utara hingga selatan. Faktor lokal ini yang sangat berpengaruh terhadap pola dinamika cuaca propinsi Sumatera Utara. Pola distribusi curah hujan di Sumatera Utara sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dan topografi yang ada sehingga menyebabkan variasi iklim di Sumatera Utara sulit diidentifikasi. Selain faktor lokal, ada beberapa faktor regional dan global yang juga mempengaruhi keadaan klimatologis di Sumatera Utara. Salah satu faktor regional yang berpengaruh yaitu Angin Musim (Angin Monsun). Angin musim berubah arah setiap enam bulan sekali dimana Sumatera Utara dipengaruhi oleh monsun dingin dari Asia

dan Monsun panas dari Australia (Tjasyono, 2006). Selain Angin Musim, terdapat juga Madden Julian Oscilation (MJO). Fenomena ini digambarkan dengan konveksi yang sangat kuat dimulai dari equator lautan Hindia yang bergerak kearah timur Indonesia dengan periodesitas 15 - 45 harian. MJO sangat berpengaruh terhadap fluktuasi hujan di Sumatera bagian utara, Nangroe Aceh Darussalam dan sebagian Indonesia.

Faktor global juga berpengaruh pada kondisi klimatologis Sumatera Utara misalnya El-Nino Southern Oscillation (ENSO). Southern Oscillation Index (SOI) merupakan indeks perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin. Nilai SOI tersebut yang dijadikan dasar mengidentifikasi gangguan ENSO yang terjadi di Indonesia baik fenomena El-Nino atau La-Nina (Tjasyono, 2006). Adapun El-Nino adalah sebuah fenomena ENSO berupa terjadinya kekeringan yang panjang di kawasan Australia dan sebagian Asia tengah. Sebaliknya, La-Nina adalah adalah fenomena cuaca berupa terjadinya hujan lebat yang berkepanjangan di kawasan Indonesia dan sebagian Asia tengah. Selain ENSO, faktor global yang berpengaruh pada klimatologis Sumatera Utara yaitu Dipole Mode Index (DMI). DMI adalah gejala cuaca yang ditandai adanya perbedaan suhu muka laut antara perairan barat/barat daya Samudera Hindia dengan perairan Afrika Timur. DMI (+) mengindikasikan adanya aliran massa uap air dari Indonesia ke Afrika Timur sehingga menambah suplai curah hujan di wilayah Sumatera Bagian Barat dan sebaliknya.

Rendahnya tingkat verifikasi antara satelit TRMM dan Curah Hujan observasi sangat dipengaruhi oleh kualitas dari banyaknya energi panas latent yang dideteksi oleh sensor satelit TRMM sebagai dasar estimasi curah hujan oleh satelit TRMM (NASA,2012). Salah satu faktor yang berpengaruh kualitas estimasi curah hujan oleh satelit TRMM yaitu pengaruh dari gangguan atmosfer seperti awan dan kabut (NASA, 2012). Sebagai mana diketahui, pola pegunugan Bukit Barisan bersifat sebagai penghalang (barrier) terhadap aliran udara yang berasal dari sebelah barat ataupun sebelah timur Sumatera Utara. Faktor regional seperti MJO dan DMI, menyebabkan pembentukan awan dominan terjadi di pantai barat Sumatera Utara dan di wilayah pegunungan Sumatera Utara. Hal tersebut memicu banyaknya kondensasi awan terpusat pada daerah pantai barat dan pegunungan Sumatera Utara. Pola Hujan Orografis merupakan pola hujan yang paling umum terjadi di daerah Sumatra Utara akibat adanya pegunungan Bukit Barisan (Harjupa, 2012).

Hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air yang bergerak horisontal dimana angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin sehingga terjadi kondensasi dan berakibat terjadinya hujan di sekitar pegunungan (Tjasyono, 2006). Sebagai akibatnya, maka banyak energi latent yang terhalang sampai ke sensor satelit TRMM sehingga mempengaruhi kualitas estimasi curah hujan oleh satelit TRMM.

Grafik perbandingan nilai koefisien korelasi (r) antara 4 (empat) stasiun utama memperlihatkan sebuah pola dimana korelasi antara data curah hujan harian observasi dan satelit TRMM akan mengalami trend positif (menguat) pada bulan-bulan basah (Maret, April, Mei; Agustus hingga Desember) dan sebaliknya korelasi antara data curah hujan harian stasiun observasi dan satelit TRMM akan mengalami trend negatif (melemah) pada bulan-bulan kering ataupun bulan peralihan musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya (Januari, Februari dan Juni, Juli). As-Syakur et al (2011) menjelaskan dimana pada bulan-bulan kering (musim kemarau), sensor satelit TRMM lebih cenderung melakukan estimasi hujan (overestimate) sehingga terjadi perbedaan data (bias) yang lebih tinggi antara curah hujan harian observasi dengan hasil estimasi satelit TRMM pada bulan-bulan musim kemarau.

Grafik Curah Hujan Bulanan rata-rata berdasarkan satelit TRMM tahun 2009 – 2012 dari 4 (empat) stasiun utama memperlihatkan dimana bulan-bulan peralihan terjadi pada bulan Januari, Februari dan Juni, Juli (Gambar 4.55). Hal ini signifikan terhadap pola korelasi antara data satelit TRMM dan data observasi pada Gambar 4.1

dimana korelasi rendah berada pada bulan-bulan kering tersebut (As-Syakur et al, 2011). Sebaliknya curah hujan bulanan rata-rata lebih tinggi pada bulan Maret, April, Mei; Agustus hingga Desember yang kita sebut sebagai bulan basah. Dan korelasi tinggi juga terjadi pada bulan-bulan basah tersebut sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.60. Grafik Curah Hujan Bulanan Rata-Rata Berdasarkan Satelit TRMM Tahun 2009 – 2012

Dari Persamaan regressi linear yang dihasilkan untuk setiap stasiun utama tersebut kemudian dihitung estimasi curah hujan harian dengan basis data yaitu data curah hujan satelit TRMM. Hasil estimasi curah hujan harian telah dipakai sebagai dasar perhitungan KBDI tahun 2010 s.d. 2012. Berdasarkan peta KBDI dari Januari 2010 hingga Desember 2012, terlihat bahwa untuk Propinsi Sumatra Utara, nilai KBDI tinggi secara umum terjadi pada bulan Februari dan Juni. Namun, nilai KBDI tinggi juga selalu terlihat pada bulan Januari, Maret, April, Mei, Juli dan Agustus. Nilai KBDI tinggi artinya berkorelasi dengan tingginya resiko kebakaran hutan di

wilayah tersebut. Dengan nilai KBDI tinggi mengindikasikan bahwa tanah di wilayah tersebut dalam keadaan kering dan mudah terbakar oleh adanya percikan api. Wilayah yang dominan memiliki nilai KBDI tinggi yaitu Kabupaten Mandailing Natal, Padang Lawas dan Padang Lawas Utara.

Apabila dibandingkan Curah Hujan Bulanan rata-rata berdasarkan satelit TRMM, maka terlihat pola bahwa peristiwa titik panas banyak terlihat pada puncak kemarau yaitu Februari dan Juni. Namun sulit membuktikan penyebab terjadinya titik panas tersebut secara langsung karena titik panas tersebut belum tentu berkorelasi positif pada kebakaran hutan/lahan (Heryalianto, 2006). Dari pola titik panas yang dominan terjadi pada musim kemarau mengindikasikan dua kemungkinan yaitu :

1. Terjadinya kebakaran hutan/lahan secara alami dipicu oleh kondisi tanah dan lahan yang kering.

2. Pihak-pihak tertentu sengaja melakukan pembakaran hutan/lahan pada bulan-bulan tersebut mengingat kondisi klimatologis yang mendukung (banyaknya hari tanpa hujan).

Untuk mengetahui akurasi dari estimasi curah hujan harian berdasarkan data satelit TRMM maka telah dilakukan validasi menggunakan data hotspot dari satelit Aqua/Terra. Data hotspot yang digunakan telah difiltering sehingga semua data hotspot yang digunakan memiliki tingkat kepercayaan pada kriteria : “Tinggi” (Confidence level > 80 %). Dari hasil validasi menggunakan data hotspot

memperlihatkan bahwa sebanyak 66 % hotspot terjadi di atas wilayah yang memiliki KBDI tinggi. Ketika sebuah wilayah memiliki nilai KBDI tinggi maka artinya wilayah tersebut memang rawan terhadap bencana kebakaran hutan. Hal ini sangat sesuai dengan fakta bahwa hampir keseluruhan titik hotspot berada pada KBDI dengan nilai tinggi. Selain itu, hasil overlay data hotspot per bulan pada bula Agustus 2010 dan Juli 2011 juga memperlihatkan dimana hampir keseluruhan titik hotspot berada pada wilayah dengan nilai KBDI tinggi. Meskipun koefisien korelasi (r) dari tiap stasiun observasi per bulan masih rendah, namun terbukti bahwa hasil perhitungan KBDI menggunakan data curah hujan harian satelit TRMM dapat digunakan sebagai alternatif perhitungan daerah rawan kebakaran hutan di Indonesia.

Dokumen terkait