• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

5.2.1. Hubungan Antara Luas Infark Miokard Tipe STEMI dengan Kadar Troponin T

Dari hasil penelitian (Tabel 5.1) diketahui bahwa mayoritas sampel penderita infark miokard adalah laki-laki (88.4%) dan kemudian diikuti oleh wanita (11.6%). Menurut Anand (2008), kadar lipid yang abnormal, kebiasaan merokok, obesitas di daerah abdomen, diet beresiko tinggi, dan stres merupakan beberapa faktor resiko untuk menderita infark miokard, baik pada laki-laki maupun wanita. Menurut Santoso (2005), wanita lebih kebal terhadap penyakit infark miokard karena adanya faktor perlindungan estrogen.

Dari hasil penelitian (Tabel 5.2) sampel yang paling banyak menderita infark miokard adalah sampel dalam rentang usia 50-59 tahun (32.6%). Hal ini didukung oleh Fenton (2009) yang menyatakan bahwa insidens tertinggi kejadian infark miokard berada pada rentang usia kurang dari 70 tahun. Faktor resiko dan proses aterosklerosis yang sudah berlangsung lama baru memberikan gambaran klinis setelah beberapa tahun. Namun terdapat 4 orang sampel (9.3%) yang telah mengalami infark miokard di usia 30-39 tahun. Hal ini mungkin dipengaruhi genetik, faktor resiko dan gaya hidup yang kurang baik yang telah diterapkan oleh pasien selama bertahun-tahun.

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 5.3) sebanyak 36 (83.7%) orang mengalami infark miokard tipe STEMI dan 7 (16.3%) orang mengalami infark miokard tipe Non STEMI. STEMI disebabkan oleh oklusi pembuluh darah mendadak. Kondisi injury ditandai dengan elevasi segmen ST sedangkan infark ditandai dengan kemunculan gelombang Q pada rekaman EKG.

Pada Non STEMI oklusi pembuluh darah bersifat subtotal. Perubahan kondisi sel miokard dari iskemia menjadi infark berlangsung lambat, karena sebagian darah masih dapat mengalir dan memberi perfusi walaupun dalam level rendah. Menurut Ramrakha (2006), unstable angina dan Non STEMI memiliki tampilan yang mirip dalam hal manifestasi klinis, patogenesis dan pengobatan, tetapi berbeda dalam keparahan penyakit dan hadirnya enzim pertanda nekrosis miokard. Menurut Gomersall (2010), gejala klinis Non STEMI berupa sindroma klinis chest pain akut akibat iskemia, yang berkurang ketika istirahat atau lambat laun meningkat saat melakukan usaha. Keadaan biasanya tidak definitif menunjukkan infark, dan berkembang setelah beberapa jam hingga hari. Bahkan sebagian pasien tidak mengalami nyeri dada, terkadang keluhan berupa rasa tidak nyaman di leher, lengan, telinga, rahang dan epigastrium (Fenton, 2009). Pasien biasanya tidak datang mencari dokter jika gejala klinis penyakit belum berat atau mengganggu kenyamanan pasien pada tingkat tertentu. Pasien Non STEMI tanpa gejala klinis yang berat mungkin tidak datang ke rumah sakit, hal ini mungkin berpengaruh terhadap jumlah pasien Non STEMI yang lebih sedikit daripada STEMI. Hal ini sejalan dengan Montalescot et al (2007) yang menyatakan waktu

median antara onset simptom dengan kedatangan pasien di rumah sakit adalah lebih cepat pada pasien STEMI dibandingkan Non STEMI (4 jam vs 6 jam).

Proses disfungsi endotel diawali dengan pembentukan sel busa dan fatty streak di pembuluh darah. Pertumbuhannya dipengaruhi oleh akumulasi lipid yang beredar dan kemudian terlibat dalam proses inisiasi. Kejadian ini berlangsung dimulai dari dekade pertama kehidupan hingga dekade kedua. Di dekade ketiga, mulai terbentuk intermediate lesion. Perlahan-lahan lesi diinvasi dan permukaannya ditutupi oleh otot polos dan serat kolagen yang berasal dari tunika media, sehingga terbentuk fibrous cap. Penebalan ini meninggi, menyembul ke arah dalam lumen pembuluh darah, dengan kata lain menurunkan ukuran diameter pembuluh darah. Fibrous cap berkembang menjadi ateroma dan proses ini terus berlangsung hingga mencapai dekade keempat. Dimulai dari dekade keempat, lumen menyempit secara progresif karena pembesaran ateroma. Selain itu, ateroma mengalami komplikasi, dimana dapat terjadi degenerasi, perdarahan, luka, kalsifikasi atau ruptur mendadak, yang mengakibatkan inti nekrotik keluar sehingga pembuluh darah oklusi. Permukaan ateroma yang kasar (oleh karena ruptur) juga mempermudah trombosit untuk menempel, beragregasi, dan mengawali proses trombosis (Bonetti, 2003 dan Price, 2006).

Infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI) terjadi ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner (Antman, 2005). Setelah oklusi, miokard jantung mengalami kerusakan melalui berbagai tahap, yaitu iskemia, injury dan infark. Ketika aliran darah menuju miokard menurun, sel-sel berhenti menghasilkan ATP melalui jalur glikolisis aerob. ATP diproduksi melalui jalur metabolisme anaerob, dimana asam laktat akan menumpuk di jaringan. Dua menit pasca oklusi, miokard mengalami penurunan kontraktilitas. Bila dalam waktu 40 menit tidak dilakukan reperfusi untuk memperbaiki oksigenasi jaringan, maka produksi ATP menurun hingga 10% dari keadaan normal dan miokard masuk ke tahap injury. Gambaran EKG miokard yang iskemia berupa depresi segmen ST atau inversi gelombang T. Di tahap injury, sel- sel mengalami deplesi ATP, defek permeabilitas membran, dan defek sintesis protein akibat kerusakan mitokondria. Ion Ca2+ masuk berlebihan sehingga

mengganggu hemostasis Ca2+. Selain itu tejadi akumulasi oxygen-derived free radicals. Akibatnya miokard mulai rusak, tidak dapat berkontraksi dan menghantarkan impuls dengan benar. Namun injury dapat bersifat reversible, dimana jika dilakukan reoksigenasi maka keadaan sel dapat kembali normal. Jika tidak dilakukan reoksigenasi, injury miokard menjadi irreversible. Membran sel akan rusak secara ekstensif, lisosom membengkak, dan mitrokondria akan mengalami vakuolisasi. Sel kehilangan protein, koenzim esensial, dan asam ribonukleat. Gambaran EKG miokard yang injury ditandai dengan elevasi segmen ST dan peninggian gelombang T. Tiga puluh menit setelah oklusi arteri koroner, miokard masuk ke tahap infark. Di tahap ini, miokard rusak secara irreversible. Gambaran EKG miokard yang infark ditandai dengan munculnya gelombang Q, inversi gelombang T dan segmen ST kembali isoelektris (Kumar, 2005).

Pasien infark miokard biasanya mengalami nyeri dada dengan gambaran elevasi segmen ST pada EKG (Ramrakha, 2006). Peneliti ingin melihat apakah terdapat hubungan antara luas infark miokard dengan kadar troponin T. Dalam penelitian ini, luas infark ditentukan dengan 2 cara, yaitu berdasarkan jumlah lead dan area yang menunjukkan infark.

Pada infark miokard STEMI, peneliti ingin melihat dimana lokasi infark yang paling banyak dialami oleh pasien. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 5.4), lokasi infark yang paling sering dialami pasien adalah anterior ekstensif sebanyak 12 orang (33.3%). Lokasi infark berada di anterior ekstensif jika ditemukan elevasi ST segmen atau gelombang Q di lead V1 sampai V6. Hasil ini agak berbeda dengan hasil penelitian Lorente (2002) yang menyatakan bahwa infark yang paling banyak dialami pasien berlokasi di bagian anterior.

Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 5.1. dan Tabel 5.5.) dapat dilihat bahwa tidak terdapat adanya korelasi antara jumlah lead infark yang ditandai dengan elevasi segmen ST dengan kadar troponin T pada pasien infark miokard tipe STEMI. Peningkatan jumlah lead dengan elevasi segmen ST tidak selalu sejalan dengan peningkatan kadar troponin T. Hal yang serupa juga terjadi pada hasil penelitian ini tentang korelasi area infark dengan kadar troponin T (Gambar 5.2. dan Tabel 5.6.). Tidak terdapat korelasi antara area infark dengan kadar

troponin T pada infark miokard tipe STEMI. Area infark miokard dilihat dari lokasi infark. Lokasi infark anterior, inferior, dan lateral diartikan sebagai 1 daerah infark. Lokasi infark antero-septal, antero-lateral, infero-lateral dan infero- septal diartikan sebagai 2 daerah infark. Lokasi infark anterior ekstensif diartikan sebagai 3 daerah infark. Pemberian nilai ini ditetapkan oleh peneliti.

Pada dasarnya EKG merupakan alat diagnostik yang cukup sensitif, murah dan mudah dioperasikan sehingga sangat efisien untuk digunakan dalam penegakan awal diagnosis infark miokard. EKG merekam aktivitas jantung dari

12 lead (dari lokasi yang berbeda) pada saat yang bersamaan. Saat kejadian

infark, lead EKG yang posisinya paling dekat dengan lokasi infark merekam dengan jelas perubahan aktivitas jantung, yang kemudian tergambar pada kertas rekaman EKG. Lead EKG yang posisinya bukan di daerah infark, mendeteksi aktivitas miokard normal atau mendeteksi daerah di sekitar infark sebagai daerah yang iskemia. Oleh sebab itu, sebenarnya EKG dapat mengestimasi luas miokard yang infark, tapi tidak dapat benar-benar menggambarkan secara spesifik.

Kondisi pasien ketika masuk beragam, ada yang baru saja mengalami serangan infark, ada yang telah beberapa jam telah mengalami infark (> 12 atau 15 jam). Perbedaan waktu pertama kali pasien datang ke rumah sakit tentu berpengaruh terhadap perluasan infark dan gambaran EKG. Jika lembaran EKG yang dibaca adalah EKG pertama yang dilakukan pada saat pasien masuk ke rumah sakit, maka derajat keparahan infark akan berbeda-beda. Dengan kata lain, dalam penelitian ini tidak didapatkan EKG pasien yang berada pada derajat keparahan yang seragam. Selain itu beberapa pasien merupakan pasien yang telah berulang kali mengalami serangan infark, dimana kondisi ini ditandai dengan gelombang Q positif pada gambaran EKG. Hal ini akan berpengaruh terhadap pembacaan EKG dan berkontribusi pada kesalahan dalam menentukan luas infark miokard yang akut.

Pelepasan troponin T mulai terjadi 3-4 jam setelah jejas infark dan secara bertahap mencapai puncaknya pada 12-24 jam setelah onset (Samsu, 2007) atau pada hari ketiga (Ramrakha, 2006), dimana saat itu seluruh troponin T keluar dari seluruh daerah miokard yang infark. Pada rekam medik, tidak ada pencatatan

waktu onset nyeri dada yang terjadi dan waktu antara onset nyeri dada dengan pemeriksaan troponin T pertama kali. Pada penelitian ini, waktu pemeriksaan troponin T diperiksa beragam, sebagian diperiksa pada hari yang sama dengan saat pasien masuk, sebagian lagi diperiksa pada hari berbeda. Pemeriksaan kadar troponin T sebelum hari ketiga memberikan hasil bias, karena sebenarnya kadar troponin T mungkin masih akan meningkat. Pada penelitian ini, pengambilan data antara EKG dan kadar troponin tidak paralel, dimana pemeriksaan EKG tidak dilaksanakan pada saat yang sama dengan pemeriksaan kadar troponin T. Hal inilah yang menyebabkan tidak terdapatnya korelasi luas infark dengan kadar troponin T. Bias lain yang mungkin terjadi adalah penelitian retrospektif dimana terdapat ketidakseragaman penulisan rekam medik dan waktu pengambilan data.

5.2.2. Hubungan Antara Luas Infark Miokard Tipe Non STEMI dan Kadar Troponin T

Pada infark tipe Non STEMI tidak ditemukan elevasi segmen ST, sehingga tidak bisa ditentukan lokasi infark. Hal ini tidak memungkinkan penilaian luas infark berdasarkan lokasi infark. Oleh sebab itu hanya dilihat hubungan antara luas infark miokard berdasarkan perubahan gambaran lead EKG dengan kadar troponin T. Penentuan lead yang mengalami infark dilihat dari adanya depresi segmen ST ≥ 2 mm dan inversi gelombang T.

Infark miokard tipe Non STEMI disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang subtotal. Hal ini mengakibatkan sebagian miokard masih mendapatkan oksigenasi, sehingga gambaran EKG menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami iskemia. Pada keadaan ini, sebenarnya perlu dilakukan pemeriksaan EKG dan kadar troponin T serial untuk memantau apakah kondisi miokard membaik atau memburuk ke arah iskemia.

Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 5.3 dan Tabel 5.7) tidak tampak adanya hubungan jumlah lead yang menandakan infark dengan kadar troponin T. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah lead yang infark yang tidak selalu sejalan dengan peningkatan kadar troponin T.

Hal ini mungkin disebabkan oleh pemeriksaan EKG dan kadar troponin T tidak dilakukan pada saat yang sama dan secara serial. Pada penelitian ini, lembaran EKG yang digunakan adalah EKG pada saat pasien pertama kali masuk, sedangkan kadar troponin T yang digunakan adalah hasil pemeriksaan pada hari pertama atau kedua. Sementara itu troponin T belum mencapai kadar puncak sebelum hari ketiga. Hal ini dapat memberikan bias. Sementara itu pengambilan dua data pada hari yang berbeda juga dapat menimbulkan bias.

Dokumen terkait