• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Luas Infark Miokard Berdasarkan Hasil EKG dengan Kadar Troponin T pada Penderita Infark Miokard Akut STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008 - 31 Desember 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Luas Infark Miokard Berdasarkan Hasil EKG dengan Kadar Troponin T pada Penderita Infark Miokard Akut STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008 - 31 Desember 2009"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA LUAS INFARK MIOKARD BERDASARKAN HASIL EKG DENGAN KADAR TROPONIN T

PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT STEMI DAN NON STEMI DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN DARI

01 JANUARI 2008–31 DESEMBER 2009

Oleh :

YASMINE F. SIREGAR NIM: 070100168

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN ANTARA LUAS INFARK MIOKARD

BERDASARKAN HASIL EKG DENGAN KADAR TROPONIN T PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT STEMI DAN

NON STEMI DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN DARI 01 JANUARI 2008–31 DESEMBER 2009

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran

Oleh :

YASMINE F. SIREGAR NIM: 070100168

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian: Hubungan Antara Luas Infark Miokard Berdasarkan Hasil EKG dengan Kadar Troponin T pada Penderita Infark Miokard Akut STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008 - 31 Desember 2009.

Nama : YASMINE F. SIREGAR

NIM : 070100168

Pembimbing Penguji

(dr. Mutiara Indah Sari, M. Kes) (dr. Nuraiza Meutia, M. Biomed) NIP: 19731015 200112 2 002 NIP: 19730911 200102 2 001

(dr. Nurfida Khairina A, M. Kes) NIP: 19700819 199903 2 001

Medan, 14 Desember 2010 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung. Diagnosis infark miokard ditegakkan jika diperoleh 2 dari 3 kriteria, yaitu nyeri dada, pemeriksaan EKG dan peningkatan pertanda biokimia. Berdasarkan pemeriksaan EKG, infark miokard dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan tanpa elevasi segmen ST (Non STEMI). Lokasi dan luas infark dapat ditentukan dari rekaman EKG. Selain itu kadar troponin T pada 96 jam setelah onset infark juga berguna dalam memperkirakan luas daerah infark. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara luas infark miokard berdasarkan hasil EKG dengan kadar troponin T pada penderita infark miokard akut STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009.

Desain penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain studi cross-sectional. Subjek penelitian adalah seluruh pasien rawat inap yang didiagnosis dengan infark miokard akut di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009, yang jumlahnya diketahui dari rekam medik sebesar 149 orang. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dijadikan sampel penelitian, yaitu sebanyak 43 orang. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca dan menginterpretasikan hasil EKG serta melihat hasil pemeriksaan kadar troponin T dari rekam medik. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17. Uji analitik yang digunakan adalah korelasi Pearson.

Dari penelitian diperoleh sebanyak 38 (88.4%) orang laki-laki dan 5 (11.6%) orang perempuan menderita infark miokard. Penderita infark miokard paling banyak berada pada usia 50-59 tahun, yaitu sebanyak 14 (32.6%) orang pasien. Infark miokard paling sering ditemukan adalah tipe STEMI, sebesar 36 orang (83.7%) pasien; dengan lokasi infark paling banyak adalah anterior ekstensif pada 12 orang (33,3%) pasien. Dari hasil analisis data untuk infark miokard tipe STEMI, tidak ditemukan hubungan antara luas infark miokard berdasarkan hasil EKG dengan kadar troponin T, baik dilihat dari jumlah lead yang menandakan infark maupun dari area infark. Hasil analisis data untuk infark miokard tipe Non STEMI juga tidak menunjukkan hubungan antara luas infark miokard berdasarkan hasil EKG dengan kadar troponin T, dimana luas infark dilihat dari jumlah lead yang menandakan infark.

Jadi pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara luas infark miokard berdasarkan hasil EKG dengan kadar troponin T pada penderita infark miokard akut STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009.

(5)

ABSTRACT

Myocardial infarction is rapid development of myocardial necrosis caused by a critical imbalance between oxygen supply and demand of the myocardium. The diagnosis of myocardial infarction is built upon the findings of 2 out of 3 criterias, such as chest discomfort, ECG (electrocardiogram), and biochemical markers of cardiac injury. Based on the ECG, myocardial infarction is divided into 2 groups, as ST elevation myocardial infarction (STEMI) and Non ST elevation myocardial infarction (Non STEMI). Location and area of infarction can be determined from ECG. In additon, troponin T level at 96 hours after onset of infarction is useful for estimating the infarct size. The aim of this study is to explore the relationship between infarct size based on the ECG changes and level of circulating troponin T in acute STEMI and Non STEMI patients admitted to RSUP H. Adam Malik Medan from January 1st 2008-December 31st 2009.

This study used cross-sectional, analytic design. The subjects of this study were hospitalized patients diagnosed with acute myocardial infarction in RSUP H. Adam Malik Medan from January 1st 2008-December 31st 2009 obtained from medical records, for the total number of 149 patients. Forty three subjects complied with inclusion criterias were included in samples. The study was performed by collecting, reading and interpreting the ECG and level of troponin T written on the medical records. The datas were then analyzed using SPSS 17 program. Pearson Correlation was used as the analytic test.

The study result revealed 38 (88.4%) men and 5 (11.6 %) women were suffering from myocardial infarction. Most patients suffered on the age of 50-59 years old, for the total number of 14 (32.6 %) patients. STEMI was the most common type of myocardial infarction discovered in 36 (83.7%) patients, mostly located on the anterior extensinve part in 12 (33.3%) patients. The infarct size based on the ECG changes in STEMI patiences showed no correlation with circulating troponin T level, whether analyzed from the total infarcted lead or from infarcted area. The infarct size based on the ECG changes in Non STEMI patients also showed no correlation with circulating troponin T level, analyzed from the total infarcted lead.

Overall study result concludes no correlation is occured between infarct size based on the ECG changes and level of circulating troponin T in acute STEMI and Non STEMI patients admitted to RSUP H. Adam Malik Medan from January 1st 2008-December 31st 2009.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Hubungan Antara Luas Infark Miokard Berdasarkan Hasil EKG dengan Kadar Troponin T pada Penderita Infark Miokard Akut STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu dr. Mutiara Indah Sari, M. Kes selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan masukan kepada penulis, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Seluruh staf RSUP H. Adam Malik Medan yang telah membantu administrasi perizinan untuk melakukan penelitian dan pengambilan data di bagian rekam medik.

4. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(7)

6. Terima kasih kepada Yunny Safitri yang sejak awal telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

7. Terima kasih kepada seluruh sepupu dan keluarga besar saya yang selalu memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang.

8. Seluruh sahabat dan teman-teman stambuk 2007, terima kasih atas dukungan dan bantuannya.

Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materil yang telah diberikan kepada penulis selama ini, penulis ucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT memberikan imbalan pahala yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, November 2010 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN... iii

ABSTRAK... iv

ABSTRACT... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.3.1. Tujuan Umum... 3

1.3.2. Tujuan Khusus... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1. Infark Miokard... 5

2.1.1. Definisi... 5

2.1.2. Etiologi dan Faktor Resiko... 6

2.1.3. Patologi... 9

2.1.4. Gejala Klinis... 11

2.1.5. Diagnosis... 12

2.2. EKG sebagai Penegakan Diagnosis Infark Miokard... 13

(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERSIONAL... 18

3.1. Kerangkan Konsep Penelitian... 18

3.2. Kerangka Teori... 19

3.3. Definisi Operasional... 20

3.4. Hipotesis... 21

BAB 4 METODE PENELITIAN... 22

4.1. Jenis Penelitian... 22

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian... 22

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian... 23

4.4. Metode Pengumpulan Data... 23

4.5. Metode Analisis Data... 24

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 25

5.1. Hasil Penelitian... 25

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian.... 25

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel... 25

5.1.3. Hubungan Antara Luas Infark Miokard Tipe STEMI dan Kadar Troponin T... 28

5.1.4. Hubungan Antara Luas Infark Miokard Tipe Non STEMI dan Kadar Troponin T... 30

5.2. Pembahasan ... 31

5.2.1. Hubungan Antara Luas Infark Miokard Tipe STEMI dengan Kadar Troponin T... 31

(10)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 38

6.1. Kesimpulan... 38

6.2. Saran... 38

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman Tabel 5.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin 26

Tabel 5.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur 26

Tabel 5.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Tipe Infark Miokard 27

Tabel 5.4. Distribusi Sampel Berdasarkan Lokasi Infark pada

Infark Miokard Tipe STEMI 28

Tabel 5.5. Korelasi Jumlah Lead Infark yang Dinilai Berdasarkan Elevasi Segmen ST dengan Kadar Troponin T pada

Pasien Infark Tipe STEMI 29

Tabel 5.6. Korelasi Area Infark dengan Kadar Troponin T pada

Pasien Infark Tipe STEMI 30

Tabel. 5.7. Korelasi Jumlah Lead Infark yang Dinilai Berdasarkan Depresi Segmen ST dan Inversi Gelombang T dengan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar 2.1. Anatomi Arteri Koroner Jantung... 6

Gambar 2.2. Kompleks Troponin, Tropomiosin, Aktin dan

Miosin... 16

Gambar 5.1. Grafik Korelasi Jumlah Lead Infark yang Dinilai berdasarkan Elevasi Segmen ST Dengan Kadar

Troponin T pada Pasien Infark Miokard tipe STEMI... 29

Gambar 5.2. Grafik Korelasi Area Infark Dengan Kadar Troponin T pada Pasien Infark Miokard tipe STEMI... 30

Gambar 5.3. Grafik Korelasi Jumlah Lead Infark yang Dinilai berdasarkan Depresi Segmen ST dan Inversi

Gelombang T Dengan Kadar Troponin T pada Pasien

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2. Tabel Pengamatan

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian

Lampiran 4. Ethical Clearance

(14)

ABSTRAK

Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung. Diagnosis infark miokard ditegakkan jika diperoleh 2 dari 3 kriteria, yaitu nyeri dada, pemeriksaan EKG dan peningkatan pertanda biokimia. Berdasarkan pemeriksaan EKG, infark miokard dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan tanpa elevasi segmen ST (Non STEMI). Lokasi dan luas infark dapat ditentukan dari rekaman EKG. Selain itu kadar troponin T pada 96 jam setelah onset infark juga berguna dalam memperkirakan luas daerah infark. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara luas infark miokard berdasarkan hasil EKG dengan kadar troponin T pada penderita infark miokard akut STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009.

Desain penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain studi cross-sectional. Subjek penelitian adalah seluruh pasien rawat inap yang didiagnosis dengan infark miokard akut di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009, yang jumlahnya diketahui dari rekam medik sebesar 149 orang. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dijadikan sampel penelitian, yaitu sebanyak 43 orang. Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca dan menginterpretasikan hasil EKG serta melihat hasil pemeriksaan kadar troponin T dari rekam medik. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 17. Uji analitik yang digunakan adalah korelasi Pearson.

Dari penelitian diperoleh sebanyak 38 (88.4%) orang laki-laki dan 5 (11.6%) orang perempuan menderita infark miokard. Penderita infark miokard paling banyak berada pada usia 50-59 tahun, yaitu sebanyak 14 (32.6%) orang pasien. Infark miokard paling sering ditemukan adalah tipe STEMI, sebesar 36 orang (83.7%) pasien; dengan lokasi infark paling banyak adalah anterior ekstensif pada 12 orang (33,3%) pasien. Dari hasil analisis data untuk infark miokard tipe STEMI, tidak ditemukan hubungan antara luas infark miokard berdasarkan hasil EKG dengan kadar troponin T, baik dilihat dari jumlah lead yang menandakan infark maupun dari area infark. Hasil analisis data untuk infark miokard tipe Non STEMI juga tidak menunjukkan hubungan antara luas infark miokard berdasarkan hasil EKG dengan kadar troponin T, dimana luas infark dilihat dari jumlah lead yang menandakan infark.

Jadi pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara luas infark miokard berdasarkan hasil EKG dengan kadar troponin T pada penderita infark miokard akut STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009.

(15)

ABSTRACT

Myocardial infarction is rapid development of myocardial necrosis caused by a critical imbalance between oxygen supply and demand of the myocardium. The diagnosis of myocardial infarction is built upon the findings of 2 out of 3 criterias, such as chest discomfort, ECG (electrocardiogram), and biochemical markers of cardiac injury. Based on the ECG, myocardial infarction is divided into 2 groups, as ST elevation myocardial infarction (STEMI) and Non ST elevation myocardial infarction (Non STEMI). Location and area of infarction can be determined from ECG. In additon, troponin T level at 96 hours after onset of infarction is useful for estimating the infarct size. The aim of this study is to explore the relationship between infarct size based on the ECG changes and level of circulating troponin T in acute STEMI and Non STEMI patients admitted to RSUP H. Adam Malik Medan from January 1st 2008-December 31st 2009.

This study used cross-sectional, analytic design. The subjects of this study were hospitalized patients diagnosed with acute myocardial infarction in RSUP H. Adam Malik Medan from January 1st 2008-December 31st 2009 obtained from medical records, for the total number of 149 patients. Forty three subjects complied with inclusion criterias were included in samples. The study was performed by collecting, reading and interpreting the ECG and level of troponin T written on the medical records. The datas were then analyzed using SPSS 17 program. Pearson Correlation was used as the analytic test.

The study result revealed 38 (88.4%) men and 5 (11.6 %) women were suffering from myocardial infarction. Most patients suffered on the age of 50-59 years old, for the total number of 14 (32.6 %) patients. STEMI was the most common type of myocardial infarction discovered in 36 (83.7%) patients, mostly located on the anterior extensinve part in 12 (33.3%) patients. The infarct size based on the ECG changes in STEMI patiences showed no correlation with circulating troponin T level, whether analyzed from the total infarcted lead or from infarcted area. The infarct size based on the ECG changes in Non STEMI patients also showed no correlation with circulating troponin T level, analyzed from the total infarcted lead.

Overall study result concludes no correlation is occured between infarct size based on the ECG changes and level of circulating troponin T in acute STEMI and Non STEMI patients admitted to RSUP H. Adam Malik Medan from January 1st 2008-December 31st 2009.

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sindroma koroner akut (SKA) adalah istilah yang digunakan untuk kumpulan simptom yang muncul akibat iskemia miokard akut. SKA yang terjadi akibat infark otot jantung disebut infark miokard. Termasuk di dalam SKA adalah unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi segmen ST (Non STEMI), dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI) (Ramrakha, 2006).

Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Fenton, 2009). Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral (Irmalita, 1996).

(17)

Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG) dan peningkatan pertanda biokimia. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tak ada hubungan dengan aktifitas atau latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi segmen ST dan inversi gelombang T (Irmalita, 1996). Pada nekrosis otot jantung, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik (Patel, 1999). Protein-protein intraseluler ini meliput i

aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase

isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT) (Samsu, 2007). Peningkatan kadar serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard (Nigam, 2007).

Elektrokardiogram (EKG) merupakan metode pemeriksaan noninvasif yang mudah didapatkan untuk menegakkan diagnosis infark miokard akut (Chung, 2007). EKG membantu menegakkan diagnosis sebelum peningkatan enzim kerusakan jantung terdeteksi. Lokasi dan luas infark dapat ditentukan dari rekaman EKG berupa elevasi segmen ST, gelombang T dan munculnya gelombang Q pada standar limb lead dan precordial lead. Dengan metode EKG, infark miokard akut terbagi menjadi 2 grup mayor, yaitu infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan tanpa elevasi segmen ST (Non STEMI). STEMI adalah sindoma koroner akut dimana pasien mengalami ketidaknyamanan pada dada dengan gambaran elevasi segmen ST pada EKG. Non STEMI adalah sindroma koroner akut dimana pasien mengalami ketidaknyamanan dada yang berhubungan dengan non elevasi segmen ST iskemik yang transien atau permanen pada EKG (Ramrakha, 2006).

(18)

miokard. Kadar cTnT mencapai puncak 12-24 jam setelah jejas (Samsu, 2007). Peningkatan terus terjadi selama 7-14 hari (Ramrakha, 2006). cTnT meningkat kira-kira 4-5 kali lebih lama daripada CKMB. cTnT membutuhkan waktu 5-15 hari untuk kembali normal (Samsu, 2007).

Penelitian oleh Remppis (2000) menyebutkan bahwa kadar cTnT pada waktu 96 jam berguna dalam memperkirakan luas infark miokard. Pernyataan ini didukung oleh Bøhmer (2009) yang menyatakan bahwa kadar cTnT yang diperiksa pada hari ketiga setelah onset infark miokard STEMI dapat memprediksi ukuran akhir infark miokard. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara luas infark miokard dengan kadar troponin T.

1.2. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara luas infark miokard berdasarkan hasil EKG dengan kadar troponin T pada penderita infark miokard akut STEMI dan Non STEMI?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk melihat hubungan antara luas infark miokard berdasarkan hasil EKG dengan kadar troponin T pada penderita infark miokard akut STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat jumlah populasi pasien infark miokard akut STEMI dan Non STEMI.

2. Untuk melihat gambaran EKG pada penderita infark miokard akut STEMI dan Non STEMI.

(19)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Memberi informasi kepada bidang pendidikan, khususnya bidang kedokteran, mengenai hubungan luas infark miokard yang ditunjukkan dari hasil EKG dengan kadar troponin T pada penderita infark miokard akut.

2. Memberi informasi mengenai infark miokard kepada unit pelayanan kesehatan khususnya pihak RSUP H. Adam Malik Medan.

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infark Miokard 2.1.1. Definisi

Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena trombus atau embolus (Dorland, 2002). Iskemia terjadi oleh karena obstruksi, kompresi, ruptur karena trauma dan vasokonstriksi. Obstruksi pembuluh darah dapat disebabkan oleh embolus, trombus atau plak aterosklerosis. Kompresi secara mekanik dapat disebabkan oleh tumor, volvulus atau hernia. Ruptur karena trauma disebabkan oleh aterosklerosis dan vaskulitis. Vaskokonstriksi pembuluh darah dapat disebabkan obat-obatan seperti kokain (Wikipedia, 2010).

Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005).

(21)

Gambar 2.1. Anatomi arteri koroner jantung Dikutip dari NewYork-Presbyterian Hospital

2.1.2. Etiologi dan Faktor Resiko

Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain:

1. Infark miokard tipe 1

Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.

2. Infark miokard tipe 2

Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan aliran darah miokard.

3. Infark miokard tipe 3

(22)

4. a. Infark miokard tipe 4a

Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.

b. Infark miokard tipe 4b

Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis. 5. Infark miokard tipe 5

Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.

Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik (Santoso, 2005). Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik (Ramrakha, 2006).

Menurut Anand (2008), wanita mengalami kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena adanya efek perlindungan estrogen (Santoso, 2005).

(23)

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia (Brown, 2006).

Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar 50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok (Ramrakha, 2006). Menurut Ismail (2004), penggunaan tembakau berhubungan dengan kejadian miokard infark akut prematur di daerah Asia Selatan.

Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006).

Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko terkena aterosklerosis (Ramrakha, 2006).

(24)

2.1.3. Patologi

Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi (Ramrakha, 2006).

Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Ramrakha, 2006).

Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri (Price, 2006).

(25)

keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya (Selwyn, 2005).

Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi (Selwyn, 2005).

Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard (Selwyn, 2005).

Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat (Antman, 2005).

Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Kalim, 2001).

(26)

jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda (Selwyn, 2005).

2.1.4. Gejala Klinis

Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin (Irmalita, 1996). Angina pektoris adalah “jeritan” otot jantung yang merupakan rasa sakit pada dada akibat kekurangan pasokan oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher dan punggung. Faktor pencetus yang menyebabkan angina adalah kegiatan fisik, emosi berlebihan dan terkadang sesudah makan. Hal ini karena kegiatan tersebut mencetuskan peningkatan kebutuhan oksigen. Namun, sakit dada juga sering timbul ketika pasien sedang beristirahat (Hanafiah, 1996).

Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas. Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin (Antman, 2005).

Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat (Irmalita, 1996). Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan

stroke volume yang dipompa jantung (Antman, 2005). Volume dan denyut nadi

cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal (Irmalita, 1996).

(27)

jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara friction rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI (Antman, 2005).

2.1.5. Diagnosis

Menurut Irmalita (1996), diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu

1. Adanya nyeri dada

Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat biasa.

2. Perubahan elektrokardiografi (EKG)

Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI (Cannon, 2005).

3. Peningkatan petanda biokimia.

(28)

2.2. EKG sebagai Penegakan Diagnosis Infark Miokard

Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard ketika ventrikel berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon secara elektrik. Vektor gaya bergerak menjauhi bagian nekrosis dan terekam oleh elektroda pada daerah infark sebagai defleksi negatif abnormal. Infark yang menunjukkan abnormalitas gelombang Q disebut infark gelombang Q. Pada sebagian kasus infark miokard, hasil rekaman EKG tidak menunjukkan gelombang Q abnormal. Hal ini dapat terjadi pada infark miokard dengan daerah nekrotik kecil atau tersebar. Gelombang Q dikatakan abnormal jika durasinya ≥ 0,04 detik. Namun hal ini tidak berlaku untuk gelombang Q di lead III, aVR, dan V1, karena normalnya gelombang Q di lead ini lebar dan dalam (Chou, 1996).

Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara sempurna. Area tersebut lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada akhir proses depolarisasi. Jika elektroda diletakkan di daerah ini, maka potensial yang positif akan terekam dalam bentuk elevasi segmen ST. Jika elektroda diletakkan di daerah sehat yang berseberangan dengan area injury, maka terekam potensial yang negatif dan ditunjukkan dalam bentuk ST depresi. ST depresi juga terjadi pada injury subendokard, dimana elektroda dipisahkan dari daerah injury oleh daerah normal. Vektor ST bergerak menjauhi elektroda, yang menyebabkan gambaran ST depresi (Chou, 1996).

Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik menjadi lebih negatif dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi. Vektor T bergerak menjauhi daerah iskemik. Elektroda yang terletak di daerah iskemik merekam gerakan ini sebagai gelombang T negatif. Iskemia subendokard tidak mengubah arah gambaran gelombang T, mengingat proses repolarisasi secara normal bergerak dari epikard ke arah endokard. Karena potensial elektrik dihasilkan repolarisasi subendokardium terhambat, maka gelombang T terekam sangat tinggi (Chou, 1996).

(29)

Tabel 2.1. Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG

Lokasi Perubahan gambaran EKG

Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6

dan I dan aVL

Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL

Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).

Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan aVF

Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF, V1-V3

True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST

depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2

RV infarction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).

Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior. Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama infark.

Dikutip dari Ramrakha, 2006

(30)

Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Tedjasukmana, 2010).

2.3. Pertanda Biokimia Troponin T pada Infark Miokard

(31)
[image:31.595.146.443.111.355.2]

Gambar 2.2. Gambar kompleks troponin, tropomiosin, aktin dan miosin Dikutip dari Cooper, 2000.

Cardiac troponin T (cTnT) berada dalam miosit dengan konsentrasi yang tinggi pada sitosol dan secara struktur berikatan dengan protein. Sitosol, yang merupakan prekursor tempat pembentukan miofibril, memiliki 6% dari total massa troponin dalam bentuk bebas. Sisanya (94%), cTnT berikatan dalam miofibril. Dalam keadaan normal, kadar cTnT tidak terdeteksi dalam darah (Rottbauer, 1996). Keberadaan cTnT dalam darah diawali dengan keluarnya cTnT bebas bersamaan dengan sitosol yang keluar dari sel yang rusak. Selanjutnya cTnT yang berikatan dengan miofibril terlepas, namun hal ini membutukan waktu lebih lama (Antman, 2002).

Karena pelepasan cTnT terjadi dalam 2 tahap, maka perubahan kadar cTnT pada infark miokard memiliki 2 puncak (bifasik). Puncak pertama disebabkan oleh keluarnya cTnT bebas dari sitosol. Puncak kedua terjadi karena pelepasan cTnT yang terikat pada miofibril. Oleh sebab itu, pelepasan cTnT secara sempurna berlangsung lebih lama, sehingga jendela diagnostiknya lebih besar dibanding pertanda jantung lainnya (Tarigan, 2003).

Berat dan lamanya iskemia miokard menentukan perubahan miokard yang

(32)

mencukupi kebutuhan fosfat energi tinggi dalam waktu relatif singkat. Penghambatan proses transportasi yang dipengaruhi ATP dalam membran sel menimbulkan pergeseran elektrolit, edema sel dan hilangnya integritas membran sel. Dalam hal kerusakan sel ini, mula-mula akan terjadi pelepasan protein yang terurai bebas dalam sitosol melalui transpor vesikular. Setelah itu terjadi difusi bebas dari isi sel ke dalam interstisium yang mungkin disebabkan rusaknya seluruh membran sel. Peningkatan kadar laktat intrasel disebabkan proses glikolisis. pH intrasel menurun dan kemudian diikuti oleh pelepasan dan aktifasi enzim-enzim proteolitik lisosom. Perubahan pH dan aktifasi enzim proteolitik menyebabkan disintegrasi struktur intraseluler dan degradasi protein terikat. Manifestasinya adalah jika terjadi kerusakan miokard akibat iskemia, cTnT dari sitoplasma dilepaskan ke dalam aliran darah. Keadaaan ini berlangsung terus menerus selama 30 jam sampai persediaan cTnT sitoplasma habis. Bila terjadi iskemia yang persisten, maka sel mengalami asidosis intraseluler dan terjadilah proteolisis yang melepaskan sejumlah besar cTnT terikat ke dalam darah. Masa pelepasan cTnT ini berlangsung 30-90 jam, lalu perlahan-lahan kadarnya turun (Tarigan, 2003).

(33)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian adalah:

Variabel independen Variabel dependen

Luas infark dari hasil interpretasi EKG pasien infark miokard

STEMI dan Non STEMI

(34)

3.2. Kerangka Teori

Infark miokard dengan ST elevasi (STEMI)

Infark miokard dengan Non ST elevasi (Non STEMI)

Meningkat Normal

Pasien dengan chest pain

Pemeriksaan EKG

ST elevasi pada EKG Non ST elevasi pada EKG

Pemeriksaan troponin T

Unstable angina pectoris

(35)

3.3. Definisi Operasional

3.3.1. Infark miokard akut adalah infark yang terjadi pada sel-sel otot jantung. Pasien dengan diagnosis infark miokard akut ditegakkan berdasarkan gejala klinis nyeri dada, perubahan gambaran EKG dan perubahan nilai kuantitatif troponin T dalam darah yang diambil dari data rekam medik pasien rawat inap RSUP H. Adam Malik dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009.

3.3.2. STEMI adalah tipe infark miokard yang didiagnosis oleh dokter dengan kriteria pasien mengalami nyeri dada, gambaran EKG yang menunjukkan elevasi segmen ST dan peningkatan kadar troponin T yang diambil dari data rekam medik pasien rawat inap RSUP H. Adam Malik dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009. 1. Cara ukur : Membaca dan menginterpretasikan rekaman EKG.

2. Alat ukur : Lembaran EKG dan jangka. 3. Skala pengukuran : Numerik dalam milimeter.

4. Hasil pengukuran : Ditemukan ada atau tidak adanya gelombang Q, elevasi segmen ST ≥ 2 mm dan inversi gelombang T.

3.3.3. Non STEMI adalah tipe infark miokard yang didiagnosis oleh dokter dengan kriteria pasien mengalami nyeri dada, gambaran EKG yang menunjukkan kelainan non-elevasi segmen ST dan peningkatan kadar troponin T yang diambil dari data rekam medik pasien rawat inap RSUP H. Adam Malik dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009.

1. Cara ukur : Membaca dan menginterpretasikan rekaman EKG. 2. Alat ukur : Lembaran EKG dan jangka.

3. Skala pengukuran : Numerik dalam milimeter.

4. Hasil pengukuran : Ditemukan ada atau tidak adanya gelombang Q, ada atau tidak ada depresi segmen ST ≥ 2 mm dan inversi gelombang T ≥ 2 mm.

(36)

jantung dan dideteksi pada permukaan tubuh. Hal yang dinilai dan dicatat dari pembacaan EKG adalah

1. Gelombang Q 2. Segmen ST 3. Gelombang T

Hasil pembacaan EKG diambil dari data rekam medik dan diinterpretasikan oleh peneliti.

3.3.5. Troponin T adalah pertanda biokimiawi otot jantung yang akan meningkat kadarnya dalam darah jika terjadi infark otot jantung.

1. Cara ukur : Membaca hasil rekam medik. 2. Alat ukur : Rekam medik.

3. Skala pengukuran : Numerik dalam μg/L.

4. Hasil pengukuran : Kadar troponin T yang tertulis pada lembaran rekam medik.

3.3.6. Luas infark adalah luasnya jaringan miokard yang mengalami infark. 1. Cara ukur : 1. Menghitung jumlah lead yang terlibat infark dari hasil

interpretasi EKG.

2. Menghitung area infark dari hasil interpretasi EKG. 2. Alat ukur : EKG yang diperoleh dari rekam medik.

3. Skala pengukuran : Numerik.

4. Hasil pengukuran : Luas area infark yang diperoleh dari jumlah lead dan area yang mengalami infark.

3.4. Hipotesis

(37)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain studi cross-sectional karena penelitian ini bertujuan mencari hubungan antar variabel dan pengukuran variabel dilakukan pada satu saat tertentu, yaitu mencari hubungan antara luas infark miokard berdasarkan hasil EKG dengan kadar troponin T pada penderita infark miokard akut STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Waktu

Penelitian mulai dilakukan pada bulan Juli 2010. Pengumpulan dan pengolahan data penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010.

4.2.2. Tempat

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Adapun pertimbangan memilih lokasi tersebut adalah :

1. Lokasi penelitian memiliki departemen kardiologi yang sehari-hari melakukan kegiatan pelayanan dan pendidikan kardiologi. Oleh sebab itu, rumah sakit ini menjadi pusat kesehatan kardiologi di Medan.

2. Alat-alat pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis, seperti elektrokardiografi dan pemeriksaan kadar troponin T tersedia.

(38)

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi adalah populasi terjangkau, yaitu seluruh pasien rawat inap yang didiagnosis dengan infark miokard akut di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009, yang jumlahnya diketahui dari rekam medik, yaitu sebesar 149 orang.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian diambil dengan metode total sampling, artinya jumlah populasi sama dengan jumlah sampel. Yang termasuk sampel penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap dengan hasil pemeriksaan EKG menunjukkan infark miokard akut dengan tipe STEMI dan Non STEMI di RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009 yang memenuhi kriteria. Kriteria penerimaan dan penolakan subjek penelitian

a. Kriteria inklusi

1. Pasien yang didiagnosis sebagai penderita infark miokard akut berdasarkan rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan dari 01 Januari 2008-31 Desember 2009.

2. Pasien menjalani pemeriksaan EKG dan lembar pemeriksaan EKG tersedia.

3. Pasien menjalani pemeriksaan kadar troponin T. b. Kriteria eksklusi

Pasien dengan data rekam medik untuk kriteria infark miokard yang tidak lengkap.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara

(39)

b. Membaca dan menginterpretasikan hasil EKG pasien infark miokard, yaitu menghitung jumlah lead yang terlibat infark dan menghitung area infark. Jumlah lead yang terlibat infark adalah jumlah lead yang menunjukkan perubahan patologis gambaran EKG seperti gelombang Q patologis, elevasi atau depresi segmen ST dan inversi gelombang T di masing-masing lead, baik pada infark miokard akut STEMI dan Non STEMI. Area infark adalah jumlah daerah yang mengalami infark yang ditentukan berdasarkan lokasi infark. Peneliti menentukan scoring untuk menilai luas area infark. Lokasi yang memiliki 1 area infark seperti anterior dan inferior diberi nilai 1. Lokasi yang memiliki 2 area infark area infark antero-septal, infero-septal, antero-lateral, infero-lateral, anterior inferior, dan lateral septal diberi nilai 2. Lokasi yang memiliki 3 area infark seperti anterior ekstensif diberi nilai 3.

c. Melihat hasil pemeriksaan kadar troponin T pasien yang telah tertulis dalam rekam medik.

Selanjutnya peneliti melihat hubungan antara jumlah lead yang terlibat infark dan area infark dengan kadar troponin T pasien.

4.5. Metode Analisis Data

(40)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 14 sampai dengan 28 Juli 2010 di bagian rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan. Dari 149 buah rekam medik pasien dengan infark miokard, ditemukan 43 buah rekam medik pasien infark miokard yang diperiksa kadar troponin T-nya. Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis rekam medis, maka dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan di bawah ini.

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik yang beralamat di Jalan Bunga Lau no. 17 Medan Kelurahan Kemenangan, Kecamatan Medan Tuntungan, Medan. RSUP H. Adam Malik merupakan Rumah Sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No.335/Menkes/SK/VIII/1990. RSUP H. Adam Malik adalah Rumah Sakit Rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. RSUP H. Adam Malik juga ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.502/Menkes/IX/1991 tanggal 6 September 1991 dan secara resmi pusat pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dipindahkan ke RSUP H. Adam Malik pada tanggal 11 Januari 1993.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

(41)
[image:41.595.109.516.134.219.2]

Tabel 5.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persen

Laki-laki 38 88.4

Perempuan 5 11.6

Total 43 100.0

Infark miokard akut diawali dengan proses aterosklerosis, dimana pada proses ini perubahan anatomi endotel nyata terlihat di setiap dekade kehidupan. Pada penelitian ini, penderita terbanyak berdasarkan kelompok umur berada dalam rentang usia 50-59 tahun, sebanyak 14 (32.6%) orang, diikuti oleh kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 12 (27.9%) orang dan kelompok umur 60-69 tahun sebanyak 11 (25.6%) orang. Selanjutnya kelompok umur 30-39 tahun dan > 70 tahun secara berturut-turut memiliki jumlah sampel sebanyak 4 (9.3%) orang dan 2 (4.7%) orang. Hal ini dapat dilihat dari tabel 5.2 berikut:

Tabel 5.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur

Umur sampel Frekuensi Persen

30-39 4 9.3

40-49 12 27.9

50-59 14 32.6

60-69 11 25.6

>70 2 4.7

Total 43 100.0

[image:41.595.110.517.445.595.2]
(42)
[image:42.595.107.513.135.218.2]

Tabel 5.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Tipe Infark Miokard

Tipe Infark Miokard Frekuensi Persen

STEMI 36 83.7

Non-STEMI 7 16.3

Total 43 100.0

(43)
[image:43.595.114.516.156.387.2]

Tabel 5.4. Distribusi sampel berdasarkan lokasi infark pada infark miokard tipe STEMI

Lokasi Infark Frekuensi Persen

Anterior ekstensif 12 33.3

Antero-septal 8 22.2

Anterior 6 16.7

Inferior 3 8.3

Antero-lateral 2 5.6

Infero-lateral 2 5.6

Infero-septal 1 2.8

Anterior inferior 1 2.8

Lateral septal 1 2.8

Total 36 100.0

5.1.3. Hubungan Antara Luas Infark Miokard Tipe STEMI dan Kadar Troponin T

Penilaian luas infark dilakukan dengan 2 cara, yaitu 1) berdasarkan penilaian jumlah lead yang terlibat infark dan 2) berdasarkan penilaian area infark. Jumlah lead yang terlibat infark adalah jumlah lead yang menunjukkan elevasi segmen ST (elevasi segmen ST ≥ 2 mm) dengan disertai atau tanpa disertai gelombang Q pada gambaran EKG. Area infark adalah jumlah area infark yang dibuat berdasarkan lokasi infark seperti yang dinyatakan pada tabel 5.4.

Pada penelitian ini, peneliti menentukan scoring untuk menilai luas area infark. Lokasi yang memiliki 1 area infark seperti infark anterior dan inferior diberi nilai 1. Lokasi yang memiliki 2 area infark seperti antero-septal, infero-septal, antero-lateral, infero-lateral, anterior inferior dan lateral septal diberi nilai 2. Sedangkan lokasi yang memiliki 3 area infark seperti anterior ekstensif diberi nilai 3.

(44)
[image:44.595.122.376.155.355.2]

yang menunjukkan kejadian infark miokard (berupa gambaran elevasi segmen ST) tipe STEMI dengan kadar troponin T.

Gambar 5.1. Grafik korelasi jumlah lead infark yang dinilai berdasarkan elevasi segmen ST dengan kadar troponin T pada pasien infark tipe STEMI.

Tabel 5.5. Korelasi jumlah lead infark yang dinilai berdasarkan elevasi segmen ST dengan kadar troponin T pada pasien infark tipe STEMI

Troponin T

Jumlah lead Pearson Correlation (r) -.082

p .634

Total 36

[image:44.595.108.517.464.565.2]
(45)
[image:45.595.123.382.115.308.2]

Gambar 5.2. Grafik korelasi area infark dengan kadar troponin T pada pasien infark tipe STEMI

Tabel 5.6. Korelasi area infark dengan kadar troponin T pada pasien infark tipe STEMI

5.1.4. Hubungan Antara Luas Infark Miokard Tipe Non STEMI dan Kadar Troponin T

Pada penelitian ini, penentuan luas infark pada infark miokard tipe Non STEMI dinilai dengan melihat adanya depresi segmen ST (depresi segmen ST ≥ 2 mm) dan inversi gelombang T pada masing-masing lead EKG.

Dari 7 pasien Non STEMI, dengan menggunakan korelasi Pearson, dicari hubungan antara jumlah lead yang menunjukkan tanda infark dengan kadar troponin T. Pada gambar di bawah ini, tidak terlihat garis linear yang menunjukkan adanya hubungan antara jumlah lead yang menunjukkan kejadian infark miokard tipe Non STEMI (berupa depresi segmen ST ≥ 2 mm dan inversi gelombang T) dengan kadar troponin T.

TroponinT

Area infark Pearson Correlation (r) .285

p .092

(46)
[image:46.595.124.372.114.308.2]

Gambar 5.3. Grafik korelasi jumlah lead infark yang dinilai berdasarkan depresi segmen ST dan inversi gelombang T dengan kadar troponin T pada pasien infark tipe Non STEMI

Tabel. 5.7. Korelasi jumlah lead infark yang dinilai berdasarkan depresi segmen ST dan inversi gelombang T dengan kadar troponin T pada pasien infark tipe Non STEMI

Troponin T

Jumlah lead Pearson Correlation (r) .658

p .108

Total 7

5.2. Pembahasan

5.2.1. Hubungan Antara Luas Infark Miokard Tipe STEMI dengan Kadar Troponin T

(47)

Dari hasil penelitian (Tabel 5.2) sampel yang paling banyak menderita infark miokard adalah sampel dalam rentang usia 50-59 tahun (32.6%). Hal ini didukung oleh Fenton (2009) yang menyatakan bahwa insidens tertinggi kejadian infark miokard berada pada rentang usia kurang dari 70 tahun. Faktor resiko dan proses aterosklerosis yang sudah berlangsung lama baru memberikan gambaran klinis setelah beberapa tahun. Namun terdapat 4 orang sampel (9.3%) yang telah mengalami infark miokard di usia 30-39 tahun. Hal ini mungkin dipengaruhi genetik, faktor resiko dan gaya hidup yang kurang baik yang telah diterapkan oleh pasien selama bertahun-tahun.

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 5.3) sebanyak 36 (83.7%) orang mengalami infark miokard tipe STEMI dan 7 (16.3%) orang mengalami infark miokard tipe Non STEMI. STEMI disebabkan oleh oklusi pembuluh darah mendadak. Kondisi injury ditandai dengan elevasi segmen ST sedangkan infark ditandai dengan kemunculan gelombang Q pada rekaman EKG.

(48)

median antara onset simptom dengan kedatangan pasien di rumah sakit adalah lebih cepat pada pasien STEMI dibandingkan Non STEMI (4 jam vs 6 jam).

Proses disfungsi endotel diawali dengan pembentukan sel busa dan fatty streak di pembuluh darah. Pertumbuhannya dipengaruhi oleh akumulasi lipid yang beredar dan kemudian terlibat dalam proses inisiasi. Kejadian ini berlangsung dimulai dari dekade pertama kehidupan hingga dekade kedua. Di dekade ketiga, mulai terbentuk intermediate lesion. Perlahan-lahan lesi diinvasi dan permukaannya ditutupi oleh otot polos dan serat kolagen yang berasal dari tunika media, sehingga terbentuk fibrous cap. Penebalan ini meninggi, menyembul ke arah dalam lumen pembuluh darah, dengan kata lain menurunkan ukuran diameter pembuluh darah. Fibrous cap berkembang menjadi ateroma dan proses ini terus berlangsung hingga mencapai dekade keempat. Dimulai dari dekade keempat, lumen menyempit secara progresif karena pembesaran ateroma. Selain itu, ateroma mengalami komplikasi, dimana dapat terjadi degenerasi, perdarahan, luka, kalsifikasi atau ruptur mendadak, yang mengakibatkan inti nekrotik keluar sehingga pembuluh darah oklusi. Permukaan ateroma yang kasar (oleh karena ruptur) juga mempermudah trombosit untuk menempel, beragregasi, dan mengawali proses trombosis (Bonetti, 2003 dan Price, 2006).

(49)

mengganggu hemostasis Ca2+. Selain itu tejadi akumulasi oxygen-derived free radicals. Akibatnya miokard mulai rusak, tidak dapat berkontraksi dan menghantarkan impuls dengan benar. Namun injury dapat bersifat reversible, dimana jika dilakukan reoksigenasi maka keadaan sel dapat kembali normal. Jika tidak dilakukan reoksigenasi, injury miokard menjadi irreversible. Membran sel akan rusak secara ekstensif, lisosom membengkak, dan mitrokondria akan mengalami vakuolisasi. Sel kehilangan protein, koenzim esensial, dan asam ribonukleat. Gambaran EKG miokard yang injury ditandai dengan elevasi segmen ST dan peninggian gelombang T. Tiga puluh menit setelah oklusi arteri koroner, miokard masuk ke tahap infark. Di tahap ini, miokard rusak secara irreversible. Gambaran EKG miokard yang infark ditandai dengan munculnya gelombang Q, inversi gelombang T dan segmen ST kembali isoelektris (Kumar, 2005).

Pasien infark miokard biasanya mengalami nyeri dada dengan gambaran elevasi segmen ST pada EKG (Ramrakha, 2006). Peneliti ingin melihat apakah terdapat hubungan antara luas infark miokard dengan kadar troponin T. Dalam penelitian ini, luas infark ditentukan dengan 2 cara, yaitu berdasarkan jumlah lead dan area yang menunjukkan infark.

Pada infark miokard STEMI, peneliti ingin melihat dimana lokasi infark yang paling banyak dialami oleh pasien. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 5.4), lokasi infark yang paling sering dialami pasien adalah anterior ekstensif sebanyak 12 orang (33.3%). Lokasi infark berada di anterior ekstensif jika ditemukan elevasi ST segmen atau gelombang Q di lead V1 sampai V6. Hasil ini agak berbeda dengan hasil penelitian Lorente (2002) yang menyatakan bahwa infark yang paling banyak dialami pasien berlokasi di bagian anterior.

(50)

troponin T pada infark miokard tipe STEMI. Area infark miokard dilihat dari lokasi infark. Lokasi infark anterior, inferior, dan lateral diartikan sebagai 1 daerah infark. Lokasi infark antero-septal, antero-lateral, lateral dan infero-septal diartikan sebagai 2 daerah infark. Lokasi infark anterior ekstensif diartikan sebagai 3 daerah infark. Pemberian nilai ini ditetapkan oleh peneliti.

Pada dasarnya EKG merupakan alat diagnostik yang cukup sensitif, murah dan mudah dioperasikan sehingga sangat efisien untuk digunakan dalam penegakan awal diagnosis infark miokard. EKG merekam aktivitas jantung dari

12 lead (dari lokasi yang berbeda) pada saat yang bersamaan. Saat kejadian

infark, lead EKG yang posisinya paling dekat dengan lokasi infark merekam dengan jelas perubahan aktivitas jantung, yang kemudian tergambar pada kertas rekaman EKG. Lead EKG yang posisinya bukan di daerah infark, mendeteksi aktivitas miokard normal atau mendeteksi daerah di sekitar infark sebagai daerah yang iskemia. Oleh sebab itu, sebenarnya EKG dapat mengestimasi luas miokard yang infark, tapi tidak dapat benar-benar menggambarkan secara spesifik.

Kondisi pasien ketika masuk beragam, ada yang baru saja mengalami serangan infark, ada yang telah beberapa jam telah mengalami infark (> 12 atau 15 jam). Perbedaan waktu pertama kali pasien datang ke rumah sakit tentu berpengaruh terhadap perluasan infark dan gambaran EKG. Jika lembaran EKG yang dibaca adalah EKG pertama yang dilakukan pada saat pasien masuk ke rumah sakit, maka derajat keparahan infark akan berbeda-beda. Dengan kata lain, dalam penelitian ini tidak didapatkan EKG pasien yang berada pada derajat keparahan yang seragam. Selain itu beberapa pasien merupakan pasien yang telah berulang kali mengalami serangan infark, dimana kondisi ini ditandai dengan gelombang Q positif pada gambaran EKG. Hal ini akan berpengaruh terhadap pembacaan EKG dan berkontribusi pada kesalahan dalam menentukan luas infark miokard yang akut.

(51)

waktu onset nyeri dada yang terjadi dan waktu antara onset nyeri dada dengan pemeriksaan troponin T pertama kali. Pada penelitian ini, waktu pemeriksaan troponin T diperiksa beragam, sebagian diperiksa pada hari yang sama dengan saat pasien masuk, sebagian lagi diperiksa pada hari berbeda. Pemeriksaan kadar troponin T sebelum hari ketiga memberikan hasil bias, karena sebenarnya kadar troponin T mungkin masih akan meningkat. Pada penelitian ini, pengambilan data antara EKG dan kadar troponin tidak paralel, dimana pemeriksaan EKG tidak dilaksanakan pada saat yang sama dengan pemeriksaan kadar troponin T. Hal inilah yang menyebabkan tidak terdapatnya korelasi luas infark dengan kadar troponin T. Bias lain yang mungkin terjadi adalah penelitian retrospektif dimana terdapat ketidakseragaman penulisan rekam medik dan waktu pengambilan data.

5.2.2. Hubungan Antara Luas Infark Miokard Tipe Non STEMI dan Kadar Troponin T

Pada infark tipe Non STEMI tidak ditemukan elevasi segmen ST, sehingga tidak bisa ditentukan lokasi infark. Hal ini tidak memungkinkan penilaian luas infark berdasarkan lokasi infark. Oleh sebab itu hanya dilihat hubungan antara luas infark miokard berdasarkan perubahan gambaran lead EKG dengan kadar troponin T. Penentuan lead yang mengalami infark dilihat dari adanya depresi segmen ST ≥ 2 mm dan inversi gelombang T.

Infark miokard tipe Non STEMI disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang subtotal. Hal ini mengakibatkan sebagian miokard masih mendapatkan oksigenasi, sehingga gambaran EKG menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami iskemia. Pada keadaan ini, sebenarnya perlu dilakukan pemeriksaan EKG dan kadar troponin T serial untuk memantau apakah kondisi miokard membaik atau memburuk ke arah iskemia.

(52)
(53)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu :

1. Pasien infark miokard terdiri dari 38 (88.4%) orang laki-laki dan 5 (11.6%) orang perempuan.

2. Rata-rata umur pasien yang mengalami serangan infark berada pada rentang usia 50-59 tahun, yaitu sebanyak 14 (32.6%) orang.

3. Pasien infark miokard terdiri dari 36 (83.7%) orang menderita infark miokard akut tipe STEMI dan 7 (16.3%) orang menderita infark miokard akut tipe Non STEMI.

4. Pada pasien infark miokard tipe STEMI, lokasi infark terbanyak berada di anterior ekstensif, yaitu sebesar 12 (33,3%) orang.

5. Tidak terdapat hubungan antara jumlah lead infark yang ditandai dengan elevasi segmen ST dengan kadar troponin T pada pasien infark miokard tipe STEMI.

6. Tidak terdapat hubungan antara area infark yang dinilai berdasarkan lokasi infark dengan kadar troponin T pada infark miokard tipe STEMI.

7. Tidak terdapat hubungan antara jumlah lead infark yang ditandai dengan depresi segmen ST dan inversi gelombang T dengan kadar troponin T pada pasien infark miokard tipe Non STEMI.

6.2. Saran

Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu:

(54)

2. Jumlah sampel yang sedikit mempengaruhi hasil ketepatan penelitian, sehingga untuk penelitian lebih lanjut sebaiknya jumlah sampel diperbanyak dengan cara memperlebar interval waktu penelitian.

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Alpert, J.S., Kristian, T., MD, Allan S. J., Harvey D.W., 2010. A Universal Definition of Myocardial Infarction for the Twenty-First Century.

Available from:

2010]

Anand, S.S., Islam,Risk factors for myocardial infarction in women and men: insights from the INTERHEART study,

European Heart Journal. Available from: http://eurheartj.oxfordjournals.org/content/29/7/932.short [Accessed 12 April 2010]

Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial

Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E.,

Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds. Harrison’s Principles of Internal

Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1449-1450

Beers, M.H., Fletcher A.J., Jones, T.V., 2004. Merk Manual of Medical

Information: Coronary Artery Disease. 2nd ed. New York: Simon &

Shcuster.

Bonetti, P.O., Lerman, L.O., Lerman, A., 2003. Endothelial Dysfunction; A

Marker of Atherosclerotic Risk. Available from:

(56)

Brown, T.C., 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A., William, L.M., ed. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC 580-587.

Bøhme, E., Hoffmann, P., Abdelnoor, M., Seljeflot, I., Halvorsen, S., 2009. Troponin T Concentration 3 Days after Acute ST-Elevation Myocardial Infarction Predicts Infarct Size and Cardiac Function at 3 Months.

Cardiology. Available from:

[Accessed 17 Maret 2010]

Cannon, C.P., Braunwald, E., 2005. Unstable Angina and Non-ST-Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds. Harrison’s Principles of

Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1444-1445.

Chou, T., 1996. Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric:

Myocardial Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th

ed. Pennsylvania: W. B. Saunders Company.

Chung, C.Y., Shu, M.C., 2007. Immediate Diagnosis of Acute Inferior Wall Myocardial Infarction with Electrocardiographic Pattern of Only R-wave Loss in Inferior Leads: A Case Report.

Available from:

http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6T8B-

(57)

n=0&_userid=8993413&md5=7905d0e83f761bdb85a831eeea52af24 [Accessed 23 Februari 2010]

Cooper, G.M., 2000. The Cell A Molecular Approach: Actin, Myosin, and Cell

Movement. 2nd ed. Available from:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Profil Kesehatan Indonesia

2008. Available from:

Dorland, W.A.N., 2002. Kamus Besar Kedokteran Dorland. Edisi 1. Jakarta: EGC

Fenton, D.E., 2009. Myocardial Infarction. Available from: Februari 2010]

Garas, S., 2010. Myocardial Infarction. Emedicine Cardiology. Available from: Februari 2010]

Gomersall, C., Ramsay S., 2010. Acute coronary syn. . Available from:

[Accessed 16

November 2010]

(58)

Irmalita, 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI, 173-174.

2004. Risk factors for non-fatal myocardial infarction in young South Asian adults. PubMed. Available from:

Kalim, H., 2001, Diagnostik dan Stratifikasi Risiko Dini Sindrom Koroner Akut. Dalam: Kaligis, R.W.M., Kalim, H., Yusak, M., Ratnaningsih, E., Soesanto, A.M. (eds). Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik sampai Geriatrik. Jakarta: Balai Penerbit RS Jantung Harapan Kita, 227-228.

Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., 2005. Robbins and Cotran Pathologic Basis

of Disease: The Heart. 7th ed. Pennsylvania: Elsevier Saunders.

Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., 2005. Robbins and Cotran Pathologic Basis

of Disease: Cellular Adaptations, Cell Injury, and Cell Death. 7th ed.

Pennsylvania: Elsevier Saunders.

Lorente, L., Martín, M.M., Medina, R. and Valencia, J. 2002. Acute myocardial infarction in patients older than 80 years: 3 years later. Critical Care.

Available from: [Accessed 16

November 2010]

Maynard S.J., Menown, I.B.A., Adgey, A.A.J., 2000. Troponin T or troponin I as cardiac markers in ischaemic heart disease. BMJ. Available from:

(59)

Heart Journal. Available from:

2010]

Montalescot, G., et al., 2007. STEMI and NSTEMI: Are They So Different? 1 Year Outcomes in Acute Myocardial Infarction as Defined by the ESC/ACC Definition (the OPERA Registry). European Heart Journal. Available

from: [Accessed 16

November 2010]

NewYork-Presbyterian Hospital. Heart Anatomy. Available from http://nyp.org/health/cardiac-anatomy.html [Accessed 29 April 2010]

Nigam. P.K., 2007. Biochemical Markers of Myocardial Injury. Indian Journal of

Clinical Biochemistry. Available from:

Oemar, H., 1996. Anatomi Jantung dan Pembuluh Darah. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI, 12

Patel, N.R., Jackson. G., 1999. Serum markers in myocardial infarction. J Clin

Pathol. Available from:

[Accessed 02 Mei 2010]

Ramrakha, P., Hill, J., 2006. Oxford Handbook of Cardiology: Coronary Artery

Disease. 1st ed. USA: Oxford University Press.

(60)

from:

April 2010]

Rottbauer, W., et al., 1996. Troponin T: A diagnostic marker for myocardial infarction and minor cardiac cell damage. European Heart Journal. Available from: eurheartj.oxfordjournals.org/cgi/reprint/17/suppl_F/3.pdf [Accessed 02 Mei 2010]

Samsu, N., Sargowo, D., 2007. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan I pada Diagnosis Infark Miokard Akut. Tinjauan Pustaka. Malang: Fakultas

Kedokteran Brawijaya. Available from

Santoso, M., Setiawan, T., 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia

Kedokteran. Available from:

Februari 2010]

Selwyn, A.P., Braunwald E., 2005. Ischemic Heart Disease. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds., Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1434-1435.

Tarigan, E., 2003. Hubungan Kadar Troponin-T dengan Gambaran Klinis Penderita Sindroma Koroner Akut. Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran

(61)

[Accessed 11 April 2010]

Tedjasukmana, P., Karo-karo, S., Kaunang, D.R., Lukito, A.A., Tobing, D.P., Erwinanto, Yamin, A., 2010. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut: Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI, 4-5.

World Health Organization, 2008. Mortality Country Fact Sheet 2006. Available from:

[Accessed 17 Maret 2010]

World Health Organization, 2008. The Top Ten Causes of Death. Available from: Maret 2010]

Wikipedia. Infarction. Available from:

(62)

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi arteri koroner jantung Dikutip dari NewYork-Presbyterian Hospital
Tabel 2.1. Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG
Gambar 2.2. Gambar kompleks troponin, tropomiosin, aktin dan miosin Dikutip dari Cooper, 2000
Tabel 5.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
+6

Referensi

Dokumen terkait

SKA yang merupakan keadaan gawat darurat dari Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang terdiri dari: infark miokard akut dengan elevasi segment ST (STEMI), infark miokard akut

Penyakit jantung koroner atau PJK merupakan suatu sindroma klinis yang terdiri dari angina pektoris tak stabil (APTS), infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)

PERBANDINGAN ANGKA KEMATIAN DI RUMAH SAKIT PADA PASIEN-PASIEN DENGAN INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI SEGMEN ST YANG DIBERIKAN TERAPI.. DENGAN STREPTOKINASE VS

melaporkan bahwa pasien dengan infark miokard akut (IMA) dengan segmen ST elevasi. (STEMI) yang menjalani PCI primer, peningkatan kadar RDW saat

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik

Faktor Risiko Atherosklerosis pada Kejadian Infark Miokard Akut dengan ST-segment Elevasi di RSUP Dr.. Kariadi ini dapat

Judul penelitian : Perbandingan Mortalitas Kardiovaskular Di Rumah Sakit Antara Penderita Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST Anterior Dengan Dan Tanpa Blok Cabang

Elevasi segmen ST yang khas pada fase akut infark miokard dapat disimpulkan sebagai hasil kombinasi efek dari pergeseran TQ primer, yang berkorelasi dengan penurunan primer