• Tidak ada hasil yang ditemukan

gambaran pasien sindrom koroner akut di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "gambaran pasien sindrom koroner akut di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

Nomor No rekam Umur Kelompok Jenis Agama Tipe SKA Riwayat Kebiasaan Hipertensi Hiperlipidemia Diabetes melitus

Penelitian medis umur kelamin Keluarga Merokok

(9)
(10)
(11)

58

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association, 2014. Heart Disease and Stroke Statistics. AHA Statistical Update, p. 205.

American Diabetes Associatian, 2013. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 36(1), pp. 67-74.

Alwi I., 2009. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. In: A.W Sudoyo, et al. 5th ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : Interna Publising, pp. 1741- 1745.

Ariandiny.M., Afriwardi., Syafri. M., 2014. Gambaran Tekanan Darah Pada Pasien Sindrom Koroner Akut Di RS Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun 2011-2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 3(2), pp. 191-194.

Dayu, M.S.T., 2015. Hubungan Riwayat Lama Merokok Dengan Angka Kejadian Penyakit Jantung Koroner Di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2015.Universitas Malahayati Bandar Lampung.

Departemen Kesehatan, 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut. Ditjen Bina Kefarmasian

Dan Alat Kesehatan, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Jakarta.

European Society of Cardiology, 2012. ESC Guidelines for the Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-Segment Elevation. European Heart Journal, Volume 33, p. 2574.

(12)

59

Harun S. dan Alwi I., 2009. Infark miokard akut tanpa elevasi ST. In: A.W Sudoyo, et al. 5th ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : Interna Publising, p.1757.

Irmatalita., 2012. Sindrom Koroner Akut. In: L.I.Rilantono, 1st ed. Penyakit kardiovaskular (PKV). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, pp. 138-160.

Juzar D., 2012., Sindrom Koroner Akut. In: L.I.Rilantono,1st ed. Penyakit kardiovaskular (PKV). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, pp. 138-160.

Kaligis RWM., 2012.Anatomi dan Pendarahan Arteri Koroner. In: L.I.Rilantono, 1st ed. Penyakit kardiovaskular (PKV). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 123-125.

Karo Karo S., 2012.Hipertensi adalah Masalah Kesehatan Masyarakat. In: L.I.Rilantono, 1st ed. Penyakit kardiovaskular (PKV). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p.238.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (MENKES), 2014. Penanganan Penyakit Jantung Harus Sesuai Ilmu Kedokteran Terkini dan Mengutamakan

Keselamatan Pasien. Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Pengendalian Penyakit dalam Kesehataan Lingkungan. Profil Kesehatan Indonesia 2013, p.163.

(13)

60

Kristen, J., and Overbaugh., 2009.Acute Coronary Syndrome. Even Nurses Outside The ED Should Recognize Its Signs and Symptoms, 109(5), p. 43.

Oktarina, R., Karani, Y., Edward, Z., 2013. Hubungan Kadar Glukosa Darah Saat Masuk Rumah Sakit Dengan Lama Hari Rawat Pasien Sindrom Koroner Akut (SKA) Di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2(2), pp. 94-97.

Prodjosudjadi W., 2009.Sindrom Nefrotik. In: A.W Sudoyo, et al. 5th ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : Interna Publising, p. 1001.

Oemar, H., 1996. Anatomi Jantung dan Pembuluh Darah. Dalam: Rilantono, L.I.,Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI, p.12.

Ranjith, N., Pegoraro, R.J., Zaahl, M.G., 2011. Risk Factors Associated With Acute Coronay Syndromes In South African Asian Indian Patients. Clinical Experiment Cardiol. 2(10), pp. 1-5

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)., 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI 2013. Jakarta.

Savia, F.F., Suarnianti., Mato, R., 2012. Pengaruh Merokok Terhadap Terjadinya Penyakit Jantung Koroner (PJK) Di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. Stikes Nani Hasanuddin Makassar. 1(6), pp. 1-6.

(14)

61

Trisnohadi H.B., 2009. Angina Pektoris Tak Stabil. In: A.W Sudoyo, et al. 5th ed.. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : Interna Publising, pp.1728-1729.

World Health Organization (WHO), 2015. Cardiovascular Diseases (CVDs). Available at: http://.who.int/mediacentre/factseets/fs317/en/ [Accesed 11 April 2015].

World Health Organization (WHO), 2014. Mortality from noncommunicable diseases. Global Status Report on noncommunicable diseases 2014. Switzerland, p.9.

World Health Organization (WHO) 2014. Noncommunicable Diseases (NCD) Country Profiles , 2014.Indonesia.

Yanti, S.D., 2009. Karateristik Penderita Penyakit Jantung Koroner Rawat Inap Di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2003- 2006. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(15)

36

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 3.1 : Kerangka Operasional

Sindrom koroner akut  Angina pektoris tak

stabil

 Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)

 Infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)

 Usia

 Jenis kelamin  Agama

 Riwayat keluarga  Merokok

(16)

37

3.2 Definisi operasional

1. Sindrom koroner akut (SKA)

a. Definisi Operasional : Sindrom koroner akut adalah terminologi yang digunakan pada keadaan gangguan aliran darah koroner parsial hingga total ke miokard secara akut (Juzar et al., 2012).

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Nominal

e. Hasil Ukur : Pasien didiagnosa dengan sindrom koroner akut atau tidak

2. Angina pektoris tak stabil (APTS)

a. Definisi Operasional : APTS adalah keadaan pasien dengan simptom iskemia sesuai SKA, tanpa terjadi peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin) dengan atau tanpa perubahan EKG yang menunjukkan iskemia (depresi segmen ST, inversi gelombang T dan elevasi segmen ST yang transien (Juzar et al., 2012).

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Nominal

(17)

38

3. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)

a. Definisi Operasional : Infark Miokard dengan elevasi segmen ST merupakan bahagian dari spektrum SKA yang mengambarkan cedera miokard. transmural, akibat oklusi total arteri koroner oleh trombus (Juzar et al., 2012).

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Nominal

e. Hasil Ukur : Pasien didiagnosa dengan STEMI atau tidak.

4. Infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)

a. Definisi Operasional : NSTEMI adalah keadaan pasien dengan simptom iskemia sesuai SKA, dengan terjadi peningkatan enzim petanda jantung (CK-MB, troponin) dengan perubahan EKG yang menunjukkan iskemia (depresi segmen ST, inversi gelombang T dan tanpa elevasi segmen ST yang transien (Juzar et al., 2012).

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Nominal

(18)

39

5. Usia

a. Definisi Operasional : Usia pasien saat pemeriksaan dilakukan seperti tertulis dalam rekam medis.

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Rasio

e. Hasil Ukur : Hasil dikelompokkan menurut kelompok usia yang berbeda yaitu :

1) < 40 tahun 2) 40 - 60 tahun 3) > 60 tahun

6. Jenis Kelamin

a. Definisi Operasional : Indikasi jenis kelamin ketika lahir sebagai pria/perempuan seperti tertulis dalam rekam medis.

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Nominal

e. Hasil Ukur : Dikelompokkan menjadi pasien laki-laki dan pasien perempuan seperti yang tertulis di dalam rekam medis.

7. Agama

a. Definisi Operasional : Agama adalah kepercayaan yang dianut pasien seperti yang tertulis di rekam medis.

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Nominal

(19)

40

8. Riwayat Keluarga Memiliki Penyakit Jantung

a. Definisi Operasional : Indikasi bahwa pasien yang memiliki hubungan darah langsung (orang tua, saudara kandung, dan anak) dengan memiliki riwayat penyakit jantung seperti tertulis dalam rekam medis.

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Nominal

e. Hasil Ukur : Dikelompokan berdasarkan pasien mempunyai riwayat keluarga memiliki penyakit jantung atau tidak.

9. Merokok

a. Definisi Operasional : Pasien yang menderita SKA dan didiagnosa dengan mempunyai kebiasaan merokok atau tidak seperti yang tertulis di dalam rekam medis.

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Nominal

e. Hasil Ukur : Dikelompokan berdasarkan pasien

mempunyai kebiasaan merokok atau tidak.

10. Hipertensi

(20)

41

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Nominal

e. Hasil Ukur : Hasil dikelompokan berdasarkan pasien menderita hipertensi atau tidak.

11. Dislipidemia

a. Definisi Operasional : Dislipidemia adalah kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi (Prodjosudjadi, 2009).

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Nominal

e. Hasil Ukur : Hasil dikelompokan berdasarkan pasien mempunyai dislipidemia atau tidak.

12. Diabetes Melitus

a. Definisi Operasional : Penyakit metabolik dengan karaterikstik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (ADA, 2013).

b. Cara Ukur : Observasi

c. Alat Ukur : Rekam medis

d. Skala Ukur : Nominal

(21)

42

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian potong lintang ataupun yang disebutkan desain Cross Sectional pendekatan retrospective. Penelitian ini disebut studi deskriptif karena ingin mengetahui gambaran pasien sindrom koroner akut di RSUP Haji Adam Malik, Medan. Penelitian ini merupakan desain Cross Sectional karena subyek diukur atau dikumpulkan secara simultan yaitu pada waktu yang bersamaan dan pendekatan retrospective karena data merupakan rekam medis selama satu tahun sebelumnya di RSUP Haji Adam Malik, Medan.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Rekam Medis, RSUP Haji Adam Malik, Medan.

4.2.2 Waktu Penelitian

(22)

43

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah pasien yang menderita sindrom koroner akut yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan dalam masa waktu 1 Januari 2014 – 31 Desember 2014.

4.3.2 Sampel Penelitian

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan metode nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan

sampel yang didasarkan atas pertimbangan dan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditetapkan.

Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan estimasi proporsi dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

n = Besar sampel

Z² 1-α/2 = Nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu (tingkat kepercayaan)

p = Estimator proporsi populasi

d = Kesalahan (absolut) yang dapat ditolerir N = Besar populasi

Pada penelitian ini, tingkat kepercayaan yang dikehendaki adalah sebesar 95% sehingga untuk Z² 1-α/2 = 1,96. Nilai p yang ditetapkan adalah 0,5 karena

(23)

44

peneliti belum mengetahui proporsi sebelumnya. Ketepatan absolut yang diinginkan adalah sebesar 10%. Besar populasi adalah 736.

Berdasarkan rumus di atas, besarnya sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

n = N. Z² 1-α/2. p. (1-p) (N-1). d² + Z² 1-α/2. p. (1-p) n = (736). (1,96)². (0,5). (1 - 0,5) (736-1). (0,1)² + (1,96)². (0,5). (1 - 0,5) n = 85.05

Jadi berdasarkan rumus di atas, sampel yang diambil sebanyak 85 orang. Sampel penelitian ini dipilih menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi seperti yang berikut:

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien dengan sindrom koroner akut yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan pada periode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2014.

2. Kriteria Eksklusi

a. Data rekam medik yang tidak lengkap (usia, jenis kelamin, agama, riwayat keluarga dengan penyakit jantung, merokok, hipertensi, dislipidemia, dan diabetes melitus).

(24)

45

4.4 Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara pengambilan ataupun pencatatan data sekunder yang diperoleh melalui rekam medik. Namun begitu, data yang diambil dari rekam medik haruslah memenuhi kriteria inklusi seperti yang dinyatakan di atas. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti harus mendapatkan ijin dari pihak RSUP Haji Adam Malik, Medan.

4.5 Metode Analisis Data

(25)

46

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Rekam Medis, RSUP Haji Adam Malik, Medan. Pada mula didirikan, Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik merupakan Rumah Sakit Umum Kelas A di Medan yang berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 335/Menkes/SK/VII/1990. Namun, nama rumah sakit ini mengalami perubahan yang pada mulanya bernama Rumah Sakit Umum Kelas A di Medan menjadi Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik. Perubahan nama rumah sakit ini berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 775/MENKES/SK/IX/1992. Rumah Sakit milik Pemerintah Pusat (Rumah Sakit Umum Pusat atau RSUP) mengacu kepada Departemen Kesehatan (Depkes) sehingga segala urusan rumah sakit bergantung pada Depkes Republik Indonesia (Pemerintah Pusat). Rumah sakit ini sebagian besar adalah rumah sakit pendidikan yang cukup besar dan luas dengan hubungan khusus ke Fakultas kedokteran, rumah sakit inilah yang digolongkan kepada RSUP H. Adam Malik. RSUP H. Adam Malik ini beralamat di Jalan Bunga Lau no. 17, Medan, terletak di kelurahan Kemenangan, kecamatan Medan Tuntungan. Letak RSUP H. Adam Malik ini agak berada di daerah pedalaman yaitu berjarak +- 1 Km dari jalan Djamin Ginting yang merupakan jalan raya menuju ke arah Brastagi.

5.1.2 Karakteristik Sampel Penelitian

(26)

47

dahulu jumlah subjek dalam populasi lalu menggunakan rumus dan dipilih sebanyak 85 sampel.

5.1.3 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Tipe Sindrom Koroner Akut.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Tipe Sindrom Koroner Akut

Tipe Sindrom Koroner Akut

Jumlah Sampel

F %

APTS 17 20

STEMI 43 50,6

NSTEMI 25 29,4

Jumlah 85 100,00

Tabel 5.1 menunjukkan distribusi frekuensi sampel yang didiagnosa dengan sindrom koroner akut berdasarkan tipe sindrom koroner akut pasien. Berdasarkan data pada Tabel 5.1 frekuensi terendah adalah APTS dengan 17 pasien (20%), dan frekuensi tertinggi adalah STEMI sebanyak 43 pasien (50,6%), serta NSTEMI adalah sebanyak 25 pasien (29,4%).

5.1.4 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Kelompok Umur.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Kelompok Umur

Kelompok Usia Jumlah Sampel

F %

< 40 Tahun 1 1,2

40 – 60 Tahun 60 70,6

> 60 Tahun 24 28,2

Jumlah 85 100,00

(27)

48

dalam kelompok umur ‘40 – 60 tahun’ yaitu sebanyak 60 orang (70,6%) dan pasien dalam kelompok umur ‘> 60 tahun’ sebanyak 24 orang (28,2%).

5.1.5 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Sampel

F %

Laki – laki 65 76,5

Perempuan 20 23,5

Jumlah 85 100,00

Tabel 5.3 menunjukkan distribusi frekuensi sampel yang didiagnosa dengan sindrom koroner akut berdasarkan jenis kelamin pasien. Berdasarkan data pada Tabel 5.3 jumlah pasien laki-laki lebih banyak jika dibandingkan dengan pasien perempuan. Di mana jumlah pasien laki-laki adalah 65 orang (76,5%) dan jumlah pasien perempuan adalah 20 orang (23,5%).

5.1.6 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Agama

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Agama

Agama Jumlah Sampel

F %

Islam 50 58,8

Protestan 27 31,8

Katholik 8 9,4

Jumlah 85 100,00

(28)

49

5.1.7 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Riwayat Keluarga Memiliki Penyakit Jantung

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Riwayat Keluarga Memiliki

Penyakit Jantung Riwayat Keluarga

Memiliki Penyakit Jantung

Jumlah Sampel

F %

Ada 13 15,3

Tidak Ada 72 84,7

Jumlah 85 100,00

Tabel 5.5 menunjukkan distribusi frekuensi sampel yang didiagnosa dengan sindrom koroner akut berdasarkan riwayat keluarga memiliki penyakit jantung. Berdasarkan data pada Tabel 5.5 sebanyak 13 pasien (15,3%) mempunyai riwayat keluarga memiliki penyakit jantung, dan sebanyak 72 pasien (84,7%) tidak mempunyai riwayat keluarga memiliki penyakit jantung.

5.1.8 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Kebiasaan Merokok

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Kebiasaan Merokok

Kebiasaan Merokok Jumlah Sampel

F %

Ada 56 65,9

Tidak Ada 29 34,1

Jumlah 85 100,00

(29)

50

5.1.9 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Hipertensi

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Hipertensi

Hipertensi Jumlah Sampel

F %

Ada 64 75,3

Tidak Ada 21 24,7

Jumlah 85 100,00

Tabel 5.7 menunjukkan distribusi frekuensi sampel yang didiagnosa dengan sindrom koroner akut berdasarkan hipertensi. Berdasarkan data pada Tabel 5.7 sebanyak 64 pasien (75,3%) mempunyai hipertensi, dan sebanyak 21 pasien (24,7%) tidak mempunyai hipertensi.

5.1.10 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Dislipidemia

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Dislipidemia

Hiperlipidemia Jumlah Sampel

F %

Ada 44 51,8

Tidak Ada 41 48,2

Jumlah 85 100,00

(30)

51

5.1.11 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Diabetes Melitus

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Diabetes Melitus

Diabetes Melitus Jumlah Sampel

F %

Ada 48 56,5

Tidak Ada 37 43,5

Jumlah 85 100,00

Tabel 5.9 menunjukkan distribusi frekuensi sampel yang didiagnosa dengan sindrom koroner akut berdasarkan diabetes melitus. Berdasarkan data pada Tabel 5.9 sebanyak 48 pasien (56,5%) mempunyai diabetes melitus, dan sebanyak 37 pasien (43,5%) tidak mempunyai diabetes melitus.

5.2 Pembahasan

Dari hasil penelitian ini didapatkan gambaran pasien sindrom koroner akut (SKA) yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan pada tahun 2014 tertinggi adalah kejadian STEMI sebanyak 43 pasien (50,6%), diikuti NSTEMI 25 pasien (29,4%), dan APTS sebanyak 17 pasien (20%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ranjith et al., (2011) kejadian SKA tipe STEMI terbanyak iaitu (75%), diikuti NSTEMI (16%), dan APTS sebanyak (9%). Penelitian Zahara et al., (2013) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa gambaran kejadian SKA terbanyak adalah kejadian STEMI yaitu sebanyak 51 pasien (52%), diikuti NSTEMI 24 pasien (28,6%), dan APTS sebanyak 23 pasien (23,5%). Namun, kejadian tahunan NSTEMI lebih tinggi dibandingkan dengan STEMI (ECS, 2012). Perbedaan antara hasil dari penelitian ini dengan literatur mungkin dikarenakan usaha preventif dari SKA yang masih kurang di Indonesia, karena menurut literatur tingginya kasus NSTEMI dibanding STEMI karena tingginya usaha pengelolaan penyakit dan upaya pencegahan penyakit kardiovaskuler di Eropah (Zahara et al., 2013).

(31)

52

pada pasien dalam kelompok umur ‘< 40 tahun’ yaitu sebanyak 1 orang (1,2%), tertinggi pada kelompok umur ‘40 – 60 tahun’ yaitu sebanyak 60 orang (70,6%), dan pasien pada kelompok umur ‘> 60 tahun’ sebanyak 24 orang (28,2%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zahara et al., (2013) bahwa kejadian sindrom koroner akut terendah pada kelompok umur < 40 tahun yaitu sebanyak 2 pasien (2,04%), kelompok umur 40-60 tahun paling tinggi yaitu 57 pasien (58,16%), dan > 60 tahun sebanyak 39 pasien (39,94%). Insiden SKA meningkat pada umur > 45 tahun pada laki-laki dan umur > 55 tahun pada perempuan. Kerentanan individu terhadap aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia, usia 40-60 tahun insiden infark miokard akut meningkat sebanyak lima kali lipat (Zahara et al., 2013).

Berdasarkan hasil penelitian ini, gambaran pasien sindrom koroner akut yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan 2014 lebih banyak berjenis kelamin laki-laki 65 pasien (76,5%) daripada perempuan 20 pasien (23,5%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ariandiny et al., (2014) dimana laki-laki 65 pasien (74%) dan perempuan sebanyak 23 pasien (26%). Hal ini disebabkan karena risiko aterosklerosis koroner lebih besar pada laki-laki daripada perempuan. Perempuan relatif lebih kebal terhadap penyakit ini sampai usia menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pada laki-laki. Efek perlindungan estrogen dianggap menjelaskan adanya imunitas wanita pada usia sebelum menopause yaitu melindungi pembuluh darah dari kerusakan (Zahara et al., 2013).

(32)

53

sindrom koroner akut tetapi dikarenakan penderita yang beragama Islam lebih banyak berkunjung ke RSUP Haji Adam Malik (Yanti, 2009).

Pada penelitian ini, gambaran pasien sindrom koroner akut yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan 2014 sebanyak 13 pasien (15,3%) mempunyai riwayat keluarga memiliki penyakit jantung, dan sebanyak 72 pasien (84,7%) tidak mempunyai riwayat keluarga memiliki penyakit jantung. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Torry et al., (2013) dimana riwayat penyakit kardiovaskuler dalam keluarga hanya dimiliki oleh 1 dari 37 orang penderita SKA yang diketahui riwayat keluarga memiliki penyakit jantung. Hal ini mungkin terjadi karena kurangnya pengetahuan keluarga tentang riwayat keluarga memiliki penyakit jantung atau karena subjek penelitian keduanya banyak yang tidak mempunyai riwayat keluarga memiliki penyakit jantung (Torry et al., 2013).

Berdasarkan hasil penelitian ini, gambaran pasien sindrom koroner akut yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan 2014 sebanyak 56 pasien (65,9%) mempunyai kebiasaan merokok dan sebanyak 29 pasien (34,1%) tidak mempunyai kebiasaan merokok. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Savia et al., (2012) dimana sebanyak 35 pasien (63,6%) mempunyai kebiasaan merokok dan 20 pasien (36,4%) tidak mempunyai kebiasaan merokok. Hal ini sama dengan berbagai teori yang menyatakan bahwa merokok merupakan salah satu penyebab terjadinya sindrom koroner akut. Merokok dapat mendorong perkembangan aterosklerosis dengan memulai cedera pada endotel, mungkin karena produksi radikal bebas atau melalui toksik langsung dari komponen asap rokok. Bahkan paparan singkat asap rokok telah diketahui dapat mengaktifkan leukosit, merangsang pelepasan pro-koagulan, faktor von Willebrand (vWF ) dan menyebabkan kerusakan endotel. Efek ini memulai mekanisme inflamasi yang menyebabkan aterosklerosis. Mekanisme disfungsi endotel dan penurunan kemampuan dilatasi disebabkan karena efek nikotin. Selain itu, nikotin juga memiliki efek pembentukan radikal bebas (Dayu, 2015)

(33)

54

(75,3%) mempunyai hipertensi dan sebanyak 21 pasien (24,7%) tidak mempunyai hipertensi. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ariandiny et al., (2014) dimana 88 pasien (60,6%) mempunyai hipertensi dan 57 pasien (39,4%) tidak mempunyai hipertensi. Hasil ini mendukung teori bahwa hipertensi merupakan salah satu penyebabterjadinya sindrom koroner akut. Hipertensi tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner. Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan infark miokard lebih sering terjadi pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal (Ariandiny et al., 2014).

Berdasarkan hasil penelitian ini, gambaran pasien sindrom koroner akut yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan 2014 sebanyak 44 pasien (51,8%) mempunyai dislipidemia dan sebanyak 41 pasien (48,2%) tidak mempunyai dislipidemia. Sebahagian dari pasien Sindrom koroner akut mempunyai dislipidemia. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Zahara et al., (2013) bahwa 54 pasien (55,1%) mempunyai dislipidemia dan 44 pasien tidak mempunyai dislipidemia (44,9%). Dislipidemia yang terjadi akibat peningkatan kolesterol akan disimpan dan menempel didalam pembuluh darah, sehingga nantinya akan menimbulkan pengendapan kolesterol didalam pembuluh darah dan menyebabkan aterosklerotik (Zahara et al., 2013).

Berdasarkan hasil penelitian ini, gambaran pasien sindrom koroner akut yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan 2014 sebanyak 48 pasien (56,5%) mempunyai diabetes melitus, manakala sebanyak 37 pasien (43,5%) tidak mempunyai diabetes melitus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana Torry et al., (2013) dimana 18 pasien (72%) mempunyai diabetes mellitus dan 7 pasien

(34)

55

(35)

56

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai gambaran pasien sindrom koroner akut yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan dalam masa waktu 1 Januari 2014 – 31 Desember 2014 pada 85 sampel dapat disimpulkan dibawah ini :

1. Angka kejadian sindrom koroner akut tertinggi pada STEMI sebanyak 43 pasien (50,6%) diikuti NSTEMI 25 pasien (29,4%) dan APTS sebanyak 17 pasien (20%).

2. Angka kejadian sindrom koroner akut tertinggi pada kelompok umur ‘40 – 60 tahun’ yaitu sebanyak 60 pasien (70,6%), terendah dijumpai dalam kelompok umur ‘< 40 tahun’ yaitu sebanyak 1 pasien (1,2%) dan pada kelompok umur ‘ > 60 tahun ’ sebanyak 24 pasien (28,2%).

3. Angka kejadian sindrom koroner akut dilihat dari jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin laki-laki 65 pasien (76,5%) daripada perempuan 20 pasien (23,5%).

4. Sindrom koroner akut berdasarkan agama, frekuensi tertinggi adalah agama Islam 50 pasien (58,8%), agama Protestan 21 pasien (31,8%), dan frekuensi terendah adalah agama Katholik 8 pasien (9,4%).

5. Sindrom koroner akut berdasarkan riwayat keluarga memiliki penyakit jantung hanya 13 pasien (15,3%) dan sebanyak 72 pasien (84,7%) tidak mempunyai riwayat keluarga memiliki penyakit jantung.

6. Angka kejadian sindrom koroner dengan kebiasaan merokok sebanyak 56 pasien (65,9%) dan sebanyak 29 pasien (34,1%) tidak mempunyai kebiasaan merokok.

(36)

57

8. Angka kejadian sindrom koroner akut dengan dislipidemia sebanyak sebanyak 44 pasien (51,8%), dan sebanyak 41 pasien (48,2%) tidak mempunyai dislipidemia.

9. Angka kejadian sindrom koroner akut dengan diabetes melitus sebanyak 48 pasien (56,5%), dan sebanyak 37 pasien (43,5%) tidak mempunyai diabetes melitus.

6.2 Saran

Dari pengamatan selama melakukan penelitian ini, terdapat beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Diantaranya :

1. Informasi tentang gambaran pasien sindrom koroner akut perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat untuk menambah pengetahuan masyarakat dan mencegah terjadinya sindrom koroner akut.

2. Perlu dilakukan penyuluhan atau program untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui Dinas Kesehatan tentang faktor risiko ataupun kebiasaan yang bisa menyebabkan seseorang itu menderita sindrom koroner akut.

3. Diharapkan agar data-data di rekam medis RSUP Haji Adam Malik Medan dapat dilengkapkan dengan data yang semaksimal mungkin agar tidak timbul masalah di saat pengambilan data yang disebabkan oleh rekam medis yang tidak lengkap.

(37)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pendarahan Arteri Koroner

2.1.1 Pendarahan Arteri Koroner

1. Arteri Koroner Kiri Utama/Left Main(LM)

Arteri koroner kiri utama yang lebih popular dengan sebutan Left Main (LM), keluar dari sinus aorta kiri; kemudian segera bercabang-cabang dua menjadi arteri Left Anterior Descending (LAD) dan Left Circumflex (LCX).Arteri LM berjalan diantara alur keluar ventrikel kanan (right ventricle outflow tract) yang terletak didepannya, dan atrium kiri

dibelakangnya; baru kemudian bercabang menjadi arteri LAD dan arteri LCX (Kaligis, 2012).

2. Arteri Left Anterior Descending (LAD)

Arteri LAD berjalan di parit interventrikular depan sampai ke apeks jantung, men-suplai: bagian depan septum melalui cabang-cabang septal dan bagian depan ventricular kiri melalui cabang-cabang diagonal, sebahagian besar ventrikel kiri dan juga berkas Atrio-ventrikular. Cabang-cabang diagonal keluar dari arteri LAD dan berjalan menyamping mensuplai dinding antero lateral ventrikel kiri; cabang diagonal bisa lebih dari satu (Kaligis, 2012).

3. Arteri Left Circumflex (LCX)

(38)

6

4. Arteri Koroner Kanan/Right Coronary Artery (RCA)

Arteri koroner kanan keluar dari sinus aorta kanan dan berjalan didalam parit atrioventrikular kanan diantara atrium kanan dan ventrikel kanan menuju ke bagian bawah dari septum. Pada 50-60% kasus, cabang pertama dari RCA adalah cabang conus yang kecil yang mensuplai alur keluar ventrikel kanan. Pada 20-30% kasus, cabang conus muncul langsung dari aorta. Cabang sinus node pada 60% kasus keluar sebagai cabang kedua dari RCA dan berjalan ke belakang mensuplai SA-node. (Pada 40% kasus cabang ini keluar dari arteri LCX). Cabang-cabang berikutnya adalah cabang-cabang yang berjalan diagonal dan mengarah ke depan dan men-suplai dinding depan ventrikel kanan. Selanjutnya adalah cabang acute marginal (AM) dan berjalan ditepi ventrikel kanan diatas diafragma. RCA

berlanjut kebelakang berjalan didalam parit atrioventrikular dan bercabang arteri AV node.Pada 65% kasus, cabang Posterior Descending Artery (PDA) keluar dari RCA (sirkulasidominan kanan). Cabang PDA men-suplai dinding bawah ventricular kiri dan bagian bawah septum (Kaligis, 2012).

5. Vena koroner

Sebagian besar darah vena disalurkan melalui pembuluh vena yang berjalan berdampingan dengan arteri koroner. Vena kardiak bermuara di sinus koronarius yaitu suatu vena besar yang berakhir di atrium kanan. Sebagian kecil darah dari sirkulasi koroner datang langsung dari otot jantung melalui vena-vena kecil dan disalurkan langsung ke dalam ke empat ruang jantung (Kaligis, 2012).

6. Vena Kardiak Besar (Great Cardiac Vein/Vena Cordis Magna)

Bermula di apeks jantung dan naik sepanjang parit interventrikular depan, berdampingan dengan arteri LAD, kemudian belok ke kiri ke dalam parit atrioventrikular, berjalan disamping arteri LCX. Great Cardiac Vein juga menampung darah dari atrium kiri (Kaligis, 2012).

(39)

7

Berjalan ke kanan di dalam parit atrioventrikular. Berakhir di dinding belakang atrium kanan, diantara pangkal vena cava inferior dan celah atrioventrikular dan menerima darah vena kardiak sedang dan kecil (Kaligis, 2012).

8. Vena Kardiak Sedang dan Kecil (Middle Cardiac Vein dan Small Cardiac Vein/Vena Cordis Parva) Vena kardiak sedang berjalan didalam parit interventrikular belakang dan vena kardiak kecil berjalan di parit atrioventrikular berdampingan dengan RCA (Kaligis, 2012).

9. Vena Posterior Ventrikel Kiri

Vena ini berakhir di sisi samping ventrikel kiri dan masuk ke dalam sinus koronarius (Kaligis, 2012).

(40)
[image:40.595.115.508.110.337.2]

8

Gambar 2.1 Anatomi arteri koroner jantung. Sumber : Atlas of human anatomy, Frank H. Netter 2011.

[image:40.595.111.501.411.620.2]
(41)

9

2.2 Sindrom Koroner Akut (SKA)

2.2.1 Definisi Sindrom Koroner Akut

SKA adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/ STEMI) (Departemen Kesehatan, 2006).

APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila pertanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS (Departemen Kesehatan, 2006).

Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/ oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling sensitif dan spesifik untuk nekrose miosit dan penentuan patogenesis dan alur pengobatannya. Sedang kebutuhan miokard tetap dipengaruhi obat-obat yang bekerja terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik, beban awal untuk mengurangi konsumsi O2 miokard. APTS dan NSTEMI merupakan SKA yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard. Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang terjadi pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur. Ketiga jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang: dari fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu terutama dipengaruhi oleh kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan lamanya iskemia miokard berlangsung (Departemen Kesehatan, 2006).

2.2.2 Epidemiologi Sindrom Koroner Akut

(42)

10

serangan infark jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakkan (Trisnohadi, 2009).

Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah Sakit.Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam dua dekade terakhir, sekitar 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal,meningggal dalam tahun pertama setelah IMA (Alwi, 2009).

Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering didapatkan pada pasien yang datang ke IGD, diperkirakan 5,3 juta kunjungan/tahun. Kira-kira 1/3 darinya disebabkan oleh (unstable angina=UA dan non ST elevation myocardial infarction=NSTEMI), dan merupakan penyebab tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka kunjungan ke RS untuk pasien UA/NSTEMI semakin meningkat, sementara angka infark miokard dengan elevasi (STEMI) menurun (Harun et al., 2009).

2.2.3 Etiologi Sindrom Koroner Akut

Penyebab dari Sindrom Koroner Akut ini adalah : 1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada

2. Obstruksi dinamik ( spasme koroner atau vasokonstriksi ) 3. Obstruksi mekanik yang progresif

4. Inflamasi dan/atau infeksi

5. Faktor atau keadaan pencetus (Departmen Kesehatan, 2006)

(43)

11

1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada

Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi miokard oleh karena penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang robek/pecah dan biasanya tidak sampai menyumbat. Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta komponennya dari plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di distal, merupakan penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada banyak pasien (Departemen Kesehatan, 2006).

2. Obstruksi dinamik

Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner epikardium (angina prinzmetal).Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil (Departemen Kesehatan, 2006).

3. Obstruksi mekanik yang progresif

Penyebab ke tiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI) (Departemen Kesehatan, 2006).

4. Inflamasi dan/atau infeksi.

Penyebab ke empat adalah inflamasi, disebabkan oleh/yang berhubungan dengan infeksi, yang mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase, yang dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur plak, sehingga selanjutnya dapat mengakibatkan SKA (Departemen Kesehatan, 2006).

(44)

12

mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard, dan mereka biasanya menderita angina stabil yang kronik. SKA jenis ini antara lain karena : a. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan

tirotoksikosis

b. Berkurangnya aliran darah koroner

c. Berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan hipoksemia.

Kelima penyebab SKA di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan banyak terjadi tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai lebih dari satu penyebab dan saling terkait (Departemen Kesehatan, 2006).

2.2.4 Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut

Faktor resiko SKA terbagi dua, faktor resiko yang tidak dapat diubah dan yang dapat diubah (Overbaugh, 2009).

Faktor resiko yang tidak dapat diubah adalah: 1. Usia

2. Jenis kelamin 3. Riwayat keluarga

Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah adalah : 1. Merokok

2. Hipertensi 3. Hiperlipidemia 4. Diabetes mellitus

5. Obesitas (Overbaugh, 2009).

2.2.5 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut

1. Angina Pektoris Tak Stabil (APTS)

(45)

13

ST, inversi gelombang T dan elevasi segmen ST yang transien (Juzar, et al., 2012). Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu:

a. Pasien dengan angina yang masih baru dalam dua bulan, di mana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari.

b. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan.

c. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.

d. Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik (Juzar, et al., 2012).

Beratnya angina : a. Kelas 1

Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada.

b. Kelas 2

Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.

c. Kelas 3

Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir (Trisnohadi, 2009) Keadaan Klinis :

a. Kelas A

Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris.

b. Kelas B

Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor ekstra kardiak. c. Kelas C

(46)

14

2. Infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)

Infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan angina pektoris tak stabil (APTS) diketahui merupakan kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis APTS menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung (Harun et al., 2009).

Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala yang paling sering didapatkan pada pasien yang datang ke instalasi gawat daruratan. Perlu diingat bahwa prinsip penatalaksanaan sangat tergantung kepada sarana/prasarana yang tersedia di tempat pelayanan masing-masing khususnya untuk tindakan intervensi koroner (Harun et al., 2009).

3. Infark Miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)

Infark Miokard dengan elevasi segmen ST merupakan bahagian dari spektrum SKA yang mengambarkan cedera miokard transmural, akibat oklusi total arteri koroner oleh trombus. Bila tidak dilakukan revaskularisasi segera, maka akan terjadi nekrosis miokard yang berhubungan linear dengan waktu. Maka dikenalah paradigm “time is muscle”, yang berarti tidak akan bisa diselamatkan. Paradigma ini menekan perlunya reperfusi sedini mungkin (Juzar et al., 2012).

2.2.6 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut

2.2.6.1 Angina Pektoris Tak Stabil

1. Ruptur plak

(47)

15

angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap). Plak tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil (Trisnohadi, 2009).

2. Trombosis dan agregasi trombosit

Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu di sebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin (Trisnohadi, 2009).

3. Vasospasme

(48)

16

4. Erosi pada plak tanpa ruptur

Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia (Trisnohadi, 2009).

2.2.6.2 Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST (STEMI)

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid (Alwi, 2009).

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa (Alwi, 2009).

(49)

17

multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi (Alwi, 2009).

Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2009).

2.2.6.3 Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST (NSTEMI)

NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati (Sjaharuddin, 2009).

2.2.7 Gambaran Klinis Sindrom Koroner Akut

2.2.7.1. Gambaran Klinis Angina Tak Stabil

1. Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa.

(50)

18

3. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin.

4. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas (Trisnohadi, 2009).

2.2.7.2 Gambaran Klinis Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST

(STEMI)

1. Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar. 2. Nyeri tumpul,rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala

yang sering ditemukan pada NSTEMI.

3. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahawa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat/terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada waktu istirahat.

4. Gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik.

5. Gejala tidak khas seperti dispneu ,mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun (Harun et al., 2009).

2.2.7.3 Gambaran Klinis Infark Miokard Dengsn Elevasi Segmen ST

(STEMI)

1. Nyeri dada dengan lokasi substernal, retrosternal, dan prekordial.

2. Sifat nyeri seperti rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

3. Penjalaran biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.

(51)

19

5. Gejala yang menyertai seperti mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas (Alwi, 2009).

2.2.8 Diagnosis Sindrom Koroner Akut

2.2.8.1 Anamnesis

Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu; gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG (elektrokardiogram) dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien SKA (Departemen Kesehatan, 2006).

Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut : 1. Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial

2. Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

3. Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.

4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat

5. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan

6. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas (Departemen Kesehatan, 2006)

(52)

20

[image:52.595.116.514.180.323.2]

multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis (Departemen Kesehatan, 2006).

Tabel 2.1. Tiga Penampilan Klinis Umum (Departemen Kesehatan, 2006). * Klasifikasi AP dari CCS classification

No Patogenesis Penampilan Klinis Umum

1 Angina saat istirahat

Angina terjadi saat istirahat dan terus menerus, biasanya

lebih dari 20 menit 2 Angina pertama kali

Angina yang pertama kali terjadi, setidaknya CCS Kelas III

3 Angina yang meningkat

Angina semakin lama makin sering, semakin lama waktunya

atau lebih mudah tercetus

2.2.8.2. Pemeriksaan Fisik

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI. Hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru.

Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3) menunjukkanprognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner (PJK) (Departemen Kesehatan, 2006).

2.2.8.3. Elektrokardiografi

EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG adalah :

1. Depresi segmen ST > 0,05 mV

2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di sandapan prekordial.

(53)

21

adanya perubahan segmen ST. Namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI (Departemen Kesehatan, 2006). Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut, dengan berbagai ciri dan katagori:

1. Angina pektoris tidak stabil: depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai gelombang Q.

2. Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T (Departemen Kesehatan, 2006).

2.2.8.4. Petanda Biokimia Jantung

Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari, adalah sama. Kemampuan dan nilai dari masing-masing petanda jantung dapat dilihat pada Tabel 2(Departemen Kesehatan, 2006)

(54)
[image:54.595.118.516.139.696.2]

22

Tabel 2.2. Petanda Biokimia Jantung Untuk Evaluasi dan Tatalaksana SKA tanpa Elevasi Segmen ST (Departemen Kesehatan, 2006)

Petanda Keunggulan Kekurangan Rekomendasi

klinik Troponin

Jantung

- Modalitas yang kuat untuk stratifikasi risiko - Sensitivitas dan

spesitifitas yanglebih baik dari CKMB - Deteksi serangan

infark miokard sampai dengan 2 minggu setelah terjadi

- Bermanfaat untuk seleksi pengobatan - Deteksi reperfusi

- Kurang sensitif pada awal terjadinya serangan(onset <6 jam) dan membutuhkan penilaian ulang pada 6-12 jam, jika hasil negatif. - Kemampuan yang

terbatas untuk mendeteksi infark ulangan yang terlambat. -Tes yang bermanfaat untuk mendiagnosis kerusakan miokard, dimana klinisi harus membiasakan diri dengan keterbatasan penggunaan pada laboratorium RS masing-masing.

CK-MB - Cepat, efisiensi biaya dan tepat - Dapat

mendeteksi awal infark

- Kehilangan

spesifitas pada penyakit otot jantung dan

kerusakan otot miokard akibat bedah

- Kehilangan sensitifitas saat awal infark

miokard akut (onset < 6 jam) atau sesudahnya setelah onset (36 jam) dan untuk kerusakan otot jantung minor (terdeteksi dengan Troponin).

- Standar yang berlaku dan masih dapat diterima sebagai tes diagnostik pada sebagaian besar kondisi

Mioglobin - Sensitifitas tinggi - Bermanfaat

untuk deteksi awal

infark miokard - Deteksi reperfusi - Sangat

bermanfaat dalam menilai infark miokard

- Spesifitas yang rendah dalam menilai kerusakan dan penyakit otot rangka

- Penurunan yang cepat ke nilai normal, sensitif untuk kejadian yang terlambat (normal kembali dalam 6 jam)

(55)

23

Meskipun mioglobin tidak spesifikasi untuk jantung, tapi memiliki sensitifitas yang tinggi. Dapat terdeteksi secara dini 2 jam setelah onset nyeri. Tes negative dari mioglobin dalam 4-8 jam sangat berguna dalam menetukan adanya nekrosis miokard. Meskipun demikian mioglobin tak dapat digunakan sebagai satu satunya petanda jantung untuk mengidentifikasi pasien dengan NSTEMI. Peningkatan kadar CKMB sangat erat berkaitan dengan kematian pasien dengan SKA tanpa elevasi segmen ST, dan naiknya risiko dimulai dengan meningkatnya kadar CKMB diatas normal. Meskipun demikian nilai normal CKMB tidak menyingkirkan adanya kerusakan ringan miokard dan adanya risiko terjadinya perburukan penderita (Departemen Kesehatan, 2006).

[image:55.595.116.511.465.683.2]

Troponin khusus jantung merupakan petanda biokimia primer untuk SKA. Sudah diketahui bahwa kadar troponin negatif saat < 6 jam harus diulang saat 6-12 jam setelah onset nyeri dada. Pemeriksaan troponin jantung dapat dilakukan di laboratorium kimia atau dengan peralatan sederhana / bediside. Jika dilakukan di laboratorium, hasilnya harus dapat diketahui dalam waktu 60 menit (Departemen Kesehatan, 2006).

Tabel 2.3. Spektrum Klinis Sindrom Koroner (Departemen Kesehatan, 2006)

Jenis Nyeri Dada EKG Enzim

Jantung

APTS

Angina pada waktu istirahat/aktivitas ringan (CCS III-IV). Cresendo angina. Hilang dengan nitrat

Depresi segmen T Inversi gelombang T Tidak ada gelombang Q

Tidak meningkat

NSTEMI Lebih berat dan lama (> 30 menit). Tidak hilang dengan nitrat, perlu opium.

Depresi segmen ST Inversi gelombang T

Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal STEMI Lebih berat dan lama (>

30 menit) tidak hilang dengan nitrat, perlu opium

Hiperakut T Elevasi segmen T Gelombang Q Inversi gelombang T

Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal.

(56)

24

2.2.9 Tatalaksana Sindrom koroner akut

2.2.9.1 Evaluasi Awal

Langkah pertama dalam penanganan pasien dengan keluhan nyeri dada bertujuaan untuk menegakkan diagnosis kerja dengan cepat dan memilih tatalaksana yang tepat. Berdasarkan kwalitas nyeri dada, anamnesa dan pemeriksaan fisik terarah serta gambaran EKG, pasien dikelompokan menjadi salah satu dari : STEMI, NSTEMI dan kemungkinan diagnosis SKA rendah (Juzar et al., 2012).

2.2.9.2Penanganan Awal

Penanganan awal dimulai saat diagnosis angina pektoris tidak stabil dan STEMI ditegakan atau bahkan dicurigai terhadap SKA cukup tinggi, meliputi :

1. Atasi nyeri dada akibat iskemia.

2. Melakukan penilaian status hemodinamik dan perbaiki kelainannya. Sebagai contoh hipertensi dan takikardia merupakan keadaan yang meningkatkan kebutuhan konsumsi oksigen, dan bisa diatasi dengan pemberian penyekat beta dan nitrogliserin intravena.

3. Risiko untuk terjadi komplikasi diestimasi menggunakan stratifikasi risiko dini.

4. Berdasarkan estimasi stratifikasi risiko diatas, strategi tatalaksana ditentukan antara strategi invasif (angiografi koroner dengan tujuan revaskularisasi) atau konservatif (medikamentosa).

5. Inisiasi terapi antitrombolitik (antiplatelet dan antikoagulan) untuk mencegah terjadinya trombosis baru dan embolisasi dari plak aterosklerosis yang ruptur atau erosi.

6. Pemberian penyekat beta untuk mencegah terjadinya iskemia berulang dan aritmia ventrikular maligna (Juzar et al., 2012).

(57)

25

1. Pemberian antiplatelet jangka panjang untuk menurunkan risiko trombosis arteri koroner berulang.

2. Penyekat beta

3. Statin (Juzar et al., 2012).

Terapi Anti-Iskemia dan Analgesik

1. Oksigen dianjurkan bila saturasi OЇ perifer < 90%.

2. Nitrogliserin, isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual dan dilanjutkan dengan pemberian kontinu melalui intravena, manfaat nitrogliserin antara lain :

a. Dilatasi arteri koroner

b. Dilatasi system vena/venodilator akan menurunkan preload/volume ventrikel dan tekanan baji arteri pulmonalis, sehingga berguna pada pasien dengan kongesti pulmonal.

c. Dilatasi arteri sistemik, mengurangi afterload sehingga konsumsi oksigen menurun.

d. Terminasi angina variant/angina prinzmetal/angina vasospasme. e. Meningkatkan aliran darah melalui kolateral (Juzar et al., 2012). Pemberian nitrat bentuk apapun harus dihindari pada keadaan- keadaan dibawah ini :

a. Tekanan darah sistolik ≤ 90mmHg atau penurunan tekanan >30mmHg dari baseline. Hipotensi pada iskemia miokard dapat mengakibatkan kerusakan miokard yang lebih luas.

b. Dicurigai terdapat infark miokard ventrikel kanan.

c. Pasien masih dalam pengaruh penyekat diesterase inhibitor (seperti sildenafil), karena dapat menyebabkan hipotensi berat.

(58)

26

Dosis dan cara pemberian :

a. Sublingual nitrogliserin 0.4 mg atau isosorbide dinitrat (ISDN) 5mg setiap 5 menit.

b. Nitrogliserin intravena digunakan bila angina tidak teratasi dengan pemberian sublingual. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5mcg/menit ditingkatkan secara titrasi sebesar 5 mcg/menit setiap 3-5 menit. Bila tidak ada response pada dosis 20 mcg dapat ditingkatkan dengan sebesar 10-20 mcg/menit hingga dosis maksimal 400 mcg/menit. ISDN diberikan dengan dosis awal 1 mg/jam ditingkatkan secara titrasi sebesar 1 mg/jam setiap 3-5 menit hingga dosis maksimal 10 mg/jam (Juzar et al., 2012).

3. Morphine diberikan untuk mengatasi nyeri dada dan ansietas dengan dosis awal 2-4 mg, dapat ditingkatkan hingga 8 mg dan diulang setiap 5-15 menit. Namun efek samping depresi nafas di antisipasi pada dosis tinggi. 4. Penyekat beta secara kompetitif mengambat efek katekolamin terhadap

miokard dengan cara menurunkan laju jantung, kontraktilitas dan tekanan darah, sehingga konsumsi oksigen oleh miokard menurun (Juzar et al., 2012).

Agen Antiplatelet

Peran aktivasi dan agregasi platelet sangat besar pada propagasi trombus, sehingga merupakan target utama pada penanganan pasien SKA. Pemberian antiplatelet harus dilakukan secepatnya untuk mengurangi risiko komplikasi iskemia akut dan kejadian aterotrombosis berulang.

Saat ini ada tiga kelas antiplatelets, yaitu :

1. Penghambat siklo oksiginase (COX1) : Aspirin

2. Penyekat reseptor P2Y12 : Clopigogrel, Prasugrel dan Ticagrelor.

3. Penyekat reseptor GPIIbIIIa : (Abxicimab, eptifibatide dan tirofiban) (Juzar et al., 2012).

(59)

27

1. Semua pasien tanpa kontraindikasi, dosis awal 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg untuk jangka panjang.

2. Penyekat reseptor P2YІЇ diberikan secepatnya dan diberikan untuk 12 bulan, kecuali ada kontraindikasi, seperti pendarahan.

3. Penyekat Pompa Proton (PPI) di kombinasi dengan pemberian dual antiplatelets (DAPT) pada pasien dengan riwayat pendarahan gastrointestinal.

4. Pemberhentian penyekat reseptor P2Y12 sebelum 12 bulan sejak kejadian ACS, perlu dihindari kecuali ada indikasi klinis.

5. Ticagrelor (loading 18 mg, dosis pemeliaraan 2 × 90 mg) untuk semua pasien dengan risiko sedang dan berat (peningkatan enzim petanda jantung).

6. Prasugrel* (loading 60 mg, dosis pemeliharaan 1× 10 mg) pada pasien yang anatomi koroner telah diketahui dan dilakukan PCI, kecuali mempunyai faktor risiko untuk terjadi perdarahan masif dan kontraindikasi lainnya. *Saat artikel ini ditulis prasugrel tidak tersedia di Indonesia. 7. Clopidogrel (loading 300mg, dosis pemeliharaan 1×75 mg) untuk pasien

yang tidak mendapatkan ticagrelor dan prasugrel.

8. Loading clopidogrel 600 mg dianjurkan untuk pasien yang menjalani strategi invasif dan tidak mendapat ticagrelor dan prasugrel.

9. Pada pasien dengan penyekat reseptor P2YІЇ dan perlu menjalani operasi mayor (termasuk Coronary Arterial Bypass Graft, CABG), bila memungkinkan ditunda selama 5 hari (clopidogrel dan ticagrelor) atau 7 hari (prasugrel).

10.Kombinasi aspirin dengan NSAID tidak dianjurkan (Juzar et al., 2012).

Penyekat Glycoprotein IIb/IIIa

(60)

28

pasien menjalani strategi konservatif hasilnya tidak lebih baik dibandingkan placebo.

Perlu diingat bahwa pengunaan GIIb/IIIa akan meningkatkan kejadian perdarahan mayor, sehingga potensi keuntungannya harus dinilai bersama dengan risiko perdarahannya. Pada pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi (usia lanjut, riwayat perdarahan gastrointestinal) keuntungan penggunaanGIIb/IIIa jadi berkurang (Juzar et al., 2012).

Antikoagulan

Antikoagulan diberikan untuk mencegah generasi thrombin dan aktivitasnya. Banyak studi telah membuktikan bahwa kombinasi antikoagulan dan antiplatelet sangat efektif dalam mengurangi serangan jantung akibat trombosis. Kombinasi kedua agen akan lebih efektif dari hanya pemberian salah satu agen saja. Ada beberapa macam antikoagulan, yaitu :

1. Penghambat thrombin indirek unfractionated heparin (UFH), Low molecular weight heparin (LMWH).

2. Penghambat faktor Xa indirek : LMWH dan Fondaparinux 3. Penghambat faktor Xa direk : Bivalirudin (Juzar et al., 2012).

Rekomendasi penggunaan antikoagulan :

1. Semua pasien dan dikombinasi dengan terapi antiplatelet. 2. Fondaparinux 2.5 mg subkutan setiap hari.

3. Pada pasien yang telah menggunakan fondaparinux, bila akan dilakukan PCI memerlukan tambahan UFH 85 iu/kg bolus tunggal atau 60 iu/kg bila mendapatkan GP IIB/IIIa.

4. Enoxaparin 1 mg/kg dua kali perhari bila fondaparinux tidak tersedia. 5. Bila Fondaparinux atau anoxaparin tidak tersedia, berikan UFH 85 iu/kg

dengan target aPTT 50-70s.

6. Pada pasien dengan strategi konservatif antikoagulan diberikan hingga pasien dipulangkan.

(61)

29

Revaskukarisasi Koroner

Pasien dengan NSTEMI mempunyai spektrum yang luas dan heterogen, mulai dari risiko rendah hingga risiko tinggi; sehingga stratifikasi risiko menjadi penting. Pada pasien dengan risiko rendah, pendekatan terbaik dengan medikamentosa (strategi konservatif). Namun pada pasien dengan risiko tinggi menjalani kematian dan kejadian kardivaskular, pemeriksaan angiografi koroner dengan tujuan untuk revaskularisasi (strategi invasif) telah terbukti mengatasi simptom, memperpendek hari perawatan dan memperbaiki prognosis. Penilaiaan stratifikasi risiko menjadi bahagian penting untuk menentukan strategi yang optimal untuk setiap pasien.

Pasien dinyatakan berisiko sangat tinggi dan membutuhkan pendekatan invasif mendesak (dalam 2 jam), bila ditemukan salah satu tanda dibawah ini;

1. Angina pektoris yang tidak dapat diatasi dengan medikamentosa. 2. Gagal jantung yang berat.

3. Instabilitas hemodinamik. 4. Aritmia ventricular maligna.

Metode revaskularisasi yang dipilih antara metoda PCI (percutaneous coronary intervention) dan metoda bedah pintas koroner (coronary artery bypass

graft, CABG) tegantung banyak faktor, yaitu: kondisi pasien adanya gambaran

risiko tinggi, penyakit komorbid dan berat serta banyaknya lesi berdasarkan hasil angiografi koroner (Juzar et al., 2012).

Sekitar setengah pasien NSTEMI memperlihatkan hasil angiografi koroner penyempitan pada satu pembuluh darah (lesi “culprit”). Pada keadaan ini angiografi dilanjutkan dengan tindakan PCI menggunakan stent. Namun 50% dari pasien NSTEMI memperlihatkan penyempitan arteri koroner yang multiple, sehingga keputusan untuk menggunakan metoda revaskularisasi PCI atau CABG menjadi lebih kompleks (Juzar et al., 2012).

Intervensi koroner perkuatan (PCI)

(62)

30

kembali. Tipe cincin dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu : stent bersalut obat (DES : drug eluting stent) dan cincin tanpa salutan obat (BMS : bar

Gambar

Gambar 3.1 : Kerangka Operasional
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Tipe Sindrom Koroner Akut
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom Koroner Akut Berdasarkan Agama
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Sampel Yang Didiagnosa Dengan Sindrom  Koroner Akut Berdasarkan Riwayat Keluarga Memiliki
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab paling sering PJK adalah penurunan perfusi miokard olehkarena penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang

Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan menjadi Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI), yaitu oklusi total dari arteri koroner yang

Penyebab paling sering PJK adalah penurunan perfusi miokard olehkarena penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang

56 623357 61 &gt; 60 tahun Perempuan Protestan STEMI Tidak ada Tidak merokok Hipertensi Tidak hiperlipidemia Diabetes Melitus 57 625658 46 40 - 60 tahun Laki-laki Islam STEMI Ada

Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu jenis Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang ditandai oleh gejala nyeri pada dada yang timbul secara akut akibat kurangnya

sindroma koroner akut yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, NSTEMI,

Hasil penelitian didapatkan 86 penderita sindrom koroner akut dimana jumlah penderita angina pektoris tidak stabil adalah 47 orang, jumlah penderita infark miokard akut tanpa

Gambaran Tekanan Darah pada Pasien Sindroma Koroner Akut di RS Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun 2011- 2012.. Jurnal