• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Pembahasan

2.1 Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Berdasarkan Karakteristik Demografi Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 67.4% remaja Teluk Dalam tidak mengalami PTSD pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias. Hal ini sinkron jika dilihat dari data demografi bahwa mayoritas responden yang tidak mengalami PTSD berada pada rentang usia 17-18 tahun (42.2%). Rentang usia ini dikategorikan sebagai akhir dari masa remaja. Oleh karena itu, pada masa ini remaja diharapkan telah mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan remaja sehingga mampu secara optimal memasuki tahap perkembangan selanjutnya (Hurlock, 1980).

Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu: mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya, mencapai kemandirian ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan mampu memperoleh perangkat nilai dan sistem etis (Hurlock, 1980).

Menurut Yusuf (2011), masa remaja akhir ditandai oleh keinginan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang secara matang dengan mencapai tugas-tugas perkembangan agar diterima oleh teman sebaya, orang dewasa, dan budaya. Pada periode ini, remaja memperoleh kesadaran yang jelas tentang apa yang diharapkan

masyarakat dari dirinya. Untuk itu, mereka mengumpulkan berbagai peran dan perilaku yang sesuai dengan harapan-harapan sosial. Penyesuain diri ini menstimulus terbentuknya koping yang adaptif dalam menghadapi berbagai situasi. Remaja mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah melalui tindakan logis. Remaja dapat berfikir abstrak dan menghadapi masalah hipotenik, tekanan, pengalaman tidak menyenangkan atau pengalaman traumatis di masa lalu secara efektif. Jika berkonfrontasi dengan masalah, remaja dapat mempertimbangkan beragam penyebab dan solusi. Kemampuan koping sebelumnya jika berhasil digunakan dengan baik dapat menunjukkan adaptasi yang sehat dan fungsi remaja yang utuh.

Responden perempuan adalah yang terbanyak tidak mengalami PTSD, yaitu 135 orang (34.1%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Sadock, B.J & Sadock, V.A (2007) yang mengemukakan bahwa prevalensi terjadinya PTSD lebih tinggi pada populasi perempuan, yaitu berkisar 10-12% sedangkan laki-laki berkisar 5-6%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rachmadiany (2008) juga menemukan bahwa penderita PTSD yang mendapatkan penanganan di Trauma Center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara, lebih banyak berjenis kelamin perempuan yaitu 62.5% sedangkan laki-laki sebanyak 37.5%.

Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat resiliensi yang dimiliki oleh perempuan Nias pasca bencana. Menurut Baustita dkk. (2001 dalam Sulystyaningsih, 2009), resiliensi adalah kemampuan luar biasa pada individu untuk tetap bertahan menghadapi penderitaan yang amat berat, untuk bangkit kembali menghadapi kesulitan hidup yang besar, dan menjalani hidup secara

relatif normal. National Institute of Mental Health (NIMH, 2008) menyebutkan bahwa faktor resiliensi untuk PTSD mencakup adanya dukungan dari orang lain seperti teman dan keluarga, memilki support group setelah kejadian traumatis, perasaan yang lebih baik terhadap reaksi yang timbul untuk menghadapi bahaya, memiliki strategi koping yang efektif, mampu untuk bertindak dan berespon secara efektif daripada merasakan ketakutan. Makin banyak faktor-faktor resiliensi ini dimiliki oleh individu, maka resiko untuk menderita PTSD akan berkurang. Hasil penelitian ini didukung oleh Simatupang (2009) yang menemukan bahwa resiliensi perempuan Nias pasca tsunami dan gempa bumi menunjukkan tingkat resiliensi yang baik, yaitu sebesar 81%.

Untuk meningkatkan kesadaran perempuan Niastentang adanya resilience di dalam diri mereka sebagai penyintas bencana gempa bumi, salah satu strategi yang digunakan adalah dengan mengikut-sertakan secara aktif atau memberdayakan kaum perempuan dalam berbagai kegiatan rekonstruksi pasca bencana dengan mendorong adanya kesetaraan gender. Kesetaraan gender merupakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang mengacu pada hak, kewajiban, dan kesempatan yang setara pada perempuan dan laki-laki dan anak perempuan dan anak laki-laki. Kesetaraan tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki akan menjadi sama, tetapi bahwa hak-hak, kewajiban, dan kesempatan perempuan maupun laki-laki tidak akan tergantung pada apakah mereka terlahir sebagai laki-laki atau perempuan. Kesetaraan gender menyiratkan bahwa minat, kebutuhan, dan prioritas perempuan maupun laki-laki dihargai, mengakui atas

keragaman di antara berbagai kelompok laki-laki dan perempuan yang berbeda-beda (MDF-JRF, 2012).

Multi Donor Fund untuk Aceh dan Nias (MDF) dan Java Reconstruction Fund (JRF) diakui secara luas telah berperan penting dalam strategi dan langkah untuk mendukung kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan pengarusutamaan pendekatan yang peka gender dalam upaya rekonstruksi. Komitmen terhadap gender dan pemberdayaan perempuan telah dimulai di Nias dan Aceh dan diteruskan pada saat dilakukannya upaya pemulihan dan rekonstruksi setelah gempa bumi dan letusan vulkanis di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Hasil menunjukkan bahwa keterlibatan aktif perempuan dalam upaya rekonstruksi, perencanaan pemukiman masyarakat, pemulihan mata pencaharian, dan pengurangan risiko bencana meningkatkan daya tahan mereka apabila kembali terjadi bencana di masa depan. Perempuan mempelajari berbagai keterampilan dan mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan mereka menciptakan dan mempertahankan mata pencaharian, serta mengatasi kehilangan akibat bencana yang tentu saja berdampak pada ketahanan psikologis mereka.

Perempuan seringkali digambarkan sebagai korban bencana yang pasif. Bukti menunjukkan sebaliknya: perempuan aktif berjuang menyelamatkan komunitas mereka. Meskipun mengalami trauma, perempuan tetap dapat menjalankan kewajiban-kewajiban mereka seperti biasa, bahkan lebih dari kaum pria, yang dalam sejumlah kasus trauma pasca bencana, menunjukkan sikap yang lebih beringas atau menggila. Perempuan memobilisasi jaringan sosial formal dan

informal yang mereka miliki dan juga memobilisasi kerabat-kerabat mereka untuk memenuhi kebutuhan, mengelola tempat penampungan dan mengurus anggota keluarga besar mereka yang terkena dampak bencana. Tidak lama setelah terjadi bencana di Aceh, Nias dan Jawa, para perempuan yang selamat tampil sebagai mitra penting bagi para laki-laki di komunitas mereka, mengurusi mereka yang sakit dan terluka, menolong anak-anak, mencari makanan, mencarikan air dan menjaga keutuhan rumah tangga. Peran sosial sebagai perawat dan pengasuh yang dibebankan kepada mereka secara alamiah meluas hingga ke manajemen risiko, menjaga keselamatan jiwa dan sistem pendukung kehidupan (MDF-JRF, 2012).

Data penelitian menunjukkan sebanyak 256 orang (64.6%) adalah pelajar dengan tingkat pendidikan SMA, yaitu 189 orang (47.7%), tidak mengalami PTSD. Secara umum, aspek/tingkat pendidikan terkait dengan tingkat pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal. Pengetahuan dasar mengenai bencana alam seperti ciri-ciri, gejala, penyebab dan akibat yang ditimbulkan selalu dijadikan sebagai awal dari sebuah tindakan dan kesadaran seseorang. Sehingga dengan kapasitas pengetahuan diharapkan bisa menjadi dasar dari tindakan seseorang. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2007) tentang Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami di Nias Selatan, menemukan bahwa tingkat pengetahuan murid terhadap bencana gempa bumi dan tsunami seperti penyebab dan akibat yang ditimbulkan dikategorikan tinggi, yaitu 63.14%.

Penyebab gempa bumi dikatakan oleh hampir seluruh murid disebabkan oleh pergeseran kerak bumi (87.8%), gunung meletus (92.7%), tanah longsor

(61%). Gempa bumi dapat menimbulkan akibat yang lain, hal ini diketahui oleh responden murid. Bencana yang ditimbulkan akibat gempa bumi antara lain tsunami (90.2%), gunung meletus (73.2%), kebakaran (65.9%). Pengetahuan murid akan gempa bumi yang tidak bisa diketahui secara pasti kapan terjadinya dimiliki lebih besar murid dibandingkan guru mereka, yaitu 63.4%. Gempa kuat menurut responden adalah gempa yang dapat membuat pusing dan limbung (65.9%), memiliki goyangan kuat (92.7%), waktu terjadinya cukup lama dan diikuti gempa-gempa kecil (73.2%), mengakibatkan bangunan retak dan roboh (87.8%). Pengetahuan gempa kuat itu terlihat dari jawaban-jawaban mengenai apa yang harus dilakukan ketika gempa itu terjadi, sebanyak 85.4% mengatakan akan menuju lapangan terbuka, menjauhi benda-benda tergantung atau menjauhi dinding kaca 82.9%, berlindung di bawah meja sambil berpegangan pada kaki meja 73.2%, tidak berdesakan saat keluar ruangan/gedung 73.2%. Nugroho (2007) juga menyebutkan sebanyak 73.2% responden mengikuti simulasi tentang gempa dan tsunami di sekolah. Ini artinya pengetahuan dan sikap yang dimiliki oleh murid mengenai apa itu bencana, resiko bencana, tindakan apa yang telah dipersiapkan untuk menghadapi bencana dan bagaimana menyikapi jika bencana terjadi dapat meminimalkan dampak psikologis yang ditimbulkan oleh bencana.

Data penelitian menunjukkan bahwa rentang usia responden pada saat bencana yang tidak mengalami PTSD sebanyak 245 orang (61.9%) berada pada interval 6-12 tahun. Usia ini digolongkan sebagai usia anak sekolah dasar. Menurut Sulistyaningsih (2011), usia anak sekolah dasar memiliki sumber daya dan kemampuan yang terbatas untuk mengontrol dan mempersiapkan diri ketika

merasa takut sehingga sangat bergantung pada pihak-pihak diluar dirinya seperti keluarga, teman dan masyarakat supaya dapat pulih kembali dari bencana.

Dukungan dari keluarga dan masyarakat dapat membantu anak mengekspresikan emosi secara tepat pasca mengalami peristiwa traumatis. Salah Satu bentuk dukungan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan lembaga masyarakat (PKPA) Nias untuk pemulihan anak-anak Nias pasca bencana, yaitu pembentukan children center dan pendidikan darurat yang merupakan tempat perawatan kesehatan anak, penanganan trauma psikologis dan penyatuan kembali anak dengan keluarganya. Pendekatan yang dilakukan, yaitu pemulihan pendidikan, pemulihan mental dan pemantauan posisi rentan terhadap kemungkinan terjadinya perekrutan secara ilegal, eksploitasi dan memburuknya kondisi kesehatan anak.

Untuk pemulihan pendidikan dan mental anak yang trauma akibat bencana, PKPA menyediakan berbagai fasilitas untuk kegiatan psikososial dan aktifitas sekolah. Anak bisa bermain, belajar dan melupakan perasaan takut dan gelisah. Pemulihan kegiatan pendidikan ini dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, membuat kegiatan belajar dan bermain di tenda. Kedua, membangun sekolah sementara (temporary school). Ketiga, membangun sekolah permanen dilengkapi dengan fasilitas olah raga, perpustakaan dan sarana bermain.

Selain pendekatan sekolah formal, PKPA juga mengembangkan kegiatan pemulihan anak melalui kegiatan alternatif di children center. Children center dikembangkan sebagai media informasi hak anak, rumah penampungan sementara

anak-anak yang terpisah dari keluarga sebelum re-integrasi, pusat pendidikan informal dan sarana bermain (play group), pengembangan kreatifitas, minat dan bakat anak, program life skill dan vocational training serta dibangunnya perpustakaan mini (PKPA Nias, 2006). Adanya dukungan keluarga, pemerintah dan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan ini dapat membuat anak melupakan trauma akibat bencana sehingga dapat mencapai kesehatan mental secara optimal.

2.2 Tanda dan Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada Individu Dengan PTSD

Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 32.6% remaja Teluk Dalam memenuhi kriteria diagnostik PTSD. Hal isi sesuai dengan yang dikemukakan oleh American Psychiatric Association (APA) dan Sadock & Sadock (2007) bahwa gejala PTSD dapat muncul 3 bulan pertama setelah peristiwa trauma dan dapat juga bersifat delay yaitu muncul bertahun-tahun setelah peristiwa trauma. Gejala-gejala dari gangguan relatif didominasi oleh gejala seperti mengalami kembali peristiwa traumatik (re-experiencing), gejala menghindar (avoidance) dan gejala hiperarousal (hyperarousal) yang dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Reaktivasi gejala tersebut dapat terjadi sebagai respon terhadap adanya pengingat (reminders) terhadap trauma yang dialami, kehidupan yang penuh tekanan atau individu mengalami kejadian traumatis lain yang akan mengingatkan dia pada peristiwa traumatis di masa lalunya.

Dari ketiga pengelompokkan tanda dan gejala tersebut didapatkan sebanyak 50.39% penderita PTSD dengan tanda dan gejala hyperarousal.

Menurut APA (2000) dan Schiraldi (2000), individu memiliki gejala kecemasan yang persisten atau meningkat yang tidak ada sebelum trauma. Gejala hyperarousal ini dapat bermanifestasi sebagai kesulitan untuk memulai tidur atau mempertahankannya akibat mimpi buruk berulang mengenai peristiwa traumatik, hypervigilance atau sikap waspada berlebihan. Individu yang telah mengalami trauma akan bersikap waspada terhadap memori yang mengganggu. Mereka juga cenderung berhati-hati untuk memastikan bahwa cedera lebih lanjut tidak terjadi. Hypervigilance ditunjukkan sebagai perasaan rentan, takut kehilangan akan sesuatu hal, tidak dapat merasa tenang di tempat-tempat yang aman, ketakutan terhadap pengulangan kejadian, selalu mengantisipasi bencana, menjadi overprotective atau overcontrolling. Gejala hyperarousal juga dimanifestasikan dengan adanyapeningkatan respon kejut yang berlebihan, iritabilitas atau ledakan kemarahan serta sulit berkonsentrasi atau menyelesaikan tugas-tugas.

Hal yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Bremner, Southwick, Darnell, Charney (1996) mengenai studi tentang PTSD Kronis menemukan bahwa 63% dari 56 responden melaporkan gejala dari kelompok hyperarousal sebagai gejala awal yang dikembangkan, kemudian diikuti oleh gejala avoid dan intrusive yang mengganggu. Gejala-gejala tersebut, yaitu perasaan waspada 39%, peningkatan respon kejut 9%, kesulitan tidur 7% dan iritabilitas 7%. Pada perkembangan selanjutnya, ditemukan bahwa gejala hyperarousal menunjukkan persistensi atau peningkatan tingkat keparahan, yaitu perasaan waspada 57%, peningkatan respon kejut 34%, kesulitan tidur 18% dan iritabilitas 16%. Temuan ini menunjukkan bahwa gejala hyperarousal merupakan

gejala pertama yang muncul dan memiliki tingkat keparahan terbesar pada awal perjalanan gangguan dan cenderung menetap atau meningkat selama kehidupan penderita.

Hyperarousal kronis adalah aktivasi keadaan abnormal yang terjadi setelah mengalami trauma atau peristiwa yang sangat menegangkan (Kendall-Tackett, 2000). Hyperarousal kronis dapat mengubah struktur otak tertentu, seperti hippocampus, dengan paparan tingkat hormon stres yang abnormal. Hyperarousal dapat membuat korban peristiwa traumatik di masa lalu lebih rentan terhadap tekanan hidup saat ini melalui proses yang disebut sensitisasi (McCarty & Gold, 1996 dalam Kendall-Tackett, 2000). Sebagai akibat dari peristiwa traumatis tersebut, otak menjadi peka atau sensitif terhadap ancaman. Tubuh "mengingat" peristiwa traumatik dan bereaksi berlebihan ketika dihadapkan dengan stresor baru (Schwarz & Perry, 1994 dalam Kendall-Tackett, 2000).

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yehuda (1999 dalam Kendall-Tackett, 2000) bahwa korban trauma dengan PTSD menunjukkan hipersensitif terhadap peristiwa lingkungan internal dan eksternal dan mungkin berespon secara berlebihan, bahkan dalam menghadapi stimulus yang tidak berbahaya. Para peneliti menemukan bahwa orang dengan PTSD memiliki tingkat kortisol yang lebih rendah dan tingkat norepinefrin yang tinggi (Yehuda, 1999; Yehuda et al., 1996 dalam Kendall-Tackett, 2000).

Schiraldi (2000) menambahkan respon kejut yang berlebihan menandakan individu menjadi mudah takut. Sistem saraf akan bereaksi berlebihan terhadap

stresor. Dengan demikian, orang mungkin melompat, menyentak, atau tegang ketika seseorang muncul tiba-tiba dari belakang, tiba-tiba mendengar suara, ketika seseorang membangunkannya atau menyentuhnya. Selain itu, sistem saraf yang sensitif dapat menunjukkan gejala seperti peningkatan hormon stress tertentu dalam darah, peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, pusing, berkeringat, kesemutan, kedinginan dan berkeringat pada telapak tangan.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya perubahan dalam aktivasi otak pada pasien PTSD dengan gejala hyperarousal. Manzer (2002) menemukan adanya peningkatan aktivasi cingulate girus anterior, korteks parietal (di mana informasi sensorik terintegrasi) dan korteks prefrontal medial. Gejala-gejala hyperarousal dan re-experience mempengaruhi emosi dan regulasi memori yang abnormal, sehingga kemungkinan melibatkan daerah otak limbik terkait dengan gangguan tersebut. Beberapa daerah otak yang dikaitkan dengan gejala PTSD adalah struktur otak limbik, prefrontal korteks dan korteks temporal (Pavic, 2003).

Gejala-gejala PTSD bisa hilang timbul sepanjang hidup penderita, sehingga dapat mengganggu fungsi kerja dan keefektifan hidup. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Giacco, Matanov, Priebe (2013) menyatakan bahwa gangguan PTSD berkaitan erat dengan penurunan kualitas hidup seseorang atau Subjective Quality of Life (SQOL). Analisis hasil penelitian terhadap pengaruh ketiga kelompok gejala PTSD terhadap perubahan SQOL menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara perubahan gejala hyperarousal dengan perubahan kualitas hidup. Hubungan antara gejala hyperarousal dan SQOL menunjukkan

hubungan dua arah. Ini artinya penurunan gejala hyperarousal dapat mengakibatkan peningkatan SQOL, dan peningkatan SQOL dapat menyebabkan penurunan gejala hyperarousal.

Giacco dkk. (2013) lebih lanjut menjelaskan bahwa tanda dan gejala dalam kelompok hyperarousal seperti kesulitan tidur dan mimpi buruk berulang secara signifikan dapat mengurangi tingkat kepuasan individu, penurunan kesehatan fisik dan psikologis serta peningkatan resistensi terhadap pengobatan. Hypervigilance (waspada berlebihan) dan iritabilitas dapat menimbulkan kesulitan hubungan keluarga dan hubungan sosial, dan penurunan kemampuan konsentrasi dapat mengurangi keefektifan kerja dan fungsi personal.

Sedangkan untuk gejala re-experience, avoidance dan intrusive tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan SQOL. Avoidance (gejala penghindaran) bahkan bisa bekerja sebagai strategi koping, meminimalkan kekambuhan pikiran/ingatan atau gambaran akan peristiwa traumatik yang mengganggu dengan menghindari peristiwa atau kondisi yang dapat memicu, mencoba untuk mengalihkan perhatian sendiri atau bahkan mengadopsi perilaku tidak sehat seperti alkohol untuk menurunkan sementara rasa ketidaknyamanan dan membatasi ketidakpuasan terhadap kualitas hidup (Giacco dkk., 2013).

Kualitas hidup yang rendah yang kemungkinan dipengaruhi oleh faktor psikososial seperti pengangguran, isolasi sosial dan masalah ekonomi dapat mempengaruhi tingkat gejala hyperarousal. Sebaliknya, tingkat gejala hyperarousal dapat memperburuk kualitas hidup seseorang. Oleh karena itu gejala

hyperarousal harus menjadi target utama untuk pengobatan yang bertujuan untuk meningkatkan SQOL terkait PTSD. Selain itu, beberapa penelitian telah mendokumentasikan efek positif dari terapi psikologis seperti terapi perilaku kognitif dan latihan relaksasi pada gejala hyperarousal. Selain itu, mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan psikososial penderita PTSD juga merupakan hal penting untuk meningkatkan kualitas hidup mereka (Giacco dkk., 2013).

3 KETERBATASAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menyadari adanya beberapa keterbatasan dalam penelitian, yaitu keterbatasan instrumen, keterbatasan tenaga dan keterbatasan waktu penelitian. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah PTSD Screening (PCL). Instrumen yang berpedoman pada DSM-IV-TR ini kurang mengeksplor gangguan yang ada pada anak dan remaja. Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya semua kriteria tersebut dapat dipergunakan bagi anak-anak.

Anak-anak memiliki keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam bereaksi terhadap stres. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh meskipun secara jelas anak tersebut memiliki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada orang dewasa.

Pada proses pengumpulan data, peneliti tidak menggunakan assisten peneliti sedangkan sampel yang diambil cukup besar. Hal ini menghambat pada

proses pengumpulan data yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Adanya keterbatasan waktu penelitian juga menyebabkan peneliti tidak dapat mengambil keseluruhan sampel, yaitu remaja dari masyarakat luas. Peneliti hanya mampu mengambil sebagian sampel yang ada di masyarakat dan sebagian lagi dari satu sekolah. Hal ini menyebabkan data kurang heterogen atau beragam yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Dokumen terkait