• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

(PTSD) PADA REMAJA TELUK DALAM PASCA

8 TAHUN BENCANA GEMPA BUMI

DI PULAU NIAS

SKRIPSI

Oleh

Frida Nov Kristina Gulo 101101086

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini dengan judul “Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis melakukan penelitian

guna menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan, bimbingan,

dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang

sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp., MNS sebagai Pembantu Dekan I, ibu Evi Karota Bukit,

S.Kp, MNS sebagai pembantu dekan II, dan bapak Ikhsanudin A. Harahap,

S.Kp, MNS sebagai pembantu dekan III Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

3. Ibu Wardiyah Daulay, S. Kep, Ns., M. Kep selaku dosen pembimbing penulis

yang bersedia menyediakan waktu serta dengan penuh keikhlasan dan

kesabaran memberikan arahan, bimbingan, saran, masukan dan ilmu yang

(4)

4. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd selaku dosen Penguji I dan Ibu

Roxana Devi Tumanggor, S.Kep,Ns.,M.Nurs selaku dosen Penguji II di

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

saran dan masukan bermanfaat pada penulisan skripsi ini.

5. Ibu Farida Linda Sari Siregar,S.Kep.,Ns sebagai dosen pembimbing akademik

yang telah mendidik penulis selama proses perkuliahan.

6. Seluruh dosen dan staf pengajar serta civitas akademika Fakultas Keperawatan

USU yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan selama masa

perkuliahan. Semoga Tuhan membalas ilmu yang telah kalian berikan dengan

keberkahan.

7. Kepada Camat Teluk Dalam dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nias

Selatan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan

penelitian pada remaja Teluk Dalam.

8. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta, Fatizaro Gulo (Ayah) dan

Kasihati Wau (Ibu). Trimakasih ayah, ibu atas doa yang selalu kalian

panjatkan untuk anakmu, atas dukungan moril maupun materil, nasehat dan

motivasi yang menguatkan penulis selama proses perkuliahan.

9. Terimakasihku untuk abang Frenti Kristiaman Gulo dan adik Fitri Muliany K.

Gulo serta orang terdekat dan spesial Mulia Agustin Dachi yang senantiasa

mendoakan, membantu, memotivasi, menghibur, memperhatikan penulis

(5)

10.Teman-teman mahasiswa angkatan 2010 Program Ilmu Keperawatan Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang membantu dalam proses

perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

11.Terkhusus untuk sahabat-sahabatku, Nenci Sihaloho, Merliany E.R.

Sigalingging, Puji A. Sinabang, Dame Tika O. Purba dan Yanti K. Zega yang

terus menyemangati dan menenangkanku ketika menyelesaikan skripsi ini.

12.Kepada remaja di Kecamatan Teluk Dalam yang telah bersedia menjadi

responden penelitian beserta kepada semua pihak yang dalam kesempatan ini

tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan berkat dan karunia-Nya

kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Penulis menyadari

bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik saran yang

membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi

perbaikan-perbaikan ke depan.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak-pihak

yang membutuhkan.

Medan, 18 Juni 2014

(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Prakata ... iii

4.1Praktik Keperawatan ... 7

4.2Pendidikan Keperawatan ... 8

4.3Peneliti Selanjutnya ... 8

4.4Pemerintah Daerah ... 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

1. Konsep Bencana ... 9

1.1Definisi Bencana ... 9

1.2Jenis-Jenis Bencana Alam ... 9

1.3Respon Individu Terhadap Bencana ... 10

2. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja ... 12

2.1Definisi Psikologi Perkembangan ... 12

2.2Psikologi Perkembangan Anak ... 12

(7)

3. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ... 17

3.1 Definisi PTSD ... 17

3.2 Penyebab Terjadinya PTSD ... 19

3.3 Faktor Resiko PTSD ... 21

3.4 PTSD Pada Anak & Remaja ... 22

3.5 Kriteria Diagnostik PTSD ... 24

3.6 Jenis-Jenis PTSD ... 28

3.7 Penanganan PTSD ... 29

3.8Diagnosa Keperawatan untuk PTSD ... 32

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN ... 34

1. Kerangka Konsep ... 34

2. Defenisi Operasional ... 35

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 36

1. Desain Penelitian ... 36

2. Populasi dan Sampel ... 36

2.1Populasi ... 36

2.2Sampel ... 36

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

4. Pertimbangan Etik ... 38

5. Instrumen Penelitian ... 39

6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 40

7. Pengumpulan Data ... 41

8. Analisa Data ... 43

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

1. Hasil Penelitian ... 45

1.1 Karakteristik Responden ... 45

(8)

2. Pembahasan ... 48

2.1Gambaran PTSD Pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias ... 48

2.2Tanda dan Gejala PTSD Pada Individu dengan PTSD ... 55

2.3 Keterbatasan Penelitian ... 60

BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

1. Kesimpulan ... 62

2. Saran ... 62

2.1Praktik Keperawatan ... 62

2.2Pendidikan Keperawatan ... 63

2.3Peneliti Selanjutnya ... 63

2.4Pemerintah Daerah Setempat... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN 1. Lembar Persetujuan Responden ... 70

2. Instrumen Penelitian ... 71

3. Jadwal Penelitian ... 75

4. Taksasi Dana ... 76

5. Lembar Survei Awal ... 77

6. Lembar Persetujuan Uji Validitas ... 79

7. Lembar Izin Reliabilitas ... 95

8. Lembar Izin Penelitian ... 97

9. Lembar Izin Komisi Etik ... 101

10.Analisa Reliabilitas Instrumen ... 102

11.Analisa Tabel Frekuensi ... 104

(9)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1. Kerangka konsep penelitian gambaran Post Traumatic

(10)

Judul Penelitian : Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias

Nama Mahasiswa : Frida Nov Kristina Gulo

NIM : 101101086

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.kep) Tahun Ajaran : 2013/2014

ABSTRAK

Bencana merupakan peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat dan dapat mengakibatkan dampak psikologis yang membutuhkan waktu yang relatif lama untuk pemulihannya. Salah satu bentuk dampak psikologis yang sering ditemui pada korban bencana alam adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD lebih rentan terjadi pada anak-anak dan remaja karena belum memiliki mekanisme koping yang adekuat secara fisik dan emosional untuk menghadapi trauma. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi PTSD pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias. Desain penelitian adalah desain deskriptif. Besar sampel 396 orang, dengan metode pengambilan sampel purposive sampling. Kriteria inklusi dalam menentukan sampel, yaitu remaja yang mengalami kejadian bencana gempa bumi 28 Maret 2005 di Pulau Nias. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner data demografi dan kuesioner PTSD Screening (PCL). Hasil penelitian menunjukkan 67.4% remaja tidak mengalami PTSD dan 32.6% remaja dengan PTSD. Pada pengelompokkan tanda dan gejala PTSD, gejala hyperarousal 50.39%, gejala re-experiencing 30.23% dan gejala avoidance 19.38%. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh perawat jiwa dalam memberikan dukungan psikologis awal pasca bencana dengan metode pendekatan asuhan keperawatan jiwa sehingga dapat meningkatkan upaya pemulihan kesehatan jiwa korban bencana.

(11)

Title : Description of Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) on Teenagers in Teluk Dalam After 8 Years of Disastrous Earthquake in Nias Island

Name of Student : Frida Nov Kristina Gulo Student Number : 101101086

Program : Bachelor of Nursing Academic Year : 2013/2014

ABSTRACT

Catastrophic events that threaten and disrupt the lives and livelihoods of people and can lead to psychological impact which takes a relatively long time for restoration. One form of the psychological impacts that is often found on the victims of natural disasters is Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD is more prone to occur in children and adolescents because they do not yet have an adequate coping mechanism physically and emotionally to deal with the trauma. This research aims to identify PTSD to teenagers in Teluk Dalam after 8 years of disastrous earthquake in Nias Island. Research design used is a descriptive design. Number of sample was 396 people, with sampling purposive sample-taking methods. Inclusion criteria in determining the sample, i.e., adolescents who experienced the devastating earthquake on March 28, 2005 in Nias Island. Research instrument used in the form questionnaire data demographics and PTSD Screening questionnaire (PCL). Research result showed 67.4% of teens did not experience PTSD and 32.6% of adolescents with PTSD. In grouping of sign and symptoms of PTSD, symptoms of hyperarousal 50.39%, symptoms of reexperiencing 30.23% and 19.38% avoidance symptoms. The result of this research can be utilized by the mental nurse in psychological support after the initial approach to methods of nursing care of the soul so that it can improve mental health recovery efforts of disaster victims.

(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Bencana menurut Undang-Undang No.24 tahun 2007 adalah peristiwa

atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non-alam

maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana

alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa

yang disebabkan oleh alam, berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,

kekeringan, angin topan, dan tanah longsor (BNPB, 2012).

Bencana alam telah banyak terjadi di wilayah Indonesia. Salah satu

wilayah di Indonesia yang paling rawan dihantam oleh bencana alam adalah

Kepulauan Nias. Pulau Nias mengalami gempa besar sebanyak dua kali yaitu

gempa bumi dan tsunami di lepas pantai Pulau Sumatera pada tanggal 26

Desember 2004 yang juga meluluhlantakkan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

dan gempa bumi Pulau Nias yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 dengan

kekuatan 8,7 skala Richter (Gulό, 2012).

Pusat getaran dari gempa bumi dahsyat terakhir ini terletak sekitar 2,93

LU dan 97,016 BT dengan kedalaman 30 km. Sektor perumahan terkena dampak

(13)

34.000 rusak ringan. Prasarana transportasi juga rusak, yaitu 12 pelabuhan besar

dan kecil hancur, 403 jembatan hancur dan 800 km jalan kabupaten dan 266 km

jalan provinsi hancur. Sebanyak 723 gedung sekolah dan 1.938 tempat ibadah

rusak. Gempa bumi ini menghancurkan perekonomian masyarakat. Total

kerusakan diperkirakan sebesar US $ 392 juta, setara dengan 108 persen PDB

Nias (Washington:The World Bank, 2007 dalam Gulό, 2012). Jumlah korban

meninggal akibat gempa tektonik ini diperkirakan sedikitnya 638 orang. Data

kondisi pada tanggal 26 April 2006 dari Satlak Penanggulangan Bencana (PB)

Teluk Dalam tercatat bahwa korban terbanyak terdapat di wilayah Kecamatan

Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan dengan korban luka ringan sebanyak 500

orang, luka berat 786 orang, dan korban meninggal sebanyak 58 jiwa (Nugroho,

2007).

Gempa bumi yang meluluhlantakkan seluruh Nias ini memang telah

mengakibatkan banyak orang meninggal dunia, kehilangan orang yang dikasihi

dan menciptakan penderitaan yang dalam bagi masyarakat baik secara fisik, spiritual, mental dan sosial (Gulό, 2012). Hal ini serupa dengan yang dinyatakan

oleh Astuti (2006), bahwa kerugian-kerugian akibat gempa bumi yang ditanggung

oleh masyarakat, tidak hanya berupa fisik seperti kerugian materi, rumah, harta

benda, aset-aset dan pekerjaan, melainkan juga berupa non-fisik seperti

kehilangan anggota keluarga dan famili serta kerugian psikologis yang

membutuhkan waktu yang relatif lama untuk pemulihannya. Berdasarkan estimasi

kebutuhan (Iswanti dkk., 2006 dalam Astuti, 2006) terdapat 1 juta orang sampai

(14)

sampai tingkatan berat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 97,5% pulih secara alami

setelah dua minggu, sebesar 2,5% atau 30 ribu orang mengalami kesulitan

psikologis sampai tiga bulan setelah peristiwa gempa, dan sebanyak 1% atau 12

ribu orang mengalami kesulitan jangka panjang. Menurut Erwina (2010), salah

satu bentuk dampak psikologis yang sering ditemui pada masyarakat korban

bencana alam adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sebenarnya muncul sebagai manifestasi dari pengalaman mengerikan. Penderitanya adalah mereka yang

merupakan korban hidup yang secara fisik selamat, tetapi secara mental masih

berada dalam tekanan psikologis dan terus-menerus berada dalam keadaan

tersebut (Hartuti, 2009). Individu dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

akan mengalami ansietas dan selalu teringat trauma melalui memori, mimpi atau

reaksi terhadap isyarat internal tentang peristiwa yang terkait dengan trauma.

Gangguan ini dapat terjadi pada semua usia, termasuk anak-anak dan remaja

(APA, 2000; Videback, 2008 dalam Astuti, 2012).

Anak-anak dan remaja merupakan salah satu kelompok usia rentan dan

sensitif terhadap dampak dari kejadian bencana yang dialaminya (Astuti, 2012).

Kelompok usia anak dan remaja yang mengalami trauma akan lebih sulit

disembuhkan daripada orang dewasa. Hal ini terjadi karena orang dewasa telah

memiliki kemampuan untuk mengelola emosi dalam diri, sementara pada

anak-anak kemampuan ini masih sangat minim. Anak-anak-anak belum memiliki mekanisme

koping yang adekuat secara fisik dan emosional untuk menghadapi trauma.

(15)

dewasa dan mempengaruhi temperamen mereka (Sadock & Sadock, 2007;

Murtanti, 2009). Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja

yang menderita PTSD menunjukkan kesulitan dalam prestasi akademik, interaksi

sosial, berkurangnya harapan pada masa depan dan perilaku agresif (Armsworth

& Holaday, 1993 dalam Anderson, 2005). Jika tidak ditangani, hal ini dapat

mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencapai tahap perkembangan dan

berfungsi sepenuhnya menjadi orang dewasa (Anderson, 2005).

Menurut Kusmiran (2011), dalam setiap tahap perkembangan terdapat

tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi dan diselesaikan dengan baik.

Pada masa remaja tugas perkembangan ini meliputi penerimaan keadaan dan

penampilan diri, belajar berperan sesuai dengan jenis kelamin, mencapai relasi

yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya, mencapai perilaku sosial yang

bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional, mencapai kemandirian

ekonomi, dan mampu mengembangkan keterampilan intelektual untuk hidup

bermasyarakat.

Kegagalan tugas-tugas perkembangan pada suatu tahapan perkembangan

akan mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang serius. Salah satu

konsekuensinya adalah adanya tekanan-tekanan sosial yang tidak dapat dihindari

serta dasar untuk penguasaan tugas-tugas perkembangan berikutnya menjadi tidak

adekuat (Hurlock, 1980). Astuti (2012) menambahkan bahwa apabila tugas

perkembangan tidak dapat dilakukan atau mengalami gangguan pada masa

remaja, maka akan mengganggu pada proses tumbuh kembang remaja baik secara

(16)

Survei dari Universitas Indonesia (UI) yang dibiayai WHO terhadap

anak-anak di Aceh pasca tsunami menunjukkan bahwa sebanyak 20-25% di

antaranya mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan membutuhkan pertolongan dari tenaga ahli. Hasil penelitian lain pada kelompok remaja

prevalensi terjadinya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) mencapai 8-9%, dan kelompok remaja berisiko mencapai 13-45% (Ziegler, 2005 dalam Astuti,

2012).

Dalam DSM-IV-TR dinyatakan bahwa gejala PTSD yang ditemukan

menggambarkan suatu stres yang terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun

(APA, 2000). Gejala-gejala PTSD bisa mulai muncul seminggu hingga tiga puluh

tahun setelah peristiwa traumatik ekstrem. Jadi, kurun waktu efek trauma bisa

begitu panjang. Gejala-gejala tersebut bisa hilang timbul sepanjang hidup

penderita, sehingga mengganggu fungsi kerja dan keefektifan hidup. Meskipun

tidak diobati dan ditangani dengan benar, ada sekitar 30% pasien Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang sembuh sendiri. Namun, ada sekitar 40% yang terus-menerus bahkan mengalami berbagai gejala dalam tingkat sedang

dan 10% akan terus-menerus mengalami berbagai gejala dalam tingkat berat

(Sadock & Sadock, 2007). Hal serupa dinyatakan oleh badan kesehatan dunia

(WHO) yang memperkirakan bahwa dalam setiap bencana, sebanyak 50% korban

selamat akan mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Di antara mereka yang mengalaminya, sebanyak 5-10% akan mengalami manifestasi yang

berat. Bahkan ada pakar yang menyebutkan angka ini mencapai 10-20% (Hartuti,

(17)

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Universitas Syiah Kuala,

International Organization for Migration (IOM), dan Universitas Harvard yang dilakukan pada tahun 2007, sekitar 3 tahun setelah tsunami di 14 kabupaten di

Aceh ditemukan data sebanyak 10% menderita PTSD. Hal ini menunjukkan

bahwa walaupun sudah beberapa tahun setelah terjadinya bencana, tetapi masalah

gangguan mental masih dialami oleh masyarakat Aceh (Erwina, 2010).

Diperkirakan oleh para peneliti, pemulihan PTSD bisa memerlukan waktu 8 tahun

lebih bagi mereka yang mengalami stres setelah bencana (Kusumo, 2009).

Hasil wawancara dengan salah seorang guru SMA Swasta Katolik Bintang

Laut Teluk Dalam menyatakan bahwa “goncangan ringan saja dapat

menyebabkan siswa/siswi berlarian keluar kelas, beberapa siswa merasa

ketakutan, panik dan pucat terutama bagi mereka yang rumahnya runtuh pada saat

gempa bumi tahun 2005”.

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas maka peneliti merasa

tertarik untuk melakukan penelitian pada remaja Teluk Dalam mengenai PTSD

with delayed onset, yaitu tanda dan gejala PTSD yang muncul pada saat setelah 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias. Hal ini untuk melihat perkembangan

pemulihan kesehatan jiwa mereka serta untuk deteksi dini. Sebab fase remaja

adalah periode kehidupan manusia yang sangat strategis, penting dan berdampak

(18)

2. RUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi masalah penelitian ini adalah bagaimana gambaran

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias?

3. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan uraian yang telah dituliskan pada latar belakang, maka tujuan

dari penelitian ini adalah:

3.1 Tujuan umum

Mengidentifikasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias.

3.2 Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi PTSD berdasarkan karakteristik demografi pada

remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di pulau Nias.

b. Mengidentifikasi gambaran PTSD pada remaja Teluk Dalam pasca 8

tahun bencana gempa bumi di pulau Nias.

c. Mengidentifikasi tanda dan gejala PTSD pada remaja Teluk Dalam

pasca 8 tahun bencana gempa bumi di pulau Nias.

4. MANFAAT PENELITIAN

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:

4.1 Praktik Keperawatan

Bagi institusi pelayanan keperawatan khususnya pelayanan kesehatan

(19)

kesehatan jiwa remaja khususnya pada remaja yang mengalami Post Traumatic

Stress Disorder (PTSD).

4.2 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu ilmu baru dan

bermanfaat bagi dunia pendidikan dalam memberikan materi-materi tentang

dampak bencana pada perkembangan psikologis terutama melalui mata kuliah

elektif Nursing Disaster. Serta dapat melakukan pendekatan dalam konteks asuhan keperawatan sehingga proses pertumbuhan dan perkembangan dapat tetap

berlangsung dengan baik.

4.3 Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awal untuk

penelitian berikutnya tidak hanya pada penelitian yang berhubungan dengan Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana tetapi juga pada kondisi gangguan psikologis lainnya akibat bencana.

4.4 Pemerintah Daerah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi bagi pihak

pemerintah daerah maupun lembaga masyarakat terkait untuk menyusun dan

memasukkan program penanggulangan PTSD pasca bencana khususnya pada

anak dan remaja sebagai program prioritas dalam penanganan bencana oleh

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. KONSEP BENCANA

1.1 Definisi Bencana

Menurut World Health Organization (WHO), bencana adalah: (1) Sebuah

gangguan serius dari berfungsinya suatu komunitas atau masyarakat yang

menyebabkan kerugian manusia, material, kerugian ekonomi atau lingkungan

yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena tersebut

untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri; (2) Situasi

atau peristiwa, yang melampaui kapasitas lokal sehingga memerlukan bantuan

eksternal pada tingkat nasional maupun internasional; (3) Sebuah istilah yang

menggambarkan suatu peristiwa yang dapat didefinisikan secara spasial dan

geografis, tetapi menuntut pengamatan untuk menghasilkan bukti. Ini menyiratkan

interaksi dari stresor eksternal dengan komunitas manusia. Istilah ini digunakan

dalam seluruh kegiatan sebagai respon untuk mengurangi terjadinya resiko

(WHO, 2014).

1.2 Jenis-Jenis Bencana

Jenis-jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 tahun 2007, antara

lain: (1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi,

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor; (2)

(21)

peristiwa non-alam, berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan

wabah penyakit; (3) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi

konflik sosial antar-kelompok atau antar-komunitas masyarakat dan teror (BNPB,

2012).

Indonesia terletak di daerah dengan tingkat aktivitas gempa bumi tinggi,

hal tersebut sebagai akibat bertemunya tiga lempeng tektonik utama dunia, yakni

Samudera India-Australia di sebelah selatan, Samudera Pasifik di sebelah timur

dan Eurasia, dimana sebagian besar wilayah Indonesia berada di dalamnya.

Pergerakan relatif ketiga lempeng tektonik tersebut dan dua lempeng lainnya,

yakni laut Philipina dan Carolina mengakibatkan terjadinya gempa-gempa bumi

di daerah perbatasan pertemuan antar lempeng dan juga menimbulkan terjadinya

sesar-sesar regional yang selanjutnya menjadi daerah pusat sumber gempa

(BMKG, 2013). Menurut Tanjung dan Kamtini (2005), gempa bumi adalah

getaran di tanah yang disebabkan oleh gerakan permukaan bumi. Gempa bumi

yang kuat dapat menyebabkan kerusakan besar pada gedung, jembatan dan

bangunan lain termasuk korban jiwa.

1.3 Respon Individu Terhadap Bencana

Perilaku yang diperlihatkan individu yang mengalami bencana sangat

bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi terhadap kejadian, sistem pendukung

yang dimiliki dan mekanisme koping yang digunakan. Terdapat tiga tahapan

(22)

(24 jam pertama) setelah bencana dapat berupa tegang, cemas, panik, terpaku,

linglung, syok, tidak percaya, gembira atau euforia, tidak terlalu merasa

menderita, lelah, bingung, gelisah, menangis, menarik diri dan merasa bersalah.

Reaksi ini masih termasuk reaksi normal terhadap situasi yang abnormal dan

memerlukan upaya pencegahan primer; (2) Minggu pertama sampai ketiga setelah

bencana. Reaksi yang diperlihatkan: ketakutan, waspada, sensitif, mudah marah,

kesulitan tidur, khawatir, sangat sedih. Reaksi positif yang masih dimiliki:

berharap atau berpikir tentang masa depan, terlibat dalam kegiatan menolong dan

menyelamatkan, menerima bencana sebagai takdir. Kondisi ini masih termasuk

respons normal yang membutuhkan tindakan psikososial minimal; (3) Lebih dari

tiga minggu setelah bencana. Reaksi yang diperlihatkan dapat menetap dan

dimanifestasikan dengan kelelahan, merasa panik, kesedihan terus berlanjut,

pesimis, menarik diri, berpikir tidak realistis, tidak beraktivitas, isolasi,

kecemasan yang dimanifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih, mual, sakit

kepala (Keliat, Akemat, Helena, Nurhaeni, 2011).

Rice (Fahrudin, 2005 dalam Sunardi 2007) menjelaskan tiga periode

bencana secara umum, yaitu: (1) Periode impak (impact periode) biasanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini, korban selalu diliputi

perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini berlangsung singkat;

(2) Periode penyejukan suasana (recoil periode) biasanya berlangsung beberapa hari setelah kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para korban mulai

merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk dimakan. Mereka

(23)

harta benda mereka yang hilang; (3) Periode post traumatik (post-trauma period)

biasanya berlangsung lama, bahkan sepanjang hayat. Periode ini berlangsung

tatkala korban bencana berjuang untuk melupakan pengalaman yang berupa

tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang mereka alami. Hal

ini berarti bencana selalu menyisakan masalah, bahkan untuk jangka lama.

2. PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK DAN REMAJA

2.1 Definisi Psikologi Perkembangan

Psikologi perkembangan merupakan cabang ilmu psikologi yang menelaah

pelbagai perubahan intra-individual dan perubahan-perubahan inter-individual

yang terjadi di dalam perubahan intra-individual. Psikologi perkembangan

mempelajari perubahan-perubahan perilaku menurut tingkat usia dari pembuahan

sampai akhir hayat sebagai masalah hubungan antesenden (gejala yang

mendahului) dan konsekuensinya (Hurlock, 1980).

2.2 Psikologi Perkembangan Anak

Masa anak merupakan masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan dan

saat dimana individu relatif tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Periode

anak dibagi menjadi dua periode yang berbeda, yaitu periode awal kanak-kanak

(usia pra-sekolah) yang berlangsung dari usia 2-6 tahun dan periode akhir

kanak-kanak (usia sekolah) dari 6-13 tahun (Hurlock, 1980). Menurut Yusuf (2011),

pengalaman yang terjadi pada masa anak mempunyai pengaruh yang kuat

(24)

Karakteristik perkembangan yang terjadi pada usia anak, yaitu:

a. Perkembangan Fisik

Pertumbuhan fisik mengikuti pola yang dapat diramalkan meskipun sejumlah

perbedaan dapat terjadi. Selama awal masa kanak-kanak, pertumbuhan fisik

berlangsung lambat dan seimbang hingga mencapai akhir masa kanak-kanak

dimana terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira dua tahun sebelum

anak menjadi matang secara seksual. Kesehatan dan gizi serta ketegangan

emosional dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik. Anak yang tenang tumbuh

lebih cepat dari anak yang mengalami gangguan emosional, meskipun

gangguan emosional lebih banyak mempengaruhi berat dan tinggi.

b. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah berada pada

periode preoperasional, yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Periode ini ditandai dengan daya pikir anak masih

bersifat imajinatif, berangan-angan (berkhayal) dan kemampuan untuk

menggunakan simbol-simbol (bahasa, gambar, tanda/isyarat, benda, gesture,

atau peristiwa) untuk melambangkan suatu kegiatan, benda yang nyata atau

kejadian. Sedangkan pada anak usia sekolah, daya pikirnya sudah berkembang

ke arah berpikir konkret dan rasional (dapat diterima akal). Piaget

menamakannya sebagai masa operasi konkret, masa berakhirnya berpikir

(25)

c. Perkembangan Emosi

Selama awal masa kanak-kanak emosi sangat kuat. Saat ini merupakan saat

ketidakseimbangan karena anak-anak mudah terbawa ledakan-ledakan

emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Pada masa akhir

kanak-kanak, umumnya merupakan periode yang relatif tenang dan berlangsung

sampai mulainya masa puber. Anak laki-laki pada setiap umur

mengungkapkan emosinya dipandang lebih sesuai dengan jenis kelaminnya

sedangkan anak perempuan lebih banyak mengalami rasa takut, khawatir, dan

perasaan kasih sayang, yaitu emosi-emosi yang dipandang sesuai dengan

peran seksnya. Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa anak, yaitu

amarah, takut, cemburu, ingin tahu (curiosity), iri hati, gembira, sedih, dan

kasih sayang.

d. Perkembangan Kepribadian

Dengan berjalannya periode awal masa kanak-kanak, anak semakin banyak

berhubungan dengan teman sebayanya. Sikap dan cara teman-teman

memperlakukannya mulai membawa pengaruh dalam konsep diri. Pengaruh

tersebut dapat mendorong atau melawan dan bertentangan dengan

pengaruh-pengaruh dari keluarga. Pada masa akhir kanak-kanak, lingkungan sosial anak

semakin luas sehingga semakin mempengaruhi perkembangan

kepribadiannya. Akibatnya, anak harus sering kali memperbaiki konsep diri

(26)

2.3 Psikologi Perkembangan Remaja

World Health Organization (WHO) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria,

yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi

tersebut berbunyi sebagai berikut.

Remaja adalah suatu masa di mana: (1) Individu berkembang dari saat

pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia

mencapai kematangan seksualnya; (2) Individu mengalami perkembangan

psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; (3) Terjadi

peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang

relatif lebih mandiri (Sarwono, 2010).

Rentang usia remaja berlangsung dari umur 13-18 tahun, yaitu usia matang

secara hukum. Rentang usia remaja ini dibagi lagi menjadi dua periode, yaitu awal

masa remaja (13-16 tahun) dan akhir masa remaja (17-18 tahun) (Hurlock, 1980).

Karakteristik perkembangan yang terjadi pada usia remaja, yaitu:

a. Perkembangan Fisik

Pertumbuhan fisik masih jauh dari sempurna pada saat masa puber berakhir,

dan juga belum sepenuhnya sempurna pada akhir masa awal remaja. Terdapat

penurunan dalam laju pertumbuhan dan perkembangan internal (sistem

pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin,

jaringan tubuh) lebih menonjol daripada perkembangan eksternal (tinggi,

(27)

b. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, perkembangan kognitif masa remaja sudah mencapai tahap

operasi formal. Remaja secara mental telah dapat berpikir logis tentang

berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain berpikir operasi formal lebih

bersifat hipotesis dan abstrak serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan

masalah daripada berpikir konkret.

c. Perkembangan Emosi

Masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan” suatu masa

dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan

kelenjar. Namun, ketegangan emosi yang meninggi terutama dikarenakan

anak laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi

kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak kurang mempersiapkan

diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu. Meskipun demikian, adanya

badai dan tekanan dalam periode ini akan berkurang menjelang berakhirnya

awal masa remaja.

d. Perkembangan Sosial

Salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan

dengan penyesuaian sosial. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi

dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting

dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan tingginya pengaruh kelompok

sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial baru,

nilai-nilai dalam persahabatan, nilai-nilai-nilai-nilai dalam dukungan dan penolakan sosial,

(28)

e. Perkembangan Kepribadian

Banyak kondisi dalam kehidupan remaja yang turut membentuk pola

kepribadian yang berpengaruh pada konsep diri. Beberapa diantaranya sama

dengan kondisi pada masa anak-anak, tetapi banyak yang merupakan akibat

dari perubahan-perubahan fisik psikologis yang terjadi selama masa remaja.

Remaja menggunakan standar kelompok sebagai dasar konsep mereka

mengenai kepribadian “ideal” terhadap cara mereka menilai kepribadian

mereka sendiri. Tidak banyak yang merasa dapat mencapai gambaran yang

ideal ini dan mereka yang tidak berhasil cenderung mengubah kepribadian

mereka (Hurlock, 1980).

3 POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

3.1 Definisi PTSD

Gangguan stres pasca trauma atau disingkat dengan trauma psikologis

merupakan istilah lain dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pada tahun 1980, untuk pertama kalinya ciri-ciri sindroma trauma psikologis yang

dialami oleh para veteran perang Vietnam diterima sebagai suatu diagnosa oleh

American Psychiatric Association dengan sebutan Post Traumatic Stress Disorder dan dimasukkan dalam buku pedoman gangguan mental Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM (Yule dkk., 1999; Parkinson, 2000; Nurrachman, 2002 dalam Sulistyaningsih, 2009).

Pengertian PTSD dapat dipahami dari definisi yang ditetapkan oleh

(29)

gangguan psikiatris yang terjadi setelah dialaminya peristiwa yang mengancam

seperti menyaksikan kejadian-kejadian serangan militer, bencana alam, serangan

teroris, kecelakaan serius, atau serangan kekerasan lainnya seperti pemerkosaan.

Orang yang terkena gangguan PTSD sering mengalami kembali kejadian-kejadian

melalui mimpi buruk atau bayangan kilas balik, sulit tidur, dan merasa terpisah

atau terasing. Gejala-gejala ini dapat berlangsung lama serta bertambah berat

sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari orang tersebut (Sulistyaningsih,

2009).

Menurut Zlonick dkk. (2001 dalam Chandra, 2009), Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD) merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. PTSD kemungkinan bertahan selama berbulan-bulan atau

bertahun-tahun setelah pengalaman traumatis dan mungkin tidak muncul sampai

berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa

traumatis (Nevid J dkk., 2002 dalam Chandra, 2009). Hal serupa diungkapkan

oleh Darmono S dkk. (2008 dalam Chandra, 2009) bahwa PTSD merupakan salah

satu gangguan kejiwaan berat yang sangat mengganggu kualitas hidup dan apabila

tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis atau menahun dan

berkembang menjadi stres pasca trauma yang kompleks. Sadock & Sadock

(2007), menyebutkan bahwa PTSD dapat berlangsung sampai dengan jangka

waktu 30 tahun.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan, PTSD merupakan gangguan

(30)

mengancam keselamatan hidup seseorang dimana gejalanya dapat berlangsung

lama dan bertambah berat, sehingga berdampak pada kualitas hidup seseorang.

3.2 Penyebab Terjadinya PTSD

Stresor atau peristiwa traumatik adalah penyebab utama dalam

perkembangan Post Traumatic Stress Disorder (Schiraldi, 2000; Sadock & Sadock, 2007). Stresor ini dapat bersumber dari bencana alam atau peristiwa yang

melibatkan peran manusia. Peristiwa yang bersumber dari bencana alam dapat

berupa gempa bumi, banjir, badai, tanah longsor dan berbagai macam bencana

alam lainnya. Sedangkan peristiwa kekerasan yang melibatkan peran manusia dan

dapat menimbulkan trauma, yaitu perang, kejahatan politik, penculikan, kejahatan

kriminal, pemerkosaan, kekejaman dalam rumah tangga dan berbagai bentuk

kekejaman lainnya (Sulystyaningsih, 2009).

Menurut Sadock & Sadock (2007), tidak semua orang akan mengalami

PTSD setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stresor diperlukan, namun

stresor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Respon terhadap peristiwa

traumatik harus melibatkan rasa takut intens atau horor. Selain itu, perlu

mempertimbangkan faktor-faktor lain yang sudah ada sebelumnya pada diri

individu seperti, faktor biologis, faktor psikososial dan peristiwa yang dialami

individu sebelum dan sesudah trauma.

Psychodynamic factors. Ego klien telah mengalami trauma berat, sering

dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini

(31)

dimanifestasikan dalam bentuk prilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan,

super ego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap

kejadian traumatik tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku

impulsif tidak terkendali (Yosep, 2011).

Menurut Sadock & Sadock (2007), faktor psikodinamika PTSD

diantaranya, yaitu: (1) Peristiwa traumatik tersebut mengingatkan individu

terhadap peristiwa traumatis masa lalunya; (2) Ketidakmampuan untuk meregulasi

pengaruh yang disebabkan oleh trauma; (3) Somatisasi dan alexithymia mungkin menjadi salah satu efek samping dari trauma; (4) Kurangnya kemampuan

mekanisme pertahanan (penolakan, kurangnya pemecahan masalah, pengingkaran,

disosiasi, dan rasa bersalah); (5) Keterhubungan/seberapa dekat hubungan antara

pelaku kejadian trauma seperti penolong, pelaku dan korban.

Cognitive-Behavioral factors. Dari segi kognitif, orang-orang yang

terkena dampak PTSD tidak dapat memproses atau merasionalisasikan kejadian

trauma yang dialami. Mereka terus mengalami stres dan berusaha untuk

menghindari sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa tersebut. Dari segi

model perilaku (behavioral), PTSD menekankan dua fase dalam

perkembangannya. Pertama, melalui classic conditioning dimana trauma/peristiwa traumatis menimbulkan respons ketakutan yang berpasangan dengan stimulus

(pemandangan, bau, suara, tempat) yang berkaitan dengan peristiwa tersebut

sehingga dapat memicu reaksi-reaksi fisiologis ataupun psikologis. Kedua, terjadi

(32)

mengembangkan pola perilaku menghindar terhadap stimulus yang berkaitan

dengan trauma (Sadock & Sadock, 2007).

Biological factors. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pada

beberapa penderita PTSD terjadi hiperaktivitas dari noradrenergic, endogenous

opiate systems serta hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA). Selain itu, ditemukan adanya peningkatan aktivitas dan respons dari sistem saraf otonom seperti

peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan gangguan tidur (Sadock &

Sadock, 2007).

3.3 Faktor Resiko PTSD

Ketika dihadapkan dengan trauma yang luar biasa, kebanyakan orang bisa

saja tidak mengalami gejala PTSD. Namun sebaliknya peristiwa atau kejadian

biasa dapat menimbulkan gejala PTSD pada sebagian besar orang. Hal ini

disebabkan oleh adanya faktor resiko yang berperan apakah seseorang akan

mendapatkan PTSD atau tidak. Faktor-faktor resiko tersebut, yaitu: adanya trauma

masa kecil, seseorang yang memiliki gangguan kepribadian (seperti: borderline, paranoid, ketergantungan atau anti-sosial), sistem dukungan dari keluarga atau

teman sebaya yang tidak memadai, jenis kelamin: perempuan, kerentanan genetik

terhadap penyakit jiwa, perubahan kehidupan yang penuh dengan stres/tekanan,

persepsi locus of control eksternal dan asupan alkohol yang berlebihan (Sadock &

(33)

3.4 PTSD Pada Anak dan Remaja

PTSD dapat terjadi pada anak dan remaja, tetapi kebanyakan penelitian

lebih berfokus pada orang dewasa. Dalam DSM-IV-TR, PTSD pada anak-anak

menggambarkan gejala seperti kejadian mimpi yang berulang, mimpi buruk, dan

gejala fisik seperti sakit perut dan sakit kepala (APA, 2000; Sadock & Sadock,

2007). Pada kelompok usia anak dan remaja, gejala yang ditampilkan memang

tidak selalu sama dengan orang dewasa. Cara dimana anak mengingat kembali

dan memanifestasikan perasaan mereka terkait dengan peristiwa traumatis

kemungkinan akan berbeda pada orang dewasa. Gejala PTSD sangat bervariasi

pada kalangan anak-anak dan remaja tergantung pada peristiwa traumatis itu

sendiri, tingkat keparahan, durasi, dan usia perkembangan anak pada saat trauma

(Anderson, 2005). Anak kemungkinan tidak menyadari telah mengalami gejala

PTSD, karena gejala yang dirasakan disimpulkan sebagai penyakit biasa, seperti

kehilangan nafsu makan, sering sakit kepala, perut kembung, dan sesak napas

(Idrus, 2011).

Anak-anak sering menampilkan gejala mereka melalui permainan,

gambar dan/atau cerita, atau mungkin menunjukkan kekhawatiran secara tidak

langsung terkait peristiwa tersebut dengan kecemasan dan ketakutan yang

berlebihan (APA, 2000; Sadock & Sadock, 2007; Perrin dkk., 2000 dalam

Anderson, 2005). Anak-anak dan remaja biasanya memperlihatkan perilaku

seperti impulsif dan tidak perhatian yang memiliki pengaruh negatif terhadap

prestasi akademik mereka, menarik diri dari pergaulan sosial, menggunakan

(34)

encopresis, mengisap ibu jari dan takut tidur sendirian (Sadock & Sadock, 2007; Armsworth & Holaday, 1993 dalam Anderson, 2005). Anak-anak juga merasa

bahwa masa depannya suram, berlangsung singkat serta berkurangnya harapan

untuk dapat menjalani hidup dengan normal, menikah, memiliki karir serta terjadi

penurunan minat pada kegiatan/aktivitas yang sebelumnya dilakukan (APA, 2000;

Sadock & Sadock, 2007; Anderson, 2005).

Tingkat PTSD pada anak cukup tinggi akibat terpajan peristiwa yang

mengancam jiwa seperti pertempuran atau perang, penculikan, penyakit parah

atau terbakar, transplantasi sumsum tulang, dan sejumlah bencana alam maupun

buatan manusia. Dalam situasi tertentu, hingga 90 persen anak-anak akan

mengembangkan gangguan tersebut. Namun pada umumnya, PTSD tidak

dianggap serius dan dianggap remeh pada anak-anak dan remaja (Sadock &

Sadock, 2007).

Faktor risiko pada anak meliputi faktor-faktor demografis (misalnya,

umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi), peristiwa kehidupan (positif dan

negatif), sosial dan budaya, komorbiditas psikiatri, dan strategi mekanisme koping

yang digunakan. Dari faktor keluarga (misalnya, psikopatologi orangtua dan

fungsional, status perkawinan, dan pendidikan) memainkan peran kunci dalam

menentukan gejala pada anak (Sadock & Sadock, 2007). Morison dan Anders

(2001), mengungkapkan bahwa reaksi/tanggapan yang ditunjukkan orang tua

maupun anggota keluarga lainnya terhadap peristiwa traumatik dapat juga

(35)

3.5 Kriteria Diagnosik PTSD

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder,

4th edition Text Revision (DSM-IV-TR) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association, menjelaskan tanda dan gejala PTSD yang mencakup: A. Individu harus pernah terpapar pada suatu stresor/peristiwa traumatik dimana

kedua hal berikut dialami:

1. Seseorang yang mengalami, menyaksikan, atau menghadapi bahaya yang

mengancam hidupnya, kematian, luka parah, atau ancaman serius bagi diri

sendiri atau orang lain.

2. Respon individu meliputi ketakutan, ketidakberdayaan (catatan: pada

anak-anak hal ini mungkin diperlihatkan dalam perilaku yang tidak teratur

atau berantakan dan tidak tenang atau gelisah).

B. Mengalami kembali peristiwa traumatis (re-experiencing symptoms) melalui satu atau lebih gejala di bawah ini:

1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya

yang bersifat mengganggu, berupa gambaran, pikiran, persepsi (catatan:

pada anak-anak hal ini dimunculkan kembali pada permainan).

2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya

(catatan: pada anak-anak terdapat mimpi yang menakutkan tanpa adanya

isi yang dapat diketahui maksudnya).

3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang

dialaminya terjadi kembali, ilusi, halusinasi) (catatan: pada anak-anak

(36)

4. Tekanan psikologis yang kuat jika dihadapkan pada hal-hal internal dan

eksternal yang menyerupai kejadian traumatis.

5. Adanya reaksi fisik jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal

yang menyerupai kejadian traumatis.

C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan

mematikan perasaan atau tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma

masih berespon (avoidance symptoms). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawah ini:

1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang

berhubungan dengan kejadian trauma.

2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat

membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.

3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang

dialaminya.

4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting

berkurang.

5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya.

6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapat merasakan cinta)

7. Perasaan bahwa masa depannya suram (misalnya, berkurangnya harapan

untuk dapat menjalani hidup dengan normal, menikah, memiliki karir,

memiliki anak).

D. Gejala hiperarousal yang persisten (tidak ada sebelum trauma) meliputi dua

(37)

1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempertahankannya.

2. Mudah marah dan meledak-ledak emosinya.

3. Sulit berkonsentrasi.

4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan).

5. Reaksi kaget yang berlebihan.

E. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan.

F. Gangguan/gejala diatas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan fungsional

dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.

Spesifikasi:

Acute: Gejala berlangsung sampai 3 bulan

Cronic: Gejala berlangsung lebih dari 3 bulan

With delayed onset: gejala dimulai sedikitnya 6 bulan setelah ada stresor.

Sebagian besar literatur yang membahas PTSD pada anak-anak menyoroti

keterbatasan penggunaan kriteria DSM-IV-TR untuk mendiagnosis anak dengan

PTSD. Kriteria diagnosis PTSD dibuat untuk orang dewasa dan tidak sepenuhnya

semua kriteria di atas dapat dipergunakan bagi anak-anak. Anak-anak memiliki

keterbatasan dalam kemampuan verbalnya dan memiliki cara yang berbeda dalam

bereaksi terhadap stres. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak mungkin tidak

memenuhi kriteria DSM-IV-TR secara penuh meskipun secara jelas anak tersebut

memiliki gangguan psikiatri yang analog dengan PTSD pada orang dewasa

(Anderson, 2005). Oleh karena itu, selain menggunakan DSM-IV-TR sebagai

pedoman dalam mendiagnosis PTSD pada anak, tahap perkembangan anak juga

(38)

Menurut National Institute of Mental Health (NIMH, 2008), reaksi yang

diperlihatkan anak-anak terhadap trauma, yaitu:

Anak usia ≤ 5 tahun . Anak-anak dalam rentang usia ini dapat bereaksi

dengan cara: menunjukkan ekspresi wajah ketakutan, melekat terus pada orang tua

atau pengasuh (takut terpisah/sendirian), menangis, menjerit, merintih, gemetar,

tidak mau bergerak (freezing) atau kaku, timbul gejala regresif, yaitu mengalami

kemunduran perkembangan yang sudah dikuasai anak, mengisap jempol,

mengompol dan takut gelap. Reaksi anak-anak sangat dipengaruhi oleh reaksi

orang tua terhadap trauma tersebut.

Anak usia 6-11 tahun, bereaksi dengan cara: mengisolasi diri, mengalami

gangguan tidur, mimpi buruk, tingkah laku yang agresif seperti mudah marah dan

emosi yang meledak-ledak, waspada berlebihan, terjadi perubahan tingkah

laku/mood/kepribadian, perkelahian, sulit berkonsentrasi di sekolah yang dapat

berpengaruh terhadap prestasi akademik, menolak/menghindari ke sekolah,

mengeluhkan badannya terasa sakit (gejala somatik), merasa ketakutan dan

tertekan, merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian traumatik yang

dialaminya, kemunduran dalam berhubungan dengan orang lain (mati rasa), post

traumatic play (secara kompulsif melakukan berbagai jenis permainan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik), melakukan pekerjaan rumah/sekolah

dengan buruk.

Anak usia 12-18 tahun. Anak-anak dalam rentang usia ini memiliki

(39)

tidak sopan dalam berhubungan dengan orang lain, perilaku destruktif, adanya

keluhan fisik, kehilangan minat dalam melakukan aktivitas, mengalami gangguan

tidur seperti mimpi buruk atau masalah tidur lainnya, menarik diri dari pergaulan

sosial, depresi, kebingungan, keinginan untuk mengakhiri hidup, merasa bersalah

atas peristiwa yang terjadi dan memiliki hasrat untuk balas dendam atas peristiwa

yang dialaminya.

3.6 Jenis-Jenis PTSD

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) terbagi atas tiga jenis, yaitu: (1) PTSD akut, yaitu dimana tanda dan gejalanya terjadi pada rentang waktu 1-3

bulan. Namun, biasanya berakhir dalam kurun waktu satu bulan. Jika dalam

waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut harus segera menghubungi

pelayanan kesehatan terdekat; (2) PTSD kronik, yaitu dimana tanda dan gejalanya

berlangsung lebih dari tiga bulan dan jika tidak ada treatment yang dilakukan maka dapat bertambah berat sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari

orang tersebut; (3) PTSD with delayed onset, walaupun sebenarnya tanda dan gejala PTSD muncul pada saat setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya

baru muncul minimal enam bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa

traumatik itu terjadi. Hal ini timbul pada saat memperingati hari kejadian

traumatis tersebut atau bisa juga karena individu mengalami kejadian traumatis

lain yang akan mengingatkan dia terhadap peristiwa traumatis masa lalunya

(40)

3.7 Penanganan PTSD

Penanganan bagi individu yang mengalami PTSD adalah psikoterapi,

obat-obatan atau kombinasi keduanya. Setiap individu berbeda, sehingga pengobat-obatan

yang bekerja untuk satu orang mungkin tidak bekerja bagi orang lain. Beberapa

orang perlu mencoba melakukan perawatan yang berbeda untuk menemukan

mana yang dapat mengurangi gejala yang dialami (NIMH, 2008).

Psikoterapi merupakan suatu terapi “bicara” yang dilakukan oleh seorang

profesional kesehatan mental untuk mengobati penyakit mental. Psikoterapi dapat

dilakukan pada individu atau secara berkelompok yang biasanya berlangsung 6-12

minggu atau lebih. Adanya dukungan dari keluarga maupun teman terdekat

merupakan bagian penting selama terapi dilakukan. Salah satu bentuk psikoterapi

yang dianggap lebih efektif untuk mengatasi PTSD, yaitu Cognitive Behavior

Therapy (CBT) (NIMH, 2008). CBT merupakan suatu bentuk psikoterapi yang menekankan pentingnya peran pikiran yang dapat mempengaruhi alam perasaan

dan perilaku individu (Sulystyaningsih, 2009).

Bentuk-bentuk Cognitive Behavior Therapy (CBT), yaitu: (1) Exposure

therapy, merupakan terapi yang membantu orang menghadapi dan mengendalikan rasa takut mereka. Bentuk terapi ini menggunakan imaginasi tentang trauma,

menulis atau mengunjungi tempat dimana peristiwa itu terjadi yang disajikan

secara hati-hati, berulang, dan terinci dalam situasi yang aman dan terkontrol; (2)

Cognitive restructuring, merupakan terapi yang membantu orang memahami kenangan buruk. Terkadang mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang

(41)

melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis; (3) Stress inoculation

training, merupakan terapi yang mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajarkan cara mengontrol ketakutan dan kecemasan yang dialami, seperti

mengajarkan teknik relaksasi (NIMH, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Catani pada tahun 2009 (dalam

Tumanggor, 2013) pada anak-anak korban tsunami di Srilangka, menyebutkan

exposure therapy dan meditation relaxation dapat dilakukan pada anak-anak dengan latar belakang bencana yang sama. Anak-anak yang terlibat dalam

penelitian ini diajarkan dan dilatih meditasi-relaksasi dengan teknik pernapasan.

Meditasi-relaksasi ini dapat dipraktekkan di rumah dengan dukungan orang tua.

Exposure therapy, merupakan bentuk terapi yang dilakukan dengan cara meminta anak-anak menuliskan tentang bencana yang dialami untuk mengeksplorasi lebih

lanjut tentang perasaan mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari

70% anak-anak dapat pulih kembali.

Studi lain yang dilakukan oleh Catani dkk. dan didukung oleh studi yang

dilakukan oleh Van Der Oord dkk. pada tahun 2009 (dalam Tumanggor, 2013),

mengamati 23 anak usia 8-18 tahun yang mengalami peristiwa traumatik berat

menggunakan Cognitive Behavioural Writing Therapy (CBWT). Anak-anak diminta untuk menuliskan sesuatu dan orang tua mereka mengamati perilaku anak

tersebut di rumah. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan depresi

setelah pengobatan selama enam bulan dan gejala PTSD dapat diminimalkan.

Namun, alat ini mungkin tidak sesuai untuk anak-anak prasekolah karena

(42)

pedoman National Collaborating Centre for Mental Health (2005). Pedoman ini

memberikan tuntutan ke dalam kerangka intervensi psikologis melalui metode

bermain dan menggambar untuk membantu anak-anak berfokus pada apa yang

terjadi dan bagaimana perasaan mereka (Tumanggor, 2013).

Pilihan alternatif lain yang dapat dilakukan untuk mengobati anak-anak

dengan PTSD, yaitu: mengajarkan strategi atau cara mengontrol kecemasan

misalnya, relaksasi pernapasan, bermain peran, pendidikan dan beberapa teknik

distraksi. Penelitian oleh Carrion dkk. tahun 2002 dan Scheeringa tahun 2006

(dalam Tumanggor, 2013), menyarankan psikoterapi juga diberikan untuk

anak-anak yang tidak memenuhi kriteria PTSD, namun mengindikasikan atau

menunjukkan adanya gangguan dan penurunan fungsional. Hal ini penting untuk

mencegah anak-anak mengembangkan gangguan tersebut menjadi lebih berat.

Untuk pengobatan atau psikofarmaka, menurut Sadock & Sadock (2007)

dan NIMH (2008) ada beberapa jenis pengobatan yang dapat digunakan untuk

penderita PTSD, yaitu: (1) Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti

Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil), dianggap sebagai pengobatan lini

pertama yang efektif untuk mengurangi gejala-gejala PTSD. Kedua obat ini

merupakan anti-depresan yang juga digunakan untuk mengobati depresi. Efek

samping yang mungkin ditimbulkan seperti sakit kepala, mual, sulit tidur dan

agitasi; (2) Imipramin (Tofranil) dan Amitriptyline (Evavil), merupakan

anti-drepesant trisilik untuk pengobatan PTSD. Namun anti-depresan ini tidak

merupakan pilihan utama karena memiliki banyak efek samping dibandingkan

(43)

monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) (seperti Phenelzine [Nardil]), Trazodone

(Dsyrel), dan anti-convulsants (seperti Carbamazepine [Tegretol], Valproate

[Depakene]).

3.8 Diagnosa Keperawatan untuk PTSD

Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul akibat PTSD menurut

Yosep (2011) dan Wilkinson (2005), yaitu: sindrom pasca trauma, ansietas,

ketidakberdayaan, potensial membahayakan diri/orang lain, inefective koping,

berduka.

Tindakan keperawatan secara generalis menurut Wilkinson (2005), yaitu:

(1) Behavior management: membantu klien mengurangi perilaku kasar atau tindakan memutilasi diri sendiri; (2) Coping enhancement: membantu pasien untuk beradaptasi terhadap stresor, perubahan yang dirasakan, atau ancaman yang

mengganggu untuk memenuhi tuntutan hidup dan peran; (3) Counseling: menggunakan proses bantuan interaktif yang memfokuskan pada kebutuhan,

masalah atau perasaan pasien, dan juga pada orang yang berarti bagi klien untuk

meningkatkan koping, pemecahan masalah dan hubungan interpersonal; (4)

Financial resources assistance: membantu individu dan keluarga untuk mengelola keuangan sehingga memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan klien; (5) Impuls

control training: membantu pasien untuk mengatasi perilaku impulsif melalui penerapan strategi pemecahan masalah untuk situasi sosial dan interpersonal; (6)

Security enhancement: meningkatkan rasa keamanan fisik dan psikologis klien; (7) Support system enhancement: fasilitasi dukungan kepada klien melalui

(44)

Menurut Yosep (2011), tindakan keperawatan pada klien dengan PTSD,

antara lain: diskusikan persepsi klien tentang apa yang menyebabkan ansietas,

bantu klien mengidentifikasi perasaan yang dialami dan berfokus bagaimana

kopingnya, anjurkan klien untuk membuat tulisan tentang perasaannya, faktor

yang mencetuskan, perilaku yang berkaitan, bantu klien untuk mengidentifikasi

faktor jika mulai terjadi perasaan tidak berdaya dan hilangnya pengendalian diri,

gali tindakan yang dapat digunakan klien selama periode stres (napas dalam,

berhitung sampai 10, meninjau situasi, menyusun ulang), tingkatkan keterlibatan

dalam program latihan/aktivitas dan olahraga, evaluasi adanya destruktif diri atau

perilaku bunuh diri, izinkan klien mengekspresikan perasaan secara bebas, dan

(45)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. KERANGKA KONSEP

Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan

gambaran Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) pada remaja Teluk Dalam pasca

8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias.

PTSD pada remaja

Skema 3.1. Kerangka konsep penelitian gambaran Post Traumatic Stress Disorder pada remaja

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti Stresor traumatik: Bencana alam

Faktor lain yang mempengaruhi: 1. Psychodynamic factors 2. Cognitive-Behavioral Factors 3. Biological factors

Faktor resiko:

1. Keparahan, durasi dan kedekadatan individu terhadap paparan peristiwa traumatik

2. Adanya trauma masa kecil 3. Adanya gangguan kepribadian 4. Sistem dukungan dari keluarga atau

teman sebaya yang tidak memadai 5. Jenis kelamin: perempuan

6. Kerentanan genetik terhadap penyakit jiwa

7. Perubahan kehidupan yang penuh dengan stres/tekanan

(46)

2. DEFENISI OPERASIONAL

Tabel 3.1. Defenisi Operasional

(47)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. DESAIN PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif yang

bertujuan untuk menggambarkan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias

(Sastroasmoro, 2002).

2. POPULASI DAN SAMPEL

2.1 Populasi

Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan

(Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja Teluk

Dalam berusia 13-18 tahun yang berjumlah 39.610 orang (BPS Teluk Dalam,

2013).

2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006).

Penentuan besarnya sampel yang akan dipakai oleh peneliti adalah dengan

menggunakan rumus:

(48)

Dimana: n = jumlah sampel

N= jumlah populasi

d = tingkat kesalahan yang dipilih (5% = 0,05)

Maka: n= N N (d)2+ 1 n = 39.610

39.610 (0,05)2+ 1 n = 39.610

100,025 n = 396 orang

Jadi, jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 396 orang.

Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel sesuai dengan yang dikehendaki oleh peneliti sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik

populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008). Kriteria inklusi dalam

menentukan sampel pada penelitian ini, yaitu remaja yang mengalami kejadian

bencana gempa bumi 28 Maret 2005.

3. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Tempat penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten

Nias Selatan dengan pertimbangan merupakan wilayah yang mengalami gempa

pada tanggal 28 Maret 2005 dan belum pernah dilakukan penelitian yang

(49)

sebagai tempat penelitian dikarenakan wilayah ini mengalami kerusakan sarana

dan prasarana yang parah dan korban terbanyak dibandingkan dengan kecamatan

lain di Kabupaten Nias selatan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2014.

4. PERTIMBANGAN ETIK

Penelitian ini dilakukan setelah proposal penelitian selesai di uji dan

peneliti mendapatkan izin dan rekomendasi dari institusi Pendidikan dan Komisi

Etik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya mengirimkan

surat permohonan untuk mendapatkan surat izin dari institusi dan rekomendasi

dari kantor Camat Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan.

Setelah mendapat izin dari Camat Teluk Dalam, peneliti memulai

pengumpulan data dengan memberikan lembar persetujuan (informed consent) kepada remaja sebagai responden. Sebelum responden mengisi dan

menandatangani lembar persetujuan, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan

diri, menjelaskan maksud, tujuan dan prosedur penelitian yang akan dilakukan.

Jika calon responden bersedia untuk dijadikan objek penelitian, maka calon

responden harus menandatangani lembar persetujuan. Jika calon responden

menolak untuk diteliti maka peneliti akan tetap menghormati haknya.

Untuk menjaga kerahasiaan (confidentiality) responden, peneliti tidak

mencantumkan nama (anonimyty), tetapi hanya mencantumkan nomor responden pada masing-masing lembar pengumpulan atau lembar observasi sebagai kode

yang hanya diketahui oleh peneliti. Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh

(50)

5. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2

bagian, yaitu: kuisioner data demografi dan kuesioner tanda dan gejala Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Kuesioner data demografi terdiri dari inisial nama dan nomor responden,

usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan usia saat mengalami

peristiwa traumatis.

Kuesioner untuk mengukur tanda dan gejala PTSD yang digunakan

peneliti dalam penelitian ini merupakan instrumen PTSD Screening (PCL) yang

bersumber dari National Center for PTSD (NCPTSD). PTSD Screening (PCL) dilakukan back translation terlebih dahulu, yaitu menerjemahkan instrumen ini ke dalam bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa

aslinya sebagai sarana memeriksa keakuratan dan dilakukan oleh penerjemah

profesional (Paegelow, 2008). Kuesioner berupa evaluasi diri ini terdiri dari 17

pertanyaan yang terdiri dari 3 kelompok pertanyaan. Pertanyaan nomor 1-5 masuk

dalam kelompok re-experiencing symptoms, pertanyaan nomor 6-12 masuk dalam kelompok avoiding symptoms, dan pertanyaan nomor 13-17 masuk dalam

kelompok hyperarousal symptoms. Dalam penentuan skoring pernyataan diberi pilihan jawaban Selalu (SL) = 5, Sering (SR) = 4, Kadang-kadang (KD) = 3,

Jarang (JR) = 2, Tidak Pernah (TP)=1. Jawaban responden untuk kategori 3-5

dianggap memiliki gejala sedangkan jawaban responden untuk kategori 1-2

dianggap tidak memiliki gejala, dengan mengikuti ketentuan kriteria diagnostik

(51)

a) Minimal memiliki 1 re-experiencing symptoms (pertanyaan nomor 1-5)

b) Minimal memiliki 3 avoiding symptoms (pertanyaan nomor 6-12) c) Minimal memiliki 2 hyperarousal symptoms (pertanyaan nomor 13-17)

6. UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahihan suatu

instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang

diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat

(Arikunto, 2005).

Uji validitas yang digunakan pada pengujian ini adalah validitas isi, yakni

sejauh mana instrumen penelitian memuat rumusan-rumusan sesuai dengan isi

yang dikehendaki menurut tujuan tertentu. Uji validitas dilakukan dengan cara

mengkoreksi instrumen dan dilakukan penilaian oleh 1 orang tenaga ahli yang

berkompeten dari Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran USU, yaitu dr.

Elmeida Effendy, Sp. KJ, 1 orang tenaga ahli yang berkompeten dari bagian

Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan USU, yaitu Sri Eka Wahyuni, S.Kep.,Ns

dan 1 orang spesialis Keperawatan Jiwa, yaitu Walter, S.Kep.,M.Kep.,Sp.Kep.J.

Berdasarkan uji validitas tersebut, kuesioner disusun kembali dengan bahasa yang

lebih efektif untuk mempermudah responden untuk memahami kalimat dalam

instrumen tersebut dengan item-item pertanyaan yang mengukur sasaran yang

ingin diukur sesuai dengan tinjauan pustaka dan kerangka konsep. Setelah

dilakukan uji validitas maka didapatkan nilai CVI 0,96. Hal ini berarti instrumen

(52)

Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrumen, maka dilakukan

uji reliabilitas. Uji reliabilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran

dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi,

2007). Uji reliabilitas instrumen ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar

kemampuan alat ukur. Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan

hasil yang relatif sama bila digunakan beberapa kali pada kelompok subjek yang

sama (Azwar, 2004). Menurut Polit & Hungler (1995) bila dilakukan uji

reliabilitas dan diperoleh nilai cronbach’s alpha 0,70 atau lebih maka instrumen

dinyatakan reliabel.

Instrumen PTSD Screening (PCL) telah reliabel dengan nilai 0,96 (Orsillo, 2002). Namun perlu kembali dilakukan uji reliabilitas karena telah dimodifikasi

oleh peneliti sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penelitian. Dalam penelitian ini

uji reliabilitas dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada 30 remaja yang

memiliki kriteria yang sama dengan sampel penelitian. Kemudian jawaban dari

responden diolah dengan menggunakan bantuan komputerisasi dan diperoleh nilai

cronbach’s alpha 0,757. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kuesioner tanda dan gejala PTSD yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel.

7. PENGUMPULAN DATA

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara: mendapatkan izin

penelitian dari institusi Pendidikan dan Komisi Etik Fakultas Keperawatan

Sumatera Utara. Setelah itu, peneliti mengajukan surat permohonan pengambilan

Gambar

gambaran Post Traumatic Stres Disorder (PTSD) pada remaja Teluk Dalam pasca
Tabel 3.1. Defenisi Operasional
Tabel 5.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan data demografi remaja di Kecamatan Teluk Dalam (n=396)
Tabel 5.3. Distribusi frekuensi dan persentase Tanda dan Gejala  Post Traumatic Stress Disorder pada remaja Teluk Dalam pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau Nias (n=129)

Referensi

Dokumen terkait

Jika diuji kembali , dengan cara memasukkan nilai parameter-parameter ini untuk meramalkan waktu tunggu rata-rata gempa bumi tektonik di daerah Pulau Nias maka hasil peramalannya

Peran pemerintah diutamakan dalam pelaksanaan pemulihan pasca bencana gempa bumi dengan melakukan proses tahapan rekonstruksi.. pada daerah

Play therapy berpengaruh signifikan terhadap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada anak-anak korban bencana tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara, dibuktikan

Mampu membuat rencana tindakan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca bencana alam.. Mampu menerapkan rencana yang telah

National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang

Gangguan stress pascatrauma (posttraumatic stress disorder–PTSD) adalah suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam, atau mendengar stresor traumatik

Intervensi yang dilakukan pada korban pasca bencana alam gempa bumi yang terjadi baik pada anak-anak, remaja hingga orang dewasa dilakukan dengan tatalaksana

Sedangkan Alfian (2012) melakukan penelitian tekait bencana gempa bumi dan tsunami yang bertujuan untuk memodelkan rencana tanggap darurat pasca bencana gempa bumi yang