• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Pembahasan

Melalui uji parsial, diketahui bahwa variable earnings mempunyai pengaruh

terhadap stock return. Hasil ini sesuai dengan Pradhono dan Yulius (2004), serta

Balachandran dan Mohanram (2006). Namun, hasil ini tidak sesuai dengan

Mundaryatiningsih (2006). Selanjutnya, variabel economic value added tidak

mempunyai pengaruh terhadap stock return. Hasil ini sesuai dengan Pradhono dan

Yulius (2004), Dewanto (2005), serta Waluyo (2005). Namun, temuan ini tidak sesuai dengan Mundaryatiningsih (2006).

Lebih lanjut, residual income tidak mempunyai pengaruh terhadap stock

return. Temuan ini sesuai dengan Pradhono dan Yulius (2004), serta Dewanto (2005).

Namun tidak sesuai dengan Balachandran dan Mohanram (2006). Variabel cash flow

operation juga tidak mempunyai pengaruh terhadap stock return. Hasil ini sesuai dengan penelitian Dewanto (2005), tetapi tidak sesuai dengan Pradhono dan Yulius (2004).

Melalui model regresi yang dihasilkan, nilai konstanta adalah sebesar 6,0462.

Hal ini menunjukkan bahwa jika seluruh variabel bebas economic value added,

residual income, earnings,dan cash flow operation bernilai sama dengan nol, maka nilai stockreturn per lembar saham adalah 6,0462%. Selanjutnya, dari model regresi

yang diperoleh diketahui bahwa earnings adalah variabel bebas dengan koefisien

regresi terbesar. Dengan demikian, earnings merupakan variabel bebas yang

Proyeksi besarnya perubahan stock return tergantung pada seberapa besar perubahan yang dapat terjadi dan jenis pengaruh dari masing-masing variabel bebas secara individual pada model yang dihasilkan. Dalam hal ini, dengan menganggap keadaan lain tidak berubah, maka setiap kenaikan 1 rupiah per lembar saham untuk EVA akan menurunkan nilai stockreturn sebesar 1,36%; setiap kenaikan 1 rupiah per

lembar saham untuk residual income akan menaikkan nilai stock return sebesar

0,01%; setiap kenaikan 1 rupiah per lembar saham untuk earnings akan

meningkatkan nilai stock return sebesar 10,93%; dan setiap kenaikan CFO akan

menaikkan nilai stock return sebesar 0,59%.

Melalui uji simultan, diketahui bahwa variabel economic value added,

residual income, earnings,dan cash flow operation secara bersama-sama mempunyai

pengaruh terhadap stockreturn. Hasil ini mempunyai kesamaan dengan Balachandran

dan Mohanram (2006) yang hanya menggunakan dua variabel bebas yaitu residual

income dan earnings. Selanjutnya, temuan ini tidak sesuai dengan Dewanto (2005)

yang tidak menyertakan variabel earnings serta memasukkan variabel MVA dalam

penelitiannya.

Berdasarkan temuan tersebut, ada beberapa pertanyaan yang layak untuk

diajukan. Pertama, mengapa indikator earnings memiliki kemampuan lebih baik

dibandingkan indikator economic value added, residual income, dan cash flow

operation dalam menjelaskan stock return? Kedua, mengapa keempat indikator

tersebut tidak cukup tinggi dalam menjelaskan stock return sebagaimana yang

Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa hanya ada 1 dari 9 perusahaan yang secara konsisten membukukan EVA positif setiap tahunnya, yaitu P.T. Andhi Chandra Automotive Product Tbk. Selain itu, terdapat 3 perusahaan yang membukukan EVA negatif setiap tahunnya. Berdasarkan karakteristik sampel, secara umum hanya terdapat sekitar 33% sampel yang menghasilkan EVA positif. Statistik deskriptif juga menunjukkan bahwa rata-rata EVA per lembar saham perusahaan bernilai negatif.

Data residual income juga tidak jauh berbeda, hanya ada 1 dari 9 perusahaan

yang secara konsisten membukukan residual income positif setiap tahunnya, yaitu

P.T. Nipress Tbk. Di samping itu, sebanyak 3 perusahaan memperoleh residual

income negatif setiap tahunnya. Berdasarkan karakteristik sampel, secara umum

terdapat sekitar 41% sampel yang menghasilkan residual income positif. Walaupun

statistik deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata residual income per lembar saham perusahaan bernilai positif, namun dengan penyimpangan yang cukup besar dari nilai rata-ratanya.

Selama periode penelitian juga diketahui bahwa tidak ada perusahaan yang secara konsisten membukukan CFO positif setiap tahunnya. Bahkan 5 dari 9 perusahaan diantaranya terus-menerus membukukan CFO negatif. Berdasarkan karakteristik sampel, secara umum hanya terdapat sekitar 7% sampel yang menghasilkan CFO positif. Statistik deskriptif juga menunjukkan bahwa rata-rata CFO per lembar saham perusahaan bernilai negatif.

Sementara itu, data earnings jauh lebih baik. Ada 7 dari 9 perusahaan yang secara konsisten mencatat earnings positif setiap tahunnya, serta tidak ada perusahaan yang terus-menerus mengalami kerugian selama periode enam tahun. Berdasarkan karakteristik sampel, secara umum terdapat sekitar 93% sampel yang menghasilkan

earnings positif.

Kondisi earnings yang baik tersebut ternyata juga berdampak nyata terhadap

kinerja saham. Publikasi earnings seringkali langsung memberikan dampak positif

terhadap perkembangan harga saham. Earnings yang positif juga memungkinkan

perusahaan membagi keuntungan kepada pemegang saham.

Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, baik yang dilakukan oleh Biddle et al. (1997), Peixoto (2001), Pradhono dan Yulius (2004), Ismail (2006), serta Kyriazis dan Anastassis (2007), ternyata hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa EVA tidak terbukti memiliki superioritas dibandingkan dengan

earnings dalam menjelaskan stock return. Beberapa penelitian terdahulu umumnya

menunjukkan bahwa hanya pada kondisi tertentu EVA dapat mengalahkan earnings.

Studi yang dilakukan Ho, et al. (2000) menunjukkan bahwa EVA yang dikombinasikan dengan informasi non finansial lebih mampu memberikan penjelasan

terhadap variasi perubahan harga saham dibandingkan dengan earnings. Garvey dan

Milbourn (2000) mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan yang telah

mengadopsi EVA akan mempunyai nilai EVA yang berkorelasi tinggi dengan stock

Menurut Djawahir (2003), pendekatan EVA belum banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sementara di Amerika dan Eropa, kebanyakan perusahaan telah menerapkan model EVA. Perusahaan-perusahaan yang mau menggunakan metode kinerja EVA umumnya hanya perusahaan asing atau mayoritas sahamnya dimiliki oleh pemodal asing.

Selain itu, angka EVA tidak langsung tersedia dalam laporan keuangan

perusahaan. Berbeda dengan earnings dan CFO yang bisa langsung diperoleh dari

laporan laba rugi dan laporan arus kas. Untuk menghitung EVA diperlukan banyak data, terutama untuk perhitungan WACC dan penyesuaian akuntansi, yang berasal dari catatan atas laporan keuangan atau sumber lainnya. Akibatnya, para pelaku pasar modal menghadapi kendala waktu untuk mengambil keputusan investasi berdasarkan EVA.

Di sisi lain, informasi yang dihasilkan CFO belum banyak digunakan oleh

para investor dalam memprediksi stock return. Ada beberapa alasan yang dapat

dikemukakan terkait dengan hal itu. Selain dari data CFO perusahaan-perusahaan

manufaktur automotive and allied product yang cenderung bernilai negatif,

kemungkinan para investor dan kreditor pada perusahaan-perusahaan tersebut lebih fokus kepada komponen arus kas lainnya. Triyono dan Jogiyanto (2000) menjelaskan bahwa pembedaan komponen aliran kas baik kegiatan operasi, kegiatan investasi dan

kegiatan pendanaan mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap return saham.

Studi yang dilakukan Daniati dan Suhairi (2006) menunjukkan bahwa perubahan arus

stock return, sementara perubahan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi tidak

mempengaruhi expected stock return. Di mana penelitian Daniati dan Suhairi

mengambil objek perusahaan-perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta, khususnya pada industri textile dan automotive.

Secara keseluruhan, kontribusi EVA, residual income, earnings dan CFO

dalam menjelaskan stockreturn tidak cukup tinggi. Hasil ini sesuai dengan Biddle, et al (1997) serta Pradhono dan Yulius (2004). Ini berarti bahwa ada faktor lain yang

memang lebih dominan mempengaruhi stock return. Hal ini juga menunjukkan

bahwa indikator kinerja bukanlah merupakan faktor utama dalam menentukan stock

return. Studi yang dilakukan Fernandez (2001) menjelaskan bahwa faktor lain berupa tingkat bunga (interest rate) ternyata mempunyai pengaruh dominan terhadap stock return. Utami dan Rahayu (2003) juga mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga mempunyai pengaruh signifikan dan dominan terhadap perubahan harga saham di pasar modal. Lebih lanjut, Antara dan Lestari (2006) mengungkapkan bahwa tingkat suku bunga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kinerja saham.

Dokumen terkait