• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui prevalensi Rinitis Alergi pada kalangan mahasiswa-mahasiswi tahun ajaran 2011, 2012, 2013, dan 2014 di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian dilakukan pada bulan September dan Oktober tahun 2014.

Hasil pengolahan data penelitian ini menunjukan prevalensi Rinitis Alergi di fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara sebanyak 41.4%. Hasil ini menunjukan hasil yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rezkiawan (2013) di Universitas Jambi pada tahun 2012 dengan jumlah prevalensi Rinitis Alergi sebanyak 44.9%. Namun, hasil ini sedikit berbeda dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Nadraja pada tahun 2010 yang melaporkan prevalensi Rinitis Alergi sebesar 61.7%. Hal ini dikarenakan penggunaan instrumen yang berbeda dengan jumlah sampel dan metode yang berbeda. Data yang didapatkan pada penelitinan ini menggambarkan angka prevalensi rinitis alergi yang cukup tinggi pada usia sekitar 20 tahun yang merupakan puncak perkembangan Rinitis Alergi menurut Wong (2013).

5.2.1. Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi berdasarkan Jenis Kelamin

Pada hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 61.0% penderita Rinitis Alergi merupakan perempuan. Hal yang sama ditemukan pada penelitian Musmar (2007) yang melaporkan 51.1% dari penderita rhinitis alergi dalam penelitiannya merupakan perempuan dan Khan (2013) melaporkan 60% penderita Rinitis alergi merupakan perempuan. Prevalensi rinitis alergi yang lebih tinggi pada perempuan ini mungkin disebabkan oleh faktor pengaruh hormonal. Shah (2012) menyatakan bahwa tingkat esterogen berhubungan dengan hipereaktivitas dan hipersensitivitas mukosa nasal terhadap histamin. Shah (2012) juga menjelaskan bahwa esterogen dapat menstimulasi produksi Sitokin Th2 dan meregulasi distribusi eosinofil yang dibuktikan dalam percobaan terhadap paparan alergen pada tikus. Oleh sebab itu, hormon seks perempuan berhubungan erat dalam respon antibodi terhadap alergen dan autoantigen.

24" "

" "

Di sisi lain, Bonds dan Horiuti (2013) melakukan penelitian antara hubungan esterogen dengan penyakit atopi. Bonds dan Horiuti (2013) menyatakan

paparan esterogen lingkungan (xenoestrogens) termasuk bisphenol A dan

phthalates dapat merangsang sensitisasi alergi pada percobaan model hewan dan merangsang perkembangan kelainan atopi pada manusia. Selain dapat merangsang produksi sitokin Th2 dan eosinofil, estrogen juga berperan penting dalam proses diferensiasi sel B menjadi sel plasma yang memproduksi Immunoglobulin E (IgE). Hal ini diawali dengan terjadinya interaksi antara IL-4 terhadap reseptornya dan penempelan CD40 pada sel B. setelah sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan IgE, IL-4 dan IgE akan

meningkatkan ekspresi dari rantai α dari FcεRI dalam sel mast nasal. Selain itu,

faktor makanan juga berpengaruh terhadap kejadian rinitis alergi. Pengeluaran IgE spesifik oleh sel-sel splenosit akibat rangsangan isoflavon yang terkandung dalam kacang kedelai dapat dibuktikan pada percobaan dengan menggunakan hewan coba.

5.2.4. Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi berdasarkan Kewarganegaraan Walaupun penelitian ini tidak mempertimbangkan faktor suku dan ras dari mahasiswa Indonesia maupun Malaysia,dapat disimpulkan jumlah prevalensi mahasiswa Indonesia adalah sebesar 41.3%. sedangkan pada Malaysia adalah 42%. Dari data tersebut dapat dilihat perbedaan yang tidak jauh antara prevalensi Rinitis Alergi pada mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Malaysia. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wong (2013) pada anak berumur 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC fase 1 dan 3.Wong melaporkan bahwa prevalensi rinitis alergi di Indonesia adalah sebesar 4,8% dan di Malaysia adalah sebesar 16,2%. Perbedaan ini mungkin diakibatkan oleh perbedaan kuesioner penelitian.

Tamay (2013) menyatakan bahwa sulit menjelaskan perbedaan antara prevalensi dari suatu daerah dengan yang lainnya dikarenakan setiap daerah memiliki keadaan sosial, ekonomi, gambaran geografis yang berbeda, dan pola makan dan hidup yang berbeda. Penyakit alergi seperti asma, rhinitis dan

25" "

" "

sensitisasi lebih umum pada kelompok tingkat sosioekonomi rendah daripada kelompok dengan tingkat sosioekonomi tinggi. Selain keadaan sosioekonomi adanya faktor paparan alergen di lingkungan juga sangat berperan untuk menimbulkan suatu penyakit alergi. Pola makan tiap daerah yang bervariasi berperan penting dalam resiko penyakit alergi.

Pada penelitian ini perbedaan prevalensi yang tidak begitu jauh antara mahasiswa Indonesia dan Malaysia bisa diakibatkan karena cuaca ataupun iklim daerah Indonesia dan Malaysia tidak berbeda jauh. Namun yang membedakan adalah tingkat sosioekonomi mahasiswa Malaysia dan keadaan gaya hidup perkuliahan di Indonesia menyebabkan prevalensi Rinitis Alergi pada mahasiswa Malaysia sedikit lebih tinggi. Pada survey singkat yang dilakukan peneliti, mahasiswa Malaysia yang aktif kuliah di Indonesia memiliki sosioekonomi yang lebih rendah daripada mahasiswa Indonesia sendiri. Pola makan yang tidak teratur pada mahasiswa Malaysia di Indonesia dan kurangnya kebersihan pada tempat tinggal dibandingkan dengan mahasiswa Indonesia local berpengaruh terhadap kesehatan Mahasiswa Malaysia sendiri yang dapat memicu perkembangan Rinitis Alergi.

5.2.3. Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi berdasarkan Riwayat Keluarga yang Memiliki Penyakit Atopi

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Riwayat keluarga sangat berpengaruh terhadap prevalensi Rinitis Alergi. Hubungan herediter terhadap penyakit atopi seperti Rinitis Alergi belum sepenuhnya diketahui. Namun hal ini dijelaskan oleh Davila (2009) dalam penelitian genomnya yang memperlihatkan hubungan antara beberapa kromosom yang terkait antara lain kromosom 2, 3, 4 dan 9. Penelitian juga menunjukkan bahwa polimorfisme nukleotida tunggal terlibat dalam gen yang mengkode molekul yang terkait dalam patogenesis Rinitis Alergi. Molekul tersebut meliputi kemokin dan receptornya, interleukin dan reseptornya, eosinofil peroksidase dan leukotriens, dan yang lainnya. Selain itu Davila (2009), Wang (2005) juga menyatakan bawha patogenesis dari penyakit alergi sangat kompleks dan mungkin disebabkan oleh kontribusi dari faktor

26" "

" "

genetik dan lingkungan, terutama pada fase sensitisasi alergi. Wang (2005) menjelaskan adanya hubungan antara fenotipe dari penyakit alergi (rinitis dan/atau Asma) dengan marker lebih dari 14 pasang kromosom (terdiri dari kromosom 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 19, dan yang lainnya). Beberapa dari gen ini terlibat dalam respon imun spesifik (terdiri dari HLA-D,

TCR, CD14, toll-like receptors, STAT6) dan diferensiasi sel Th1/Th2; yang

lainnya bekerja dalam gen pengkode respon IgE dan fungsi dari reseptor IgE (IL-4, IL-4R, FcεRIβ,FcеpsilonRI) dan gen terkait dalam proses inflamasi (TNF-γ, IFN- γ, IL-3).

5.2.4. Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi berdasarkan Komorbid Penyakit Atopi Lain

Penyakit komorbid yang paling banyak pada penderita Rinitis Alergi adalah eksema atau urtikaria pada penderita Rinitis Alergi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuksel (2008) yang melaporkan 43% penderita eksema juga menderita Rinitis alergi. Yuksel (2008) juga menjelaskan bahwa beberapa penelitian di Perancis menyatakan Eksema meningkatkan resiko Asma dan Rinitis. Hal ini dijelaskan dengan adanya kesamaan dasar genetik dari beberapa penyakit atopi tersebut yang memberikan keadaan klinis dalam waktu yang berbeda dalam kurun kehidupan. Kejadian ini disebabkan oleh karakteristik fenotipe gen berbeda pada masing-masing penyakit atopi. Bataille (2007) menambahkan bahwa regio gen pada 11p14, 5p13, 17q21, dan 5p15 memiliki hubungan yang sama dengan beberapa penyakit atopi seperti eksema dan penyakit alergi lainnya.

27" "

" "

Dokumen terkait