• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan

Penulis menemukan respons dari umat yang bervariasi terkait arti, jenis dan tujuan pelayanan kasih. Hal ini bukan karena keluasan tema pelayanan itu sendiri melainkan karena keragaman pemahaman dan refleksi dari masing-masing responden. Secara umum penulis menilai bahwa hampir sebagian responden sangat memahami apa itu pelayanan kasih dan tindakan karitatif dalam Gereja Katolik. Pemahaman mereka bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja (take for granted) tetapi diperoleh melalui refleksi atas pengalaman hidup mereka sebagai umat Katolik. “Mereka mengalami sendiri apa yang mereka imani; mereka beriman karena mereka benar-benar percaya; dan mereka bertindak karena mereka tahu konsekuensi dari tindakan kasih yang dilakukan.” [Lampiran 0, (6)]. Oleh sebab itu, penulis meyakini bahwa setiap respons – entah positif maupun negatif mengenai topik pelayanan kasih-karitatif, sesungguhnya merupakan ungkapan hati yang jujur dari umat.

Dengan latar belakang sebagai seorang tokoh umat yang pernah mengemban tanggung jawab sebagai ketua stasi – R1 merespons topik ini dengan menjelaskan secara sederhana pemahamannya tentang pelayanan kasih-karitatif sebagai sebuah “tindakan memberi dan membantu” umat yang membutuhkan pertolongan dan pendampingan. Namun lebih jauh, R1 menambahkan bahwa tindakan tersebut sama sekali tidak bernilai jika tidak bersumber pada kasih.

Artinya ketika melakukan perbuatan amal kepada sesama harus betul-betul tulus, entah itu pelayanan material maupun batiniah.

Tentang pelayanan material dan batiniah – R1 mencontohkan dengan memberi bantuan seperti bahan makanan/sembako kepada sesama yang sangat membutuhkan. Perbedaan kelas, suku atau agama tidak menghalanginya untuk melakukan kebaikan. Tindakan kasih-karitatif, menurutnya harus melampui batas-batas perbedaan. Sedangkan pelayanan batiniah yang umumnya dilakukan adalah menasihati umat yang jarang terlibat dalam kegiatan gereja supaya lebih aktif; mendengarkan keluh kesah umat sekaligus menawarkan solusi; dan meyakinkan umat yang berada dalam situasi bimbang agar lebih tekun dalam berdoa dan setia pada iman kristianinya.

R1 bahkan menuturkan bahwa – tantangan terbesar saat ini adalah sulitnya merawat kesetiaan dan keutuhan iman umat Katolik. Fenomena ini paling sering dijumpai di kalangan orang muda katolik. Menurutnya, orang muda saat ini tengah mengalami krisis iman yang akut. Sejauh pengamatannya, kelompok ini cenderung permisif terhadap segala kegiatan yang bernuansa rohani. Mereka sangat apatis terhadap urusan-urusan doa dan ibadat di stasi –dan gampang beralih “keyakinan” tergantung pada situasi dan kondisi.

R2 sebagai salah seorang tokoh umat yang sangat aktif terlibat dalam urusan-urusan stasi menuturkan bahwa pelayanan kasih itu – sederhananya adalah peka terhadap kesulitan dan kebutuhan sesama lalu coba memberi bantuan sejauh mampu. Menurutnya tindakan melayani itu sebenarnya sudah diketahui dan dipraktekan masyarakat Indonesia jauh sebelum agama masuk. Tindakan saling

menolong itu sebetulnya telah menjadi salah satu bagian terpenting dari peradaban bangsa Timur. Umumnya sikap solider antar-sesama mudah dijumpai dalam budaya bangsa-bangsa terjajah, termasuk Indonesia. Karena itu pada saat Gereja masuk dengan ajaran tentang pelayanan kasih (saling menolong), mudah diterima umat Katolik di Indonesia karena sejalan dengan kultur masyarakat setempat.

Bagi R2, topik pelayanan kasih sebetulnya sudah tidak asing lagi bagi dirinya dan orang-orang di Stasi Ngrendeng. Dalam kesehariannya, mereka sudah sering mempraktekan hal itu dalam hal peka terhadap kesulitan hidup sesama dan kemudian terdorong untuk memberi pertolongan. Berikut beberapa contoh konkret, misalnya kalau ada sesama yang sakit biasanya langsung direspons, dan tanggapannya macam-macam. Ada yang misalnya datang menjenguk sambil beri penghiburan, ada yang bantu biaya pengobatan, ada yang membawa makanan, dan sebagainya. Hal lain misalnya membantu sesama yang janda dan yang sudah tua. Selain itu juga, kalau ada sesama yang mengalami musibah kematian, langsung mendapat respons cepat dari sesama. Khusus untuk umat Stasi Ngrendeng, ada kesepakatan agar bahu-membahu menolong keluarga yang berduka. Mulai dari mendoakan arwah yang meninggal sampai mengurus pemakamannya. Termasuk menghadiri doa atau ibadat peringatan kematian.

Cerita di atas secara jelas menunjukan bahwa umat Stasi Ngrendeng sudah terbiasa saling membantu. Namun penulis mempertanyakan, apakah kebiasaan tersebut dipengaruhi oleh ajaran Gereja atau karena kultur masyarakat setempat? Sebab menurut R2 mereka sudah mengenal nilai solider dan gotong royong jauh

sebelum Gereja Katolik masuk. Poin ini akan dianalisis oleh penulis pada bagian selanjutnya.

R3 menyoroti hal lain dari dimensi pelayanan kasih yakni perhatian yang bersifat umum kepada sesama umat manusia. “Benar bahwa kita mesti mengutamakan sesama kita yang seiman, namun pelayanan itu semestinya melampaui batas agama/keyakinan.” [Lampiran 3, (2)]. Ungkapan ini secara jelas menunjukan sikap R3 yang selama ini lebih cenderung memaknai pelayanan sebagai perbuatan kasih yang tertuju kepada semua orang. Sejauh pengamatannya hal demikian belum terwujud secara baik di Stasi Ngrendeng. Pelayanan yang dilakukan selama ini masih cenderung mengarah kepada sesama umat beriman. Misalnya, pengurus stasi umumnya hanya fokus melayani umat Katolik sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Begitu juga umat lainnya yang lebih sering membantu sesamanya yang beragama Katolik daripada beragama lain.

Fokus pelayanan menurut R3 selama ini masih tertuju pada sesama umat yang beragama Katolik. Mungkin karena kita minoritas jadi rasa solidaritas itu sangat kuat. Menurutnya, ada kecenderungan kita lebih senang membantu sesama seiman daripada yang beragama lain. Ini contoh sederhana misalnya, ada tetangga sebelah rumah yang mengalami kekurangan makanan, maka mereka akan lebih senang menceritakan kekurangan kepada tetangganya yang beragama Katolik dan mengharapkan bantuan dari mereka. Atau contoh lain, kalau ada kematian maka respons pertama yang muncul adalah menanyakan status agama keluarga yang mengalai musibah kematian. Jika agama sama maka reaksinya akan cepat, begitu pun sebaliknya.

R4 nampaknya sependapat dengan padangan-pandangan dari ketiga responden sebelumnya. Ia mengartikan pelayanan sebagai sebuah kegiatan sosial yang membutuhkan pengorbanan dari masing-masing orang. Pelayanan itu lebih sebagai sebuah kepedulian yang melampaui batas-batas perbedaan.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman R4 selama ini umat di Ngrendeng punya kepedulian sosial yang besar. Kebiasaan saling membantu sangat terlihat jelas dalam keseharian hidup umat Ngrendeng. Begitu juga dalam kehidupan menggereja, R4 juga menemukan adanya kepedulian yang besar antar sesama umat Katolik. Ada dua hal yang sangat mengesankan dari cara hidup umat kristiani di Ngrendeng, yakni: (a) persaudaraan (fraternity), dan (b) solidaritas (solidarity).

R4 menguraikan kedua hal tersebut dengan sangat sederhana. Dulu mungkin karena orang Katolik di Ngrendeng jumlahnya sangat sedikit maka perasaan sebagai satu keluarga itu sangat besar. Meski kita tidak punya hubungan darah atau ikatan keluarga, namun karena memiliki satu kepercayaan maka kita sering berkumpul sebagai satu keluarga. Berdasarkan cerita orang tua dulu katanya mereka sering berkumpul untuk berdoa bersama. Kesempatan untuk berdoa itu selalu mereka pakai untuk bercerita dan berbagi pengalaman hidup. Lama-kelamaan hubungan persaudaraan itu tumbuh dan semakin kuat terjalin. Tentu rasa solider satu terhadap yang lain dengan sendiri muncul saat ada yang mengalami masalah atau musibah. Misalnya saat ada tetangga yang mengalami musibah kecelakaan atau lelayu biasanya langsung mendapat respons yang baik dari sesama yang beragama Katolik.

Namun kondisi ini menurut R4, di satu sisi sangat positif bagi umat Katolik di Ngrendeng namun di lain sisi sebenarnya mendistorsi keharmonisan hidup masyarakat secara keseluruhan. Umat dari agama lain tentu akan menilai umat Katolik sangat eksklusif (menutup diri) dalam pergaulan sehingga lambat laun akan memperburuk suasana toleransi.

Sedangkan menurut R5, pelayanan itu merupakan suatu tindakan kasih yang dilakukan tanpa pamrih oleh orang-orang yang berjiwa sosial dan memiliki ketulusan hati. Meski R5 tidak menyebutkan secara jelas definisi kasih yang dia maksudkan. Namun dari penjelasannya itu, penulis menilai bahwa R5 punya kesan yang sangat positif terhadap kegiatan-kegiatan pelayanan yang selama ini terjadi di Stasi Maria Assumpta. Umat begitu giat saling melayani satu sama lain.

Tindakan saling menolong (melayani) dipandang R5 sebagai suatu kebiasaan baik di Stasi Maria Assumpta. Ia bahkan sudah melihat tindakan tersebut sebagai suatu budaya orang Katolik. Sebagai kelompok minoritas, menurutnya orang Katolik selalu berbela rasah satu terhadap yang lain. Meskipun argumentasi ini belum bisa dibuktikan kebenarannya namun penulis menangkap kesan bahwa R5 nampaknya sangat mengagumi spirit “altruisme” dalam ajaran kristiani. Kebiasaan hidup bersama dan saling memberi sungguh memengaruhi keutamaan hidup seseorang dalam melakukan tindakan pelayanan kasih.

Khusus tentang partisipasi umat - penulis mendapat kesan yang bervariasi dari responden. R1 secara terus terang mengungkapkan keprihatinannya terhadap partisipasi umat dewasa ini. Ia coba membandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya yang sangat giat berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan

kerohanian di Gereja. Secara umum, ia menilai bahwa umat katolik saat ini, khusus di Ngrendeng, sudah mati suri. Animo umat untuk mengabdikan dirinya secara tulus kepada Gereja, perlahan-lahan mengalami kemerosotan. Ketulusan hati untuk mendedikasikan hidup dan pelayanan mereka kepada Gereja, sepertinya mulai memudar. Umat saat ini, tampaknya malas terlibat secara aktif dalam kehidupan menggereja. R1 punya kesan yang sangat negatif mengenai partisipasi umat.

Lebih lanjut R1 secara khusus menyoroti soal tanggung jawab pengurus stasi yang menurutnya tidak bekerja optimal. Kerja fungsionaris stasi dewasa ini, menurutnya hampir tidak sejalan lagi dengan visi dan misi Krisitiani. Hal ini menyata dalam sikap dan komitmen yang mereka tunjukkan saat dituntut untuk bekerja secara altruistik. Berdasarkan pengalamannya (sebagai mantan ketua stasi) ia kemudian bercerita tentang prinsip utama yang mesti diperhatikan oleh seorang pelayan iman.

Sejauh yang saya tahu, menjadi seorang fungsionaris stasi, salah satu prinsip yang perlu dikedepankan adalah “melayani dengan sepenuh hati.” Konsekuensi dari prinsip ini tentu menuntut seorang pelayan untuk mengabdikan dirinya kepada Gereja tanpa mengharapkan pamrih. Jasa atau imbalan dari sebuah pengorbanan selalu diyakini akan diterima pada kehidupan akhirat nanti. Namun yang saya amati sekarang, prinsip ini perlahan-lahan mulai memudar dalam diri fungsionaris stasi. Meski mereka melayani namun selalu saja ada kecenderungan untuk mengharapkan sesuatu dari pelayanan tersebut. Atau kerap membuat perbandingan dengan tugas lain yang selalu mendatangkan imbalan. Padahal pelayanan untuk Gereja sifatnya sukarela dan tanpa pamrih. [Lampiran R1, (9-10)]

R2 memiliki pandangan yang berbeda dengan R1 sehubungan dengan komitmen dan pengorbanan pengurus stasi. Sejauh pengamatannya, selama ini pengurus stasi sudah bekerja optimal. Sebagai tokoh umat yang masih aktif, ia

mendapat kesan yang kuat bahwa para penguruh stasi sangat berkomitmen dengan tugas dan tanggung jawabnya. Meski bekerja tanpa imbalan, mereka sangat loyal dengan tugas pelayanan di stasi. Mereka mengerjakan rupa-rupa tugas stasi yang sudah dipercayakan, dari mengurus kebersihan stasi sampai merespons kegelisahan iman umat. Semuanya mereka jalani dengan senang hati. Meski ada kendala-kendala kecil namun itu bisa diselesaikan dengan tabah. Ketulusan hati untuk mengabdi pada sesama dan Tuhan menjadi modal utama bagi mereka untuk melawan rasa jenuh ataupun malas.

Meski demikian R2 punya satu catatan penting terkait perhatian dari pihak Gereja Paroki. Menurut R2, keaktifan para fungsionaris stasi ternyata diimbangi oleh semangat pelayanan dari romo paroki. Memang penilaianya ini tidak ditujukan kepada semua romo. Sebab sejak stasi ini dibentuk ada beberapa romo paroki yang silih berganti dipercayakan untuk memberi pelayanan kepada umat di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng. R2 menilai ada romo yang sangat dekat sekali dengan umat dan punya visi yang sejalan dengan para fungsionaris stasi. Namun entah kenapa ada sebagian romo yang jarang sekali berkunjung ke stasi karena alasan jauh dan lain sebagainya. Hal ini dinilai tidak baik buat pertumbuhan iman umat di stasi. Ini sangat mengancam militansi iman umat.

R2 setidaknya menggarisbawahi pengaruh dukungan romo terhadap spirit pelayanan para fungsionaris stasi. Secara sederhana, R2 hendak mengatakan bahwa romo dan fungsionaris stasi mesti bekerja sama bahu membahu, menumbuhkembangkan iman umat. Fungsionaris stasi tidak bekerja sendirian, begitu pun sebaliknya. Keduanya berada saling mengandaikan satu sama lain.

Komitmen dan spirit pengorbanan fungsionaris stasi akan lebih bermakna kalau mendapat dukungan dari romo melalui perhatian dan perayaan sakramen. Segala pelayanan kasih-karitatif yang dilakukan pengurus stasi akan bermakna sosial dan eskatologis kalau dikukuhkan dalam perayaan sakramen.

Namun tentang keaktifan umat secara keseluruhan, R2 malah menilai masih sangat kurang. Ia menggunakan parameter yang sangat sederhana yang memperhatikan keaktifan umat dalam perayaan misa mingguan dan kegiatan doa bersama di lingkungan. Menurutnya, partisipasi umat masih sangat kurang terlebih dalam kegiatan rohani. Ia beri contoh, misalnya misa pada hari minggu yang biasanya (masa-masa awal pembentukan stasi) dipadati umat, tetapi sekarang malah ada begitu banyak bangku Gereja yang kosong. Selain itu, kebiasaan doa rosario atau doa apa saja di lingkungan masing-masing, tampaknya mulai diabaikan. Kalau masih ada, itu pun hanya beberapa orang tua yang sadar akan pentingnya doa bagi hidup mereka. Mungkin juga karena kebiasaan itu sudah mendarah daging dalam hidup mereka. Sehingga menurutnya, apapun alasannya mereka pasti hadir. Tetapi hal demikian tidak terjadi untuk orang muda sekarang. Masih ada banyak contoh lain lagi yang menegaskan adanya kemunduran dalam hal penghayatan iman dan partisipasi umat Katolik di Ngrendeng.

Biarpun demikian R2 tetap optimis menilai bahwa kekatolikan mereka tidak mudah luntur. Umat saat ini memang tidak seaktif orang Katolik dulu namun ketika ditanya soal agama atau keyakinan, mereka akan secara tegas mengatakan bahwa mereka orang Katolik. Jawaban tersebut setidaknya mengindikasikan dua hal. Satu sisi partisipasi umat Katolik di Ngrendeng dari waktu ke waktu mengalami

penurunan, tapi di lain sisi mereka masih tetap militan dengan keyakinan mereka sebagai orang Katolik. Mereka masih teguh pada pendiriannya sebagai murid Kristus.

Umat di sini memang ada kecenderungan malas ke gereja dan berdoa. Namun jangan cepat dulu menilai mereka kafir. Karena kalau ditanya, kalian agama apa – mereka pasti langsung dengan berani bilang saya beragama Katolik. Percaya pada Yesus Kristus. Tidak ada tawar menawar soal iman. Titik. [Lampiran, R2, (12)]

Namun penulis menilai bahwa ada gap yang besar antara pemaknaan iman sebagai ajaran in se dan pemaknaan iman dalam tindakan konkret. Seharusnya iman mesti diaktualisasikan dalam tindakan konkret. Beriman pada Kristus berarti mencontohi cara hidup Kristus yang sangat altruistis dan penuh pengorbanan. Keberimanan seseorang hanya bisa ditingkatkan melalui doa/ibadat dan perayaan-perayaan sakramen. Karena itu mengabaikan aktivitas doa sudah tentu akan memengaruhi pilihan sikapnya dalam melakukan aktivitas pelayanan kasih.

R3 punya tanggapan yang sangat positif mengenai peran pengurus stasi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab gereja. Sejauh ini menurutnya, para pengurus stasi sangat loyal terhadap apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.

Mereka bekerja dengan penuh kesadaran dan tanpah pamrih. Semuanya karena digerakkan oleh iman. Meski tidak mendapat imbalan material namun mereka yakin Tuhan akan memberi imbalan yang pantas saat di Surga. Mereka selalu bersigap dalam situasi apa pun. Misalnya: saat ada yang sakit, mereka pasti akan bantu mendoakan atau bersedia menginformasikan kepada romo paroki untuk memberi sakramen penguatan; saat ada yang meninggal, mereka pasti akan mengurusi proses pemakaman; saat ada yang butuh surat administrasi, mereka selalu siap membantu. [Lampiran R3, (14)]

Penulis tentu terkesan dengan pengalaman-pengalaman semacam itu – sederhana namun punya arti yang besar. Hal penting yang menarik bagi penulis di sini adalah arti pengorbanan dari tindakan pelayanan. Secara implisit, setidaknya R3 mengapresiasi pengorbanan dari pengurus stasi yang sudah mendedikasikan hidupnya bagi sesama. Poin ini akan diulas lebih jauh pada bagian selanjutnya mengenai partisipasi konkret umat.

Tentang hal ini nampaknya R4 punya pandangan yang berbeda. Ia menilai selama ini pengurus stasi belum optimal dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Satu hal yang menurutnya, masih perlu diperhatikan secara serius oleh pengurus stasi adalah cara menggerakan umat agar lebih giat dalam kehidupan menggereja. Di tengah derasnya arus sekularisme, umat tentu butuh sosok pemimpin yang berintegritas tinggi yang mampu mengarahkan umat ke jalan yang benar. Karena itu menurut R4 menentukan seorang ketua stasi tidak boleh “asal -asalan” sekadar punya komitmen, namun harus punya kemampuan yang mumpuni.

Mengurus iman ratusan umat itu pekerjaan berat. Harus dibedakan dengan kerjaan pemerintah yang hanya sekadar mendengar keluhan masyarakat lalu membuat program. Persoalan iman perlu direspons dengan perhatian bukan material. Para pengurus stasi sesungguhnya adalah pelayan iman bukan pemerintah. Mereka punya hal lain yang memang tidak dimiliki oleh pemerintah yakni “kesediaan untuk menuntun” umat ke jalan hidup yang sesuai dengan ajaran iman Katolik. [Lampiran R4, (16)]

Karena alasan demikian maka menurut R4, mekanisme pemilihan pengurus stasi harus benar-benar dilakukan secara serius. Tujuannya untuk mendapat sosok pemimpin yang berintegritas secara rohani. Selama ini yang terjadi di Stasi Maria

Assumpta malah asal-asalan: “siapa yang bersedia, langsung mendapat persetujuan”. Tanpa ada seleksi yang jelas sehingga akan memengaruhi loyalitasnya dalam bekerja. Bahkan menurut R4, ada yang sebenarnya tidak bersedia jadi ketua stasi malah dipaksa tokoh umat setempat untuk menerima tanggung jawab tersebut. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap kinerja seorang petugas stasi. “Mereka bekerja melayani, sesungguhnya karena terpaksa sehingga kemungkinan untuk mendahulukan urusan pribadi dan keluarga sangat besar. Apalagi tugas pelayanan tersebut sifatnya sukarela.” [Lampiran 4, (5)].

Mengenai partisipasi umat R5 sepakat dengan beberapa responden sebelumnya bahwa tidak semua umat di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani di stasi. Ada kelompok yang masih aktif seperti lansia, orang tua, dan anak-anak sedangkan orang muda menurutnya, hampir jarang terlibat dalam berbagai urusan rohani. Beberapa parameter sederhana yang dipakai R5 untuk mengukur paritispasi umat adalah kesediaan mengikuti doa bersama di lingkungan, latihan koor, bersih-bersih gereja, dan sebagainya. Berikut adalah penilaian R5 terhadap partisipasi umat Stasi Ngrendeng.

Menurut R5, saat ini kaum muda “sedang sakit”. Istilah sakit di sini tentu bermakna konotatif yakni mau menunjukkan kondisi orang muda yang sedang mengalami krisis iman. Mereka bisa dikatakan sakit karena memang cara hidup mereka yang akhir-akhir ini tidak mencerminkan sikap hidup orang Katolik yang sesungguhnya. Malas berdoa, enggan terlibat dalam kegiatan rohani, merasa malu kalau ditunjuk sebagai petugas gereja, adalah contoh sikap kaum muda yang tengah dilanda krisis iman. Ketika ditanya bagaimana cara merespons permasalahan ini,

R5 tidak punya jawaban apa pun. Dia bingung dan tidak tahu langkah-langkah solutif apa yang bisa digunakan untuk merespons persoalan tersebut. Ia pasrah, dan menunggu tanggapan yang bijaksana dari pihak Gereja.

Dokumen terkait