• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Temuan Umum

Penulis menguraikan hal-hal umum mengenai Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng seperti kondisi geografis, kondisi demografis (kependudukan), kondisi sosial dan budaya, serta visi dan misi stasi. Oleh karena tidak ada dokumen tertulis yang menguraikan secara gamblang profil Stasi Ngrendeng maka penulis berupaya

mengumpulkan data-data primer melalui observasi awal (23-28 Mei 2016) dan wawancara (21-28 Agustus 2016).

1. Kondisi Geografis

Wilayah stasi Ngrendeng terletak persis di bagian utara kawasan Gunung Lawu. Stasi tersebut berada di wilayah Desa Ngrendeng, Kecamatan Sine Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Berdasarkan administrasi Gerejawi bagian timur berbatasan dengan Hutan, bagian barat berbatasan dengan Stasi Hargosari, bagian utara berbatasan dengan Stasi Ngrambe, dan bagian selatan berbatasan dengan Stasi Banjaran. Jika dilihat dari sudut pandang pemerintahan maka bagian timur berbatasan dengan hutan, bagian barat berbatasan dengan Desa Hargosari, bagian utara berbatasan dengan Desa Sambirejo dan Desa Sumberejo, sedangkan bagian selatan berbatasan dengan Desa Girikerto.

Stasi ini hanya memiliki satu lingkungan. Ketika mengetahui hal ini - penulis awalnya tidak percaya karena umumnya sebuah stasi memiliki lebih dari satu lingkungan. Namun dari cerita beberapa responden penulis diyakinkan bahwa memang Stasi Ngrendeng hanya memiliki satu lingkungan. Alasannya karena wilayah Ngrendeng jauh dari Stasi Sine. “Dulu memang kita bergabung dengan Sine. Namun karena terlalu jauh maka kami minta kepada Romo supaya Ngrendeng dimekarkan sebagai sebuah stasi. Karena alasan jarak dinilai masuk akal maka akhirnya kami mekar sebagai sebuah stasi sendiri.” [Lampiran 2, (1)]. Berdasarkan hasil observasi penulis, memang benar bahwa jarak tempuh Sine dan Ngrendeng

adalah 14 km dan tidak ada transportasi umum antara Sine dan Ngrendeng membuat umat semakin sulit untuk mengikuti kegiatan keagamaan.

2. Kondisi Demografis

Berdasarkan data Stasi tahun 2015, umat Katolik di Stasi Ngrendeng berjumlah 39 orang yang terdiri dari 16 orang laki-laki dan 23 orang perempuan. Seturut data pekerjaan, sebagian besar umat Katolik di Ngrendeng bekerja sebagai buruh (58,3%) sedangkan 41,67% lainnya merupakan petani di sawah dan ladang. Meskip jumlah mereka masih sangat sedikit namun mereka tetap semangat melaksanakan berbagai kegiatan rohani di gereja. Dengan semua keterbatasan yang ada, mereka tetap bahu-membahu mempertahankan iman mereka kepada Kristus.

Sejauh pengamatan penulis, sebagaian besar umat yang saat ini berdomisili di Ngrendeng adalah kelompok orang dewasa (yang sudah berkeluarga) dan kelompok lanjut usia. Ketika beranjak dewasa dalam hal ini setelah menyelesaikan pendidikan menengah pertama, mereka akan memilih pindah ke kota untuk melanjutkan pendidikan tingkat atas dan kuliah. Begitu juga setelah selesai bersekolah, umumnya mereka memilih merantau - mencari penghidupan yang layak di daerah lain. Selain itu, ada pula yang meninggalkan kampung karena menikah dengan orang luar daerah.

3. Kondisi Sosial dan Budaya

Umat di Stasi Ngrendeng adalah kelompok masyarakat yang sangat homogen. Umumnya mereka adalah penduduk suku asli Jawa. Hanya ada satu umat

yang menikah dengan orang Batak, namun kemudian dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Situasi kehidupan kemasyarakatan yang sangat kental dengan etnis Jawa memudahkan mereka untuk bersosialiasi satu terhadap yang lain. Solidaritas menjadi satu ciri masyarakat yang homogen. Orang bisa dengan mudah solider dengan sesamanya karena ada kesamaan budaya, bahasa bahkan agama. Poin ini akan muncul pada uraian-uraian selanjutnya mengenai spirit pelayanan kasih. Hal yang lebi khas nampak dalam keseharian masyarakat di Ngrendeng adalah semangat gotong-royong. Sense of homogenity menjadi motor yang mampu menggerakan orang untuk bisa saling membantu. Hemat penulis, ini menjadi salah satu poin kunci yang akan mendasari fondasi pelayanan kasih umat di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng.

Kebiasaan lain yang masih kental dengan kebudayaan Jawa yakni ritual kelahiran dan kematian. Berdasarkan adat Jawa, proses kehidupan selalu beriringan dengan tradisi. Nguri-nguri kebudayaan Jawa, melestarikan kebudayaan Jawa. Ritual ini dilakukan dengan doa-doa berbahasa Jawa. Masih banyak ritual inkulturatif lainnya yang sangat diminati oleh umat Stasi Ngrendeng. Salah satu alasan mendasar kenapa orang Jawa gampang menerima ajaran Katolik karena mengakomodasi kepercayaan-kepercayaan asali masyarakat Jawa dan menginkulturasikan dalam perayaan-perayaan sakramen.

4. Visi dan Misi Stasi

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, penulis mendapatkan sebuah jawaban yang pasti bahwa pioner Stasi Maria Assumpta Ngrendeng adalah

Romo Katini, CM. Beliau membangun Stasi ini dengan sebuah visi utama yakni mempertangguh iman umat Ngrendeng agar semakin militan dalam bersaksi tentang Kristus dalam kehidupan bermasyarakat. Visi ini terlihat jelas dalam berbagai kegiatan misioner yang dilakukan Romo Katini seperti: (a) membaptis sebanyak mungkin orang yang hendak beriman pada Kristus, (b) rutin mengunjungi umat Katolik dari rumah ke rumah, (c) rajin mengadakan doa dan merayakan ekaristi bersama, (d) mangajari anak-anak berdoa dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengambil bagian dalam ibadat dan perayaan sakramen, (e) mengaktifkan kaum muda dan orang dewasa dalam berbagai kegiatan rohani di stasi, dan (f) giat mendorong para Katekis untuk “turun ke bawah” untuk memperkenalkan Kristus kepada umat.

Visi dan misi tersebut - menurut para responden sangat efektif menggerakan hati umat untuk berpartisipasi dalam kegiatan menggereja. Namun lamban-laun, visi dan misi tersebut mulai diabaikan oleh para penerus Romo Katini.

Contoh konkret misalnya, romo sudah tidak rutin lagi mengadakan kunjungan di stasi. Secara tidak langsung tentu akan berpengaruh terhadap semangat umat. Umat di sini, suka membanding-bandingkan. Menurut mereka, romo sekarang malas - tidak seperti pendahulunya. Mereka lebih banyak berkunjung ke tempat-tempat yang dekat dengan paroki. Sedangkan kami yang jauh dari gereja paroki biasanya hanya sekali dalam sebulan. Nah umat akan rajin ikut ibadat atau misa kalau ada romo. Jangan harap mereka ikut ibadat sabda kalau pemimpinnya adalah seorang pro-diakon yang nota bene adalah awam seperti mereka. [Lampiran 5, (2)].

Ungkapan di atas secara jelas memperlihatkan bahwa ada dinamika hidup rohani yang menarik untuk dikaji. Sebab pengalaman semacam itu ternyata tidak hanya disampaikan oleh satu atau dua orang melainkan oleh hampir sebagian besar

umat yang penulis jumpai. Bahkan penulis sendiri mengamati secara langsung selama masa penelitian, bahwa kondisi tersebut benar-benar terjadi di Stasi Ngrendeng. Meski demikian terdapat beberapa kesan positif yang penulis dapat baik dari hasil observasi maupun wawancara tentang praktik hidup rohani umat di Stasi Ngrendeng.

Dokumen terkait