• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refleksi pelayanan Kasih Awam Kristiani dalam terang ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng Paroki Santo Yoseph Ngawi Keuskupan Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Refleksi pelayanan Kasih Awam Kristiani dalam terang ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng Paroki Santo Yoseph Ngawi Keuskupan Surabaya."

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

i

REFLEKSI PELAYANAN KASIH AWAM KRISTIANI DALAM TERANG ENSIKLIK DEUS CARITAS EST DI STASI SANTA MARIA ASSUMPTA NGRENDENG PAROKI SANTO YOSEPH NGAWI KEUSKUPAN SURABAYA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Elisabet Dwi Setiani NIM: 121124015

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERISTAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada Tuhan Yesus Sang Guru Teruntuk yang terkasih Ibu Theresia Sumarni, Bapak Yohanes Pembaptis

(5)

v

MOTTO

“Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.”

(6)
(7)
(8)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul REFLEKSI PELAYANAN KASIH AWAM

KRISTIANI DALAM TERANG ENSIKLIK DEUS CARITAS EST DI STASI SANTA MARIA ASSUMPTA NGRENDENG PAROKI SANTO YOSEPH NGAWI KEUSKUPAN SURABAYA, alasan penulis memilih judul tersebut

berdasarkan keprihatinan akan adanya perubahan semangat dalam hidup menggereja bagi para pengurus stasi dan umat di sana. Pelayanan merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan umat Kristiani. Setelah Konsili Vatikan II, peran umat (awam non-klerus) dalam kehidupan Gereja menjadi semakin besar. Sebagian besar tugas pelayanan Gereja mulai dipercayakan kepada umat, entah itu perayaan liturgis maupun pelayanan sakramental. Gereja Katolik di mana-mana, mulai memberi ruang yang besar kepada umat untuk terlibat aktif dalam aktivitas pewartaan iman dan pelayanan kasih. Awam tidak lagi dipandang sebelah mata sebagai kelompok kelas dua yang hanya menunggu bantuan dari kaum klerus. KV II secara tidak langsung memberi peran yang besar kepada awam sebagai pelayan Gereja yang turut serta bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan iman umat Kristiani.

Dalam konteks ini penulis merefleksikan pelayanan umat Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng, Paroki St. Yoseph Ngawi. Fokus refleksi penulis tertuju pada hal-hal berikut: (a) pemahaman umat tentang pelayanan kasih; (b) jenis-jenis pelayanan kasih; (c) tujuan pelayanan kasih; (d) sasaran pelayanan kasih; dan (e) pihak-pihak yang terlibat dalam tugas pelayanan kasih. Penulis menggunakan ensiklik Deus Caritas Est sebagai acuan untuk merefleksikan poin-poin tersebut. Responden yang diminta keterangan antara lain tokoh umat (mantan ketua stasi), ketua stasi dan pengurus stasi yang sedang bertugas, dan perwakilan kaum muda. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan bahwa keresahan Paus Benediktus tentang “pelayanan kasih” sedang menyata dalam kehidupan awam di Stasi Ngrendeng. Hasil temuan penulis, setidaknya membuktikan bahwa awam Kristiani di Ngrendeng saat ini secara khusus kaum muda perlahan-lahan apatis dengan tugas pelayanan Gereja. Kebanyakan mereka tidak peduli dengan urusan-urusan rohani. Urusan iman dinilai abstrak dan tidak memberi manfaat ekonomis.

Terdapat tiga alasan yang disinyalir turut memengaruhi semangat pelayanan umat adalah: (a) pengaruh arus globalisasi yang berkembang begitu cepat; (b) minat orang muda terhadap hal-hal rohani yang melemah; dan (c) pola pendekatan pastor atau pengurus stasi yang tidak mengumat. Sebagai calon kateketis penulis menilai bahwa Gereja harus lebih giat “mendekati” umat yang “sedang sakit” dengan berbagai metode pewartaan dan pelayanan yang kreatif dan inovatif. Pelayanan kasih, apa pun bentuknya merupakan tanggapan bebas umat atas panggilan Allah. Karena itu, tanggung jawab moral seorang pelayan pastoral bukan hanya kepada diri sendiri atau kepada mereka yang dilayani, melainkan terlebih kepada kepada Allah. Pelayanan merupakan sebuah panggilan yang bertujuan mendekatkan sesama kepada Tuhan―Sang Sumber Kasih.

Kata kunci: pelayanan kasih, pewartaan iman, partisipasi umat, ensiklik Deus

(9)

ix

ABSTRACT

This undergraduate thesis entiltes REFLECTION OF CARITATIVE

MINISTRY OF LAY CHRISTIAN IN THE LIGHT OF ENCYCLICAL DEUS CARITAS EST IN SANTA MARIA ASSUMPTA NGRENDENG DISTRICT SANTO YOSEPH, PARISH NGAWI THE DIOCESE SURABAYA , the author chose this title because of the concern of changing in

Church life for district administrator and the people there. Service is an important part in the life of Christians. After Vatican Council II, the role of the lay people in the life of the Church becomes bigger. Most of the Church's tasks are entrusted to the people, both liturgical celebration and sacramental celebration. The Catholic Church , begins to give a bigger room for people to be actively involved in the activity of preaching faith and service of caritative. People are no longer underestimated as a second-class group who just wait for help from the clergy. The Vatican Council II, indirectly gives bigger roles to the lay people as a servant of the Church who take responsibility for the growth and development of the Christian faith.

In this context – the author reflects on the community service in Santa Maria Assumpta Ngrendeng district. The focus of the author’s reflection is on the following matters: (a) understanding of people about the caritative ministry; (b) the kinds of caritative ministry; (c) the purpose of caritative ministry; (d) the target of caritative ministry; and (e) the parties whom involved in the task of caritative ministry. The author uses the Encyclical of Deus Caritas Est as a reference to reflect these points. Based on the results of the research, the author found that the concerns of Pope Benedict XVI about “caritative ministry” was clearer in the life of the lay people in the Stasi Ngrendeng district. The findings of the author, at least prove that the Christian lay people in Ngrendeng nowadays – spesifically the youth – slowly become apathetic with the Church service ministry. Most of them are not concerned with spiritual matters. Matters of faith are judged as abstract and have not given economical benefits.

There are three reasons which allegedly also affect the spirit of serving the people : (a) the impact of globalization is growing so fast; (b) the interest of young people toward spiritual things that weaken; and (c) the unfriendly approach pattern of parish priest or administrator. As a candidate for catechist – the author considers that the Church should be more proactive to “approach” the people who “are sick” with various methods of preaching and service which are creative and innovative. Caritative ministry, whatever form is a free response to God’s vocation. Therefore, the moral responsibility of a pastoral ministry not only to themselves or to those who they serve, but especially to God himself. Service is a call vocation those aims to bring others to God―the Source of Love.

Keywords: loving service, service of love, the proclamation of the faith, the

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Bapa karena kasih-Nya yang begitu besar, penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan judul REFLEKSI PELAYANAN

KASIH AWAM KRISTIANI DALAM TERANG ENSIKLIK DEUS

CARITAS EST DI STASI SANTA MARIA ASSUMPTA NGRENDENG

PAROKI SANTO YOSEF NGAWI KEUSKUPAN SURABAYA. Skripsi ini

disusun berdasarkan keprihatinan penulis akan pelayanan yang dilakukan di Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng. Melihat keadaan umat yang belum sepenuhnya

menyadari tugas pelayanannya dalam kehidupan menggereja. Penulis merefleksikan pelayanannya tersebut dengan menggunakan ensiklik Deus Caritas Est sebagai acuannya.

Selama proses penulisan dan penyusunan karya ini, penulis mendapatkan banyak dukungan dan perhatian dari berbagai pihak, untuk itu penulis dengan tulus mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J, M.Ed, selaku Kaprodi PAK

Universitas Sanata Dharma yang telah memberi dukungan kepada penulis

dalam penyelesaian skripsi.

2. Dr. B. A. Rukiyanto, S.J., selaku dosen utama yang penuh kesabaran

mendampingi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

3. Bapak F. X. Dapiyanta, SFK, M.Pd selaku dosen penguji kedua sekaligus

(11)

xi

kesabaran dan ketelatenan dalam mendampingi dan membimbing selama perkuliahan terkhusus dalam proses penyelesaian skripsi.

4. Bapak Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd selaku dosen penguji ketiga yang telah

memberikan dukungan dan menyempurnakan skripsi ini.

5. Ibu Irene Sri Hartati selaku Ketua Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng,

Bapak Soejatno, Mbak Ana, Bapak Santo, Bapak Juri, Widi yang bersedia meluangkan waktu untuk diawancarai dan membantu selama penelitian

berlangsung.

6. Segenap staf dosen dan seluruh karyawan prodi PAK Universitas Sanata

Dharma yang telah memberikan dukungan dan bantuannya selama penyusunan skripsi.

7. Ibu Theresia Sumarni, Bapak Sugiman Mas Eko, Adik Sari yang telah

memberikan bantuan dukungan, cinta dan perhatian baik secara materi dan moril kepada penulis.

8. Bernadeta Wahyu Widi Hapsari, Lidya Putri Herawati, Valeria Elisa Eka Putri,

Sulviana Gusliana, Dian Fitri Krisnawati, Indah Yantica, Nurliana, dan Fadila

yang telah memberikan perhatian, dukungan dan bantuan kepada penulis. 9. Keluarga besar PAK angkatan 2012 yang telah berdinamika selama proses

perkuliahan dan memberikan perhatian kepada penulis dengan berbagai cara. 10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang dengan tulus

hati memberikan dukungan dan perhatian sampai selesainya penyusunan

(12)
(13)

xiii

F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II LANDASAN TEORITIS ... 9

A. Refleksi ... 9

B. Pelayanan Kasih ... 11

C. Awam Kristiani ... 13

D. Ensiklik “Deus Caritas Est” ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 22

A. Jenis Penelitian ... 22

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

C. Subyek Penelitian ... 24

(14)

xiv

E. Instrumen Penelitian ... 29

F. Keabsahan Data ... 32

G. Teknik Analisis Data ... 32

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Temuan Umum ... 34

B. Temuan Khusus ... 39

C. Pembahasan ... 48

D. Analisis SWOT ... 60

E. Situasi Pokok ... 66

F. Refleksi SWOT ... 68

G. Refleksi Teologis ... 71

H. Usulan Program ... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 123

LAMPIRAN 1. Transkrip Hasil Wawancara ... [1]

2. Surat Izin Penelitian ... [19]

3. Surat Selesai Penelitian ... [20]

4. Daftar Stasi dan Lingkungan Paroki St. Yosef Ngawi ... [21]

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan dalam Kitab Suci ini mengkikuti Alkitab

Deuterukanonika © LAI 1976. (Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

dalam terjemahan baru, yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, ditambah dengan Kitab-kitab Deuterukanonika yang diselenggarakan oleh

Lembaga Biblika Indonesia. Terjemahan diterima dan diakui oleh konferensi Wali Gereja Indonesia). Jakarta: LAI, 2001, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II

tentang Kerasulan Awam, 18 November 1965

DCE : Deus Caritas Est, Ensiklik Paus Beneidktus XVI tentang

Allah Adalah Kasih, 25 Desember 2005 KV II : Konsili Vatikan II

LG : Lumen Gentium, Kontitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 21 November 1964

C. Singkatan Lain

Art. : Artikel

R : Responden

Sta. : Santa

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Buah terindah dari Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah membangkitkan kesadaran baru tentang peran kaum awam dalam pelayanan Gereja. Kesadaran ini diungkapkan dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam bahwa kaum awam ikut serta

mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap umat Allah dalam Gereja dan di dunia.

Sesungguhnya, mereka menjalankan kerasulan dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian sesama, pun untuk meresapi dan

menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil, sehingga dalam tata hidup itu kegiatan mereka merupakan kesaksian akan Kristus dan mengabdi pada keselamatan umat manusia (Hardawiryana, 1993:341).

Kesadaran KV II untuk menekankan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja, berangkat dari kenyataan bahwa sebelum konsili, muncul pendapat yang

mengatakan bahwa tugas perutusan Gereja diserahkan sepenuhnya kepada hierarki1. Hanya hierarki yang menjalankan tugas itu secara aktif sedangkan kaum

(17)

awam bersifat pasif menerima pelayanan para gembala (Kirchberger, 2007:618). Lebih lanjut dikatakan bahwa hanya dalam keadaan “darurat” kaum awam bisa

diperbantukan kepada hierarki melalui satu amanat khusus, misalnya: “aksi umat Katolik” menurut Paus Pius XII bertugas untuk membantu hierarki dalam tugas

untuk mewartakan Injil di tempat para imam tidak diterima, seperti di antara kaum buruh di Perancis (Kirchberger, 2007:618).

Sebelum KV II pelayanan di dalam Gereja merupakan tugas yang hanya

dilakukan oleh para imam. Maka, tidak mengherankan jika sebelum Konsili Vatikan II terdapat perbedaan yang begitu tajam antara klerus2 dan kaum awam.

Namun, angin segar yang dibawa oleh Konsili Vatikan II menghantar Gereja untuk menekankan peran kaum awam dalam pelayanan Gereja. Pelayanan dan tanggung jawab hidup menggereja tidak semata-mata hanya diletakkan kepada kaum klerus

(tertahbis), melainkan kaum awam juga memiliki peranan yang sangat penting di dalamnya ysitu ikut ambil bagian dalam perutusan Gereja untuk memelihara iman

umat (Datubara, 2001:180).

Lebih lagi, KV II menekankan bahwa para awam adalah orang kristiani

yang bertugas menjaga tata tertib duniawi di dalam berbagai sektor, misalnya: sektor politik, budaya, seni, perusahaan, perdagangan, pertanian, dan lain sebagainya. Seluruh umat Allah diundang untuk menyampaikan kabar baik kepada

orang-orang miskin dan memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan.

(18)

Di dalam dunia seorang awam bagaikan ragi dan jiwa masyarakat manusia yang harus diperbarui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga (Tondowidjojo,

1990:6).

Gereja menekankan bahwa kaum awam dipanggil untuk berperan serta

dalam pengudusan Gereja kendatipun mereka tidak termasuk dalam hierarki Gereja. Panggilan kaum awam untuk menguduskan Gereja dilihat sebagai suatu bentuk kerasulan yang berangkat dari status awam sebagai kalangan yang hidup di

tengah-tengah dunia. Artinya, karena kaum awam memiliki kekhasan, yaitu sifat keduniaannya (LG 31), maka mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan

tugasnya sebagai ragi di dalam dunia dengan semangat Kristen yang berkobar-kobar (AA 2). Dengan kata lain, kaum awam bertugas untuk menguduskan dunia, meresapi pelbagai urusan duniawi dengan semangat Kristus supaya semangat dan

cara hidup Kristus mengolah seluruh dunia bagaikan ragi, sehingga Kerajaan Allah dapat bersemi di tengah dunia (Kirchberger, 2007:619).

Berdasarkan panggilan khasnya, kaum awam bertugas untuk mencari Kerajaan Allah dengan mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai

dengan kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, yakni dalam semua dan tiap jabatan serta kegiatan manusia, dan dalam situasi hidup berkeluarga dan hidup kemasyarakatan yang biasa. Di sana mereka dipanggil agar sambil menjalankan

tugas khasnya, dibimbing oleh semangat Injil, mereka menyumbang pengudusan dunia dari dalam laksana ragi. Berkat kesaksian hidupnya, bercahayakan iman,

(19)

yang sangat erat berhubungan dengan mereka, sehingga dapat berkembang sesuai dengan maksud Kristus dan meruapakan pujian bagi pencipta dan penyelamat

(Kirchberger, 2007: 619).

Sadar akan pentingnya peran dan tanggung jawab kaum awam dalam

mengemban tugas pelayanan kasih Gereja ini, maka penulis menilai penting untuk merefleksikan pelayanan kasih awam Kristiani di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng saat ini? Untuk menanggapi pertanyaan di atas maka penulis akan

menggunakan ensiklik Deus Caritas Est untuk menilai sudah sejauh mana awam kristiani terlibat dalam tugas-tugas pelayanan kasih Gereja. Oleh karena itu judul

tulisan yang bisa merepresentasi tujuan penulisan ini adalah: Refleksi Pelayanan Kasih Awam Kristiani Dalam Terang Ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng.

B. Rumusan Masalah

Fokus utama permasalahan yang hendak dikaji adalah bagaimana partisipasi awam (umum) Stasi Maria Assumpta Ngrendeng dalam mengemban tugas

pelayanan kasih seturut ensiklik Deus Caritas Est? Pertanyaan ini kemudian dikerucutkan lagi menjadi beberapa pertanyaan yang lebih spesifik, antara lain:

1. Bagaimana pelayanan umat di stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng?

2. Apa saja jenis-jenis pelayanan kasih yang sudah dilakukan oleh umat Stasi

Ngrendeng?

(20)

4. Apa sasaran yang hendak dicapai dari kegiatan pastoral pelayanan kasih?

5. Siapa saja yang terlibat aktif dalam tugas pelayanan kasih seturut ensiklik

DCE?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan umum penulisan karya tulis ini adalah untuk merefleksikan tugas pelayanan kasih umat Stasi Maria Assumpta Ngrendeng dalam terang ensiklik Deus

Caritas Est. Selain itu, beberapa tujuan khusus yang hendak dicapai dari karya tulis

ini, antara lain:

1. Mengetahui pelayanan yang dilakukan oleh umat Stasi Sta. Maria Assumpta

Ngrendeng tentang arti pelayanan kasih.

2. Mengetahui jenis-jenis pelayanan kasih yang sudah dilaksanakan oleh umat

Stasi Ngrendeng.

3. Mengetahui tujuan pelayanan kasih yang hendak dicapai oleh umat Stasi

Ngrendeng.

4. Mengetahui sasaran pelayanan kasih yang hendak dicapai oleh umat Stasi

Ngrendeng.

5. Mengetahui peran serta umat Stasi Ngrendeng dalam melaksanakan tugas

(21)

D. Manfaat Penulisan

Secara teoritis penulisan ini memberi manfaat kepada pihak Gereja dan

civitas akademika pada umumnya karena telah menawarkan sebuah refleksi

teologis tentang pelayanan kasih umat Stasi Maria Assumpta Ngrendeng dalam

terang ensiklik Deus Caritas Est. Selain itu, ada beberapa manfaat praktis yang diperoleh dari penulisan ini, yakni:

1. Sebagai sumbangan kritik dan tanggapan atas pola pelayanan para agen

pastoral Stasi Ngrendeng.

2. Sebagai acuan bagi umat Stasi Ngrendeng untuk merefleksikan peran dan

tanggung jawab mereka sebagai salah satu komponen penting Gereja yang turut mewartakan dan mewujudnyatakan kasih Allah.

3. Sebagai pewarta iman (calon guru agama atau katekis), penelitian ini bisa

membantu penulis untuk lebih bersikap arif dan bijaksana dalam memberikan pendampingan kepada kaum awam.

E. Metode Penulisan

Penulis menggunakan metode deskriptif analitis untuk merefleksikan pelayanan kasih umat Stasi Maria Assumpta Ngrendeng dalam terang ensiklik Deus Caritas Est. Tujuan yang hendak dicapai penulis melalui penelitian ini adalah

(22)

Penulis menggunakan 4 (empat) teknik pengumpulan data yakni studi kepustakaan, observasi, dokumentasi dan wawancara. Pertama, studi kepustakaan

adalah segala usaha yang dilakukan penulis untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik pelayanan kasih awam kristiani. Semua informasi tersebut

bersumber dari dokumen resmi gereja, buku, laporan penelitian, jurnal ilmiah, peraturan-peraturan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber tertulis baik cetak maupun elektronik. Kedua, observasi adalah teknik pengamatan yang melibatkan

seorang peneliti dalam aktivitas-aktivitas yang dilakukan responden. Observasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengamati kegiatan pelayanan kasih umat

Stasi Ngrendeng. Ketiga, wawancara mendalam yaitu memperoleh keterangan dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan umat. Melalui teknik ini penulis hendak mengetahui dan merefleksikan partisipasi umat Stasi Ngrendeng

dalam tugas pelayanan kasih Gereja. Keempat, dokumentasi merupakan pelengkap metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Hasil penelitian

mengenai pelayanan kasih umat di Stasi Ngrendeng juga akan semakin kredibel apabila didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik dan seni.

F. Sistematika Penulisan

BAB I merupakan PENDAHULUAN dari keseluruhan tulisan ini, yang

(23)

BAB II merupakan LANDASAN TEORITIS dari penelitin ini. Dalam keseluruhan bab ini penulis akan menguraikan tiga konsep penting yang menjadi

fokus penelitian ini yakni arti refleksi, pelayanan kasih, dan awam kristiani. Selanjutnya penulis akan membahas secara terpisah bagaimana konsep pelayanan

kasih dan awam kristiani dibahas dalam ensiklik Deus Caritas Est.

BAB III merupakan bagian METODOLOGI PENELITIAN yang menjadi panduan bagi penulis untuk melakukan kajian tentang pelayanan kasih di Stasi

Maria Assumpta Ngrendeng.

BAB IV merupakan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada

bagian ini – penulis menguraikan empat pokok bahasan penting mengenai partisipasi umat Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng dalam mengemban tugas pelayanan kasih, yakni (a) laporan penelitian berupa temuan umum dan temuan

khusus, (b) pembahasan hasil penelitian, (c) analisis faktor internal dan eksternal pelayanan umat dengan menggunakan model analisis SWOT, (d) refleksi SWOT

dan teologis atas hasil temuan penelitian, serta (e) usulan program untuk meningkatkan partisipasi umat dalam tugas pelayanan kasih.

BAB V merupakan KESIMPULAN DAN SARAN dari keseluruhan tulisan. Penulis menguraikan tentang kesimpulan umum dan beberapa saran penting yang perlu diperhatikan oleh umat Stasi Ngrendeng dan termasuk siapa pun yang

(24)

9

LANDASAN TEORITIS

Dalam keseluruhan bab ini penulis akan menjelaskan secara gamblang arti dan batasan tentang refleksi, pelayanan (kasih) dan awam kristiani. Selanjutnya

penulis juga membahas secara terpisah ensiklik Deus Caritas Est yang menjadi acuan bagi penulis untuk merefleksikan kegiatan-kegiatan pelayanan awam Kristiani secara khusus di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng, Paroki St. Yoseph

Ngawi.

A. Refleksi

Refleksi dalam arti umum berarti meditasi yang mendalam, yang bersifat memeriksa. Meditasi ini berbeda dengan persepsi yang sederhana atau dengan

putusan-putusan langsung, involunter mengenai suatu objek. Sedangkan refleksi dalam arti khusus berarti berpalingnya perhatian seseorang dari objek-objek

eksternal, yang mendapat perhatian utama dalam soal-soal biasa, kepada kegiatan rohani sendiri dan kepada cara berada objek-objek tersebut. Karena itu konsep refleksi berpautan dengan konsep kesadaran (Behbehani, 2003:26)

Realitas tindakan masa kini yang komprehensif itu adalah objek refleksi kritis. Karena tindakan muncul dari diri, objek refleksi yang pertama adalah diri

(25)

ia sedang merefleksikan diri yang diekspresikan dalam kegiatan tersebut. Hanya dengan merefleksikan objektifikasinya sendiri dalam tindakan subjek dapat

menjadi dirinya sendiri yang sesuai (Ricoeur, 1977:43-45). Refleksi atas diri juga dalam arti bahwa dalam cara mengetahui praksis, seseorang mulai dengan

pengetahuannya sendiri yang bersifat membentuk, bersama cara seseorang membuat makna keluar dari tindakan yang mereka lakukan. Meskipun refleksi kritis mulanya terjadi atas diri sendiri, pada akhirnya akan bermuara pada konteks

sosial yang dengannya diri memperoleh identitas diri. Seluruh konteks sosiokultural dengan norma-normanya, hukum-hukumnya, pengharapan-pengharapannya,

ideologi-ideologinya, sturktur-strukturnya, dan tradisi-tradisinya membentuk tindakan masa kini bagi refleksi kritis para partisipan (Groome, 2010:270).

Dalam konteks Gereja Katolik, refleksi merupakan tindakan “mengumpulkan kembali” pengalaman yang telah dialami untuk kemudian

dievaluasi dan dimaknai secara holistik. (Behbehani, 2003:26). Dengan demikian

refleksi bisa dipahami sebagai sebuah perenungan atas pengalaman rohani yang dibarengi dengan tindakan introspeksi diri agar menjadi pribadi yang lebih

berkualitas secara rohani. Refleksi merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak boleh diabaikan. Ada saatnya, ketika manusia terpuruk atau mengalami tekanan kehidupan, refleksi memberikan jawaban dan harapan. Untuk itu refleksi

(26)

B. Pelayanan Kasih

Pelayanan merupakan buah tindakan (perbuatan) yang bersumber pada

kasih. Sedangkan kasih sendiri sering dimaknai sebagai upaya untuk memberi dengan perasaan sayang. Tentang kasih Sujoko (2009:441) berpendapat bahwa

masyarakat Yunani cenderung mengartikan kasih dengan tiga istilah yakni eros (cinta birahi), philia (kasih persaudaraan), dan agape (kasih ilahi). Model kasih yang menjadi fokus perhatian penulis yakni, agape kasih tanpa pamrih dan bersifat

altruistik. Sebuah model kasih yang bercermin pada kasih Allah.

Gereja Katolik menegaskan adanya dua aspek dasariah pelayanan yakni

solidaritas dan penatalayanan. Pertama, aspek solidaritas yang menekankan kepekaan dan kepedulian terhadap sesama. Solider berarti menjadi sesama bagi yang lain (the others), diantaranya fakir miskin, janda, pengamen, tunawiswa,

kelompok LGBT, dan sebagainya. Solidaritas harus memiliki visi dan orientasi yang jelas, jika tidak maka orang akan mudah terjebak dalam aktivisme pelayanan

semu. Misal saja, orang melayani sesungguhnya bukan terdorong oleh kasih melainkan karena ada kepentingan politik tertentu; dan atau bisa juga orang

melayani bukan karena kebajikan iman tetapi karena sebuah kewajiban semata. Oleh karena itu visi dan orientasi semestinya bersumber pada kasih Allah, sehingga pelayanan kita bisa terarah terciptanya suasana bahagia dan damai.

Kedua, aspek penatalayanan merupakan prinsip yang mengakui bahwa Allah adalah pemilik segala sesuatu, sedangkan manusia hanya pelayan bagi Allah

(27)

supaya semua orang memperoleh bagian dari kebaikan bumi ini. Allah juga memberikan bermacam-macam karunia kepada manusia: kesehatan, akal budi,

perasaan estetis, keterampilan, kekayaan, dan kekuatan untuk melengkapi manusia, agar manusia dapat menjalankan tugas sebagai pelayan yang setia dan bijaksana.

Segala karunia tersebut harus bermanfaat untuk kesejahteraan sosial.

Kiprah pelayanan Gereja dalam pemberdayaan umat digolongkan menjadi tiga model pendekatan pelayanan, yakni: karitatif, reformatif, dan transformatif.

1) Pelayanan karitatif merupakan model tertua dari pelayanan Gereja yang sampai

saat ini masih dilakukan. Jenis pelayanan ini sangat tepat dalam situasi darurat

dan sangat membutuhkan pertolongan yang bersifat segera. Misalnya bencana alam, bantuan kepada janda atau fakir miskin melalui pemberian beras, uang, dan sebagainya (Oentoro 2010:109)

2) Pelayanan reformatif lebih menekankan aspek pembangunan, daripada sekadar

tindakan karitas (amal kasih) semata. Pola pendekatannya adalah

pengembangan masyarakat (empowering communities) seperti pembangunan kesehatan dan penyuluhannya, kelompok usaha bersama dengan kelompok

simpan pinjam, pemberian beasiswa untuk pendidikan. Akibatnya, muncul kesadaran Gereja untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan memikirkan persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan. Gereja dituntut untuk

turun dari menara gading yang selama ia dirikan dan terlibat mengatasi persoalan diskriminasi, penindasan hak asasi, pengungsi domestik dan

(28)

3) Pelayanan transformatif lebih menekankan upaya Gereja meredifinisi kembali peran dan tugasnya di dunia saat ini. Gereja tidak lagi diartikan sebagai gedung yang statis, melainkan sebagai suatu “gerakan” yang terbuka bagi

pembaharuan. Karena itu Gereja tidak harus menjadi besar dan megah fisiknya,

melainkan nilai Injil Kerajaan Allah harus hadir dan meresap dalam seluruh sendi kehidupan manusia (Oentoro 2010:79-80)

C. Awam Kristiani

Istilah “awam” berasal dari terminologi Latin, yaitu laicus. Kata ini berasal

dari bahasa Yunani, yaitu laikós yang berarti rakyat, anggota umat. Kata laikós berhubungan dengan laós, yang berarti rakyat, umat. Kata laós telah banyak dipergunakan untuk menunjukkan beberapa arti yang berbeda. Dalam Septuaginta,

misalnya laós digunakan untuk menyebut “bangsa Israel”. Sedangkan Perjanjian Baru mengartikannya sebagai “umat Israel yang berhadapan dengan bangsa -bangsa” atau sering pula digunakan untuk menyebut kelompok “umat Krisitani”

(Lalu, 2010:138).

Lalu (2010) kemudian mendefinisikan kaum awam sebagai kelompok umat beriman yang bercorak sekular dalam kemuridan mereka sebagai pengikut Kristus di dunia. Berdasarkan panggilan mereka, kaum awam wajib mencari Kerajaan

Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah. Kaum awam dihimpun dalam Kristus dan dijadikan peserta di dalam

(29)

semua orang beriman Kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau berstatus religius. Mereka terhimpun menjadi umat Allah dengan cara ikut

berpartisipasi dalam mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, serta sesuai dengan kemampauan mereka melaksanakan tugas pelayanan Gereja di dalam

dunia.

Sebelum Konsili Vatikan II sebagaimana sudah diuraikan pada bagian pendahuluan, pelayanan di dalam Gereja merupakan tugas yang hanya dilakukan

oleh klerus. Maka tidak mengherankan jika sebelum KV II terdapat perbedaan yang begitu tajam antara klerus dan kaum awam. Namun angin segar yang dibawa oleh

KV II menghantar Gereja pada suatu titik kesadaran yang mengafirmasi peran kaum awam dalam tugas pelayanan Gereja. Kaum awam dipanggil untuk berperan serta dalam tugas pelayanan, pewartaan, dan pengudusan Gereja meski bukan menjadi

bagian dari hierarki Gereja. Panggilan awam untuk menguduskan Gereja merupakan suatu bentuk kerasulan yang berangkat dari status awam sebagai

kalangan yang hidup di tengah-tengah dunia (Gitowiratmo, 2003:59-60). Artinya, karena awam memiliki kekhasan yaitu sifat keduniaannya maka mereka dipanggil

untuk menunaikan tugas penting sebagai ragi dan terang di dalam dunia. Berkat kesaksian hidupnya, bercahayakan iman, harap dan cinta kasih, kaum awam memperlihatkan (memperkenalkan) Kristus kepada orang lain. Jadi tugas mereka

secara khusus ialah menerangi dan menata semua ikhwal duniawi yang sangat erat berhubungan dengan mereka, sehingga dapat berkembang sesuai dengan maksud

(30)

Esensinya Gereja tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk pelayanan terhadap dunia dan masyarakat, maka kaum awam juga mempunyai tugas yang

sangat hakiki bagi Gereja, yakni mereka harus menghadirkan roh dan semangat Kristus yang diberikan kepada Gereja itu di tengah masyarakat dan ikhwal duniawi,

di mana mereka hidup dan bekerja. Inilah tugas sentral, dan bukan merupakan tugas sambilan dalam Gereja (Kirchberger, 2007:620).

Seturut pemahaman di atas―pertanyaan yang dapat diajukan berkaitan

dengan peran awam adalah bagaimana mereka menjalankan tugas pelayanan Gereja di dalam dunia dalam sifatnya yang khas? Konsili Vatikan II memberikan sebuah

jawaban yang tegas yakni awam semestinya mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi, dan raja. Dengan mengambil bagian di dalam tugas Kristus, kaum awam menjalankan perannya dalam pelayanan seluruh umat Allah di dalam

Gereja dan di dalam dunia (Tondowidjoyo, 1990:38-40).

1) Tugas imamat―yakni kaum awam bertindak sebagai pengantara untuk

menyatukan Allah dan manusia, membawa Allah kepada manusia dan manusia kepada Allah. Tindakan keimamatan Kristus menekankan pada suatu

pelayanan murni yang sungguh-sungguh diprakarsai oleh Kristus sendiri dalam diri kaum awam. Kristus sendirilah yang mengarahkan kaum awam dalam mengemban tugas dan pelayanannya di tengah-tengah dunia (Sairin

2002:21-22)

2) Tugas kenabian―yakni kaum awam menjadi perantara Allah untuk

(31)

dengan Allah sendiri, orang yang setia pada pesan Allah, orang yang berani mewartakan Sabda Allah walau mereka diterpa oleh berbagai persoalan ketika

mereka menyampaikan Sabda Allah kepada dunia.

3) Tugas rajawi―kaum awam menjadi tonggak yang siap sedia untuk mengabdi

dan berpegang teguh pada perutusan Kristus di dunia. Implikasi dari tugas ini tentu mengharapkan kaum awam benar-benar menghayati panggilannya sebagai seorang pelayan yang mampu menaruh perhatian terhadap Gereja dan

masyarakat.

Kristus menjadi asal dan sumber (dasar) seluruh pelayanan Gereja. Kesuburan pelayanan awam amat bergantung pada persatuan mereka dengan Kristus. Kehidupan dalam persatuan mesra dengan Kristus itu dalam Gereja

dipupuk dengan bantuan-bantuan rohani, yang diperuntukkan bagi semua orang beriman, terutama melalui partisipasi aktif dalam pelayanan kasih Allah. Dengan

upaya ini kaum awam harus maju dalam kesucian dengan hati riang gembira, sementara mereka berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan dengan bijaksana. Baik

tugas-pekerjaan dalam keluarga maupun urusan-urusan keduniaan lainnya jangan sampai menjadi asing terhadap cara hidup rohani. Hidup seperti itu menuntut perwujudan iman, harapan, dan cinta kasih yang tiada hentinya.

Pada prinsipnya keterlibatan kaum awam bertujuan agar Gereja hidup dan berkembang serta menghasilkan buah berbagi seluruh umat beriman karena

(32)

dalam kegiatan liturgi (mengambil bagian dalam tugas imamat Kristus), kegiatan pewartaan (mengambil bagian dalam tugas kenabian Kristus), dan kegiatan

penggembalaan anggota Gereja (mengambil bagian dalam tugas rajawi Kristus). Keterlibatan mereka dalam tugas-tugas ini hendaknya dapat dilakukan dengan

penuh tanggung jawab, secara maksimal dan optimal, disertai usahanya untuk memupuk aneka keutamaan hidup (Prasetya, 2007:22-23).

D. Ensiklik “Deus Caritas Est”

Ensiklik merupakan surat yang bersifat agung dan universal. Sebuah teks

resmi yang ditulis dalam bahasa Latin kemudian diterjemahkan ke pelbagai bahasa lain. Ensiklik ditulis oleh paus sebagai pimpinan Gereja Katolik yang tertinggi dan dikirim kepada para patriark, uskup agung, dan para uskup di seluruh dunia―bahkan terbuka untuk seluruh umat. Isinya tidak bersifat dogmatis atau

berisikan ajaran Gereja yang baru, tetapi terutama untuk lebih menggarisbawahi

iman Gereja mengenai suatu tema yang aktual. Tujuannya adalah mengemukakan pokok-pokok penting dari ajaran Gereja, menganalisa suatu situasi khusus, atau

menguraikan keteladanan seorang tokoh iman untuk diteladani.

Secara struktural ensiklik DCE terdiri dari dua bagian penting, yakni: kesatuan kasih dalam penciptaan dan sejarah keselamatan, dan tindakan kasih

Gereja sebagai persaudarian kasih. Bagian pertama lebih spekulatif yakni menjelaskan beberapa fakta dasar mengenai kasih yang telah secara misterius dan

(33)

terpisahkan antara kasih dan kenyataan cinta manusiawi. Bagian kedua berbicara secara lebih konkret tentang cara mengasihi sesama dalam setiap tugas pelayanan.

Dalam ensiklik DCE Art. 32-39, Paus Benediktus secara amat khusus menguraikan tentang pokok pikirannya mengenai “mereka yang bertanggung jawab akan pelayanan kasih Gereja”. Menurut Paus, subyek yang sesungguhnya

bertanggung jawab mengembang tugas pelayanan kasih adalah Gereja sendiri di segala tingkatnya―dari paroki, melalui Gereja setempat dan sampai pada Gereja

universal (art.32). Tentu yang dimaksudkan dengan Gereja di sini, adalah semua anggota umat Allah dalam Gereja Katolik baik yang tertahbis (hierarki,

biarawan/biarawati) maupun non tertahbis (kaum awam). Kepada setiap anggota Gereja yang bertanggung jawab akan tugas pelayanan kasih tersebut, Paus mengingatkan agar senantiasa menjadikan Kristus sebagai sumber inspirasi dalam

melaksanakan tugas pelayanan kasih Gereja.

Dalam artikel 33, Paus menulis demikian:

Mereka jangan mendapatkan inspirasi dari ideologi-ideologi yang bermaksud mau memperbaiki dunia, melainkan harus lebih dibimbing oleh iman yang bekerja dalam kasih. Konsekuensinya, lebih daripada yang lain, mereka harus menjadi pribadi yang digerakkan oleh kasih Kristus, pribadi-pribadi yang hatinya telah dikuasai oleh Kristus dengan cintaNya sehingga tumbuh dengannya kasih akan sesama.

Sikap altruistik yang mengutamakan kepentingan sesama harus menjadi

target pelayanan. Hal ini menjadi nyata jika Kristus menjadi inspirasi yang memampukan setiap orang untuk tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri, melainkan

(34)

Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara mengungkapkan (mewujudkan) kasih Kristus itu kepada sesama? Agar sesama betul merasakan kebaikan Allah dan

keindahan kasih Kristus dalam hidupnya. Menurut Paus Benediktus, ada dua keutamaan yang dinilai sebagai cara yang tepat untuk mengungkapkan kasih

Kristus kepada sesama, yakni keterbukaan batiniah dan ketulusan hati (art. 34).

Keterbukaan batiniah akan dimensi katolisitas (universalitas) Gereja, mendorong umat untuk berkarya dalam kesatupaduan dengan sesama pelayan

dalam melayani berbagai bentuk kebutuhan hidup manusia (art. 34). Tidak efektif jika setiap orang berjuang sendirian dalam mengembangsuburkan harapan Gereja.

Kerja bersama selalu memungkinkan orang untuk saling mengawasi dan memperjuangkan harapan untuk menjadikan dunia ini diselubungi kasih Kristus.

Sedangkan ketulusan hati dalam melayani merupakan suatu sikap peduli

terhadap kebutuhan dan penderitaan sesama. Khusus bagi mereka yang peduli pada sesama, Paus berpesan agar mereka harus memberikan kepada sesama tidak saja

sesuatu yang dari miliknya, namun memberikan dirinya sendiri. Artinya mereka harus secara personal hadir dalam kesulitan hidup sesamanya (art. 34). Paus

berpendapat bahwa seseorang yang berada dalam posisi menolong sesama perlu menyadari bahwa dengan memberi, dia sendiri akan menerima imbalan setimpal dari Allah―yang disebut sebagai rahmat yang patut disyukuri dan diamalkan (art.

35).

Kepenuhan arti keterbukaan ketulusan hati dalam pelayanan, amat

(35)

Benediktus. Ada dua arti penting doa yang dikemukakan Paus dalam ensiklik tersebut. Pertama, doa merupakan sumber kekuatan dalam pelayanan. Dalam

pelayanan, selalu ada kemungkinan untuk berpaling pada ideologi lain yang menyenangkan, dan kadang itu berseberangan dengan harapan dan tujuan Gereja

(art. 36-37). Ini yang sering dinamakan dengan godaan, hambatan, atau tantangan dalam pelayanan. Dan benar bahwa Gereja senantiasa bertumbuh dan berkembang dalam aneka godaan atau tantangan. Sadar akan hal demikian maka Paus

menyerukan kepada semua umat beriman untuk selalu mengutamakan doa dalam kesehariaan hidupnya. Karena melalui doa, setiap orang akan menimba kekuataan

dari Allah dalam diri Kristus dan mampu menghadapi cobaan apa saja dengan baik.

Kedua, doa sebagai sarana yang dapat mempererat jalinan relasi dengan Allah. Paus Benediktus berpendapat bahwa di tengah kenyataan aktivisme dan

berkembangnya sekularisme di kalangan umat Kristiani yang terlibat dalam karya karitatif, doa adalah sarana yang mampu mengarahkan orang pada Allah. Allah

menjadi titik mulai dan titik akhir pelayanan. Karena itu relasi yang intim dengan-Nya perlu dijaga dan dihidupi. Hal ini hanya bisa terjadi dalam aktivitas doa. Sebab

suatu relasi pribadi dengan Allah dalam doa, dapat menyelamatkannya agar tidak jatuh menjadi kurban ajaran yang menumbuhkan fanatisme berlebihan (art 36-37).

Meski demikian, tantangan apapun bentuknya selalu ada dalam tugas

pelayanan Gereja. Biasanya orang gampang patah semangat, jika tantangan yang dihadapinya terlampau berat. Orang mudah kehilangan harapan jika segala

(36)

pada gugatan akan eksistensi Allah. “Mengapa Allah tidak berpihak pada saya, dan membiarkan saya sendirian berjuang?” Seperti Ayub yang berkeluh kesah di

hadapan Allah tentang adanya penderitaan di dunia yang tak terpahami dan terasa pula tidak adil (art. 38).

Terhadap kondisi semacam ini, Paus menyerukan kepada setiap umat Kristiani agar senantiasa memiliki ketahanan dalam iman. Apapun tantangan yang dihadapi, orang mesti tetap beriman pada Allah. Iman yang murni selalu akan

ditempah dalam tanur api tantangan, semisal penderitaan dan sebagainya. Keteguhan iman pada Allah yang militan, selalu akan teruji dalam setiap tantangan

hidup. Iman kepada-Nya selalu menuntut keyakinan untuk percaya bahwa Allah adalah daya dan kekuatan dalam hidup. Segala sesuatu ada di muka bumi ini terjadi berkat daya dan penyelenggaraan-Nya.

Mengasihi sesama sebenarnya sama dengan mengasihi Allah. Semua kasih sejati pada hakikatnya ialah kasih Allah. Inilah kasih manusia yang mempersatukan

dirinya dengan Allah. Begitu ia mulai mengasihi sesama, Allah menjadi hidup di dalam dirinya. Santo Agustinus mendalami ide ini dengan membalikkan perkataan Yohanes “Allah adalah Kasih,” menjadi “Kasih adalah Allah.” Nilai pelayanan

(37)

22

METODE PENELITIAN

Pada bagian ini penulis menguraikan metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, metode penelitian, subyek penelitian, lokasi dan waktu penelitian, teknik

pengumpulan data, instrumen penelitian, keabsahan data, dan teknik analisis data. Penggunaan metode ini bertujuan untuk merefleksikan pelayanan kasih awam

kristiani dalam terang ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng.

A. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif untuk menentukan cara

mencari, mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data interaksi sosial. Penelitian kualitatif merupakan salah satu metode penulisan yang dipakai untuk mendeskripsikan data tertulis dan mengungkapkan suatu masalah secara faktual dan

akurat. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan orang yang tidak dapat diukur dengan angka. Tujuan yang hendak

dicapai penulis melalui penelitian ini adalah hendak memperoleh gambaran seutuhnya mengenai refleksi pelayanan kaum awam dalam mengemban tugas

pelayanan kasih seturut ensiklik Deus Caritas Est.

(38)

penelitian yang dipakai untuk mendeskripsikan data tertulis dan mengungkapakan suatu masalah atau keadaan secara faktual dan akurat. Hal senada juga ditegaskan

Gulo (2005:13) bahwa metode ini dapat digunakan untuk meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu

peristiwa yang pernah terjadi.

David Williams (1995) dalam Moleong (2007:5) menegaskan lebih lanjut bahwa penelitian kualitatif merupakan pengumpulan data pada suatu latar alamiah,

dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran

seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang “Refleksi Pelayanan Kasih Awam Kristiani Dalam Terang Ensiklik Deus Caritas Est” dilaksanakan di Stasi Sta. Maria Assumpta

Ngrendeng, Paroki St. Yoseph Ngawi, Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih dua minggu terhitung sejak tanggal 21 Agustus―4 September

2016.

1. Lokasi Penelitian

Penulis menilai ada fenomena pelayanan terkait partisipasi umat Katolik yang

menarik untuk dikaji. Sewaktu penulis berlibur di stasi ini, penulis mendengar begitu banyak cerita miris tentang partisipasi umat Katolik di sana. Penulis juga

(39)

yang secara kasat mata menampilkan sikap apatis terhadap urusan-urusan rohani. Itulah sebabnya penulis merasa tertarik untuk meneliti semangat

pelayanan umat di Stasi Ngrendeng. Faktor teknis lainnya adalah penulis punya sebagian keluarga besar yang berdomisili di stasi tersebut dan sebelumnya

penulis juga pernah melakukan penelitian mini sana. Hal-hal demikian tentu sangat membentu penulis untuk membangun komunikasi yang intens dengan para responden.

2. Waktu Penelitian

Penetapan waktu penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa data-data yang diperlukan untuk melengkapi kevaliditasan data. Subyek penelitian yang diwawancarai oleh penulis pun merupakan orang-orang yang sudah

mempunyai kriteria sesuai harapan penulis. Memilih orang-orang yang dapat direpresentasikan di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng bertujuan supaya

mencapai validitas data. Maka dari itu, berdasarkan prinsipnya penetapan waktu penelitian sesuai dengan target waktu yang direncanakan sebelumnya

oleh penulis.

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah orang yang memberikan pendapat atau keterangan tentang suatu fakta, keadaan, dan kejadian. Arikunto (2006:145) menjelaskan

(40)

pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif. Lincoln dan Guba (1985) dalam Sugiyono (2007:301) mengemukakan

bahwa penentuan sampel dalam penelitian kualitatif (naturalistik) tidak didasarkan pada statistik. Sampel dalam penelitian kualititatif berfungsi untuk mendapatkan

informasi yang maksimum, bukan untuk kebutuhan generalisasi.

Sebagai sebuah penelitian kualitatif, penulis menentukan subyek penelitian dengan cara purposive sampling. Teknik ini juga sering disebut sebagai judgement

sampling, secara sederhana diartikan sebagai pemilihan sampel berdasarkan

pertimbangan tertentu (Satori, 2007:6). Ciri-ciri khusus purposive sampling

menurut Lincoln dan Guba dalam Sugiyono (2007:301) yakni sebagai berikut: (a) adjustment emergent sampling design; (b) serial selection of sample; (c) continous

or focusing of the sample; dan (d) selection to the point of redundancy.

Penulis menilai bahwa purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel yang cocok karena respondennya harus benar-benar orang yang mengetahui

topik penelitian ini yakni mengenai pelayanan kasih awam kristiani. Untuk menentukan subyek penelitian yang potensial, penulis melakukan beberapa tahap

kegiatan berikut:

1) Observasi awal untuk mengetahui keadaan yang ada di stasi. Melebur dengan

umat melalui kegiatan hidup menggereja. Berdinamika bersama umat misalnya

dalam kegiatan doa lingkungan, gotong royong dan bersih-bersih gereja. Kegiatan ini sudah penulis lakukan sejak bulan Mei saat mulai menulis tugas

(41)

2) Mendatangi rumah Ketua Stasi untuk menyerahkan surat izin penelitian

sekaligus berkoordinasi untuk menentukan tokoh-tokoh yang termasuk dalam

kriteria penulis yang layak dijadikan subyek penelitian.

3) Setelah berkoordinasi dengan Ketua Stasi penulis mendapatkan nama-nama

responden yang pantas untuk diwawancarai sebagai subyek penelitian.

Beberapa pertimbangan penulis dalam menentukan subyek penelitian, antara lain: (a) responden adalah orang katolik dewasa (18 th ke atas) yang aktif

dan terlibat dalam kehidupan menggereja; (b) responden adalah fungsionaris lingkungan/stasi/paroki baik yang aktif maupun tidak aktif lagi dalam mengemban

tugas pelayanan gereja; dan (c) responden adalah tokoh umat yang tahu dan memahami perkembangan iman umat di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng. Berdasarkan kriteria tersebut penulis mendapat 5 (lima) subyek penelitian dari 39

orang Katolik yang berdomisili di stasi tersebut. Latar belakang responden juga bervariasi mulai dari tokoh umat yang sudah sepuh sampai orang muda. Mantan

Ketua Stasi dan Ketua Stasi yang sedang bertugas dinilai sebagai responden yang potensial.

Penulis mengawali penelitian dengan mengunjungi umat yang telah

bersedia menjadi responden sekadar untuk kula nuwun dan menentukan waktu wawancara. Penulis mendapatkan tanggapan yang positif semua responden dan

mereka juga bersedia meluangkan waktunya untuk bercerita banyak tentang pelayanan kasih. Selama melakukan penelitian, penulis tidak menemukan

(42)

wawancara dengan kelima responden tersebut, penulis juga berusaha melakukan uji validitas data dengan wewancarai beberapa umat (secara random).

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti untuk memperoleh data dalam suatu penelitian. Sugiyono (2009:225) menjelaskan bahwa pengumpulan data dapat diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan

dokumentasi. Penulis menggunakan ketiga teknik tersebut dalam mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan penelitian ini.

1. Observasi

Kusuma (1987:25) menjelaskan bahwa observasi merupakan pengamatan sistematis terhadap aktivitas individu atau obyek lain. Adapun jenis-jenis observasi

dalam penelitian antara lain observasi terstruktur, observasi tak terstruktur, observasi partisipan, dan observasi non-partisipan. Observasi partisipan merupakan

teknik pengamatan yang melibatkan seorang peneliti dalam aktivitas-aktivitas yang dilakukan responden. Observasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengamati

kegiatan pelayanan umat di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng. Selain itu observasi awal juga bertujuan untuk mengetahui jabatan, tugas/kegiatan, alamat, nomor telepon calon responden sehingga mudah untuk mendapatkan informasi.

(43)

Pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara terdiri dari tiga macam, yakni: wawancara terstruktur, wawancara semi-terstruktur, dan

wawancara mendalam (in-depth interview). Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik wawancara mendalam yang bertujuan untuk mengumpulkan

informasi yang kompleks, yang sebagian besar berisi pendapat, sikap, dan pengalaman pribadi (Sulistyo-Basuki, 2006:173). Sebelum melakukan wawancara mendalam, penulis akan menjelaskan sekilas mengenai gambaran penelitian yang

terdiri dari latar belakang, tujuan dan output penelitian ini. Untuk menghindari terjadinya kehilangan data, maka penulis akan meminta izin kepada responden

untuk merekam hasil percakapan.

Penulis menanyakan langsung kepada responden dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan dengan baik dan relevan. Wawancara dilakukan

secara terbuka. Dalam proses wawancara tersebut, penulis mewawancarai beberapa fungsionaris paroki dan awam yang mengetahui secara baik tentang peran dan

tanggung jawab kaum awam dalam tugas pelayanan kasih. Responden diminta untuk memberikan tanggapan dan mengungkapkan gagasan berdasarkan beberapa

pertanyaan yang disiapkan. Umumnya pertanyaan yang disiapkan selalu berhubungan dengan rumusan masalah yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan.

3. Studi Kepustakaan

(44)

naskah, dokumen yang relevan dengan penelitian (Koentjaraningrat, 1983:420). Lebih lanjut Sugiyono (2012:291) menegaskan bahwa studi dokumen sangat

penting dalam melakukan penelitian, karena sebuah penelitian pada prinsipnya tidak lepas dari literatur-literatur ilmiah. Sadar akan hal ini maka sebelum

melakukan penelitian ini, penulis telah mendalami dan memahami beberapa konsep dasar mengenai pelayanan kasih, kaum awam, dan surat ensiklik Deus Caritas Est melalui buku, kamus, ensiklopedia, surat kabar, majalah, dan artikel online.

4. Dokumentasi

Sugiyono (2009:240) menjelaskan dokumen sebagai kumpulan catatan-catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya dokumentasi dari seseoang. Dokumentasi yang berbentuk tulisan

misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, biografi, peraturan kebijakan. Dokumen yang bergambar misalnya foto-foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain.

Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni yang dapat berupa gambar, patung, film, dan sebagainya. Hasil penelitian akan semakin kredibel apabila

didukung oleh foto-foto atau karya tulis akademik dan seni.

E. Instrumen Penelitian

Menurut Sugiyono (2012:222), yang menjadi instrumen penelitian dalam sebuah penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Dengan demikian penulis

(45)

oleh subyek penelitian sehingga terdapat keseimbangan antara penulis sebagai orang dalam dan orang luar.

Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara, karena dalam proses pengumpulan data menekankan pada wawancara

mendalam terhadap responden untuk mendapatkan pemahaman mengenai partisipasi mereka (sebagai awam kristiani) dalam mengemban tugas pelayanan kasih seturut ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng.

1. Kisi–kisi Instrumen

Fokus Aspek Indikator Butir

(46)

- Pihak-pihak yang terlibat

- Menyadari tugasnya masing-masing sebagai angota Gereja

- Semua warga Gereja saing bahu-membahu utnuk menolong

2. Butir Pertanyaan

1) Apakah arti pelayanan kasih Kristus?

2) Bagaimana cara Anda memahami dan menghayati pelayanan kasih dalam

kehidupan sehari-hari?

3) Jenis kegiatan pelayanan seperti apa yang pernah Anda lakukan?

4) Menurut Anda, kira-kira jenis pelayanan sosial apa saja yang pernah Anda

temukan di stasi ini?

5) Apakah ada pengobatan gratis bagi orang-orang sakit di Stasi Ngrendeng? 6) Bagaimana cara menolong lansia yang sudah tidak bisa ke Gereja? Apakah

Anda pernah (dan setia) mengirim komuni untuk mereka?

7) Berdasarkan refleksi Anda, adakah tujuan di balik semua tindakan

pelayanan Anda?

8) Sejauh pengamatan Anda, apa saja tujuan dari kegiatan-kegiatan sosial yang

dilakukan oleh pihak Gereja?

9) Apakah Anda pernah merasa jenuh dan menilai pelayanan ini semata

sebagai kewajiban?

10) Kira-kira siapa saja yang layak berpartisipasi dalam tugas pelayanan kasih

(47)

F. Keabsahan Data

Keabsahan data dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan uji

validitas dan reliabilitas. Validasi data dilakukan untuk mengukur derajat kepercayaan atau ketepatan data. Dalam penelitian ini uji validitas dilakukan

dengan triangulasi data hasil penelitian, yaitu penulis akan mengkonsultasikan ulang sumber data yang telah dianalisis kepada responden, pembimbing dan pihak ketiga yang memiliki expert opinion. Triangulasi dengan sumber berarti

membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong

2008:330) Sedangkan uji reliabilitas akan dilakukan sebagai proses audit terhadap data-data penelitian yang dihasilkan. Proses ini dimulai dari menentukan masalah/fokus penelitian, memasuki lapangan, melakukan analisis data, melakukan

uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan yang punya pembuktian kuat.

G. Teknik Analisis Data

Setelah mendapatkan data maka langkah selanjutnya adalah analisis data.

Dalam penelitian ini, penulis menganalisis data lapangan dengan menggunakan tiga cara berikut, yakni: reduksi data, penyajian data dan verifikasi data. Pertama, reduksi data (data reduction), pada tahap ini penulis melakukan pemilihan, dan

pemusatan perhatian untuk penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh (Sugiyono 2012:247). Kedua, penyajian data (data display), pada

(48)

menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan, dan umumnya dalam bentuk teks naratif (Sugiyono 2012:249). Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi

(conclusion drawing and verification), pada tahap ini penulis berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi dengan mencari makna setiap gejala yang

diperoleh dari lapangan, mencatat keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dari fenomena, dan proposisi (Sugiyono 2012:252).

Dalam penelitian ini data yang telah diperoleh dari observasi, wawancara,

pengalaman individu kemudian diolah dan diklasifikasikan ke dalam tema untuk dianalisis. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan kajian pustaka untuk

(49)

34

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini penulis menguraikan empat pokok bahasan penting

mengenai partisipasi umat Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng dalam mengemban tugas pelayanan kasih, yakni (a) laporan penelitian berupa temuan umum dan temuan khusus, (b) pembahasan hasil penelitian, (c) analisis faktor

internal dan eksternal pelayanan umat dengan menggunakan model analisis SWOT, dan (d) refleksi teologis atas hasil temuan penelitian.

Penulis memawancarai 5 responden terpilih yang masing-masing mewakili

kelompok umur dan posisi/jabatan dalam struktur organisasi stasi. Responden pertama (R1) adalah tokoh umat yang pernah menjabat sebagai Ketua Stasi

Perdana. Responden kedua (R2) adalah tokoh umat Stasi Ngrendeng. Responden ketiga (R3) adalah Ketua Stasi yang bertugas saat ini. Responden keempat (R4) adalah perwakilan orang dewasa. Sedangkan responden kelima (R5) merupakan

perwakilan kelompok orang muda.

A. Temuan Umum

Penulis menguraikan hal-hal umum mengenai Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng seperti kondisi geografis, kondisi demografis (kependudukan), kondisi

(50)

mengumpulkan data-data primer melalui observasi awal (23-28 Mei 2016) dan wawancara (21-28 Agustus 2016).

1. Kondisi Geografis

Wilayah stasi Ngrendeng terletak persis di bagian utara kawasan Gunung Lawu. Stasi tersebut berada di wilayah Desa Ngrendeng, Kecamatan Sine Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Berdasarkan administrasi Gerejawi bagian timur

berbatasan dengan Hutan, bagian barat berbatasan dengan Stasi Hargosari, bagian utara berbatasan dengan Stasi Ngrambe, dan bagian selatan berbatasan dengan Stasi

Banjaran. Jika dilihat dari sudut pandang pemerintahan maka bagian timur berbatasan dengan hutan, bagian barat berbatasan dengan Desa Hargosari, bagian utara berbatasan dengan Desa Sambirejo dan Desa Sumberejo, sedangkan bagian

selatan berbatasan dengan Desa Girikerto.

Stasi ini hanya memiliki satu lingkungan. Ketika mengetahui hal ini -

penulis awalnya tidak percaya karena umumnya sebuah stasi memiliki lebih dari satu lingkungan. Namun dari cerita beberapa responden penulis diyakinkan bahwa

memang Stasi Ngrendeng hanya memiliki satu lingkungan. Alasannya karena wilayah Ngrendeng jauh dari Stasi Sine. “Dulu memang kita bergabung dengan

Sine. Namun karena terlalu jauh maka kami minta kepada Romo supaya Ngrendeng

dimekarkan sebagai sebuah stasi. Karena alasan jarak dinilai masuk akal maka akhirnya kami mekar sebagai sebuah stasi sendiri.” [Lampiran 2, (1)]. Berdasarkan

(51)

adalah 14 km dan tidak ada transportasi umum antara Sine dan Ngrendeng membuat umat semakin sulit untuk mengikuti kegiatan keagamaan.

2. Kondisi Demografis

Berdasarkan data Stasi tahun 2015, umat Katolik di Stasi Ngrendeng berjumlah 39 orang yang terdiri dari 16 orang laki-laki dan 23 orang perempuan. Seturut data pekerjaan, sebagian besar umat Katolik di Ngrendeng bekerja sebagai

buruh (58,3%) sedangkan 41,67% lainnya merupakan petani di sawah dan ladang. Meskip jumlah mereka masih sangat sedikit namun mereka tetap semangat

melaksanakan berbagai kegiatan rohani di gereja. Dengan semua keterbatasan yang ada, mereka tetap bahu-membahu mempertahankan iman mereka kepada Kristus.

Sejauh pengamatan penulis, sebagaian besar umat yang saat ini berdomisili

di Ngrendeng adalah kelompok orang dewasa (yang sudah berkeluarga) dan kelompok lanjut usia. Ketika beranjak dewasa dalam hal ini setelah menyelesaikan

pendidikan menengah pertama, mereka akan memilih pindah ke kota untuk melanjutkan pendidikan tingkat atas dan kuliah. Begitu juga setelah selesai

bersekolah, umumnya mereka memilih merantau - mencari penghidupan yang layak di daerah lain. Selain itu, ada pula yang meninggalkan kampung karena menikah dengan orang luar daerah.

3. Kondisi Sosial dan Budaya

(52)

yang menikah dengan orang Batak, namun kemudian dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Situasi kehidupan kemasyarakatan yang sangat

kental dengan etnis Jawa memudahkan mereka untuk bersosialiasi satu terhadap yang lain. Solidaritas menjadi satu ciri masyarakat yang homogen. Orang bisa

dengan mudah solider dengan sesamanya karena ada kesamaan budaya, bahasa bahkan agama. Poin ini akan muncul pada uraian-uraian selanjutnya mengenai spirit pelayanan kasih. Hal yang lebi khas nampak dalam keseharian masyarakat di

Ngrendeng adalah semangat gotong-royong. Sense of homogenity menjadi motor yang mampu menggerakan orang untuk bisa saling membantu. Hemat penulis, ini

menjadi salah satu poin kunci yang akan mendasari fondasi pelayanan kasih umat di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng.

Kebiasaan lain yang masih kental dengan kebudayaan Jawa yakni ritual

kelahiran dan kematian. Berdasarkan adat Jawa, proses kehidupan selalu beriringan dengan tradisi. Nguri-nguri kebudayaan Jawa, melestarikan kebudayaan Jawa.

Ritual ini dilakukan dengan doa-doa berbahasa Jawa. Masih banyak ritual inkulturatif lainnya yang sangat diminati oleh umat Stasi Ngrendeng. Salah satu

alasan mendasar kenapa orang Jawa gampang menerima ajaran Katolik karena mengakomodasi kepercayaan-kepercayaan asali masyarakat Jawa dan menginkulturasikan dalam perayaan-perayaan sakramen.

4. Visi dan Misi Stasi

(53)

Romo Katini, CM. Beliau membangun Stasi ini dengan sebuah visi utama yakni mempertangguh iman umat Ngrendeng agar semakin militan dalam bersaksi

tentang Kristus dalam kehidupan bermasyarakat. Visi ini terlihat jelas dalam berbagai kegiatan misioner yang dilakukan Romo Katini seperti: (a) membaptis

sebanyak mungkin orang yang hendak beriman pada Kristus, (b) rutin mengunjungi umat Katolik dari rumah ke rumah, (c) rajin mengadakan doa dan merayakan ekaristi bersama, (d) mangajari anak-anak berdoa dan memberikan kesempatan

kepada mereka untuk mengambil bagian dalam ibadat dan perayaan sakramen, (e) mengaktifkan kaum muda dan orang dewasa dalam berbagai kegiatan rohani di stasi, dan (f) giat mendorong para Katekis untuk “turun ke bawah” untuk

memperkenalkan Kristus kepada umat.

Visi dan misi tersebut - menurut para responden sangat efektif menggerakan

hati umat untuk berpartisipasi dalam kegiatan menggereja. Namun lamban-laun, visi dan misi tersebut mulai diabaikan oleh para penerus Romo Katini.

Contoh konkret misalnya, romo sudah tidak rutin lagi mengadakan kunjungan di stasi. Secara tidak langsung tentu akan berpengaruh terhadap semangat umat. Umat di sini, suka membanding-bandingkan. Menurut mereka, romo sekarang malas - tidak seperti pendahulunya. Mereka lebih banyak berkunjung ke tempat-tempat yang dekat dengan paroki. Sedangkan kami yang jauh dari gereja paroki biasanya hanya sekali dalam sebulan. Nah umat akan rajin ikut ibadat atau misa kalau ada romo. Jangan harap mereka ikut ibadat sabda kalau pemimpinnya adalah seorang pro-diakon yang nota bene adalah awam seperti mereka. [Lampiran 5, (2)].

Ungkapan di atas secara jelas memperlihatkan bahwa ada dinamika hidup

(54)

umat yang penulis jumpai. Bahkan penulis sendiri mengamati secara langsung selama masa penelitian, bahwa kondisi tersebut benar-benar terjadi di Stasi

Ngrendeng. Meski demikian terdapat beberapa kesan positif yang penulis dapat baik dari hasil observasi maupun wawancara tentang praktik hidup rohani umat di

Stasi Ngrendeng.

B. Temuan Khusus

Pada bagian ini penulis akan melaporkan beberapa temuan khusus yang diperoleh pada saat wawancara. Setidaknya terdapat empat hal penting yang hendak

dicapai dalam penelitian ini, yakni: (1) jenis-jenis pelayanan kasih yang sudah dilaksanakan umat Ngrendeng; (2) tujuan dari pelayanan kasih yang sudah dilaksanakan umat Ngrendeng; (3) sasaran pelayanan kasih; dan (4) pihak-pihak

yang terlibat dalam mengemban tugas pelayanan kasih. Namun penulis mengawali keseluruhan proses wawancara dengan bertanya tentang arti pelayanan kasih yang

mereka pahami, terutama yang sudah mereka hayati selama ini.

1. Arti Pelayanan Kasih

Penulis bertanya kepada semua responden tentang apa yang mereka ketahui tentang pelayanan. Jawaban dari masing-masing responden beragam. Berikut

(55)

a. Responden 1:

Sederhana saja – pelayanan itu berarti menolong siapa saja yang pantas mendapat pertolongan. Dalam konteks ajaran Katolik, yang saya pahami sejak kecil, melayani berarti memberi bantuan kepada orang yang berkekurangan – entah kurang perhatian; kurang kasih sayang; dan kurang pendampingan iman. Saya alami sendiri ketika bertugas sebagai fungsionaris stasi, ketika banyak umat datang dan meminta bantuan dari saya. Mulai dari kelompok umat – yang sekadar menyaringkan pengalaman hidupnya sampai pada mereka yang memang betul-betul memerlukan pertolongan material dan batiniah. Saya ladeni semuanya itu dengan sabar dan menjalaninya dengan tulus. Karena saya sadar bahwa ketika saya menerima tanggung jawab sebagai pelayan umat maka saya mesti jalani baik-baik. [Lampiran R1, (8)]

b. Responden 2:

Jujur, sebenarnya saya tahu tindakan melayani jauh sebelum saya mengenal ajaran Gereja Katolik tentang cinta kasih. Karena saya dididik dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Namun ketika saya mulai dibaptis dan mengenal lebih dekat ajaran-ajaran Katolik, saya makin sadar bahwa ternyata kultur yang dihidupi oleh keluarga selama ini cocok dengan ajaran Katolik. Dan menurut saya pelayanan itu adalah tindakan berbelas kasih kepada sesama dan memberi pertolongan kepada yang membutuhkan. [Lampiran R2, (11)]

c. Responden 3:

Pelayanan itu adalah peduli terhadap sesama yang mengalami kekurangan. Maksud saya, pelayanan itu haruslah melampaui batas agama dan keyakinan. Saya bilang begini karena orang-orang dewasa ini lebih peduli pada diri sendiri. Kalau pun dia peduli pada orang lain, itu hanya khusus buat orang-orang di sekitarnya saja. Seperti keluarga, teman akrab, dan sebagainya. Sangat jarang kita jumpai orang yang peduli pada orang lain. Coba lihat saja sekarang, banyak rumah yang punya pagar yang tinggi-tinggi. Itu tandanya orang menutup diri. [Lampiran R3, (13)].

d. Responden 4:

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Patil pada tahun 2011 menyatakan bahwa pemberian ekstrak etanol (70%) daun kemunting tiap hari dapat memproteksi kerusakan hati

Tujuan penelitian ini adalah (1) meningkatkan kinerja mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi dengan tenaga gerak traktor berroda –2, (2) membuat model

Dari hasil analisis tersebut, didapatkan lahan budidaya tambak di Kabupaten Indramayuseluas 22.006ha.Lahan yang sangat sesuai 199 ha tersebar di Kecamatan Losarang

Kenaikan produksi kedelai pada tahun 2014 terjadi di 6 (enam) Kabupaten, yaitu: Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu

(3) Ketentuan mengenai persyaratan kendaraan bermotor angkutan penumpang terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri yang bertanggung

Sedangkan menurut Apriadji (2002), sampah atau dalam bahasa inggrisnya waste , adalah zat atau benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi, baik berupa bahan buangan yang

(1) Agar setiap penanggungjawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan pengolahan dan atau

Itulah sebabnya maka diperlukan kombinasi yang sebaik-baiknya dari kegiatan yang dipercepat durasi pelaksanaannya dalam menghasilkan waktu proyek yang paling ekonomis,