• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KESESUAIAN BIOFISIK LAHAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG WINDU (Penaeus monodon) BERKELANJUTAN DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI KESESUAIAN BIOFISIK LAHAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG WINDU (Penaeus monodon) BERKELANJUTAN DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT ABSTRAK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KESESUAIAN BIOFISIK LAHAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG WINDU

(Penaeus monodon) BERKELANJUTAN DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

Utojo, Akhmad Mustafa, dan Kamariah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: litkanta@indosat.net.id

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini menentukan tingkat kesesuaian biofisik lahan budidaya tambak udang windu berkelanjutan di wilayah pesisirKabupaten Indramayu, Jawa Baratdengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG). Data sekunder yang diperoleh berupa data iklim, peta Rupa Bumi Indonesia wilayahIndramayu skala 1:50.000 dan citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2010. Data primer diperoleh dengan metode survai di lokasi penelitian meliputi pasang surut, kualitas air, dan tanah tambak. Penentuan stasiun pengamatan dilakukan secara acak dan sistematik. Setiap lokasi pengambilan contoh ditentukan posisi koordinatnya dengan alat Global Positioning System (GPS). Data lapangan (pasang surut, fisiko-kimia air, dan tanah), data citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2010 dan data sekunder yang lain, dianalisis secara spasial menggunakan SIG. Berdasarkan hasil analisiskesesuaian biofisik lahan budidaya tambakdi Kabupaten Indramayu, didapatkan lahan budidaya tambak seluas 22.006 ha. Lahan yang sangat sesuai199 ha terdapat di Kecamatan Losarang dan Sindang,cukup sesuai6.020 ha di Kecamatan Indramayu, Losarang, Krangkeng, Sindang, Balongan, Kandanghaur, dan Sukra, sedangkan yangkurang sesuai14.946 ha di Kecamatan Sindang, Losarang, Indramayu, Kandanghaur, Lohbener, dan Krangkeng, serta yang tidak sesuai 841 ha di Kecamatan Sindang yang letaknya agak jauh dari laut.

KATA KUNCI: kesesuaian, biofisik lahan, budidaya tambak, SIG, Kabupaten Indramayu PENDAHULUAN

Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem laut dan daratan yang saling berinteraksi, memiliki fungsi ekonomi, sosial, dan ekologis yang sangat penting, memiliki tingkat produktivitas biologis yang sangat tinggi dibanding perairan laut dalam dan daratan serta sangat rentan terhadap kerusakan secara alami dan aktivitas manusia kawasan pesisir merupakan muara dari seluruh aktivitas di darat sebagai dampaknya berupa limbah rumah tangga, limbah pertanian, limbah industri, dan berbagai sampah lainnya yang mengalir melalui sungai-sungai yang pada akhirnya ke laut. Di samping itu, berbagai aktivitas manusia mengambil tempat di wilayah pesisir seperti pembangunan sektoral dan regional oleh pemerintah dan kalangan swasta berlangsung dengan intensif untuk perikanan, pelabuhan, pertanian, perkebunan, pemukiman, parawisata, industri, yang memicu terjadinya konflik kepentingan yang berdampak pada perubahan fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya (Diposaptono, 2001).

Menurut Utojo et al. (2009), wilayah pesisir di suatu daerah umumnya memiliki karakteristik tersendiri dan sifatnya peka terhadap perubahan kondisi lingkungan sekitarnya. Adanya usaha pembukaan tambak berarti wilayah pesisir mengalami tekanan dan proses perubahan kondisi lingkungan yang sangat cepat. Laju perubahan fungsi lahan yang cepat menyebabkan adanya perubahan ekosistem, tipologi pantai, karakteristik, dan daya dukung lahan serta potensi wilayah pertambakan.

Dalam hal ini, yang perlu dikaji untuk mengevaluasi kesesuaian biofisik lahan budidaya tambak berkelanjutanantara lainfaktor karakteristik lingkungan, daya dukung lahan, dan pengaruh kegiatan manusia terhadap lingkungannya. Sedangkan beberapa faktor penting dalam keberhasilan melaksanakan kegiatan budidaya tambak berkelanjutan meliputi: (1) kondisi lahan yang sesuai dengan tingkat teknologi budidaya yang diterapkan dan jenis komoditas untuk hidup dan tumbuh dengan baik, (2) kemampuan dan kedisiplinan pengelola dalam mengatasi permasalahan budidaya, (3)

(2)

terpenuhinya kebutuhan sarana/prasarana pendukung budidaya, (4) kondisi iklim suatu daerah dan(5) perencanaan tataruang wilayah yang sesuai dengan peruntukannya.

Penentuan lokasi yang sesuai bagi kegiatan budidaya tambak harus dilakukan secara seksama dengan memperhatikan faktor kondisi lahan dan perairan (biologi, fisik, dan ekologi), sosial ekonomi dan dukungan fasilitas (infrastruktur) yang memadai. Penempatan kegiatan budidaya tambak yang sesuai akan berdampak pada berkurangnya pengaruh negatif terhadap lingkungan, meminimalkan konflik kepentingan antar pengguna lahan, dan memaksimalkan produksi tambak yang dihasilkan (GESAMP, 2001).

Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan program industrialisasi budidaya air payau atau tambak untuk udang dan ikan bandeng di beberapa kabupaten di Pulau Jawa, termasuk di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat dengan komoditas unggulannya yaitu udang windu (Anonim, 2011).

Untuk menjamin kegiatan budidaya tambak berkelanjutan, pemilihan lokasi yang sesuai merupakan tahapan awal yang sangat penting dilakukan. Kesalahan dalam pemilihan lokasi, menyebabkan adanya tambahan biaya infestasi dan umumnya pelaksanaan kegiatan budidaya tambak tidak berlanjut. Kajian tentang kesesuaian lahan tambak melalui survai, dapat diketahui karakteristik biofisika kimia tanah dan air serta kemampuan daya dukung lahannya sehingga dapat mengantisipasi dan meminimalkan degradasi lingkungan tambak dan kerusakan ekosistem pesisir sebagai habitat sumberdaya perikanan. Menurut Dennis et al. (2004), kriteria untuk penilaian kesesuaian lahan dapat bervariasi dari suatu tempat ke tempat lain, yang penting didasarkan pada faktor topografi, lahan, hidrologi, iklim, dan vegetasi.

Untuk memudahkan dalam mendapatkan data dan informasi secara cepat dan akurat tentang kesesuaian biofisik lahan budidaya tambak berkelanjutan, disajikan dalam bentuk spasial dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) yang diintegrasikan dengan citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan tingkat kesesuaian biofisik lahan budidaya tambak udang windu berkelanjutan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan SIG. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu untuk mengalokasikan pengembangan budidaya tambak tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu. Lokasi penelitian meliputi Kecamatan Pasekan, Lohbener, Arahan, Cantigi, Sindang, Losarang, Kandang Haur, Patrol, Indramayu, Balongan, Krangkeng dan Karang Ampel. Survai lapangan dilakukan pada tanggal 11-23 September 2013. Survai di lokasi penelitian tersebut dilakukan dengan memperhatikan morfologi pantai dan keragaman kawasan lokasi budidaya serta vegetasi mangrove sebagai zonasi penyangga. Informasi spasial kesesuaian lokasi budidaya tambak yang akurat dan terkini di Kabupaten Indramayu dengan klasifikasi sampai pada tingkat kategori kelas, di peroleh dari hasil pengolahan data menggunakan SIG melalui integrasi data hasil klasifikasi citra ALOS AVNIR 2 tahun 2010 dengan data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui pengamatan langsung di lokasi survai meliputi topografi pesisir dan peubah kualitas tanah (pHF, pHFOX, dan potensial redoks) yang diambil pada kedalaman tanah 0-20 cm dan 20-40 cm. Peubah kualitas tanah hasil analisis laboratorium meliputi tekstur tanah, bahan organik, PO4, N total, Fe, dan Al. Pengukuran pasang surut dilakukan selama 39 jam dengan interval waktu setiap jam. Pengukuran dan pengambilan contoh kualitas air dilakukan di laut, muara sungai,sungai dan tambak. Peubah kualitas air yang diukur langsung di lokasi survai adalah suhu, pH, salinitas, dan oksigen terlarut. Peubah kualitas air yang dianalisis dilaboratorium meliputi: NH4, NO2, NO3, PO4,bahan organik total, kekeruhan, dan padatan tersuspensi total. Analisis laboratorium mengikuti petunjuk APHA (2005).

Jenis-jenis vegetasi mangrove yang diidentifikasi di lokasi survai yaitu di pinggir laut dan wilayah tambak, sampai pada tingkat suku berdasarkan Bengen (2004). Setiap titik pengukuran dan pengambilan contoh di lokasi survai ditentukan posisinya dengan menggunakan Global Positioning

(3)

luas lokasi, kondisi lokasi, dan tingkat keragaman lokasi. Sebaran titik pengukuran dan pengambilan contoh di lokasi survai disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta sebaran titik pengukuran dan pengambilan contoh untuk kesesuaian lahanbudidaya tambak udang di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

Data sekunder didapatkan dari penelusuran laporan tahunan, pustaka hasil penelitian dan pengamatan, data meteorologi dari berbagai instansi terkait, peta jenis tanah skala 1:250.000 dan peta curah hujan tahunan Provinsi Jawa Barat, peta kelerengan, peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000 dan peta administrasi Kabupaten Indramayu. Data citra ALOS AVNIR-2, 2010 yang digunakan telah terkoreksi secara radiometrik dan geometrik. Penajaman citra dilakukan guna memperoleh citra/peta kerja seperti yang ditampilkan pada Gambar 1. Klasifikasi citra satelit dengan menggunakan

software SIG. Hasil klasifikasi citra kemudian divalidasi melalui survai lapangan. Data citra diintegrasikan

dengan peta Rupabumi Indonesia, dan dianalisis (dijitasi) dengan menggunakan program Er Mapper 7.1 serta mengklasifikasi secara terbimbing untuk mendapatkan data/informasi tentang tutupan lahan di lokasi penelitian (Lillesand & Kiefer, 2000). Informasi spasial lain yang didapatkan dari data primer dan sekunder juga diintegrasikan dengan peta penutup/penggunaan lahan.

Data primer, sekunder dan peta penutup/penggunaan lahan yang sudah dikumpulkan, dianalisis secara spasial menggunakan SIG. Kemudian menginterpolasi pada setiap parameter dalam bentuk layer-layer peta tematik. Mempertimbangkan kriteria kesesuaian lahan budidaya tambak udang windu (Penaeus monodon), peta-peta tematik tersebut dioverlay (tumpang susun) pada software dan image

analysis dalam ArcView 3.3.Hasil analisis spasial yang didapatkan berupa peta tematik kesesuaian

(4)

HASIL DAN BAHASAN

Kondisi Umum Wilayah dan Infrastruktur

Dalam rangka meningkatkan produktivitas tambak dengan memaksimalkan potensi lahan pesisir melalui pengembangan usaha budidaya tambak berkelanjutan sesuai paket teknologi yang diterapkan. Tahap awal telah dilakukan survei kesesuaian lahan tambak di 12 kecamatan wilayah pesisir Kabupaten Indramayu di antaranya Kecamatan Pasekan, Lohbener, Arahan, Cantigi, Sindang, Losarang, Kandang Haur, Patrol, Indramayu, Balongan, Krangkeng, dan Karang Ampel. Menurut Suyanto & Mujiman (2003), persyaratan wilayahtambakberkelanjutan antara lain memiliki wilayah vegetasi mangrove minimum 10–20% dari jumlah luasan lokasi yang akan dijadikan tambak, ketersediaan saluran irigasi tambak, suplai sumber air yang cukup memadai kualitas dan kuantitasnya serta fasilitas pendukung lainnya.

Secara administratif, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat terbagi dalam 31 wilayah kecamatan, 307 desa dan 8 kelurahan, diantaranya memiliki 10 kecamatan dengan 35 desa yang berbatasan langsung dengan laut. Secara geografis, Kabupaten Indramayu terletak antara 107°52'-108°36' Bujur Timur dan 6°15'-6°40' Lintang Selatan, memiliki luas wilayah 204.011 ha dengan panjang garis pantai 114,1 km yang membentang sepanjang pesisir utara antara Kabupaten Cirebon hingga Subang. Batas wilayah, sebelah barat yaitu Kabupaten Subang, sebelah utara yaitu Laut Jawa, sebelah selatan yaitu Kabupaten Majalengka, Sumedang dan Cirebon, sebelah timur yaitu Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon. Wilayah pesisir yang banyak vegetasi mangrovenya di Kabupaten Indramayu yaitu di Kecamatan Losarang, Kandanghaur, dan Sindang serta pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani Kabupaten Indramayu, sedangkan di Kecamatan Eretan, vegetasi mangrovenya relatif sedikit sehingga sering terjadi abrasi pantai. Kerusakan hutan mangrove yang terparah di Kabupaten Indramayu yaitu di Kecamatan Juntinyuat, Balongan, Sukra, Krangkeng dan Indramayu. Faktor utama kerusakan hutan mangrove akibat terjadinya alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi tambak, pemukiman, perambahan dan penebangan liar. Sejak tahun 2004, Perhutani Kabupaten Indramayu telah merehabilitasi hutan mangrove dengan menanam sedikitnya 1,4 juta pohon khususnya di wilayah-wilayah yang kondisi hutannya cukup kritis.

Suhu udara di Kabupaten Indramayu cukup tinggi berkisar 22,9-30oC dan kelembaban udara berkisar 70-80%. Curah hujan 1.587 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 91 hari, curah hujan tertinggi 2.008 mm dengan jumlah hari hujan 84 hari dan curah hujan terendah 1.063 mm dengan jumlah hari hujan 68 hari. Angin barat dan angin timur bertiup secara bergantian setiap 5-6 bulan (Anonim, 2009).

Pada umumnya di semua wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Indramayu potensial untuk pengembangan budidaya tambak. Saat ini terdapat kegiatan usaha pembenihan udang dan usaha budidaya tambak udang windu, udang vaname, bandeng, dan rumput laut (Gracilaria sp.) sistem tradisional yang dikelola oleh masyarakat secara monokultur dan polikultur. Kondisi lokasipertambakan di Kabupaten Indramayu saat ini antara lain tinggi pematang tambak 0,75-1 m dan lebar pematang tambak 0,5-1 m,luas tambaknya bervariasi 1,5-5 ha/petak dengan 1 pintu, kedalaman air tambaknya 0,3-0,5 m dengan rata-rata 0,4 m. Menurut Chiang et al. (2004), kedalaman air optimum tambak udang windu pada saat penebaran yaitu 0,3-0,6 m dan ditingkatkan hingga panen mencapai 1,0-1,2 m, sedangkan ikan bandeng umumnya dipelihara di tambak dangkal yaitu 0,3-0,4 m. Saluran irigasi tambaknya cukup teratur dengan saluran masuk dan keluar melalui 1 pintu bermuara ke saluran-saluran atau sungai menuju ke laut. Lokasi tambak di wilayah ekosistem daratan berasal dari hasil konversi lahan sawah atau tegalan dan di wilayah ekosistem pesisir berasal dari hasil konversi lahan hutan mangrove. yang sudah lama beroperasi dinilai memiliki kesesuaian sedang.

Topografi wilayah tambak di Kabupaten Indramayu relatif datar, terletak di sepanjang lahan pesisir utara Pulau Jawa yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa dengan karakteristik perairan lautnya tenang, dangkal dan terbuka serta lebih banyak dipengaruhi oleh arus pasang surut. Saat musim hujan airnya relatif keruh dengan salinitas rata-rata dibawah salinitas air laut alami yaitu 30 ppt. Kekeruhan tersebut disebabkan adanya siltasi atau sedimentasi dari hulu sungai yang terbawa melalui aliran sungai-sungai di sekitarnya.

(5)

Pola arus pesisir utara Jawa, khususnya wilayah Kabupaten Indramayu dipengaruhi oleh 3 macam pola angin yang bertiup yaitu musim angin timur, musim angin barat dan musim peralihan. Pada bulan Desember hingga Februari saat bertiup angin barat, arus laut bergerak dari arah barat ke timur dan sebaliknya antara bulan Juli hingga Agustus, arus laut bergerak dari arah timur ke barat karena pengaruh musim angin timur. Pada periode bulan Maret hingga Mei dan September hingga November merupakan periode peralihan arah arus. Pada periode ini kekuatan arus relatif lemah dan laut dalam kondisi relatif tenang. Di sekitar pesisir Kabupaten Indramayu, kecepatan arus permukaan pada musim angin barat dan musim angin timur mencapai 25 cm/detik dan pada musim peralihan hanya 12 cm/ detik (Anonim, 2003).

Infrastruktur

Wilayah tambak di beberapa desa pada setiap wilayah kecamatan di Kabupaten Indramayu terdapat akses jalan kendaraan roda dua dan empat yang langsung ke jalan poros utama yang menghubungkan Kota Indramayu dengan daerah-daerah lain di Provinsi Jawa Barat sehingga memudahkan dalam transportasi sarana produksi tambak saat pelaksanaan budidaya dan transportasi udang hasil budidaya saat panen. Pada umumnya saat panen udang, biasanya pengumpul datang ke lokasi tambak langsung membeli ke pembudidayanya, pengumpul tersebut menjual udang ke eksportir di Jakarta, kemudian siap untuk diekspor. Di lokasi survai relatif aman dan terdapat kemudahan dalam mendapatkan tenaga kerja baik kuantitas maupun kualitasnya dalam bidang pertambakan.

Lahan Tekstur Tanah

Tekstur dan kualitas tanah yang didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan dan analisis laboratorium (148 sampel tanah), disajikan pada Tabel 1. Tekstur tanah pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm cukup bervariasi dan didominasi oleh lempung liat berpasir hingga lempung berpasir. Tekstur tanah yang didominasi oleh fraksi lempung dan liat, didapatkan pada tambak bekas lahan kosong, tegalan atau sawah, sedangkan fraksi pasir didapatkan pada lahantambak bekas mangrove. Tekstur tanah sangat menentukan tingkat porositas tambak dan sebagai tempat tumbuhnya pakan alami ikan dan udang. Tekstur tanah tambak yang baik untuk budidaya ikan dan udang yaitu liat, lempung, lempung berliat, lempung liat berdebu, lempung berdebu, dan lempung liat berpasir (Ilyas

et al., 1987).

Kualitas Tanah

Kisaran nilai pHF tanah tambak yang didapatkan di kedalaman 0-20 cm (5,51-7,84) dan di kedalaman 20-40 cm (5,15-7,79) relatif sama (Tabel 1). Kondisi pH tanah tersebut didapatkan pada tambak-tambak lama yang memiliki kisaran kemasaman netral hingga basa. Kisaran nilai pHFOX tanah tambak yang didapatkan di kedalaman 0-20 cm (1,21-7,43) dan di kedalaman 20-40 cm (1,46-7,66). Rendahnya pHFOX tanah tambak di kedalaman 0-20 cm dan kedalaman 20-40 cm (1,21-1,46), disebabkan hanya terdapat akumulasi bahan organik dari sisa-sisa vegetasi mangrove yang terdekomposisi. Selisih nilai pHF dan pHFOXtanah tambak di Kabupaten Indramayu relatif kecil yang berarti tidak memiliki potensi kemasaman, kecuali di Desa Pagirikan (5,16-5,31) dan Karang Anyar (5,22-5,65), Kecamatan Pasekan; Desa Lamaran Tarung (4,49-4,77) dan Cemara Wetan (4,82-5,02), Kecamatan Cantigi; Desa Wanantara (5,00-5,71), Kecamatan Sindang; dan Desa Cemara Kulon (3,47-5,45), Kecamatan Losarang. Menurut Tarunamulia & Mustafa (2009), lahan pesisir yang potensi kemasaman tanahnya tinggi dengan selisih nilai pHF dan pHFOX> 3,5; sebaiknya tidak dibuka dan dikelola untuk tambak, sedangkan lahan pesisir yang potensi kemasaman tanahnya sedangdengan selisih nilai pHF dan pHFOXberkisar 0,5-3,5; bisa dibuka dan dikelola untuk tambak dengan syarat harus diremediasi melalui pengeringan, perendaman, pembilasan, dan pengapuran. Lahan peisisr yang potensi kemasaman tanahnya rendah atau tidak berpotensi masam dengan selisih nilai pHF dan pHFOX< 0,5, baik dikelola untuk tambak.

Oksidasi dan reduksi potensial tanah tambak penting peranannya dalam meremediasi tanah dan mengurangi senyawa-senyawa organik yang toksik. Nilai oksidasi dan reduksi potensial tanah yang

(6)

didapatkan di lokasi survai pada kedalaman 0-20 cm berkisar (-366) – (+177) mV dan kedalaman 20-40 cm berkisar (-353)-(+154) mV. Variasi nilai oksidasi dan reduksi potensial tanah sesuai dengan letak pengambilan sampel dan pengukuran di lokasi survai.Menurut Noor (2004), kondisi tanah di dasar tambak yang tergenang (anaerob), laju oksidasi dan proses perombakan bahan organik lebih lambat, tetapi memiliki laju pereduksi sulfur dan besi lebih cepat dari pada di dasar tambak yang

Tabel 1. Kisaran nilai parameter tekstur dan kualitas tanah di lokasi budidaya tambak udangKabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat

Parameter tekstur dan kualitas tanah Kedalaman (cm) Kisaran nilai (n = 74) Nilai ideal 1. Tekstur: Pasir (%) 0–20 5–92 Liat ( (%) 0–60 Debu (%) 2–95

Lempung, lempung berdebu, lempung berpasir, pasir berlempung, lempung liat berpasir, pasir, liat, lempung berliat dan liat berpasir Tekstur:

Pasir (%) 20–40 4–100

Liat (%) 0–60

Debu (%) 0–48

Lempung, lempungliat berpasir, lempung berpasir, liat berpasir, lempung berdebu, lempung berliat, liat dan pasir

2. pH F 0–20 5,51–7,84 6.5–7.0*)

20–40 5,15–7,79

pHFOX 0–20 1,21–7,43

20–40 1,46–7,66

3. Redoks potensial (mV) 0–20 (-366)–(+177) Minimal plus (+) 50 mV**)

20–40 (-353)–(+154) 4. PO4-P (mg/L) 0–20 8,4–194,5 20–40 5,3–102,2 5. Bahan organik (%) 0–20 0,05–31,64 20–40 0,18–21,89 6. Fe (mg/L) 0–20 183,5–1.877,3 20–40 167,2–1.900,3 7. Al (mg/L) 0–20 5,0–237,5 20–40 16,0–197,8

8. Pirit (%) 0–20 0,00–2,72 Tergantung konsentrasi sulfat

masam yang ada dalam tanah

20–40 0,00–2,39

9. N Total (mg/L) 0–20 0,03–1,29 Rasio C:N yang ideal untuk

*****

20–40 0,01–1,98

Sumber: *) Poernomo (1992) **) Boyd  dalam Widigdo (2003) ***) Karthik et al . (2005) ****)Boyd et al. (2002) *****) Boyd (2008)

Lempung liat berpasir: tambak tradisional-semiintensif *)

Lempung berpasir: tambak intensif *)

> 60 mg/L: tambak tradisional, tambak intensif kurang

***)

1,7-5,2% baik untuk tambak****)

Tergantung kandungan pirit yang teroksidasi saat kering*) Tergantung kandungan pirit yang teroksidasi saat kering*)

(7)

kering (aerob). Besaran relatif yang berlaku untuk daya redoks berkisar dari (+ 660) mV pada tambak yang teroksidasi dan (- 350) mV pada tambak yang tereduksi. Untuk mengembalikan kondisi tanah tambak yang baik diperlukan nilai redoks potensial minimal plus (+) 50 mV dengan nilai pH 6,5-8,5 (Boyd dalam Widigdo, 2003).

Konsentrasi Fe dan Al pada tanah tambak di lokasi survai pada kedalaman 0-20 cm berkisar 183,5-1.877,3 mg/L dan 5,0-237,5 mg/L, sedangkan pada kedalaman 20-40 cm berkisar 167,2-1.900,3 mg/L dan 16,0-197,8 mg/L. Kisaran nilai konsentrasi Fe dan Al tanah tersebut cukup tinggi, tetapi masih baik untuk kegiatan budidaya tambak dengan syarat tanahnyaharus diremediasi.

Proses remediasi dengan tahapan penjemuran dan perendaman untuk menghilangkan senyawa yang toksik, pencucian untuk menghilangkan konsentrasi Fe dan Al serta pengapuran untuk meningkatkan unsur hara makro dan pH tanah. Tingginya nilai konsentrasi Fe dan Al di kedalaman tanah 0-20 cm dan 20-40 cm, didapatkan pada tanah tambak bekas lahan mangrove yang tidak berpirit dan bukan berasal dari tanah sulfat masam karena saat kering didapatkan kandungan pirit yang relatif rendah yaitu 0,00-2,72% dan 0,00-2,39%, dengan pH tanah relatif tinggi berkisar 5,51-7,84 dan 5,15-7,79. Tanah sulfat masam adalah tanah atau sedimen yang mengandung pirit (FeS2) yang apabila kondisinya kering dapat teroksidasi akan melarutkan SO4 dan Fe yang menyebabkan terjadinya penurunan pH tanah yang berdampak pada peningkatan kelarutan Al seperti terlihat pada Tabel 2. Menurut Poernomo (1992), pembangunan rawa pantai di wilayah intertidal yang tertutup oleh vegetasi mangrove menjadi tambak, tanahnya mengandung pirit (FeS2) dan saat kering, tanah tersebut memiliki tingkat kemasaman tinggi (pH 2,5-5,0) dan kemasaman akan meningkat setelah tanah teroksidasi.

Kisaran nilai kandungan fosfat di tanah tambak pada kedalaman 0-20 cm yaitu 8,4-194,5 mg/L dan pada kedalaman 20-40 cm yaitu 5,3-102,2 mg/L. Kisaran nilai tersebut tergolong sedang hingga tinggi dan cukup baik untuk kegiatan budidaya tambak sistem tradisional. Di tambak, fosfat termasuk unsur esensial untuk tumbuh dan berkembangnya produktivitas primer dan penambahan fosfat dapat meningkatkan produksi ikan herbivor di tambak (Boyd, 1995).

Kisaran nilai kandungan bahan organikdan N total tanah yang didapatkan di lokasi survai pada kedalaman tanah 0-20 cm (0,05-31,64%) dan (0,03-1,29 mg/L) dan20-40 cm(0,18-21,89%) dan (0,01-1,98 mg/L), dinilaimasih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Menurut Boyd et al. (2002), kandungan bahan organik tanah 1,7-5,2%, baik untuk budidaya tambak. Kandungan bahan organik dan N total yang rendah didapatkan di tambak lama bekas lahan kosong, tegalan atau sawah dan mangrove. Untuk mengatasinya dengan mengaplikasikan pupuk yang mengandung nitrogen seperti urea diharapkan dapat menurunkan rasio C:N tanah yang juga dapat mempercepat proses dekomposisi atau penguraian bahan organik. Pemberian pupuk kandang ke tambak dengan fraksi liat tanah >60% dan bahan organik tanah <8%, baik untuk memperbaiki struktur tanah untuk pertumbuhan pakan alami bandeng dan udang.

Hidrologi Kualitas Air

Survai lokasi tambak di Kabupaten Indramayu bertepatan dengan musim kemarau menyebabkan sumber air utama untuk kegiatan tambak terutama salinitas airnya tinggi seperti di Sungai Cangkring 20,02 ppt; Sungai Cimanuk 35,90 ppt; Sungai Pangkalan 42,71 ppt; Sungai Sumber Mas 45,28 ppt; Sungai Cilek 14,93 ppt; laut 30,46-44,25 ppt; dan tambak 12,38-98,65 ppt serta terdapat tambak untuk penggaraman seperti tambak di Desa Karang Anyar Hilir, Kecamatan Pasekan, dan Desa Parean Ilir, Kecamatan Kandang Haur yang memiliki salinitas air masing-masing 113,37 ppt dan 118,67 ppt (Tabel 2). Saat musim kemarau, evaporasi berlangsung sangat cepat, mengakibatkan salinitas air tambak tinggi, saat ini hanya bandeng yang dapat dibudidayakan dengan ukuran kosumsi yang relatif kecil. Lambatnya laju pertumbuhan bandeng di tambak disebabkan energi yang didapatkan dari pakan alami, oleh bandeng bukan digunakan untuk pertumbuhan, melainkan untuk osmoregulasi. Nilai suhu yang didapatkan di lokasi survai berkisar 26,97-36,94oC. Tingginya nilai suhu tersebut didapatkan pada tambak tradisional yang dangkal di Desa Brondong Kecamatan Pasekan. Umumnya

(8)

kisaran suhu air tambak di Kabupaten Indramayu yaitu 29,34-34,78oC, dan masih baik serta mendukung kegiatan budidaya tambak udang. Menurut Poernomo (1992), suhu optimum sebagai persyaratan tambak udang berkisar 29-31oC, kecepatan dan besarnya konsumsi oksigen meningkat pada suhu yang lebih tinggi serta udang tumbuh pesat pada suhu 30-31oC.

Nilai pH yang didapatkan di lokasi survai berkisar 7,25-9,15. Kisaran nilai pH tambak tersebut umumnya netral hingga alkalis dan masih dalam batas yang layak sebagai media budidaya tambak udang. Tingginya nilai pH tersebut didapatkan pada tambak tradisional di Desa Lamaran Tarung Kecamatan Cantigi yang lama beroperasi dengan waktu pengukuran sore hari (jam 16.14). Pada tambak yang sudah lama beroperasi, pH air alkalis berkisar 7,5-8,5, sedangkan tambak baru terutama di wilayah bakau dan belum direklamasi, pH-nya sangat rendah yaitu dibawah 5. Pengaruh langsung pH yang rendah pada kegiatan budidaya udang yaitu udang menjadi kropos dan selalu lembek karena tidak dapat membentuk kulit baru, sebaliknya pH yang tinggi diikuti dengan kadar amoniak yang tinggi pula akan membahayakan udang. Nilai pH optimum sebagai persyaratan mutu air tambak udang yaitu 8,0-8,5 (Poernomo, 1988).

Nilai kandungan oksigen yang terlarut di lokasi survai yaitu 3,85-8,44 mg/L. Kisaran nilai tersebut masih baik untuk kegiatan budidaya tambak.Tingginya nilai kandungan oksigen terlarut didapatkan di unit tambak tradisional Desa Krimun Kecamatan Losarangyang airnya dangkal, banyak rumput teki, lumut sutera dan kelekap serta waktu pengukuran siang hari (jam 13.11), diduga terjadi penambahan oksigen dari hasil proses fotosintesis tanaman air yang berklorofil. Udang windu dapat tumbuh normal dengan kandungan oksigen terlarut berkisar 3-10 mg/L dan batas optimumnya 4-7mg/L. Kandungan oksigen terlarut yang mematikan udang vaname adalah 1 mg/L (Hopkins et al., 1991). Menurut Effendi (2003), kandungan oksigen terlarut di perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L dan berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air. Kandungan oksigen terlarut yang kurang dari 2 mg/L dapat mengakibatkan kematian udang dan ikan. Kandungan oksigen terlarut terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menyebabkan pertumbuhannya lambat dan kandungan oksigen terlarut 2,1 mg/L pada suhu 30oC, udang sudah mulai berenang di permukaan tambak (Poernomo, 1988).

Tabel 2. Kisaran nilai parameter kualitas air di lokasi tambak udang Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

Parameter

kualitas air Satuan

Kisaran nilai (n = 80) Nilai ideal 1. Salinitas: - laut ppt 30,46-44,25 30-35*) - sungai ppt 14,93-45,28 10-20 *) - tambak ppt 12,38-98,65 15-25*) 2. Suhu air oC 26,97-36,94 29-31*) 3. pH 7,25-9,15 7.0-8.5**)

4. Oksigen terlarut (DO) mg/L 3,85-8,44 4-7*)

5. NH3-N mg/L 0,0032-1,0784 0,30**)

6. NO2-N mg/L <0,0010-0,1130 0,25*)

7. NO3-N mg/L 0,0229-4,4111 0,008**)

8. PO4-P mg/L 0,0208-8,7813 0,015**)

9. Padatan tersuspensi total mg/L 10-837 < 25***)

10. Bahan Organik Total mg/L 9,94-47,63 29,50*)

11. Fe mg/L <0,0001-0,0480 0,01****)

Sumber:

*) =Poernomo (1992) **), Kementrian Kependudukan dan Lingkungan Hidup (2004) (Ministry of Demogravy and Live Environment (2004) ***), Alabaster & Lioyd (1982)

(9)

Kisaran nilai kandungan amoniak (NH3-N) dalam tambak di lokasi survai yaitu 0,0032-1,0784 mg/ L dan masih baik serta mendukung kegiatan budidaya tambak udang. Kandungan amoniak total (NH3-N) yang dipersyaratkan sebagai mutu air tambak udang yaitu 0,25 mg/L (Poernomo, 1992). Kandungan amoniak yang tinggi didapatkan pada tambak tradisional yang dangkal dan tidak bersaluran yaitudi Desa Lego Kecamatan Kandang Haur. Tingginya nilai kandungan amoniak di tambak diduga jarang dilakukan pergantian air dan banyak lumut dan klekap yang mati. Amoniak dalam bentuk molekul (NH3) lebih beracun dari pada yang berbentuk ion (NH4+), daya racun amoniak semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pH, suhu, dan salinitas serta kesadahan air tambak yang rendah. Kadar NH3-N 0,45 mg/L dapat menghambat laju pertumbuhan udang sampai 50%, sedangkan kadar NH3-N 1,29mg/L sudah membunuh beberapa jenis udang penaeus. Kandungan NH3-N 0,05-0,2 mg/L sudah menghambat laju pertumbuhan organisme akuatik pada umumnya (Poernomo, 1988).

Kandungan nitrit (NO2-N) merupakan produk dari proses nitrifikasi yang beracun terhadap ikan dan udang. Nilai kandungan NO2-N di lokasi survai yaitu<0,0010-0,1130mg/L. Kisaran nilai tersebut masih baik untuk kegiatan budidaya tambak udang. Kandungan NO2-N untuk persyaratan mutu air tambak udang yaitu 0,25 mg/L (Poernomo, 1992). Nilai kandungan NO2-N yang tinggi, didapatkan pada tambak tradisional yang ditumbuhi banyak lumut dan kelekap di Desa Pabean Hilir Kecamatan Pasekan. Kandungan NO2-N sebesar 6,4 mg/L dapat menghambat laju pertumbuhan udang putih,

Penaeus indicus sebanyak 50% (Poernomo, 1988).

Kandungan nitrat (NO3-N) merupakan produk akhir dari proses nitrifikasi sebagai sumber unsur N esensial untuk pertumbuhan alga dan tanaman air. Nilai kandungan NO3-N di lokasi survai yaitu0,0229-4,4111 mg/L. Kisaran nilai tersebut masih baik untuk kegiatan budidaya tambak udang. Kandungan NO3-N yang tinggi, didapatkan pada tambak tradisional yang dangkal dan tidak bersaluran serta salinitas air yang tinggi, menyebabkan banyak lumut dan kelekap yang mati di Desa Lego Kecamatan Kandang Haur. Untuk penerapan tambak tradisional, nitrat anorganik sangat diperlukan untuk menstimulir pertumbuhan kelekap, plankton, dan lumut sebagai pakan alami utama bagi ikan dan udang, tetapi kurang diperlukan untuk penerapan teknik intensif.

Kandungan fosfat (PO4-P) sebagai sumber unsur P esensial untuk pertumbuhan tanaman air, kelekap, plankton, dan lumut di tambak. Kandungan PO4-P di lokasi survai yaitu0,0208-8,7813mg/L. Kisaran nilai tersebut masih baik untuk kegiatan budidaya tambak udang. Nilai yang tinggi didapatkan pada tambak tradisional yang dangkal dan tidak bersalurandengan warna air hijau pekatdi Desa Cemara Kulon Kecamatan Losarang. Kandungan fosfat pada perairan alami jarang yang melebihi 1 mg/L (Boyd, 1988). Kandungan fosfat air tambak sangat diperlukan untuk kegiatan tambak udang tradisional yang penting peranannya dalam menumbuhkan kelekap, plankton, dan lumut sebagai pakan alami utama bagi pertumbuhan dan kehidupan ikan dan udang, tetapi kurang diperlukan untuk kegiatan budidaya tambak udang intensif yang hanya mengutamakan pakan buatan.

Kisaran kandungan bahan organik total di lokasi survai 9,94-47,63mg/L, sedangkan padatan tersuspensi total10-533 mg/L. Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan, semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Padatan tersuspensidapat berupa lumpur, pasir halus dan jasad renik yang melayang-layang di perairan. Bahan-bahan tersuspensi di perairan alami tidak bersifat toksik, jika berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang mengganggu proses fotosintesis dan pernafasan organisme akuatik (Effendi, 2003). Kisaran nilai kandungan bahan organik dan padatan tersuspensi total yang didapatkan masih baik dan mendukung kegiatan budidaya tambak udang, sedangkan tingginya nilai bahan organik dan padatan tersuspensi total, masing47,63 mg/L dan 533 mg/L,didapatkan pada tambak di Desa Wanantara Kecamatan Sindang dan Desa Singakerta Kecamatan Krangkeng.Padatan tersuspensi < 25 mg/L dinilai baik sebagai media budidaya perikanan dan > 400 mg/L dinilai tidak baik sebagai media budidaya perikanan (Alabaster &Lioyd dalam Effendi, 2003). Menurut Reid (1961), kandungan bahan organik total air di tambak>26 mg/L, tergolong subur dan baik untuk penerapan kegiatan budidaya tambak tradisional.

Kandungan besi fero (Fe2+) yang didapatkan di lokasi survai yaitu<0,0001-0,0480 mg/L. Kisaran nilai tersebut tergolong kecil dan masih baik sebagai media budidaya dan mendukung kegiatan

(10)

budidaya tambak udang. Tambak yang sumber airnya dari air tanah, memiliki kandungan besi fero yang cukup tinggi. Untuk mengurangi kandungan besi fero, air tanah dimasukkan ke dalam tandon yang diaerasi selanjutnya dimasukkan ke tambak. Menurut Poernomo (1988), batas nilai kandungan besi fero (Fe2+) yang aman sebagai media budidaya tambak udang yaitu 0,03 mg/L dengan optimumnya 0,01 mg/L.

Pasang Surut

Hasil pengukuran langsung dan analisis pasang surut di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu terjadi perbedaan pasang surut yang cukup besar dengan kisaran 35-215 cm dan tunggang pasangnya 180 cm. Kondisi pasang surut yang demikian ini cukup mempengaruhi mutu lingkungan perairan budidaya tambak. Menurut Poernomo (1992), dalam penerapan budidaya ekstensif dan semi-intensif di wilayah intertidal yang pengelolaan airnya dilakukan secara gravitasi pada saat pasang dan dapat dialiri saat pasang tinggi dan dikeringkan saat surut rendah merupakan lahan yang ideal bagi pembangunan unit tambak.

Lahan Pengembangan Budidaya Tambak

Hasil analisis kesesuaian lahan budidaya tambak menggunakan SIG dalam bentuk peta tematik, disajikan pada Gambar 2. Dari hasil analisis tersebut, didapatkan lahan budidaya tambak di Kabupaten Indramayuseluas 22.006ha.Lahan yang sangat sesuai 199 ha tersebar di Kecamatan Losarang dan Sindang, cukup sesuai 6.020 ha tersebar di Kecamatan Indramayu, Losarang, Krangkeng, Sindang, Balongan, Kandanghaur, dan Sukra, sedangkan yang kurang sesuai 14.946 ha di Kecamatan Sindang, Losarang, Indramayu, Kandanghaur, Lohbener, dan Krangkeng, serta yang tidak sesuai 841 ha terkonsentrasi di Kecamatan Sindang yang letaknya agak jauh dari laut.

Lebar jalur hijau di sepanjang pantai Kabupaten Indramayu yang harus diaplikasikan minimal 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah setempat (1,8m) yang diukur dari garis pantai saat air surut terendah yaitu 234 m dan lebar jalur hijau di tepi sungai minimal berjarak 100 m dari kiri dan kanan sungai besar serta 50 m dari kiri dan kanan sungai kecil yang berada di luar pemukiman.

Gambar 2. Peta kesesuaian lahan budidaya tambak udang di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat

(11)

Lahan budidaya tambak yang memiliki tingkat sangat sesuai, dialokasikan untuk kegiatan budidaya udang dengan teknologi sistem semi-intensif hingga intensif, yang memiliki tingkat cukup sesuai, dialokasikan untuk kegiatan budidaya udang (monokultur) atau udang bersama bandeng (polikultur) dengan teknologi tradisional hingga tradisional plus, dan yang memiliki tingkat kurang sesuai, dialokasikan untuk kegiatan budidaya bandeng, atau rumput laut dengan teknologi tradisional, namun masih banyak yang harus diperbaiki terutama saluran irigasi sebagai jalan untuk mendapatkan pasok air tambak dengan desain, tataletak, dan konstruksi tambak disesuaikan dengan teknologi budidaya yang akan diterapkan. Lahan yang tidak sesuai, dimanfaatkan untuk kegiatan lain seperti konservasi, daerah penyangga atau jalur hijau.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasilanalisis kesesuaian lahan budidaya tambak udang berkelanjutan di Kabupaten Indramayu, didapatkan lahan budidaya tambak seluas 22.006 ha. Lahan yang sangat sesuai 199 ha terdapat di Kecamatan Losarang dan Sindang, cukup sesuai 6.020 ha di Kecamatan Indramayu, Losarang, Krangkeng, Sindang, Balongan, Kandanghaur, dan Sukra, sedangkan yang kurang sesuai 14.946 ha di Kecamatan Sindang, Losarang, Indramayu, Kandanghaur, Lohbener, dan Krangkeng, serta yang tidak sesuai 841 ha di Kecamatan Sindang yang letaknya agak jauh dari laut.

DAFTAR ACUAN

Anonim. 2003. Masterplan Pengembangan Budidaya Air Payau di Indonesia. Provinsi Jawa Barat. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta, 397 hlm.

Anonim. 2009. Kabupaten Indramayu Dalam Angka 2009. Indramayu Regency In Figures 2009. Kerja sama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu, 198 hlm.

Anonim. 2011. Budidaya Air Payau.http://www.pasuruankab.go.id/potensi-46-budidaya-air-payau.html. [Diakses 25/11/2012].

APHA (American Public Health Association). 2005. Standart Methods for Examinition of Water and Wastewater. APHA-AWWA-WEF, Washington, DC. 1,185 pp.

Bengen, D.G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 59 hlm.

Boyd, C.E., Wood, C.W., &Thunjai, T. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil Quality Management.Oregon State University. Corvallis, Oregon, 41 pp.

Boyd, C.E. 2008. Pond bottom soil analysis. Global Aquaculture Advocate September/October, p. 91-92.

Chiang, F.S., Sun, C.H., &Yu, J.M. 2004. Technical efficiency analysis of milkfish (Chanos-chanos) production in Taiwan an aplplication of stochastic frontier production function. Aquaculture, 230: 99-116. Dennis, M., Tammy, T., Baldwin, K.,&Kevin, F. 2004. Aquaculture development potential in Arizona: a

GIS-based approach. World Aquaculture, 34(4):32-35.

Diposaptono, S. 2001. Rekayasa Pesisir dalam Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu. Direktorat Bina Pesisir, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 20 hlm.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 258 hlm.

GESAMP. 2001. Planning and management for sustainable coastal aquaculture development. FAO Rep. Stud. GESAMP No. 68, 90 pp.

Hopkins, J.S., Stokes, A.D., Browdy, C.L.,&Sandifer, P.A. 1991. The relationship between feeding rate, padlle wheel rate and expected dawn dissolved oxygen in intensive shrimp ponds. Aquacultural

Engineering, 10:281-290.

Ilyas, S., Cholik, F., Poernomo, A., Ismail, W., Arifudin, R., Daulay, T., Ismail, A., Koesoemadinata, S., Rabegnatar, I.N.S., Soepriyadi, H., Suharto, H.H., Azwar, Z.I., & Ekowardoyo, S. 1987. Petunjuk Teknis bagi Pengoperasian Unit Usaha Pembesaran Udang Windu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta, 100 hlm.

(12)

Karthik, M., Suri, J., Saharan, N., &Biradar, R.S. 2005. Brackhiswater aquaculture site selection in Palghar Taluk, Thane District of Maharashtra, India, using the techniques of remote sensing and Geographical Information System. Aquacultural Engineering, 32:285-302.

KLH. 2004. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, No. 51 tahun 2004, tanggal 8 April 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, 11 hlm.

Noor, M. 2004. Lahan Rawa. Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. Edisi ke-1, cetakan 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 229 hlm.

Poernomo, A. 1988. Pembuatan Tambak di Indonesia. Seri Pengembangan No. 7, 1988. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai, Maros, 30 hlm.

Poernomo, A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan, CRIFI Pub., 40 hlm. Reid, G.K. 1961. Ecology Inland Water Estuaries. Rein Hald Published Co. New York, 37 pp.

Suyanto, R.S. &Mudjiman, A. 2003. Budidaya udang windu. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta, 213 hlm.

Tarunamulia &Mustafa, A. 2009. Evaluasi rinci karakteristik dan tingkat kesesuaian lahan tambak di Kecamatan Balusu Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Riset Akuakultur. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 3(4):425-438.

Utojo, Mustafa, A., Rachmansyah,&Hasnawi. 2009. Penentuan lokasi pengembanganbudidaya tambak berkelanjutan dengan aplikasi sistem informasi geografis diKabupaten Lampung Selatan. Jurnal

Riset Akuakultur. Pusat Riset PerikananBudidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta

3(4):407-423.

Widigdo, B. 2003. Permasalahan dalam budidaya udang dan solusinya. Jurnal Ilmu-ilmuPerairan dan

Gambar

Gambar  1. Peta  sebaran  titik  pengukuran  dan  pengambilan  contoh  untuk  kesesuaian lahanbudidaya  tambak  udang  di  Kabupaten  Indramayu,  Jawa  Barat
Tabel 1. Kisaran  nilai  parameter  tekstur  dan  kualitas  tanah  di  lokasi  budidaya  tambak udangKabupaten  Indramayu  Provinsi  Jawa  Barat
Tabel 2. Kisaran nilai parameter kualitas air di lokasi tambak udang Kabupaten  Indramayu,  Jawa  Barat
Gambar  2. Peta  kesesuaian  lahan  budidaya tambak  udang  di  Kabupaten  Indramayu, Provinsi  Jawa  Barat

Referensi

Dokumen terkait

pembelajaran ini diukur dengan lembar penilaian kemampuan guru merencanakan pembelajaran. Setiap komponen dinilai dengan skala 1- 3. Kelengkapan komponen dalam RPP seperti KI,

Untuk melihat apakah penerapan kebijakan office channeling tersebut telah meyebabkan adanya perubahan struktural terhadap peningkatan DPK pada periode penelitian, maka data

Tujuan terapi PEEP adalah untuk mengembangkan alveoli yang ”recruitable” agar tidak terjadi overdistensi pada alveoli yang sehat. Rekruitmen yang dilakukan oleh

Data spasial oseanografi khususnya data suhu, salinitas, oksigen terlarut, derajat keasaman, turbiditas, dan kecerahan diperoleh dari pengukuran di beberapa titik observasi

Untuk itu sudah sewajarnya bila dalam proses pembelajaran media pembelajaran harus benar- benar direncanakan dan digunakan dengan sebaik-baiknya oleh semua guru, maka dari itu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biologi lobster pasir di perairan Tabanan yang meliputi nisbah kelamin, sebaran ukuran panjang karapas, sebaran matang kelamin,

BAB III GAMBARAN TATA CARA PENERBITAN SURAT TAGIHAN PAJAK (STP) SANKSI ADMINISTRASI DENDA TERLAMBAT ATAU TIDAK MENYAMPAIKAN SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) MASA PAJAK

(Study Deskriptif Motif Pelajar Sma Sekolah Islam Di Gresik Dalam Menonton Tayangan Progam Acara “Islam KTP” Di