• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Sesuai dengan hasil penelitian normatif hukum dan rumusan masalah pertama tentang putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur mengesampingkan UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, akan dilakukan pembahasan sebagai berikut.

a. Pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum.

Sejak era reformasi berjalan hingga saat ini mengakibatkan perubahan- perubahan sistem pemerintahan di Indonesia. Tuntutan demokrasi yang nyata disemua bidang kehidupan pemerintahan menjadi fokus utama. Hal tersebut terjadi karena sistem pemerintahan yang diterapkan orde baru dirasakan membelenggu demokrasi yang diharapkan seluruh masyarakat dan memperburuk keadaan ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan bidang-bidang kehidupan penting lainnya.

Dengan undang-undang pemerintahan daerah yang baru yang merupakan hasil reformasi, yaitu UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan mampu membawa perubahan terhadap kehidupan pemerintahan Indonesia. Karena di dalam undang-undang

pemerintahan yang baru tersebut memuat sistem pemerintahan daerah yang baru, terdapat sistem desentralisasi dalam rangka otonomi pemerintahan daerah, artinya pemerintahan daerah mendapatkan wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.88

Karena tuntutan masyarakat yang semakin berkembang untuk menuju kehidupan demokrasi sampai ketingkat daerah, maka mayarakat menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Untuk melaksanakan amanah tersebut UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diperbaruhi dengan UU No.32 Tahu 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana undang- undang pemerintahan daerah yang baru ini memuat kepentingan tentang kepala dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.89

Akan tetapi permasalahan kepala daerah dapat dipilih secara langsung tidak selesai disitu saja, karena akan berdampak serius terhadap permasalahan hukum yang baru. Hal itu dapat terjadi karena pemilihan kepala daerah secara langsung sebagaimana yang dimaksud dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak termasuk dalam pemilihan umum dalam UUD 1945 pasal 22E (2), yang berbunyi “pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Tidak hanya pasal 22E UUD 1945 saja yang menjadi acuan terkait permasalahan pemilihan kepala daerah, akan tetapi pasal 18 UUD 1945 tentang pemerintahan daerah juga tidak mengkategorikan pemilihan kepala daerah sebagai pemilihan umum. Menurut Mahkamah Konstitusi, pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk dalam pemilihan umum sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD       

      88 

Lihat UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 

      89 

1945. Namun pemilihan kepala daerah langsung adalah pemilihan umum secara materiil untuk mngimplementasikan pasal 18 UUD 1945.

Padahal apabila dicermati secara mendalam terdapat tulisan hukum yang jelas bahwa pemilihan kepala daerah langsung tidak dapat dikategorikan dalam pemilihan umum. Dengan pendekatan perundang-undangan (statute

approach) dapat dilihat dalam pasal 18 (3) dinyatakan, pemerintah daerah

provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Kemudian pasal 18 (4) dinyatakan, Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.90 Dari pasal-pasal diatas dapat diambil suatu penjelasan hukum dalam pasal 18 (3) bahwa pemilihan umum dilaksanakan termasuk untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena daerah provinsi, kabupaten dan kota disebutkan memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum. Tetapi berbeda bunyi pasal 18 (4), Gubernur, Bupati, dan Wali kota sebagai kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam pasal 18 UUD 1945 terdapat pembedaan pemilihan umum dan pemilihan secara demokratis. Pengertian pemilihan umum dan pengertian demokratis jelas berbeda. Pemilihan umum menurut pasal 22E adalah pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan pengertian demokratis tidak sama dengan pemilihan umum, karena pandangan tentang demokratis berbeda-beda sesuai dengan hal-hal yang dapat mempengaruhinya. Menurut Soehino dalam Jamal Wiwoho, demokrasi pada intinya adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.91 Salah satu wujud implementasi demokrasi adalah pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan       

      90 

Lihat UUD 1945 pasal 18 

      91 

demokrasi oleh rakyat memilih wakil-wakilnya baik di legeslatif maupun eksekutif. Akan tetapi pemilihan umum bukan satu-satunya pelaksanaan demokrasi, karena demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia dalam sila keempat dinyatakan “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan permusyawaratan/perwakilan”.92 Dasar hukum itu yang digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk memilih kepala Negara dan untuk memilih kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia sebelum amandemen keempat UUD 1945. Berdasarkan aliran positivisme hukum, jelas menunjukkan perbedaan yang nyata secara tulisan dalam pasal 18 (4) bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, bukan dipilih melalui pemilihan umum.

Pasal 2 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum”. Pasal 3 (1) menyatakan “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan”.93 Dari dasar hukum diatas menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan dasar idiil dan konstitusional berlakunya hukum di Indonesia, sehingga segala bentuk peraturan hukum harus berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pasal 2 menunjukkan secara tegas bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal atau sosialis. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa Indonesia yang menggagas demokrasi Pancasila. Pada prinsipnya demokrasi Pancasila selalu mengutamakan musyawarah mufakat untuk mencapai tujuan. Musyawarah tidak mungkin dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia, tetapi melalui wakil-wakil yang ditunjuknya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pendekatan konsep demokrasi Indonesia telah disebutkan bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila yang berdasarkan konstitusi UUD 1945. Pancasila sebagai suatu pedoman dan sekaligus tolok       

      92 

Lihat Sila ke empat Pancasila 

      93 

ukur dalam mencapai tujuan-tujuan masyarakat yang dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. oleh karena itu menurut Stammler dalam Maria Farida Indrati, hukum ialah usaha atau tindakan mengarahkan hukum positif kepada cita hukum sebagai usaha dengan sanksi pemaksa menuju suatu yang adil (Zwangversuch zum Richtigen) untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Dalam artikel yang berjudul Ideologi Pancasila, Mubyarto dalam Maria Farida Indrati menyatakan bahwa, setiap masyarakat mempunyai sistem nilai tertentu, yaitu sistem preferensi yang disepakati oleh seluruh masyarakat. Karen tanpa sistem tertentu tersebut tidak ada kebudayaan dan sistem peradaban. Sistem nilai falsafah dasar bangsa Indonesia yang kini menjadi ideologi bangsa adalah Pancasila. Pancasila telah disepakati menjadi falsafah dasar yang menjadi pandangan dan pegangan hidup bangsa, maka menjadi moral kehidupan bangsa, menjadi ideologi yang menjiwai perikehidupan bangsa disegala bidang kehidupan, tanpa terkecuali bidang hukum.94 Sehingga pelaksanaan pemilihan kepala daerah telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar idiil dan konstitusional bangsa Indonesia.

Melalui pendekatan sejarah (historic aproach) dapat disebutkan bahwa maksud dari pembentuk amandemen UUD 1945 khususnya pasal 18 yang dilakukan pada tahun 2002 adalah pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena pada saat itu memang pemilihan kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masing-masing dan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang adanya perubahan dari UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 24 (5) yang menyatakan bahwa kepala daerah sejak diundangkan UU No.32 Tahun 2004 pada tanggal 15 Oktober 2004 dipilih secara langsung oleh rakyat.95 Kurun waktu tahun 2002 sampai tahun 2004 dalam perubahan undang-

             94 

Maria Farida Indrati, Op.cit, hlm. 264 

      95 

undang diatas menunjukan perbedaan yang cukup lama dan tidak dapat disamakan begitu saja, karena hal ini merupakan sejarah hukum.

Kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang telah memasukkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat dapat menimbulkan permasalahan, yaitu apakah pemilihan kepala daerah secara langsung dapat dikategorikan sebagai pemilihan umum atau bukan. Masalah ini pernah menjadi agenda sidang judicial review Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Mahkamah Konstitusi dalam jawaban atas permasalahan tersebut akan melahirkan beberapa dampak hukum,yaitu: 1. Apabila pemilihan kepala daerah langsung dikategorikan sebagai

pemilihan umum, maka akan berkonsekuensi hukum sebagai berikut. a) Penyelenggara adalah Komisi Pemilihan Umum yang sekaligus

sebagai pengendali pemilihankepala daerah, sedangkan Komisi Pemilihan Umum Daerah hanya sebagaipelaksana tekhnis dimasing-masing daerah yang bertanggungjawab kepada Komisi Pemilihan Umum, bukan pada departemen dalam negeri.

b) Pesertanya adalah pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau calon independen

c) Pengawas pemilihan kepala daerah langsung bersifat independen yang dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum atau Komisi Pemilihan Umum Daerah

d) Apabila terjadi sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah, penyelesaiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

e) Impeachment terhadap kepala dan atau wakil kepala daerah

diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Mahkamah Konstitusi

f) Pemilihan kepala daerah langsung menggunakan undang-undang pemilihan umum, bukan undang-undang pemerintahan daerah g) UUD 1945 pasal 22E (2) dan pasal 24C dapat berlaku

2. Apabila pemilihan kepala daerah langsung tidak termasuk sebagai pemilihan umum, maka konsekuensinya adalah:

a) Penyelenggaraanya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah atau badan ad hoc yang dibentuk oleh pemerintah daerah dan sebagai pengendali adalah departemen dalam negeri

b) Peserta pemilihan calon kepala daerah berasal dari partai politik dan independen

c) Panitia pengawas pemilihan kepala daerah langsung dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masing-masing

d) Sengketa terhadap hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah diselesaikan oleh Mahkamah Agung, yang sekarang sudah dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi

e) Pemilihan kepala daerah langsung menggunakan undang-undang pemerintahan daerah, bukan undang-undang pemilihan umum f) UUD 1945 pasal 22E (2) dan pasal 24C tidak berlaku.96

Dari konsekuensi hukum tersebut di atas dan putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah pernah dilakukan, seperti dalam kasus perselisihan pemilihan kepala daerah di Jawa Timur menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi lebih condong untuk memasukkan pemilihan kepala daerah dalam kategori pemilihan umum. Akan tetapi konsistensi pilihan hukum oleh Mahkamah Konstitusi itu tidak dilakukan secara menyeluruh, karena dalam proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung masih menggunakan undang-undang pemerintahan daerah UU No.32 Tahun 2004 dan yang diperbaruhi dengan UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Dari bunyi pasal 22E (1) tersebut menunjukkan dengan jelas sekali bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk di dalam pemilihan umum. Menurut teori hukum murni Hans Kelsen bahwa hukum merupakan suatu peraturan-peraturan yang tersusun dalam undang-undang. Karena pada dasarnya teori hukum merupakan ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku (ius constitutum), bukan mengenai hukum yang seharusnya. Sehingga apabila telah disebutkan dalam peraturan perundang-undangan tentang suatu hal, maka kewajiban bagi aparatur pemerintahan dan semua lembaga Negara yang ada untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Yang menjadi permasalahan dalam penulisan ilmiah ini sebenarnya tidak secara langsung terhadap masalah pemilihan kepala daerah bukan termasuk pemilihan umum. Karena pada kenyataannya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 24 (5) telah mengatur penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, dan menjadi dasar hukum legalitas bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Tetapi       

      96 

Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press dan 

inti dari permasalahan yang sebenarnya adalah akibat yang ditimbulkan dari sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang oleh Mahkamah Konstitusi dimasukkan atau disamakan kedalam sengketa pemilihan umum. Sehingga dalam kasus sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah provinsi Jawa Timur Mahkamah Konstitusi memutuskan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan pemilihan ulang di kabupaten Sampang dan Bangkalan dan melakukan penghitungan suara ulang di Pamekasan Madura. Yang pada intinya Mahkamah Konstitusi telah memutus pemilihan kepala daerah ulang.

Mahkamah Konstitusi beranggapan bahwa sengketa pemilihan kepala daerah termasuk dalam sengketa pemilihan umum, hal ini didasarkan dari wewenang Mahkamah Konstitusi yang didapat dari pengalihan Mahkamah Agung, yaitu untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah sebagaimana yang dinyatakan dalam UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah pasal 236C. Secara konstitusi Mahkamah Konstitusi tidak dapat memasukkan pengertian perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah kedalam perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Karena UUD 1945 sebagai landasan dasar hukum bagi penyelenggaraan lembaga- lembaga Negara, termasuk dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal penegakkan konstitusi di Indonesia yang harus mentaati UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi. Sehingga pemilihan umum menurut konstitusi UUD 1945 pasal 22E (2) secara tegas dilakukan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tidak disebutkan pemilihan umum dilakukan untuk melakukan pemilih kepala daerah.

b. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, bukan untuk memutus atau memerintahkan pemilihan umum ulang.

Konsep dasar dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah untuk menjamin penegakkan pelaksanaan konstitusi dengan sungguh-sungguh.

Dalam hal terjadi permasalahan kehidupan ketatanegaraan dan permasalahan peraturan perundang-undangan sebelum dibentuk Mahkamah Konstitusi masih tidak jelas. Karena tidak ada lembaga yang khusus berwenang menangani permasalahan tersebut. Di Negara-negara maju keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat penting peranannya sebagai lembaga pengontrol jalannya undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan lainnya oleh lembaga-lembaga pemerintahan yang terkait melaksanakannya.

Tak terkecuali Indonesia, sejak reformasi ide gagasan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen menjadi tuntutan utama, karena sebelum-sebelumnya Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan simbol demokrasi yang tidak digunakan dalam prakteknya. UUD 1945 menjadi legitimasi kekuasaan yang absolut oleh rezim orde baru. Sehingga dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi menjadi check and balances dalam kehidupan ketatanegaraan indonesia. Keberadaan Mahkamah Konstitusi tampak sangat berarti akkhir-akhir ini terkait wewenangnya sebagai lembaga yang memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum, karena di Indonesia banyak terjadi proses pemilihan kepala daerah yang bermasalah. Badan pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat pada awalnya mengarahkan fungsi Mahkamah Konstitusi adalah:

1) Memeriksa dan mengadili sengketa dibidang ketatanegaraan 2) Melakukan pengujian terhadap peraturan dibawah UUD 1945 3) Menguji undang-undang atas permintaan pengadilan

4) Mengadili pembubaran partai politik

5) Mengadili sengketa antara instansi pemerintah di pusat atau instansi pemerintah pusat dengan instansi pemerintah daerah

6) Mengadili suatu pertentangan undang-undang

7) Memberikan putusan gugatan yang berdasarkan UUD 1945 8) Memberi pertimbangan kepada DPR dalam hal DPR meminta MPR bersidang untuk menilai perilaku Presiden yang dianggap mengkhianati Negara atau merusak nama baik lembaga Negara

Presiden.97

Melihat dari fungsi Mahkamah Konstitusi diatas hampir sama dengan wewenang Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam pasal 24C UUD 1945, yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.98 Tetapi terdapat satu kewenangan yang tidak disebutkan oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu funsi Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Melalui pendekatan sejarah hukum (Historical Approach) dapat dilihat bahwa pada ide awal pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak ada wewenang untuk menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum, karena terkait masalah tersebut ditangani oleh lembaga yang secara struktur ketatanegaraan menjadi tugas dan kewajibannya. Seperti dapat dilihat dalam undang-undang pemilihn umum, apabila terjadi pelanggaran hukum terhadap proses pemilihan umum merupakan kewenangan lembaga atau badan pengawas pemilihan umum yang akan dilanjutkan ketahap penyidikan, penyelidikan, pemeriksaan di sidang pengadilan negeri dengan menggunakan hukum acara pidana. Sehingga bukti hukum telah terjadinya suatu pelanggaran pemilihan umum harus terlebih dahulu disahkan. Tanpa ada bukti legal dari keputusan pengadilan maka pelanggaran pemilihan umum dianggap sebagai suatu isu politik yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

             97 

Ikhsan Rosyada Parluhutaan Daulay, Mahkamah Konstitusi. Memahami Keberadaan 

dalam Sistem Ketatanegaraan. Regulasi Indonesia, Rineka Cipta, ctk. Pertama, 2006, Jakarta, hlm. 

20  

      98 

Lebih lanjut lagi menurut I. Gede Pantja Astawa dalam Jamal Wiwoho,99 menyatakan ada tiga hal yang melatar belakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, yaitu;

1) Adanya kekosongan hukum (rechtsvvacuum) atau kekosongan peraturan perundang-undangan (wetsvacuum) yang berkenaan secara khusus dengan pengujian (review) undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar

2) Adanya kekosongan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan kemungkinan timbulnya konflik kewenangan diantara lembaga-lembaga Negara yang ada.

3) Berkenaan dengan alasan-alasanyang menjadi dasar pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya, sehingga pernah timbul perbedaan pendapat yang cukup mendasar antara Presiden Abdurahman Wakid yang akan dijatuhkan dengan MPR/DPR dalam kasus Bulog.

Menurut I. Gede Pantja Astawa, Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan latar belakang bukan permasalahan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dengan tuntutan peran suatu lembaga peradilan dalam kehidupan ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi melalui amandemen UUD 1945 mendapat kewenangan yang salah satunya adalah untuk memutus perselisihan tentang hasil pemiliha umum. Pasal 24C (1) menyebutkan dengan jelas sekali bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Terlepas dari pemilihan kepala daerah langsung menurut penulis tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum, wewenang Mahkamah Konstitusi terbatas pada perselisihan tentang hasil pemilihan umum, bukan wewenang untuk memutus pemilihan umum ulang. Jadi disini perlu pemahaman yang rasional dan logis terkait permasalahan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Melalui pendekatan konsep (Conceptual Approach) akan membahas konsep tentang perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Konsep perselisihan tentang hasil pemilihan umum berarti terjadi ketidak sesuaian antara hasil penghitungan suara pemilihan umum yang diklaim oleh peserta       

      99 

pemilihan umum. Konsep tentang hasil pemilihan umum merujuk kepada perhitungan berupa angka-angka yang menyebutkan jumlah perolehan suara peserta pemilihan umum. Karena hasil akhir dari pemilihan umum adalah berupa pengumuman perolehan suara peserta pemilihan umum untuk mengetahui siapa peserta pemilihan umum yang menjadi pemenang. Tentunya untuk mengetahui perolehan suara pemilihan umum harus mengetahui jumlah suara pemilihan umum. Dan jumlah suara pemilihan umum pasti berupa angka-angka. Menurut pendekatan konsep perselisihan tentang hasil pemilihan umum berarti perselisihan tentang jumlah perolehan suara pemilihan umum berupa angka-angka, bukan berupa hasil pemilihan umum secara global yang sulit di buktikan. Jadi Mahkamah Konstitusi berwenang terbatas pada penetapan suara pemilihan umum yang benar dari hasil pemilihan umum yang dimohon oleh peserta pemilihan umum yang merasa keberatan dengan hasil suara pemilihan umum yang di umumkan Komisi Pemilihan Umum. Adapun penetapan suara yang benar dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tidak ada jalan lain kecuali dengan malakukan penghitungan ulang secara teliti untuk menemukan hasil suara pemilihan umum yang sebenar-benarnya.

Dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam permasalahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dapat dikemukakan peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait wewenang Mahkamah Konstitusi hanya terbatas pada penghitungan hasil suara pemilihan umum yang diperselisihkan, bukan untuk memutus pemilihan umum ulang. Seperti pada kasus sengketa pemilihan kepala daerah di Jawa Timur. Pasangan calon kepala daerah Khofifah dan Mudjiono yang menggugat Komisi Pemiliha Umum Daerah Jawa Timur ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan ketidak puasan terhadap hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dibeberapa tempat pemungutan suara. Kemudian Mahkamah Konstitusi memutus untuk pemilihan ulang di kabupaten Sampang dan

Bangkalan dan penghitunga ulang di kabupaten Pamekasan. Kewenangan Mahkamanh Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum dilakukan dengan menghitung ulang hasil suara pemilihan umum yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum yang diperselisihkan, dan bukan untuk memutukan atau memerintahkan dilakukannya pemilihan umum ulang. Putusan Mahkamah Konstitusi NO.41/PHPU.D-VI/2008 tentang pemilihan kepala daerah ulang di Jawa Timur. Putusan untuk melakukan pemilihan kepala daerah langsung ulang inilah yang tidak sesuai dan mengesampingkan kewenangan yang diberikan sebagaimana terdapat dalam pasal 24C (1) UUD 1945. Pendekatan perundang-undangan yang dimaksud, selain terdapat pada pasal 24C UUD 1945 terdapat pula pada peraturan perundang-undangan, yaitu UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pasal 74 dinyatakan,

(4) Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi:

d) Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah

e) Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua

pemilihan Presiden dan wakil Presiden serta terpilihnya pasangan

Dokumen terkait