• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Kematangan emosi bagi seorang siswa SMK yang berusia remaja sangatlah penting. Siswa yang matang emosinya dapat memahami emosi yang ada pada diri dan dapat mengabaikan banyak rangsangan yang dapat menimbulkan ledakan emosi yang dapat merugikan diri sendiri. Selain itu siswa yang matang emosinya dapat memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati yang lain. Hal ini terkait dengan permasalahan yang terdapat di SMK Perindustrian

Yogyakarta mengenai siswa yang masih rentan terlibat perkelahian antar siswa yang sebagian besar siswa di SMK Perindustrian Yogyakarta siswa laki-laki.

Karakteristik kematangan emosi seperti yang di ungkapkan Lis Binti Muawanah (2012: 11) juga menjelaskan beberapa karakteristik individu yang telah matang emosinya yaitu adalah mampu mempertahankan dorongan emosi, memahami emosi diri untuk diarahkan kepada tindakan-tindakan positif, tidak menggantungkan diri kepada orang lain, sadar dan bertanggung jawab menjalankan keputusan, menerima diri secara fisik maupun psikis. Dalam karakteristik tersebut meng-implementasikan bahwa seseorang yang memiliki kematangan emosi yang tinggi mampu melaksanakan hal-hal yang mencakup dalam karakteristik tersebut.

Pada dasarnya emosi memberi warna pada perilaku manusia sehari-hari. Manusia bisa merasakan senang, sedih, cemburu, cinta, aman, takut, semangat, dan sebagainya (Sugihartono dkk, 2007: 20). Siswa kelas XI SMK Perindustrian Yogyakarta yang rata-rata berusia remaja, dimana pada usia tersebut siswa mengalami masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 2003:213). Hurlcok (2003:213) selanjutnya menjelaskan meskipun remaja mengalami emosi yang seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan nampaknya irasional, tetapi pada umumnya terjadi perubahan perbaikan perilaku emosional pada remaja dari tahun ke tahunnya. Oleh sebab itu,

kematangan emosi pada remaja tidak berjalan tiba-tiba namun melalui proses pengalaman dan pembelajarannya. Hurlock (2003: 213) selanjutnya juga menjelaskan remaja yang dikatakan matang emsoinnya apabila sudah tidak meledakan emosinya di hadapan orang lain.

Hurlock (2003:213) menjelaskan adanya peran orang lain pada remaja yang matang emosinya. Remaja yang mempunyai keterbukaan pada teman untuk berbagi cerita masalah pribadinya,mendapatkan gambaran tentang situasi–situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosionalnya. Sehingga remaja tidak dengan mudah meluapkan emosinya tanpa berpikir terlebih dahulu, stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lainnya. Peran orang lain bisa dari lingkungan sekitar teman sebaya atau dari lingkungan keluarga yaitu orang tua. Seperti halnya yang dijelaskan Astuti (2005) bahwa keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam kehidupan anak, tempat belajar dan menyatakan dirinya sebagai makhluk sosial, karena keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama tempat anak dapat berinteraksi. Dari pengalaman berinteraksi dalam keluarga ini akan menentukan pula pola perilaku anak yang didalamnya terdapat andil pola asuh orang tua dan peran orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi masih adanya cara pola asuh orang tua yang cenderung otoriter dimana segala keputusan dipegang orang tua tanpa melibatkan pendapat dari anak tersebut. Sehingga banyak remaja yang mengungkapkan emosinya tidak terarah. Remaja yang diperlakukan sebagai

“anak kecil” atau secara “tidak adil” mebuat remaja sangat marah dibandingkan dengan hal-hal lain (Hurlock, 2003:213 ).

Kemandirian belajar pada siswa SMK sangatlah penting. Ke-mandirian belajar sebagai kemampuan yang berperan penting bagi siswa dalam menguasai kompetensi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kemudian lebih dari itu kemandirian dalam belajar yang tinggi dapat membantu siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Siswa yang memiliki kemandirian belajar yang tinggi dapat bertanggung jawab pada kewajiban yang harus dilakukan selama belajar dan mengetahui persis apa yang ingin dicapai dalam kegiatan belajarnya. Hal ini terkait dengan permasalahan yang terjadi di SMK Perindustrian Yogyakarta mengenai masih adanya siswa yang belum bertanggung jawab dalam belajar, seperti meninggalkan kelas atau bolos pada jam mata pelajaran yang tidak disukai, siswa berkeliaran di luar kelas saat jam pelajaran sehingga ketika sudah ada guru ssiswa yang berada di kelas sedikit, suasana kelas yang kurang kondusif, dan cenderung mengerjakan tugas rumah di sekolah. Seharusnya siswa yang dikategorikan tinggi dan sedang sudah mampu bertanggung jawab dalam kegiatan belajarnya di sekolah dan memiliki tujuan apa yang ingin dicapai dalam belajar.

Karakteristik kemandirian belajar seperti yang diungkapkan Thoha (dalam Toni, 2012:12) menjelaskan beberapa karakteristik kemandirian belajar sebagai berikut yaitu mampu berpikir keritis, tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain, tidak lari dan menghindari masalah,

apabila menjumpai maslah dipecahkan sendiri tanpa meminta bantuan orang lain, berusaha bekerja dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan, dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Dalam karakteristik tersebut mengimplementasikan bahwa seseorang yang memiliki kemandirian belajar yang tinggi mampu untuk melaksanakan hal-hal yang mencakup dalam karakteristik tersebut.

Pada hakikatnya kemandirian merupakan tugas perkembangan seorang remaja. Kemandirian erat hubunganya dengan tanggung jawab yang dituntut dimiliki remaja sebagai pencapaian tugas perkembanganya. Selama masa remaja tuntutan terhadap kemandirian sangatlah besar, jika tidak merespon secara tepat dapat menimbulkan dampak tidak terselesaikannya tugas perkembangannya. Oleh sebab itu kemandirian belajar sangat penting dimiliki oleh siswa, meskipun kemandirian belajar tidak berjalan tiba-tiba namun melalui proses pengalaman dan pembelajaran. Adanya dorongan kemauan sendiri dan tanggung jawab atas diri sendiri menjadi faktor utama dalam kemandirian belajar, sama halnya yang dijelaskan Tirtarahardja & Sulo (2005: 50), kemandirian dalam belajar adalah aktivitas belajar yang berlangsung lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajaran. Oleh karna itu kemandirian siswa diperlukan agar mereka mempunyai tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan dirinya dan diperlukannya sikap kemauan sendiri dan pengembangan kemampuan belajar yang dimiliki oleh setiap individu karena hal tersebut menunjukkan kedewasaan pada siswa.

Pada pembahasan terakhir akan dikaji mengenai hubungan mengenai kematangan emosi dan kemandirian belajar siswa kelas XI di SMK Perindustrian Yogyakarta. Hasil penelitian yang ditunjukkan tidak ada hubungan antara kematangan emosi dan kemandirian belajar pada siswa kelas XI SMK Perindustrian Yogyakarta. Mengidentifikasi bahwa semakin tinggi kematangan emosi yang dicapai oleh siswa tidak selalu menimbulkan kemandirian belajar yang tinggi pula. Demikian sebaliknya kematangan emosi yang rendah tidak selalu menimbulkan kemandirian belajar yang rendah pula.

Siswa kelas XI di SMK Perindustrian Yogyakarta berada dalam masa remaja. Masa dimana remaja sebagai masa perubahan selebihnya dijelaskan Hurlcok (dalam Rita Eka Izzaty 2008: 124) terdapat 4 macam jenis perubahan yang dialami remaja yaitu meningginya emosi, perubahan tubuh, minat seiring dengan perkembangan mental yang cepat dan menimbulkan penyesuaian mental. Dalam hal ini minat memiliki peran penting dalam tugas-tugas perkembangan siswa yang diharapkan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. Oleh karena itu bakat dan minat yang sesuai dapat mempengaruhi kesadaran pada siswa tersebut, karena siswa yang mempunyai rasa senang, perhatian terhadap minat tentunya akan melakukan kegiatan yang disenanginya tanpa disuruh atau dengan inisiatif sendiri dengan tanggung jawab Sunarto (dalam Mayawatie, 2009: 56).

Terdapat kemungkinan dalam penelitian ini meski siswa memiliki kematangan emosi yang tinggi namun masih terdapat kecenderungan untuk tidak mengikuti proses belajar mengajar di sekolah dengan baik dan disiplin karena tidak adanya minat belajar dari dalam diri siswa untuk bertanggung jawab dalam belajar. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Siti Fadjryana Fitroh (2011) peneliti lain yang juga menggunakan vaiabel kematangan emosi. Berdasarkan hasil analisis data menggunakan teknik analisis regresi diperoleh hasil correlations partial0.219 dengan signifikansi 0.254 (p> 0.05). Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara kematangan emosi dan penyesuaian diri. Pada penelitian ini, hasil penelitian tidak sesuai dengan apa yang diungkapkan Young (Siti Fadjryana Fitroh, 2011: 92) yang menyatakan bahwa keadaan lingkungan yaitu keluarga dan masyarakat merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kematangan emosi.

M. Fatchurahman dan Herlan Pratiko dalam penelitian selanjutnya mengenai kematangan emosi dan kenakalan remaja di SMK Muhamadiyah 2 Malang. Berdasarkan hasil penelitian tersebuttidak adanya hubungan antara kematangan emosi dan kenakalan remaja. Diperoleh hasil -0.077 dengan signifikansi 0,305. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan apa yang diungkapkan Boyd dan Huffman (M.Fatchurahman dan Herlan, 2012:83) menjelaskan bahwa individu yang minum-minuman alcohol memiliki kematangan emosi yang rendah.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Hanum Rohmatul (2009) bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang hubungan kematangan emosi dengan pola asuh orang tua diperoleh nilai koefisien kolerasi 0,198 dan nilai r tabel adalah 0,163. Dari hasil korelasi di atas memiliki nilai 0,198 < r tabel 0,063. Dalam penelitian ini diprediksi pola asuh orang tua memiliki peran penting dalam pencapaian kematangan emosi, akan tetapi kematangan emosi tidak dapat menjadi prediktor pola asuh orang tua.

Penelitian yang telah dijelaskan tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan atau kolerasi antara variabel kematangan emosi dengan variabel lainya disebabkan adanya beberapa faktor eksternal dan internal dalam diri individu. Pada penelitian ini mengenai kematangan emosi dan penyesuaian diri bahwa faktor internal yang dipandang sebagai perilaku kematangan emosi seperti penyesuaian diri tidak bisa dijadikan prediktor. Penelitian selanjutnya mengenai kematangan emosi dan kenakalan remaja, tidak hanya faktor eksternal yang mempengaruhi kematangan emosi dan kenakalan remaja, adanya perbedaan kepribadian seseorang yang menjadi faktor internal dalam kematangan emosi dan kenakalan remaja. Pada penelitian kematangan emosi dan pola asuh orang tua faktor eksternal diluar lingkungan keluarga juga berpengaruh dalam kematangan emosi.

Dengan demikian, pada penelitian ini tidak ada hubungan antara kematangan emosi dan kemandirian belajar dimungkinkan juga

dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal menurut Astuti (2005) faktor kematangan emosi diantaranya pola asuh orang tua, pengalaman traumatik, temppramen, jenis kelamin, dan usia. Begitu juga dengan kemandirian belajar yang juga dipengaruhi faktor eksternal dan internal menurut Basri (dalam Yunita, 2013) menyebutkan bahwa karakteristik kemandirian belajar meliputi merencanakan dan memilih kegiatan sendiri, berinisiatif dan memacu diri untuk belajar terus menerus, siswa dituntut tanggung jawab dalam belajar, siswa belajar secara kritis,logis, dan penuh keterbukaan, dan belajar dengan penuh percaya diri. Selain itu Sunarto (Mayawatie, 2009: 56) faktor dari dalam diri siswa sendiri yang paling mempunyai peran dalam pembentukan kemandirian belajar yaitu bakat dan minat yang sesuai. Bakat minat yang sesuai mempengaruhi kesadaran pada siswa tersebut.

Faktor internal yaitu karakteristik kepribadian siswa yang lebih dominan mempengaruhi kemandirian belajar siswa, meliputi adaya inisiatif dan tanggung jawab, sangat penting dalam mempengaruhi perilaku kemandirian pada siswa. Kemandirian belajar tergantung pada inisiatif dan rasa tanggung jawab yang dimiliki siswa itu tersebut. Dalam hal ini minat yang sesuai dapat mempengaruhi kesadaran pada siswa dalam belajar, karna siswa yang mempunyai rasa senang, perhatian, dan minat dalam melakukan kegiatan yang disenanginya akan melakukannya secara inisiatif dan bertanggung jawab. Pada siswa yang mampu insiatif

dan bertanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan dalam hal ini belajar akan menjadikan siswa lebih mandiri dalam kegiatan belajar.

Kemandirian belajar tidak terbentuk dengan sendirinya tetapi melalui proses yang panjang dan bertahap, tidak hanya faktor dari dalam diri siswa sendiri yaitu karakteristik kepribadian siswa. Faktor eksternal juga mempengaruhi kemandirian belajar pada siswa yaitu karakteristik proses belajar mengajar, seperti bagaimana proses dan metode pembelajaran itu dilaksanakan.

Hasil penelitian ini menujukan bahwa hipotesis ditolak. Hal seperti ini dapat saja terjadi karena kematangan emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor selain kemandirian. Kematangan emosi erat hubungannya dengan motivasi. Motivasi diartikan sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu dan yang memberi arah dan ketahanan pada tingkah laku tersebut (Sugihartono dkk, 2007: 20). Dengan demikian motivasi belajar yang tinggi tercermin dari ketekunan yang tidak mudah patah semangat untuk mencapai sukses meskipun dihadang oleh berbagai kesulitan. Dalam hal ini motivasi belajar yang tinggi didorong oleh emosi yang matang membantu proses belajar lebih bermakna dan menyenangkan. Goleman dkk (Sugihartono, 2007: 21) menjelaskan adanya keterlibatan emosi dalam kegiatan saraf otak mampu merekatkan pelajaran dalam ingatan. Ketika otak menerima ancaman atau tekanan, kapasitas saraf untuk berpikir rasional mengecil. Fenomena tersebut dikenal dengan downshifting. Fenomena ini muncul saat kondisi emosi

marah, sedih, ketakutan, dan suasana emosi kita terancam dibawah tekanan. Ketika kita belajar dalam kondisi demikian maka kemampuan belajar menjadi kurang maksimal karena adanya hambatan emosi.saat kondisi seperti ini tidak adanya inisiatif dan motivasi dalam belajar .

Teman sebaya berhubungan erat dengan kematangan emosi yang dimiliki individu, remaja yang memiliki kematangan emosi dapat memilih teman kelompok sebaya yang melakukan perilaku yang baik agar dapat diterima dalam kelompok tersebut. Penyesuaian sosial yang baik dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dengan baik pula, dalam hal ini individu yang matang emosinya maka mereka akan menahan dan mengendalikan emosinya secara tepat dan tidak meledakan emosinya di depan orang banyak. Perilaku tersebut memudahkan untuk masuk dalam lingkungan sosial dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dengan baik pula. Sehingga siswa yang matang emosinya dapat diterima oleh lingkungan karena mampu mengendalikan dan menahan emosinya secara tepat, berikap kritis dan lebih stabil.

Selain dari faktor eksternal dan internal yang telah dikemukakan di atas, tidak adanya hubungan antara kematangan emosi dan kemandirian belajar pada siswa kelas XI di SMK Perindustrian dimungkinkan pula dipengaruhi oleh berbagai faktor lainya yang tidak dikaji dalam penelitian ini, seperti cara pengisian siswa yang ditemukan ada beberapa responden yang mengisi dengan jawaban yang asal tidak memperhatikan petunjuk

pengisian. Selain itu pada saat pengambilan data, kondisi beberapa kelas sedang tidak kondusif.

Dokumen terkait