• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Pembahasan

Berdasarkan hasil data yang di peroleh dari wawancara dan observasi yang di bahas pada bab sebelumnya, selanjutnya akan di bahas mengenai hasil analisis dari kematangan emosi pada wanita yang melakukan pernikahan usia dini. Pada sub bab analisis data telah di gambarkan bagaimana hasil analisis dari masing-masing pertanyaan peneliti secara garis besar. Pembahasan lebih lanjut akan dibahas berikut ini dari data kedua subjek.

Menurut Hurlock (2002), untuk mencapai kematangan emosi remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan pelbagai masalah pribadinya dengan orang lain. Keterbukaan, perasaan dan masalah pribadi dipengaruhi sebagian oleh rasa aman dalam hubungan sosial dan sebagian oleh tingkat kesukaannya pada “orang sasaran” (yaitu orang yang kepadanya remaja mau mengutarakan pelbagai kesulitannya, dan oleh tingkat penerimaan orang sasaran itu).

Usia menikah ideal untuk perempuan adalah 21 tahun dan 25 tahun untuk pria (BKKBN, 2011). Menurut Departemen Kesehatan RI dalam Sari (2011) Seseorang dikatakan nikah secara dini apabila ditinjau dari usia dan kematangan mentalnya belum cukup untuk memasuki dunia rumah tangga. Secara biologis, wanita siap untuk bereproduksi pada usia 20 tahun, sedangkan untuk pria 25 tahun. Hasil survey di beberapa negara menunjukkan bahwa pernikahan dini menjadi kecenderungan di berbagai negara berkembang. Berdasarkan United Nations Development Economic and Social

Affairs (UNDESA), Indonesia merupakan negara ke-37 dengan jumlah pernikahan dini terbanyak di dunia.

Menurut Hurlock (2002), salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah.

Pernikahan dini merupakan fenomena yang sudah sejak lama marak terjadi di Indonesia khususnya pada remaja pedesaan. Di daerah pedesaan dan perkotaan wanita melakukan pernikahan usia dini tercatat masing-masing 24,4% dan 16,1%. Data BKKBN tahun 2014 menunjukkan jumlah pasangan usia subur dibawah 20 tahun ada 1.438 jiwa. Pasangan Usia Subur dibawah usia 20 tahun merupakan pasangan yang melakukan pernikahan dini. Banyak ditemukan remaja yang menikah dini dan telah mempunyai anak tapi konsekuensi dari pernikahan masih diserahkan pada orang tua, misalnya: tinggal di rumah orangtua, makan dan minum masih ikut orang tua serta kebutuhan lainnya 100% masih ditanggung orang tua. (BKKBN, 2012)

Jumlah anak perempuan yang terkena dampak dari pernikahan usia dini tidak proporsional dibandingkan dengan anak laki-laki. Secara global, 720 juta anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dibandingkan dengan 156 juta anak laki-laki. Secara keseluruhan prevalensi pernikahan usia dini tetap relatif konstan dari tahun 2000 sampai 2010, dan kemajuan

dalam menangani praktik tersebut tidak merata antar negara dan kawasan. Jumlah anak perempuan di bawah usia 18 tahun yang menikah setiap tahun tetap saja besar.

Lebih dari 700 juta perempuan yang hidup saat ini menikah sebelum mencapai usia dewasa yaitu usia 18 tahun, dan sepertiga atau sekitar 250 juta anak menikah sebelum usia 15 tahun. Jika kecenderungan ini berlanjut, diperkirakan 142 juta anak perempuan (atau 14,2 juta per tahun) akan menikah sebelum usia 18 tahun dari tahun 2011 sampai 2020, dan 151 juta anak perempuan atau 15,1 juta per tahun akan menikah sebelum usia 18 tahun dari tahun 2021 sampai 2030. (Badan Pusat Statistik, 2016)

Kematangan emosi pada masing-masing subjek memiliki porsi yang berbeda untuk dibahas dalam sub bab ini. Peneliti akan membahas tiap subjek sesuai dengan data yang dihasilkan dari wawancara yang sudah dilakukan. Dalam pembahasan kali ini peneliti mencoba menyatukan beberapa pendapat dari para ahli mengenai beberapa ciri-ciri kematangan emosi dan peneliti akan menjabarkan hasil sesuai dengan ciri-ciri kematangan emosi pada wanita yang melakukan pernikahan dini.

Menurut Ir tentang pernikahan usia muda agar tidak sendiri dan ada yang menafkahi, untuk pernikahan adalah suatu hubungan memulai untuk rumah tangga sedangkan usia muda adalah usia di bawah umur. Bagi Ir yang ideal untuk menikah adalah usia sekitar dua puluh tahun, dari segi emosi yang siap sudah dapat menikah.

Menurut Sw pernikahan dini adalah pernikahan yang usianya dibawah umur dan sudah cukup pantas untuk menjalani suatu pernikahan. Bagi pandangan subjek kedua untuk melakukan pernikahan yang masih dini dari segi usia tujuh belas tahun atau dua puluh tahun kebawah dan kurang baik, seperti kandungan yang masih lemah. Subjek kedua juga mengatakan yang pantas kira-kira berada di usia dua puluh tahun dan memiliki sifat yang dewasa.

Dalam penelitian Wani dan Masih (2015), Emotional Maturity across Gender and Level of Education. Penelitian ini menyoroti tingkat kematangan emosi antara mahasiswa di seluruh jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Ditemukan bahwa mayoritas lulusan dan penelitian sarjana universitas secara emosional tidak stabil dan juga perempuan yang lebih baik secara emosional kemudian laki-laki. Tingkat pendidikan tidak membuat mereka dewasa secara emosional jatuh tempo emosional adalah bukan sesuatu yang tumbuh dengan usia kronologis.

Dari hasil wawancara diketahui bahwa pada subjek pertama dan kedua merasakan perbedaan dalam menyikapi permasalahan yang ada dalam pernikahan. Pada subyek pertama faktor mendorong menikah untuk membantu orang tua tidak berpengaruh, ketika orang tua menyuruh subjek menikah hanya bisa menurut. Ketika Ir mengurus pernikahan itu sepakat bersama dan keluarga suami tidak datang ke rumah subjek, justru subjek yang kesana (Palembang) berkenalan terus langsung menikah.

Orang tua subyek kedua tidak memaksakan untuk menikah, namun dukungan dari salah satu orang tua terutama dari pihak laki-laki atau mertua. Dorongan untuk Sw dan suami melakukan pernikahan sekarang (usia dini) dikarenkan tidak ingin subjek berpacaran lama-lama.

Berdasarkan penelitian Landung, Thaha, dan Abdullah (2009), Studi Kasus Kebiasaan Pernikahan Usia Dini pada Masyarakat Kecamatan Sangalangi Taba Toraja. Pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi, pernikahan yang terjadi pada usia dini lebih dikarenakan adanya dorongan rasa kernandirian dari perempuan dan untuk melepaskan diri dari pengaruh orang tua. Perkawinan usia muda yang terdorong oleh alasan mandiri dan terbebas dari pengaruh orang tua berhubungan dengan sikap yang terbangun antara anak dan orang tua.

Pada subjek pertama kurang mampu dalam mengatasi kontrol emosi yang dimilikinya. Dalam pernikahan subjek pertama adanya kendala dikarenakan sifat subjek pertama yang masih kekanak-kanakan dan ingin menang sendiri. Tidak terlalu merasa kesulitan dalam mengatasi emosinya sendiri dikarenakan Ir selalu memendamnya sendiri. dan suami tidak ikut campur jika Ir sedang marah.

Dalam menjalani pernikahan subjek kedua dan suami belum pernah mengalami sebuah kendala. Jika ada kendala, maka cara menyelesaikannya dengan dibicarakan baik-baik dan tidak menganggap serius atau dibuat

bercanda. Dalam mengatasi emosi Sw melampiaskannya dengan mencari suasana baru agar emosinya tidak tinggi.

Dalam penelitian Pastey dan Aminbhavi. (2006). Impact of Emotional Maturity on Stress and Self Cofidence of Adolescents. Remaja dengan kematangan emosi yang tinggi memiliki stres dan diri secara signifikan lebih tinggi kepercayaan dibandingkan dengan kematangan emosi yang lebih rendah. Seks dari remaja belum dipengaruhi stres dan rasa percaya diri. Memiliki lebih banyak jumlah saudara telah mempengaruhi secara positif kepercayaan diri remaja bila dibandingkan dengan mereka yang memiliki jumlah kurang dari saudara kandung.

Saat Ir bertemu dengan mertua pertama kali muncul perasaan gugup. Mertua Ir termasuk orang yang baik dan nyaman ketika diajak berbicara. Hubungan Ir dengan mertua cukup dekat meski jarak yang ada jauh dikarenakan sering berkomunikasi lewat telfon dan sms.

Hubungan Sw dengan mertua termasuk sangat dekat terutama ibu mertua. Ibu mertua tremasuk nyaman untuk diajak bercerita meski termasuk orang yang pendiam. Sw juga termasuk dekat dengan keluarga suami yang lain meskipun lebih dekat dengan sang ibu mertua.

Dalam penelitian lain Annisa dan Handayani (2012), mengungkapkan Hubungan Antara Konsep Diri dan Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri. Istri yang Tinggal Bersama Keluarga Suami. Hasil penelitian diperoleh diketahui bahwa penyesuaian diri istri termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa konsep diri dan kematangan emosi merupakan faktor yang sangat signifikan mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri istri dalam keluarga suami.

Dalam menghadapi permasalahan rumah tangga dengan suami Ir sudah mampu menghadapinya. Tindakan yang dilakukan Ir dalam memecahkan sebuah masalah rumah dapat dibicarakan baik-baik dengan suami. Ketika ada konflik rumah tangga usaha Ir dan suami dalam menghadapinya dengan berbicara baik-baik berdua.

Dalam menghadapi lika-liku rumah tangga Sw sudah mampu menjalani dengan suami. Usaha yang dilakukan Sw dalam memecahkan masalah rumah tangga dengan merundingkan terlebih dahulu dengan suami. Terkadang Sw dan suami membuat perbedaan pendapat dengan bercanda.

Penelitian Peillouw, Nursalim (2013), Hubungan Antara Pengambilan Keputusan dengan Kematangan Emosi dan Self-Efficacy pada Remaja. Hipotesis pertama yang menyatakan “terdapat hubungan antara kematangan emosi dengan pengambilan keputusan pada remaja”, diterima. Hipotesis kedua yang menyatakan “terdapat hubungan antara self-efficacy dengan pengambilan

keputusan pada remaja”, juga diterima. Hipotesis ke-tiga yang menyatakan

“ada hubungan antara kematangan emosi dan self-efficacy dengan

pengambilan keputusan pada remaja”, diterima.

Dari wawancara diketahui bahwa pada subjek pertama dan kedua meskipun dalam mengerjakan aktifitas rumah tangga masih malas. Namun

demikian, sudah nampak perubahan seperti lebih rajin dibandingkan sebelum menikah. Dalam mengatasi sebuah masalah, subyek selalu merundingkan segala sesutu hal kepada suami. Mampu menerima kritik dan saran dari suami serta mengetahui saran dan kritik yang baik untuk dirinya. Dalam mencapai sesuatu yang diinginkan subyek pertama dan kedua tidak terlalu memaksa kehendak mereka jika sedang tidak mampu. Jika kondisi mencukupi, maka subyek akan merayu-rayu suami. Pengambilan keputusan menikah tidak ada paksaan dari pihak orang tua dan membebaskan subyek memilih jodohnya sendiri.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan peneliti dilapangan, maka dapat disimpulkan bahwa subyek pertama dapat menggambarkan kematangan emosi dalam pernikahannya. Kematangan emosi yang dirasakan dapat terkontrol seperti subyek dapat menyesuaikan diri dengan realita kehidupan, mampu menerima kritik dan saran dari keluarga dengan lapang dada. Subyek pertama cenderung sabar dan tidak diliputi rasa emosi dalam meraih setiap keinginannya. Tetapi tidak jarang dalam mengatasi permasalahan dengan memendamnya dalam hati dan selalu berusaha mengatasinya sendiri. Ketika dirasa masalah itu sudah selesai, subyek pertama kembali komunikasi dengan baik serta bersikap sewajarnya terhadap keluarganya.

Pada subyek kedua dapat menggambarkan kematangan emosi yang dialami dalam pernikahannnya. Sebagaimana dalam pemenuhan indikator kematangan emosi tersebut yaitu kontrol emosi, pemahaman diri, kemampuan krisis mental, penyesuaian realistis terhadap situasi baru, menerima kritik dan saran, obyektif, sabar dan determinasi diri dengan baik. Dalam menghadapi permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga bersama suaminya, subyek kedua melampiaskan emosinya dengan mencari suasana baru agar tingkat emosinya terkontrol. Jika dirasa sudah cukup tenang, maka subyek kedua kembali bertemu dengan keluarga dalam kondisi yang sewajarnya pula.

B. Saran

1. Saran kepada individu yang melakukan pernikahan dini

Bagi individu yang sudah berkeluarga, baik yang belum ataupun yang sudah memiliki anak, perlu mempersiapkan kematangan emosinya dengan baik. Karena pernikahan adalah sesuatu hal yang sakral dengan berbagai kompleksitas permasalahannya.

2. Saran kepada keluarga

Pihak keluarga sebaiknya menikahkan anaknya di usia yang dirasa cukup baik dari segi kematangan emosi maupun kesiapan dari kedua belah pihak. Keluarga perlu memberikan pemahaman tentang konsekuensi-konsekuesi yang terjadi dalam pernikahan. Sehingga anak memiliki kematangan dan kesiapan untuk menghadapi seburuk apapun konsekuensi dari pernikahan yang telah dilakukannya.

3. Saran kepada penelitian selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik pada hal-hal tentang kematangan emosi, sebaiknya menggunakan metode penelitian kuantitatif. Karena variabel kematangan emosi dapat dihubungkan dengan variabel lain misalnya pengambilan keputusan menikah di usia dini atau sisi yang lain tentang perbedaan kematangan emosi antara pria dan wanita dalam pernikahan dini.

DAFTAR PUSTAKA

_. 2015. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Cet. 1, Surabaya: Sinarsindo Utomo

Adhim, F. M. 2003. Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: Gema Insani Press. Ahmed, S., Khan, A., Khan, S., Noushad, S. 2014. Early Marriage; A Root Of

Current Physiological And Psychososial Health Burdens. International Journal of Endorsing Health Science Research Volume 2 Issue 1, June 2014

Alathifah, A. S. 2015. Hubungan antara Kematangan Emosi dan Peneysuaian Diri Pada Remaja Pondok Pesantren Al-Luqmaniyyah Yogyakarta. Skripsi. Program Studi Psikologi, Fakultas Sosial dan Humaniora. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta

Annisa, N., Handayani, A. 2012. Hubungan antara Konsep Diri dan Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri Istri yang Tinggal Bersama Keluarga Suami. Jurnal Psikologi Pitutur Volume 1 Nomor 1

Badan Pusat Statistik. 2016. Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik

BKKBN. 2016. Fokus Tekan Pernikahan Dini, BKKBN Lakukan Rebranding Program GENRE. Jawa Timur

Chaplin, P. J. 2011. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Persada.

Estuti, T. W. 2013. Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Tingkat Kematangan Emosi Anak Kasus Pada 3 Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Pekuncen Banyumas Tahun Ajaran 2012/2013. Skripsi. Universitas Negeri Semarang

Fitroh, F. S. 2011. Hubungan antara Kematangan Emosi dan Hardiness dengan Penyesuaian Diri Menantu Perempuan yang Tinggal di Rumah Ibu Mertua. PSIKOISLAMIKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI) Lembaga Penelitian Pengembangan dan Keislaman (LP3K). Volume 8 Nomor 1 hal 83-98

Hadinoto, S. 2012. Pernikahan Dini pada Beberapa Provinsi di Indonesia : Akar Masalah dan Peran Kelembagaan di Daerah. Jakarta.

Hadinoto, S. 2012. Kajian Pernikahan Dini pada Beberapa Provinsi di Indonesia : Dampak Overpopulation Akar Masalah dan Peran Kelembagaan di Daerah. Jakarta.

Hangal, S., Aminabhavi, A. V. 2007. Self- Concept, Emotional Maturity and Acievement Motivation of the Adolescent Children of Employed Mothers and Homemakers. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, Vol. 33, No.1, 103-110.

Haryati, D. T. 2013. Kematangan Emosi, Religiusitas dan Perilaku Prososial Perawat di Rumah Sakit. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, Vol. 2, No. 2, hal 162-172

Hurlock, B. E. 2002. Ed: 5. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Khairani, R., Putri, E. D. 2008. Kematangan Emosi pada Pria dan Wanita yang Menikah Usia Muda. Jurnal Psikologi Volume 1, No. 2

Landung, J., Thaha, R., Abdullah, Z. A. 2009. Studi Kasus Kebiasaan Pernikahan Usia Dini pada Masyarakat Kecamatan Sangalangi Taba Toraja. Jurnal MKMI, Volume 5 Nomor 4, hal 89-94

Malehah, S. 2010. Dampak Psikologis Pernikahan Dini dan Solusinya dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam. Skripsi. Institut Agama Islam Negeri Walisongo. Semarang

Mappiare, A. 1983. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Moleong, J. Lexy. 2015. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Muawannah, B. L., Suroso., Praktikto, H. 2012. Kematangan Emosi, Konsep Diri dan Kenakalan Remaja. Jurnal Persona. Vol.1 No.1

Muchlisah. 2012. Perbedaan Usia Wanita Ketika Menikah (Remaja dan Dewasa) dalam Hubungannya dengan Penyesuaian Pernikahan di Kota Makassar. Jurnal Psikologi, Volume 8 Nomor 2

Murcahya, A. 2010. Dinamika Psikologis Pengambilan Keputusan untuk Menikah Dini. Skripsi. Universitas Muhammadiyah. Surakarta

Nurtjahyo, A., Matulessy, A. 2013. Hubungan Kematangan Emosi dan Konformitas terhadap Agresivitas Verbal. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, Vol 3, No 3, hal 223-231

Paramitasari, R., Alfian, N. I. 2012. Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Kecenderungan Memaafkan pada Remaja Akhir. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Volume 1, Nomor 02

Pastey, S. G., dan Aminbhavi, A. V. 2006. Impact of Emotional Maturity on Stress and Self Cofidence of Adolescents. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, Vol. 32, No.1, 66-70.

Peillouw, J. F., Nursalim, M. 2013. Hubungan Antara Pengambilan Keputusan dengan Kematangan Emosi dan Self-Efficiacy pada Remaja. Jurnal Character, Volume 01, Nomor 02

Prawitasari, E, J. 2011. Psikologi Klinis Pengantar Terapan Mikro & Makro. Jakarta: Erlangga

Santhya, G. K., Ram, U., Acharya, R., Jejeebhoy, J. S., Ram, F., Singh, A. 2010. Associations Between Early Marriage and Young Women’s Marital and Reproductive Health Outcomes: Evidence from India. Associations Between Early Marriage and Marital and Reproductive Health Outcomes, International Perspectives on Sexual and Reproductive Health. Volume 36, Number 3, September 2010

Santrock, W. J. 2012. Ed : 13. Life-Span Development (Perkembangan Masa Hidup), Jilid : 1. Jakarta: Erlangga.

Santrock, W. J. Ed : 11. Masa Perkembangan Anak, Buku : 2. Jakarta: Salemba Humanika

Septiana, E., Syafiq, M. 2013. Identitas “Lajang” (Single Identity) dan Stigma: Studi Fenomenologi Perempuan Lajang di Surabaya. Jurnal Psikologi Teori & Terapan, Vol. 4, No. 1, 71-86

Sinarta, D. 2015. Hubungan Kematangan Emosi dengan Kenakalan Remaja di SMK X Palembang. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma Palembang

Syarifah, H., Widodo, B. P., Kristiana, F. I. 2012. Hubungan antara Persepsi terhadap Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Dengan Kematangan

Emosi pada Remaja di SMA Negeri “X”. Proceeding Temu Ilmiah VIII

IPPI Yogyakarta, 230-238

Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.

Utami, I., Idriansari, A., Herliawati. 2014. Hubungan Kematangan Emosi Ibu dengan Kekerasan Fisik dan Kekerasan Verbal pada Anak usia Sekolah di SD Negeri 11 Indralaya. Jurnal MKS, Th. 46, No. 1

Walgito, B. 2004. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Andi Offset.

Wani, A. M., Masih, A. 2015. Emotional Maturity across Gender and Level of Education. The International Journal of Indian Psychology. Volume 2, Issue 2

Dokumen terkait