• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kematangan emosi pada wanita yang melakukan pernikahan dini.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kematangan emosi pada wanita yang melakukan pernikahan dini."

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program

Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Oleh: ISDA MARASTI

B77212116

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program

Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Oleh: ISDA MARASTI

B77212116

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambaran kematangan emosi pada wanita yang melakukan pernikahan dini. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dan pendekatan fenomenologis. Teknik pengumpulan data diperoleh melalui observasi dan wawancara terhadap subjek yang berjumlah dua orang yang masing-masing memilki dua significant other.

Hasil penelitian ditemukan bahwa kematangan emosi subyek dapat digambarkan melalui kontrol emosinya, menerima kritik dan saran, serta usahanya dalam mencapai keinginan. Selain itu ditemukan pula bahwa kematangan emosi subyek digambarkan melalui pemahaman diri dan obyektif dalam menyelesaikan masalah saat menjalani pernikahan dini.

(8)

xi

ABSTRACT

The purpose of this study is to describe emotional maturity in women who do early marriage. The method used is qualitative research and phenomenological approach. Technique of collecting data obtained through observation and interview on subject which amounted to two people each having two significant other.

The results of the study found that the emotional maturity of the subjects can be illustrated through emotional control, receiving criticism and suggestions, as well as his efforts in achieving desire. It also found that the emotional maturity of the subjects is depicted through self-understanding and objective in solve the problem while undergoing an early marriage.

(9)

DAFTAR ISI

1. Definisi Kematangan Emosi ... 17

2. Ciri-ciri Kematangan Emosi ... 18

3. Faktor-faktor Kematangan Emosi ... 20

4. Aspek Kematangan Emosi ... 22

B. Pernikahan Dini 1. Definisi Pernikahan Dini ... 23

2. Tujuan Pernikahan Dini ... 24

3. Faktor-faktor Pernikahan Dini ... 25

4. Keuntungan dan Dampak Positif Pernikahan Dini ... 31

5. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi ... 32

C. Remaja Wanita ... 34

(10)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... 50

B. Sumber Data ... 51

C. Cara Pengumpulan Data ... 55

D. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 56

E. Keabsahan Data ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Partisipan ... 58

B. Temuan Penelitian 1. Deskripsi Temuan Penelitian ... 61

2. Analisis Temuan Penelitian ... 93

C. Pembahasan ... 103

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 112

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Gambaran umum dari Subyek ... 52

Tabel 2: Gambaran umum significant other dari Subyek 1 ... 53

Tabel 3: Gambaran umum significant other dari Subyek 2 ... 54

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hasil Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) menunjukkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia selama tahun 2000-2010 sebesar 1,49 % per tahun. Berdasarkan hasil survey Indikator Kinerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Program Kependudukan dan Keluarga Berencana Tahun 2015, sebanyak 19,2 % respon remaja wanita merencanakan menikah dibawah umur 22 tahun, sedangkan untuk remaja pria sebesar 46,2% merencanakan menikah umur 20-25 tahun.

Padahal sesuai kampanye yang dilakukan oleh BKKBN adalah umur menikah ideal untuk perempuan minimal 21 tahun dan laki laki minimal 25 tahun. Pernikahan dini merupakan fenomena yang sudah sejak lama marak terjadi di Indonesia khususnya pada remaja pedesaan. Analisis survei penduduk antar sensus (SUPAS) tahun 2005 dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukan bahwa angka pernikahan untuk kelompok umur 15-19 tahun di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan, perbedaannya cukup tinggi yakni 5,28 % di perkotaan dan 11,88 % di pedesaan.

(13)

yaitu 36,7 % kawin pertama antara umur 12-14 tahun, 56,7 % umur 15-19 tahun dan 6,6 % umur 20-24 tahun dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi adalah rendahnya tingkat pendidikan dan sosial-budaya (Wulandari, 2014). Di Indonesia, angka statistik pernikahan usia dini dengan pengantin berumur di bawah usia 16 tahun secara nasional mencapai lebih dari seperempat, bahkan di beberapa daerah, sepertiga dari pernikahan yang terjadi tepatnya di Jawa Timur 39,43 %, Kalimantan Selatan 35,48 persen, Jambi 30,63 % dan Jawa Barat 36 % (Singgih, 2007).

Pernikahan dini atau pernikahan pada sesorang yang belum memiliki cukup usia standar pernikahan secara undang-undang hukum formal, dalam hal ini Undang-undang nomer 1 tahun 1974 pasal 6, yang mensyaratkan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika seseorang telah berusia 21 tahun dan telah memeliki kematangan psikologis. Pernikahan di bawah usia 21 tahun memang diijinkan tetapi jika mendapatkan ijin dari orang tua atau walinya.Batasan usia minimal seseorang untuk melangsungkan pernikahan telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 bab II pasal 7 ayat 1. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.

(14)

usia matang secara hukum dan dibawah usia 21 tahun jika menggunakan hukum Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di negara Indonesia.

Peran orang tua juga menentukan remaja untuk menjalani pernikahan di usia muda. Orang tua juga memiliki peran yang besar untuk penundaan usia perkawinan anak (Algifari, 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhajati, dkk (2013) yang mengungkapkan bahwa keputusan menikah di usia muda sangat ditentukan oleh peran orang tua. Peran orang tua sangat penting dalam membuat keputusan menikah di usia muda dimana keputusan untuk menikah di usia muda merupakan keputusan yang terkait dengan latar belakang relasi yang terbangun antara orang tua dan anak dengan lingkungan pertemanannya.

Dengan kemajuan jaman dan teknologi telah memotivasi kaum wanita untuk semakin mengaktualisasikan dirinya. Para wanita akan lebih menititikberatkan dirinya pada karir atau pekerjaan dan cenderung terkesan untuk menunda pernikahan (Rubianto, 2000). Tingkat penyesuaian pernikahan untuk perempuan yang menikah usia remaja, lebih rendah dibandingkan tingkat penyesuaian pernikahan permpuan yang menikah usia dewasa. Hal dikarenakan pula bahwa remaja tidak banyak dipersiapkan khusus untuk hidup dalam pernikahan itu, kecuali persiapan yang dilakukan dalam waktu singkat (Mappiare, 1982).

(15)

dengan kasus pada pria yang umumnya hanya di delapan negara berkembang, dimana 20 % dari perempuan berumur 20-24 tahun di 39 negara tersebut telah menikah sebelum umur 18 tahun. Yang mencengangkan, lebih dari 50 % wanita berumur 20-24 tahun di Bangladesh, Burkina Faso, Republik Afrika Tengah, Mali, Mozambik, dan Nepal telah menikah sebelum umur 18 tahun. Data-data tersebut memperlihatkan bahwa pernikahan dini yang direstui oleh orang tua mempelai masih umum terjadi, memperlihatkan masih rendahnya penegakan hukum terkait batas minimal umur pernikahan (BKKBN, 2012).

Perempuan muda di Indonesia dengan usia 10-14 tahun menikah sebanyak 0,2% atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah. Jumlah dari perempuan muda berusia 15-19 yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun (11,7 % P : 1,6 % L). Di antara kelompok umur perempuan 20-24 tahun lebih dari 56,2 % sudah menikah (BKKBN, 2012).

Penelitian ini akan menspesifikan pada kematangan emosi seorang wanita yang melakukan pernikahan dini lebih kepada mengendalikan emosi dalam menjalani pernikahan. Beberapa penelitian diatas melanjutkan bahwa perempuan lebih banyak yang menikah di usia dini, terutama berada di pedesaan daripada di perkotaan. Terutama di negara berkembang seperti di Indonesia.

(16)

gender dan emosi. Wanita lebih emosional dan penuh perasaan sedangkan laki-laki lebih rasional dan sering menggunakan logika. Steriotipe ini sangat kuat dan meresap kesannya pada budaya masyarakat (Shields dalam Santrock, 2003). Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa wanita lebih dewasa dan lebih matang secara emosional dibandingkan laki-laki sedangkan menurut beberapa teori yang yang telah diuraikan bahwa laki-laki memiliki emosi yang stabil yang dapat dikatakan mempunyai kematangan emosi lebih baik dari wanita.

Mengingat betapa besarnya tanggung jawab rumah tangga, maka suami maupun istri perlu memiliki kedewasaan dalam berkeluarga, baik fisik maupun psikis. Karena pekerjaan yang berat ini tidak mungkin terselesaikan dengan persiapan yang asal-asalan dengan kondisi umur yang belum cukup untuk melakukan perkawinan. Maka dari itu diperlukan kesiapan dalam menempuh kehidupan rumah tangga, sebab rumah tangga bukanlah suatu permainan yang santai.

(17)

Walgito (2004) mengatakan bahwa, kematangan emosi merupakan kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara obyektif pada seseorang yang dipengaruhi oleh kematangan emosi yang dimiliki. Seseorang yang memiliki kematangan emosi yang baik, akan menerima keadaan, baik diri sendiri maupun orang lain, tidak impulsive, dapat mengontrol dan mengekspresikan emosi secara baik, bersikap sabar serta memiliki tanggung jawab yang baik.

Berdasarkan Walgito (2004) ciri-ciri bahwa ciri kematangan emosi yaitu: emosi yang stabil, menilai situasi secara kritis, emosi yang terkontrol, bersifat sabar dan penuh pengertian, mempunyai tanggung jawab yang baik, mampu berdiri sendiri dan tidak mudah mengalami frustasi.

Kondisi emosi dibagi menjadi lima bagian yaitu 1) mengenali emosi diri, 2) mengelola emosi diri, 3) memotivasi diri, 4) mengenali emosi orang lain, dan 5) membina hubungan dengan orang lain (Widi: 2013).

(18)

anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila ada masa akhir remaja tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang

lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapakan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima.

Penelitian ini di harapkan untuk mengetahui cara mengolah emosi agar tidak menimbulkan efek negatif, seperti ketika ada masalah antara suami dan istri maka berfikir secara subjektif tidak secara objektif. Seseorang disebut matang emosinya ketika mampu menerima baik keadaan (apa adanya) dirinya maupun orang lain.

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan umtuk menggambarkan kematangan emosi pada wanita yang melakukan pernikahan dini.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambaran kematangan emosi pada wanita yang melakukan pernikahan dini.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Klinis.

2. Manfaat secara Praktis

(19)

alternatif solusi untuk lebih meningkatkan kualitas kehidupan rumah tangga.

b. Bagi para orang tua, diharapkan memberikan pengertian bahwa pernikahan dini merupakan sesuatu yang sah secara adat dan agama tetapi tidak sah secara hukum negara tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga perlu dipahamkan tentang konsekuensi-konsekuesi yang terjadi pasca pernikahan.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan landasan penelitian yang akan dilakukan, meliputi:

Berdasarkan penelitian Landung, Thaha, dan Abdullah (2009), Studi Kasus Kebiasaan Pernikahan Usia Dini pada Masyarakat Kecamatan Sangalangi Taba Toraja. Pada masyarakat Kecamatan Sanggalangi, pernikahan yang terjadi pada usia dini lebih dikarenakan adanya dorongan rasa kernandirian dari perempuan dan untuk rnelepaskan diri dari pengaruh orang tua. Selain alasan kemandirian, pernikahan juga terjadi karena mengandung unsur perbaikan sosial ekonomi keluarga karena dengan menikah, seorang perempuan akan memperoleh perbaikan ekonomi keluarganya. Perkawinan usia muda yang terdorong oleh alasan mandiri dan terbebas dari pengaruh orang tua berhubungan dengan sikap yang terbangun antara anak dan orang tua.

(20)

terbentuk menjadi empat kelompok. Kelompok pertama adalah kepuasan perkawinan rendah (N=3), kepusan perkawinan sedang (N=8), kepuasan perkawinan tinggi (N=24), dan kepuasan perkawinan sangat tinggi (N=40). Pada keempat kelompok tersebut terdapat lima persamaan antar kelompok kepuasan perkawinan. Selain persamaan, terdapat pula delapan perbedaan antar kelompok. Kelima persamaannya dalam hal agama, dampak perkawinan dalam hal ekonomi, kesehatan, emosional, dan sosial. Kedelapan perbedaan antar kelompok kepuasan perkawinan ini yaitu dalam hal jumlah anak, tempat tinggal, usia kawin, pendapatan suami subjek perbulan, alasan perkawinan, usia perkawinan, dan dampak perkawinan dalam hal fisik dan pendidikan.

Penelitian Peillouw, Nursalim (2013), Hubungan Antara Pengambilan Keputusan dengan Kematangan Emosi dan Self-Efficiacy pada Remaja. Berdasarkan uji analisis data yang telah dilakukan dengan teknik analisis regresi linier berganda, diketahui bahwa kematangan emosi berhubungan secara signifikan dan positif dengan pengambilan keputusan yang dapat dilihat dari nilai p signifikansi sebesar 0,021 (<0,05). Hipotesis pertama yang menyatakan “terdapat hubungan antara kematangan emosi dengan

pengambilan keputusan pada remaja”, diterima. Hipotesis kedua yang

(21)

Dalam penelitian lain Annisa dan Handayani (2012), Hubungan Antara Konsep Diri Dan Kematangan Emosi Dengan Penyesuaian Diri. Istri Yang Tinggal Bersama Keluarga Suami. Hasil penelitian diperoleh diketahui bahwa penyesuaian diri istri termasuk dalam kategori tinggi. Hasil penelitian menunjukkan besarnya sumbangan efektif dari variabel konsep diri dan kematangan emosi terhadap penyesuaian diri sebesar 36,3%, sedangkan sisanya 63,7% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri dan kematangan emosi merupakan faktor yang sangat signifikan mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri istri dalam keluarga suami.

(22)

Penelitian lain Paramitasari dan Alfian (2012), Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Kecenderungan Memaafkan pada Remaja Akhir. Perhitungan yang dilakukan dengan teknik korelasi Product Moment menghasilkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan kecenderungan memaafkan. Dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa hipotesis penelitian (Ha) yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara kematangan emosi dan kecenderungan memaafkan diterima, sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan kecenderungan memaaf kan pada remaja akhir. Hal ini menunjukkan bahwa semakin positif kematangan emosi pada remaja akhir maka semakin tinggi kecenderungan memaafkan, dan sebaliknya.

(23)

positif dan 61 atau 53,98% memiliki kematangan emosi negatif. Sehingga dapat dilihat bahwa rata-rata remaja di SMK X Palembang memiliki kematangan emosi yang negatif.

Hasil penelitian Hani, Prasetyo dan Ika (2012), Hubungan antara Persepsi Terhadap Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dngan Kematangan Emosi pada Remaja di SMA Negeri X. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pada saat dilakukan penelitian sebanyak 1,37 dari 223 (60,6%) siswa SMA Negeri "X" yang menjadi subjek penelitian memiliki persepsi yang sangat positif terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan mean empirik (151,53) lebih besar dari mean hipotetik (115). Sangat positifnya persepsi terhadap keterlibatan ayah dalam Pengasuhan pada remaja di SMA Negeri "X" disebabkan sebagian besar siswa memiliki hubungan yang dekat dengan orangtua terutama ayah.

(24)

variabel Y (Agresi Verbal) sebesar 26,6%. Sisanya 73,4% ditentukan oleh variabel-variabel lain yang tidak terprediksi dalam penelitian ini atau tidak diteliti pada penelitian ini.

Dalam penelitian Utami, Idriansari dan Herliawati (2014), Hubungan Kematangan Emosi Ibu dengan Kekerasan Fisik dan Kekerasan Verbal pada Anak usia Sekolah di SD Negeri 11 Indralaya. Hubungan kematangan emosi ibu dengan kekerasan fisik dan kekerasan verbal dianalisis menggunakan uji statistik Chi-Square dengan batas kemaknaan α=0,05. Hasil uji statistik yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kematangan emosi ibu dengan kekerasan fisik. Hal ini diketahui dari data sebanyak 57 ibu yang mempunyai emosi matang, terdapat sebanyak 10 ibu (17,5%) menyatakan marah-marah sendiri jika sedang kesal dan sebanyak 8 ibu lainnya (14%) menyatakan panik jika sedang marah.

(25)

Penelitian lain Muawanah, Suroso dan Praktikto (2012), Kematangan Emosi, Konsep Diri dan Kenakalan Remaja. Hipotesis yang menyatakan kematangan emosi dan konsep diri berhubungan dengan kenakalan remaja, diterima. Hipotesis yang menyatakan hubungan kematangan emosi dengan kenakalan remaja secara parsial adalah berlawanan arah, diterima. Konsep diri merupakan kapasitas psikologis yang tidak berpotensi untuk memungkinkan terjadinya penurunan atau peningkatan kenakalan remaja. Skor kenakalan remaja 134,225 – (-0,080) = 134,145 adalah skor penurunan yang tidak signifikan (tidak bermakna). Hipotesis yang menyatakan hubungan konsep diri dengan kenakalan remaja secara parsial adalah berlawanan arah, ditolak.

Dalam penelitian Haryati (2013), Kematangan Emosi, Religiusitas dan Perilaku Prososial Perawat di Rumah Sakit. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji anova, ada hubungan yang positif dan signifikan antara kematangan emosi dan religiusitas dengan perilaku prososial perawat di Rumah Sakit Bunda Surabaya. Hasil analisis menunjukkan bahwa sumbangan efektif yang diberikan oleh kematangan emosi dan religiusitas terhadap perilaku prososial nilai sebesar 23,60% dengan rinciannya untuk variabel Kematangan Emosi sebesar 17,22% dan Variabel Religiusitas sebesar 6,37%.

(26)

persona perempuan adalah ditangguhkan dan mereka rentan terhadap psikososial dan ancaman kesehatan fisiologis.

Dalam penelitian Wani dan Masih (2015), Emotional Maturity across Gender and Level of Education. Penelitian ini menyoroti tingkat kematangan emosi antara mahasiswa di seluruh jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Ditemukan bahwa mayoritas lulusan dan penelitian sarjana universitas secara emosional tidak stabil dan juga perempuan yang lebih baik secara emosional kemudian laki-laki. Tingkat pendidikan tidak membuat mereka dewasa secara emosional jatuh tempo emosional adalah bukan sesuatu yang tumbuh dengan usia kronologis.

(27)

Dalam penelitian Pastey dan Aminbhavi. (2006). Impact of Emotional Maturity on Stress and Self Cofidence of Adolescents. Temuan dianalisis dan diinterpretasikan penelitian telah menyebabkan kesimpulan berikut. Remaja dengan kematangan emosi yang tinggi memiliki stres dan diri secara signifikan lebih tinggi kepercayaan dibandingkan dengan kematangan emosi yang lebih rendah. Seks dari remaja belum dipengaruhi stres dan rasa percaya diri. Memiliki lebih banyak jumlah saudara telah mempengaruhi secara positif kepercayaan diri remaja bila dibandingkan dengan mereka yang memiliki jumlah kurang dari saudara kandung.

Hasil penelitian Santhya, Ram, Acharya, Jejeebhoy, Ram, dan Singh, (2010). Associations Between Early Marriage and Young Women’s Marital and Reproductive Health Outcomes: Evidence from India. Temuan menggarisbawahi kebutuhan untuk membangun dukungan di kalangan pemuda dan keluarga mereka untuk menunda pernikahan, untuk menegakkan hukum yang ada pada usia minimum di pernikahan dan untuk mendorong sekolah, kesehatan dan otoritas lainnya untuk mendukung perempuan muda dalam bernegosiasi dengan orang tua mereka untuk menunda pernikahan.

(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kematangan Emosi

1. Definisi Kematangan Emosi

Chaplin (2001) mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan perkembangan emosional. Ditambahkan Ratnawati (2005), kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi untuk mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional seperti anak-anak, kematangan emosional seringkali berhubungan dengan kontrol emosi.

Dalam Hurlock (1994) mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila tidak lagi ‘’meledakkan’’ emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat

dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih baik pula.

(29)

Dari beberapa definisi bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi seseorang mampu mengekspresikan perasaan dengan tidak meledak-ledak melalui cara-cara yang lebih bermanfaat

2. Ciri-Ciri Kematangan Emosi

Menurut Hurlock (1990), individu yang dikatakan matang emosinya yaitu:

a. Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial.

b. Pemahaman diri. Individu yang matang, belajar memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkannya untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat.

c. Menggunakan kemampuan kritis mental. Individu yang matang berusaha menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap situasi tersebut.

Menurut Anderson (dalam Mapiarre, 1983) ciri-ciri kematangan emosi adalah sebagai berikut:

a. Mampu mengendalikan perasaan pribadi

(30)

Menurut Walgito (2004) ada beberapa ciri-ciri kematangan emosi, yaitu:

a. Dapat menerima baik keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti adanya, sesuai dengan keadaan obyektifnya. Hal ini disebabkan karena seseorang yang lebih matang emosinya dapat berfikir secara lebih baik, dapat berfikir secara obyektif.

b. Tidak bersifat impulsive, akan merespon stimulus dengan cara berfikir baik, dapat mengatur pikirannya untuk memberikan tanggapan terhadap stimulus yang mengenainya.

c. Mampu mengontrol emosi dan mengekspresikan emosinya dengan baik.

d. Bersifat sabar, penuh pengertian dan pada umumnya cukup mempunyai toleransi yang baik.

e. Mempunyai tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian.

Menurut (Sutardjo, 2004) lebih menunjukkan ciri pokok kematangan emosional seseorang dalam tiga kategori, yaitu

(31)

3. Faktor – Faktor Kematangan Emosi

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi menurut (Soeparwoto, 2004) adalah sebagai berikut :

a. Perubahan Jasmani

Perubahan segi meliputi pertumbuhan cepat dari badan. Pada taraf permulaan pertumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu yang mengakibatkan postur tubuh atau jasmani tidak seimbang.

b. Perubahan dalam hubungannya dengan orang tua

Sikap orang tua dalam mendidik anak, misalnya secara otoriter, memanjakan anak, sikap acuh tak acuh, penuh kasih sayang. Sikap-sikap tersebut dapat menyebabkan ketegangan dan ketidaktegangan yang semuanya berpengaruh terhadap perkembangan mental remaja termasuk perkembangan emosi.

c. Perubahan dalam hubungannya dengan teman-teman

(32)

d. Perubahan pandangan luar

Pandangan luar dapat menyebabkan konflik yang disebabkan karena sikap dunia luar terhadap remaja tidak konsisten, dan dunia luar masih mempunyai nilai-nilai yang berbeda untuk remaja laki-laki dan perempuan.

e. Perubahan dalam hubungannya dengan sekolah

Remaja sering terbentur nilai-nilai yang tidak dapat diterima atau bertentangan dengan nilai-nilai yang menarik bagi remaja, maka timbullah idealisme untuk mengubah lingkungannya.

Kematangan emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Young (Maryati, dkk, 2007) mengungkapkan faktor yang mempengaruhi kematangan emosi seseorang yaitu:

a. Faktor lingkungan

Lingkungan tempat individu tinggal termasuk di dalamnya adalah lingkungan keluarga dan lingkungan sosial masyarakat.

b. Faktor individu

(33)

c. Faktor pengalaman

Pengalaman yang diperoleh individu selama hidupnya akan mempengaruhi kematangan emosi.

4. Aspek Kematangan Emosi

Menurut Syamsu Yusuf (2009) remaja yang dalam proses perkembangannya berada dalam iklim yang kondusif, cenderung akan memperoleh perkembangan emosinya secara matang (terutama pada masa remaja akhir). Kematangan emosi ini ditandai oleh (1) adekuasi emosi: cinta kasih, simpati, altruis (senang menolong orang lain), respek (sikap hormat atau menghargai orang lain), dan ramah; (2) mengendalikan emosi: tidak mudah tersinggung, tidak agresif, bersikap optimis dan tidak pesimis (putus asa), dan dapat mengahadapi situasi frustasi secara wajar.

(34)

B. Pernikahan Dini

1. Definisi Pernikahan Dini

Pernikahan dini (early mariage) merupakan suatu pernikahan formal atau tidak formal yang dilakukan dibawah usia 18 tahun (UNICEF, 2014). Secara umum pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita yang umur keduanya masih dibawah batasan minimum yang diatur oleh Undang-Undang (Rohmah, 2009).

Sedangkan Al Ghifari (2008) berpendapat bahwa pernikahan muda adalah pernikahan yang dilaksanakan diusia remaja. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan remaja adalah antara usia 10-19 tahun dan belum kawin. Menunjukkan bahwa usia 20-24 tahun sebagai saat terbaik untuk menikah. Selain untuk kebutuhan rumah tangga rentang usia ini juga aling baik untuk mengasuh anak (Fauzi, 2002).

Menurut Konopka (1976), Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dimulai pada usia 16 tahun dan diakhiri pada usia 20 tahun, atau yang masih bersekolah dan di kategorikan remaja. Sedangakan pernikahan yang ideal adalah wanita 20 tahun keatas dan laki-laki 25 tahun keatas. Pernikahan di usia muda atau dini adalah suatu ikatan lahir batin yang belum mencapai taraf yang ideal untuk melakukan suatu pernikahan, dalam artian pernikahan yang dilakukan sebelum dewasa, hukumnya menurut syara’ adalah mandub (sunnah) (An Nabhani, 1990).

(35)

yang dilaksanakan pada usia remaja di mana umur keduanya masih dibawah batasan minimum yang diatur oleh Undang-Undang.

2. Tujuan Pernikahan Dini

Menurut Susantom bahwa pernikahan bertujuan untuk menentramkan jiwa, memenuhi kebutuhan biologis, melatih tanggung jawab, dan melestarikan keturunan (Susanto, 2002).

a. Menentramkan jiwa

Bila sudah terjadi akad nikah, si wanita berasa jiwanya tentram, karena merasa ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga. Si suami pun merasa tentram karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka, dan teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan.

b. Memenuhi kebutuhan biologis

(36)

c. Latihan memikul tanggung jawab

Apabila perkawinan dilakukan untuk mengatur fitrah manusia, dan mewujudkan bagi manusia itu kekekalan hidup yang di inginkan nalurinya (tabiatnya), maka faktor yang tidak kalah pentingnya dalam perkawinan itu adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab. Hal ini berarti, bahwa perkawinan adalah merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab itu dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggung jawaban tersebut.

Pada dasarnya, Allah menciptakan manusia didalam kehidupan ini tidak hanya untuk sekedar makan, minum, hidup kemudian mmati seperti yang di alami oleh makhluk lainnya. lebih jauh lagi, manusia dicptakan supaya berfikir, menemukan, mengatur, mengurus segala persoalan, mencari dan memberi manfaat untuk umat (Susanto, 2002).

d. Melestarikan keturunan

Biasanya sepasang suami istri tidak ada yang tidak mendambakan anak turunan untuk meneruskan kelangsungan hidup. Anak turunan diharapkan dapat mengambil alih tugas, perjuangan dan ide-ide yang pernah tertanam didalam jiwa suami atau istri (Walgito, 2002). 3. Faktor-Faktor Pernikahan Dini

(37)

diantaranya; faktor ekonomi, factor pendidikan, faktor orang tua, faktor diri sendiri, serta faktor adat setempat ( Sari, 2006 ).

a. Faktor pendidikan, masyarakat yang masih rendah yang mengakibatkan kurangnya pengetahuan masyarakat khususnya mengenai Undang-Undang perkawinan nomer 1 Tahun 1974.

b. Faktor ekonomi, yaitu penghasilan masyarakat yang relative rendah sehingga untuk memikirkan pendidikan anak-anaknya sangat kurang, ini disebabkan karena penduduk yang berpenghasilan dari bertani bahkan ada yang hanya merupakan buruh tani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari apalagi untuk pendidikan anak-anak mereka.

c. Faktor Agama yang masih mengental yaitu keyakinan masyarakat mengenai kedewasaan seseorang hanya ditinjau dari segi agama saja yaitu seorang dikatakan dewasa apabila telah tiba masa haid bagi wanita dan mimpi basah bagi laki-laki, sedangkan mengenai umur tidak dipermasalahkan (Rodliyah, 2001).

Beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :

a. Faktor Keinginan bebas pada remaja

(38)

sebagaimana yang dijelaskan oleh Neidhart dalam Gunarsah (2008) bahwa remaja atau adolescentia sedang mengalami masa peralihan dari kedudukan ketergantungannya terhadap keluarga menuju kehidupan dengan kedudukan mandiri.

Jannah (2012) menjelaskan bahwa salah satu penyebab pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat Desa Pandan (Madura) ialah adanya kesiapan diri pada remaja. Selain orang tua, pendorong terjadinya pernikahan dini di Desa Pandan disebabkan adanya kemauan diri sendiri dari pasangan. Hal ini disebabkan mereka sudah merasa bisa mencari uang sendiri dan juga pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau media-media yang lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih terpengaruh untuk melakukan pernikahan di bawah batas minimal usia perkawinan.

b. Faktor ekonomi

(39)

Sejalan dengan hal itu, Jannah (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa para orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda mengganggap bahwa dengan menikahkan anaknya, maka beban ekonomi keluarga akan berkurang satu. Hal ini disebabkan jika anak sudah menikah, maka akan menjadi tanggung jawab suaminya. Bahkan para orang tua juga berharap jika anaknya sudah menikah, maka akan dapat membantu kehidupan orang tuanya.

c. Faktor pendidikan

Dalam konteks pendidikan, penelitian Landung dkk (2009) dan menjelaskan bahwa rendahnya tingkat pendidikan orang tua, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur. Hal tersebut berkaitan dengan rendahnya tingkat pemahaman dan pengetahuan orangtua terkait konsep remaja gadis. Pada masyarakat pedesaan umumnya terdapat suatu nilai dan norma yang menganggap bahwa jika suatu keluarga memiliki seorang remaja gadis yang sudah dewasa namun belum juga menikah dianggap sebagai aib keluarga, sehingga orang tua lebih memilih untuk mempercepat pernikahan anak perempuannya.

(40)

anaknya sudah ada yang menyukai, dan orang tua tidak mengetahui adanya akibat dari pernikahan muda ini.

d. Faktor kebudayaan

Keberadaan budaya lokal (Parampo Kampung) memberi pengaruh besar terhadap pelaksanaan pernikahan dini, sehingga masyarakat tidak memberikan pandangan negatif terhadap pasangan yang melangsungkan pernikahan meskipun pada usia yang masih remaja. Hal ini yang menyebabkan kaum pemuka adat tidak merniliki kemampuan untuk dapat mengatur sistem budaya yang mengikat bagi warganya dalam melangsungkan perkawinan karena batasan tentang seseorang yang dikatakan dewasa masih belum jelas (Landung dkk, 2009).

e. Faktor orang tua

Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.

f. Faktor media massa

(41)

g. Faktor adat

Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.

Faktor penyebab Pernikahan Dini Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda adalah:

a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu

muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.

c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.

Terdapat juga beberapa faktor lain dalam (Departemen Kesehatan RI : 2006) yang menyebabkan pernikahan dini dikalangan remaja, yaitu:

a. Peran gender dan kurangnya alternatif (Gender roles and a lack of alternatives),

b. Nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pranikah (value of virginity and fears about premarital sexual activity).

(42)

d. Kemiskinan (the role of poverty).

Selain itu faktor yang berhubungan dengan pernikahan dini adalah pekerjaan pelaku pernikahan dini. Pekerjaan dapat mengukur status sosial ekonomi serta masalah kesehatan dan kondisi tempat seseorang bekerja (Guttmacher dalam Yunita, 2014). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zai (2010) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara pekerjaan responden dengan kejadian pernikahan dini. Pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan, status sosial, pendidikan dan masalah kesehatan bagi orang itu sendiri.

4. Keuntungan dan Dampak Positif Pernikahan Dini

Keuntungan Pernikahan Dini:

a. Menikah di usia muda bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi cemerlang

b. Dari segi psikolgis menikah usia muda baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga dapat mencapai kematangan

c. Dapat mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat atau sempurna. d. Mampu memenuhi separuh dari kebutuhan psikologis manusia e. Sehingga mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang

mengesankan

f. Kehidupan dapat terarah dan memiliki tujuan yang lebih jelas g. Dengan pernikahan jiwa menjadi tenang dan kualitas mental yang

(43)

Dampak Positif Pernikahan Dini:

a. Dukungan emosional: Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan emosional dan spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).

b. Dukungan keuangan: Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban ekonomi menjadi lebih menghemat.

c. Kebebasan yang lebih: Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka bebas melakukan hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka secara finansial dan emosional. d. Belajar memikul tanggung jawab di usia dini: Banyak pemuda

yang waktu masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih kecil dikarenakan ada orang tua mereka, disini mereka harus dapat mengatur urusan mereka tanpa bergantung pada orang tua.

e. Membentengi pemuda atau pemudi dari penyimpanan, karena pernikahan dapat mewujudkan bagi mereka kesempatan untuk memuaskan kebutuhan seksual

f. Pembentukan keluarga, hal yang menuntut adanya kesadaran akan kehidupan berumah tangga bagi suami-istri dan tanggung jawab berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban timbal balik, antara suami dan istri, atau antara mereka dengan anak-anak.

5. Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi

(44)

mencapai umur 16 tahun, umur tersebut bila dilihat dari segi fisiologis seseorang umumnya sudah masak, pada umur tersebut seseorang sudah bisa membuahkan keturunaan.

Pada masa ini tanda bahwa alat untuk memproduksi keturunan telah berfungsi, tapi kalau dilihat dari segi psikologis sebenarnya pada anak wanita umur 15 tahun belum bisa dikatakan bahwa anak tersebut sudah dewasa secara psikologis. Demikian juga pada pria umur 19 tahun, belum bisa dikatakan masak secara psikologis pada umur tersebut biasanya masih digolongkan sebagai remaja (Walgito, 2000).

Menurut Walgito, dengan mengacu pada penjelasan dari Undang-Undang perkawinan bab II pasal 7 ayat (1) mengatakan bahwa yang menonjol dalam meletakan batas umur dalam perkawinan lebih atas dari dasar pertimbangan kesehatan, artinya bahwa batasan umur tersebut, remaja sudah bisa dikatakan telah matang secara fisik, karena dari segi biologis, pada usia remaja proses pematangan organ reproduksi mulai berfungsi, walaupun demikian pasangan usia remaja berisiko tinggi untuk berproduksi, khususnya bagi remaja putri dan anak yang dikandungnya.

(45)

belum mempunyai pekerjaan yang tetap dan kadang masih bergantung pada orang lain.

Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.

Di sekitar kita ada banyak bukti empiris dan tidak perlu dipaparkan di sini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cermelang. Selain itu, menurut bukti-bukti psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin menncapai kematangan yang puncak (Adhim, 2003). Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikolgis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan.

C. Remaja Wanita

(46)

Latin disebut adolescere, memiliki arti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan yang dimaksud tidak hanya berarti kematangan secara fisik, tapi terutama kematangan sosial dan psikologis.

Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, dan terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif mandiri (Sarwono, 1997).

Pada anak perempuan yang berumur sekitar 9 sampai 11 tahun sudah mulai timbul tanda-tanda pertama kematangan seksual, yaitu pembesaran payudara. Sesudah itu baru dimulai pertumbuhan rambut di daerah kemaluan bagian luar dan ketiak.

(47)

setengah buln baru datang haid keduanya. Jadi, jelas bahwa pada permulaan kematangan seksual, siklus haid belum teratur.

Untuk membimbing anak-anak gadis menuju pada kedewasaan, diperlukan pendidik yang (1) berkepribadian sederhana, (2) penuh dengan perasaan hangat terhadap anak, (3) jujur dan (4) tidak terlampau banyak menuntut kepada anak didiknya (Gunarsa: 2012).

Menurut Hurlock (2002), salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah.

Membedakan perkembangan emosional dan kepribadian pada masa remaja yaitu:

1. Harga Diri

(48)

Sebuah penjelasan terhadap penurunan harga diri di antara perempuan selama masa remaja awal lebih difokuskan pada citra tubuh negatif anak perempuan selama perubahan pubertas dibandingkan anak laki-laki (Harter, 2006). Penjelasan lain melibatkan minat yang lebih besar pada gadis-gadis remaja yang lebih muda dalam hubungan sosial dan kegagalan masyarakat untuk memberi penghargaan terhadap minat tersebut.

Sebuah studi terbaru mempelajari mengapa beberapa gadis remaja pulih dan mengembangkan harga diri yang sehat, namun yang lain tidak (Impett, 2008). Dalam studi ini, baik harga diri maupun autentisitas hubungan (sebuah konstitensi antara apa yang kita pikirkan dan rasakan, dan apa yang dikatakan dan dilakukan dalam konteks relasi) meningkat dari kelas delapan hingga kelas dua belas.

Juga, harga diri anak-anak perempuan yang mendapatkan skor tinggi pada autentisitas hubungan di kelas delapan meningkat lebih banyak selama masa remaja dibandingkan dengan anak perempuan yang mendapatkan skor rendah di kelas delapan.

2. Identitas

(49)

identitas yang berbeda. Akibatnya, remaja mencari arsip identitas budaya mereka, bereskperimen dengan peran dan kepribadian yang berbeda.

Mereka mungkin ingin mengejar satu bulan (misalnya pengacara) dan karier lain dibulan berikutnya (misalnya dokter, aktor, guru, pekerja sosial dan astronout). Mereka mungkin berpakaian rapi satu hari, dan sembarangan di hari berikutnya. Eksperimen tersebut merupakan upaya yang disengaja oleh remaja untuk mencari tahu kecocokan mereka di dunia. Kebanyakan remaja akhirnya menyingkirkan peran yang tidak diinginkan.

3. Perkembangan Emosional

Masa remaja telah lama digambarkan sebagai periode kekacauan emosional (Hall, 1904). Dalam bentuk ekstrim, pandangan tersebut terlalu stereotip karena remaja tidak selalu dalam keadaan “badai dan stress”.

Namun, masa remaja awal adalah waktu meningkatnya fluktuasi (naik turun) emosi (Rosenblum & Lewis, 2003). Remaja yang lebih muda dapat berada di atas dunia pada satu waktu dan turun dalam kesedihan pada waktu berikutnya.

(50)

atau menggunakan mekanisme pertahanan untuk menggantikan perasaan-perasaan mereka kepada orang lain.

Para peneliti telah menemukan bahwa perubahan pubertas terkait dengan peningkatan emosi negatif (Archibald, Graber & Brooks-Gunn, 2003). Namun, sebagian besar peneliti menyimpulkan bahwa faktor hormonal memiliki pengaruh yang kecil, dan bahwa ketika pengaruh tersebut terjadi, mereka biasanya terkait dengan faktor-faktor lain, seperti stres, pola makan, aktivitas seksual, dan hubungan sosial (Susman & Rogol, 2004).

Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin maju, status wanita mengalami perubahan dalam berbagai hal. Saat ini wanita telah memperoleh pendidikan dan kesempatan bekerja yang sama dengan pria. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya saat ini wanita yang berperan ganda, yaitu menjadi istri bagi suaminya, menjadi ibu bagi anak dan bekerja diberbagai bidang atau memiliki profesi lain. Peran “tradisional” mereka sebagai ibu rumah tangga diakui masih tetap melekat erat mengiringi perkembangan eksistensi mereka. Banyak orang kemudian mempertanyakan bagaimana mungkin seorang wanita dapat menjalankan berbagai aktifitas ditengah–tengah khalayak luas, sementara rumah tangganya perlu ditangani secara saksama (Susanto, 1997).

(51)

pengasuhan anak-anak hanya semata-mata tanggung jawab wanita dan kekuatan fisik sangat menentukan dalam kehidupan perekonomian, maka perbedaan peran gender adalah yang paling tajam (Basow, 1984 dalam Sarlito, 2012).

Temuan Susan Basow ini sangat bertentangan dengan pandangan klasik psikoanalisis dari Sigmund Freud (1856-1939) yang menyatakan bahwa ada atau tidak adanya penislah yang menentukan perkembangan jiwa seseorang menjadi kelaki-lakian atau wanita. Pada mulanya, bayi yang baru lahir memang biseksual, namun dalam perkembangannya anak laki-laki yang mempunyai penis ingin memiliki ibunya dan ia bersaing dengan ayahnya.

Dalam persaingannya itu, ia mengidentifikasi dirinya (berusaha membuat dirinya sama) dengan ayahnya, maka menjadi kelaki-lakianlah dia. Sebaliknya anak perempuan yang tak berpenis iri hati pada ayahnya yang berpenis (penis envy). Ia ingin memiliki ayah yang berpenis itu dan untuk itu ia mengidentifikasikan diri dengan ibunya. Maka timbullah sifat kewanitaan pada diri anak perempuan tersebut (Freeman dan Small, 1960; Rocah, 1984; Bertens, 1980).

(52)

sampai 1972 terkumpul bukti-bukti bahwa anggapan-anggapan berikut ini adalah tidak benar:

a. Anak perempuan lebih bersifat sosial daripada laki-laki b. Anak perempuan lebih mudah terpengaruh

c. Anak perempuan punya harga diri yang lebih rendah

d. Anak perempuan lebih mudah mempelajari peran dan tugas yang lebih sederhana.

e. Anak laki-laki lebih analitis

f. Anak perempuan lebih dipengaruhi oleh bakat, sedangkan anak laki-laki oleh lingkungan

g. Anak perempuan kurang memiliki hasrat untuk berprestasi

h. Anak perempuan cenderung lebih mendengarkan, sedangkan anak laki-laki lebih melihat (Benedek, 1979).

(53)

a. Pembauran antargenerasi. Tidak ada pemisahan antargenerasi yang tegas, anak-anak segera menjadi dewasa dan mengambil alih seluruh peran orang dewasa.

b. Perekonomian yang dilancarkan dari rumah tangga. Setiap rumah tangga merupakan unit penghasil barang produksi, baik berupa hasil pertanian maupun kerajinan. Setiap anggota keluarga jadinya terlibat dalam kegiatan perekonomian.

c. Anak-anak sudah terlibat dalam kegiatan ekonomi sejak usia 10-11 tahun.

d. Selalu ada orang dewasa di rumah, karean nenek dan kakek tinggal serumah dengan anak-cucu mereka sampai mereka meninggal.

Alasan pemilihan subjek remaja wanita dalam penelitian ini, karena dimana pada usia tersebut kini, semakin banyak peneliti yang menemukan bahwa kematangan lebih awal meningkatkan kerentangan sejumlah masalah. Anak perempuan yang matang lebih awal cenderung untuk menuntut kemandirian lebih dini dari orang tuanya. Anak perempuan yang matang lebih awal cenderung tidak menyelesaikan SMA-nya dan cenderung hidup bersama atau menikah lebih awal.

D. Dinamika Kematangan Emosi pada Wanita yang Melakukan Pernikahan Dini

(54)

cara-cara yang lebih bermanfaat dan cara-cara yang lebih baik pula. Pernikahan dini adalah suatu pernikahan yang dilaksanakan baik secara formal atau tidak formal yang dilaksanakan diusia remaja dibawah batasan minimum yang telah diatur. Chaplin (2011) satu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak. Adhim (2002) menyebutkan kemtangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan di usia muda.

Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial bahwa pernikahan di usia remaja bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang semakin tidak terkendali, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang.

Selain itu, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga dapat lebih mungkin mencapai kematangan yang baik. Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi setengah dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang akan menjadikan manusia mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan.

(55)

terkejut, dan reaksi emosi lainnya ketika ada gejolak dalam dirinya atau saat berhubungan dengan orang lain. Semua emosi tersebut sangat berguna dalam hidup manusia, sehingga ia bisa bertahan hidup.

Akan tetapi, sering orang menilai emosi yang bukan termasuk kategori menyenangkan sebagai emosi negatif. Seolah-olah manusia tidak boleh mengalami emosi selain rasa senang; kalau demikian halnya, ia bukan manusia lagi, tetapi robot yang dapat diprogram senang saja ataupun netral. Dari berbagai emosi tersebut, hampir semua emosi termasuk kategori negatif, seperti rasa jijik, malu, marah sedih, takut, terkejut.

Konsensus yang berkembang adalah bahwa kunci perubahan dalam identitas terjadi ketika remaja beranjak dewasa (usia 18 tahun hingga 25 tahun) atau setelahnya, dan bukan di masa remaja. Emosi dalam penelitian ini yang dimaksudkan adalah emosi positif seperti rasa bahagia, dan berstandard pada teori seperti tidak meledak-ledak, mampu menyesuaikan suasana.

(56)

Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan pelbagai masalah pribadinya dengan orang lain. Keterbukaan, perasaan dan masalah pribadi dipengaruhi sebagian oleh tingkat kesukaannya pada “orang sasaran” yaitu orang yang

kepadanya remaja mau mengutarakan pelbagai kesulitannya, dan oleh tingkat penerimaan orang sasaran itu.

Pernikahan muda sering terjadi karena seseorang berpikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berpikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah (Sanderwitz dan Paxman dalam Sarwono, 1994), tetapi sebenarnya hidup berumah tangga membutuhkan kematangan emosi dan pemikiran untuk menghadapi dan mengendalikan hakekat perkawinan dan peran orang tua yang akan disandang (Adhim, 2002).

(57)

Kematangan emosi yang terjadi pada pernikahan dini mampu mandiri dalam mengurus rumah tangganya, dapat mengontrol diri dengan keadaan yang dihadapinya, mengendalikan diri dalam lingkungan baru, rasa konsekuen memberikan reaksi yang tepat sesuai dengan tuntutan yang dihadapi.

Bagian terbesar orang dewasa mengalami pula emosi yang sama dengan anak-anak, namun mereka mampu mengontrolnya lebih baik, khususnya di tengah-tengah situasi sosial. Renaja diperkirakan berusia; 12-21 tahun untuk anak gadis, yang diperkirakan lebih cepat dibanding anak laki-laki, dan antara 13-22 tahun bagi anak lak-laki.

Dalam perspektif gender, tuntutan menikah jauh lebih berat pada perempuan dewasa dari pada laki-laki. Kecenderungan budaya patriarkis pada masyarkat Indonesia telah membuat perempuan didorong untuk menjadi ibu dan istri dalam sebuah keluarga agar ia dihargai sebagai anggota mayarakat sepenuhnya.

Apabila seorang perempuan belum juga menikah pada waktu berumur 30 tahun, mereka cenderung mengganti tujuan dan nilai hidupnya ke arah nilai dan tujuan yang baru dan berorientasi pada pekerjaan, karir, dan kesenangan pribadi. Pada umumnya perempuan dewasa awal yang menunda pernikahan terhalang karena belum menemukan pasangan yang tepat, namun ada juga yang hidup melajang karena merupakan pilihan.

(58)

tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan masyarakat untuk melakukan perkawinan dini motife melakukan pernikahan dini adalah danya kebanggaan dalam mendekatkan hubungan keluarga, faktor pendidikan yang rendah, faktor pengaruh tradisi serta adat kebiasaan, faktor kurangnya pengetahuan serta kesadaran masyarakat, faktor keadaan ekonomi dan faktor perbuatan nekat sehingga terjadi hamil di luar nikah (Maryani, 2002).

Kematangan emosi remaja dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhinya adalah perubahan jasmani, faktor individu dan faktor pengalaman, salah satu ciri kedewasaan seseorang dilihat dari segi psikologis ialah bila seseorang telah dapat mengendalikan emosinya, dan dengan demikian dapat berpikir secara baik, dapat menempatkan persoalan sesuai dengan keadaan seobyektif-obyektifnya.

Faktor eksternal yang mempengaruhi kematangan emosi remaja dapat dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama adalah faktor yang berasal dari lingkungan keluarga, bagian kedua dari faktor eksternal yang mempengaruhi kematangan emosi remaja adalah lingkungan sosial masyarakat. Bagian ketiga adalah perubahan pandangan luar dan bagian keempat dari faktor eksternal yang mempengaruhi kematangan emosi remaja adalah perubahan dalam hubungannya dengan sekolah.

(59)

Dilihat secara psikologis pun, pernikahan seseorang yang masih belum cukup usia atau dibawah umur tentu juga akan memberikan dampak yang mungkin bisa menjadi sebuah trauma, karena ketidaksiapan menjalankan tugas-tugas perkembangan yang muncul setelah adanya pernikahan sementara secara kemampuan dan kematangan diri belum mampu untuk menjalani kewajiban atau tugas-tugas tersebut.

Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik serta psikis emosional, ekonomi dan sosial.

(60)

Ar-Rum Ayat 21

ق خ ْ أ هتايآ ْنم ْمكنْيب لعج ا ْيلإ اونكْستل اًجا ْ أ ْمكسفْنأ ْنم ْمكل

ّكفتي ْوقل ايآ كلذ يف ّ إ ً ْح ً ّدوم

Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri

dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].

Aku berkata : Dalam ayat ini terangkum pengertian cinta. Sakinah

Yaitu perasaan nyaman, cenderung, tentram atau tenang kepada yang dicintai,

… ا ْيلإ اونكْستل

Artinya: supaya kamu merasa nyaman kepadanya

Seperti orang yang penat dengan kesibukan dan kebisingan siang lalu menemukan kenyamanan dan ketenangan dalam kegelapan malam. Surat Yunus ayat 67:

ل لْيّ لا مكل لعج ي ّلا وه وع ْسي ْوقل ايآ كلذ يف ّ إ اً صْ م ا ّنلا هيف اونكْست

Artinya: “Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat

(61)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami masalah sosial yang didasari pada penelitian yang menyeluruh (holistik), dibentuk oleh kata-kata, dan diperoleh dari situasi yang alamiah. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengkaji, membuka, menggambarkan atau menguraikan sesuatu apa adanya. Baik yang berbentuk kata-kata, maupun bahasa serta bertujuan untuk memahami fenomena dan temuan-temuan yang ditemukan ataupun terjadi di lapangan berdasarkan bukti-bukti atau fakta-fakta sosial yang ada, misalnya persepsi, perilaku, motivasi dan lain-lain.

Dalam buku Metode Penelitian Kualitatif (2007) Moleong mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

(62)

hidup. Hal ini dikarenakan fenomenologis merupakan suatu metode atau pendekatan untuk mendeskripsikan gejala sebagaimana gejala itu menampakkan dirinya pada pengamat.

Metode kualitatif fenomenologis menekankan pengeksplorasian dan penggambaran dunia pengalaman subjek seperti apa adanya. Pembentukan konsep diri sangat dipengaruhi oleh pengalaman seseorang. Oleh karena itu, kematangan emosi pada wanita yang melakukan pernikahan dini sangat sesuai diteliti dengan menggunakan metode kualitatif fenomenologis.

B. Sumber Data

Sumber data yang dimaksudkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Sumber data primer ada dua dan sumber data sekunder ada empat. Karakteristik sumber adalah remaja wanita yang sedang berada di usia 16-21 tahun dan melakukan pernikahan dini, identifikasi bahwa melakukan pernikahan dini berdasarkan pada pengakuan subjek dan orang-orang yang dekat dengan keluarga subjek, serta dokumen buku nikah sumber data primer.

Bertempat desa Petiken, kecamatan Driyorejo, kabupaten Gresik. Awalnya berencana ke KUA akan tetapi ditakutkan jika data yang dicari tidak sesuai, sehingga mencari-cari data sendiri dengan bantuan teman-teman sehingga mendapatkan 2 orang subjek yang pada awalnya direncanakan 3 orang dikarenakan kesulitan mencari subjek.

(63)

tahun) yang disingkat menjadi Sl, memiliki hubungan dengan subjek sebagai ibu kandung. Data sekunder kedua adalah Feri Juliansah (27 tahun) yang disingkat menjadi Fj, memiliki hubungan dengan subjek sebagai suami.

Data primer kedua adalah Sukaryawati (19 tahun) menikah di usia 19 tahun, yang diberi inisial Sw. Data sekunder pertama adalah Sri Astatik (43 tahun) yang disingkat menjadi Sa, memiliki hubungan dengan subjek sebagai saudara sepupu dan tetangga. Data sekunder kedua adalah Dwi Darmawan (22 tahun) yang disingkat menjadi Dd, memiliki hubungan dengan subjek sebagai suami.

Tabel 1: Gambaran umumdari Subyek

Identitas SUBYEK 1 SUBYEK2

Nama Ir (inisial nama) Sw (inisial nama)

Jenis kelamin Perempuan Perempuan

Pekerjaan Ibu rumah tangga Ibu rumah tangga

Jumlah anak Belum Hamil

Anak ke Anak kedua dari 3

bersaudara

Anak kedua dari 2 bersaudara

(64)

dikarenakan hamil di luar nikah, tidak sesuai dengan penelitian ini yang menikah karena individu memang matang emosinya.

Penelitian berdasarkan keterangan yang diungkapkan oleh subjek selama 3 kali pertemuan tatap muka, dikarenakan keterbatasan subjek untuk mengungkapkan kata-kata yang diinginkan. Selama 3 kali pertemuan tersebut data yang diperoleh peneliti dibagi yaitu, pertemuan pertama hanya sebagian pertanyaan yang di ajukan dan sebagian sisanya di ajukan untuk pertemuan kedua. Sedangkan data yang didapatkan peneliti dalam pertemuan yang ketiga, pertanyaan yang sebelumnya dipisah, diajukan peneliti menjadi satu dengan berkembangnya pertanyaan yang muncul dari jawaban subjek.

Tujuan pertanyaan saat pertemuan pertama dan kedua di bagi dikarenakan untuk mengetahui ada berapa banyak lagi data yang dapat digali oleh peneliti yang menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Sedangkan tujuan pertemuan yang ketiga kenapa pertanyaan digabungkan menjadi satu, untuk mengetahui bagaimana keadaan psikologi atas kematangan emosi dalam melakukan pernikahan usia dini, serta menggali lagi informasi yang sebelumnya tidak peneliti dapatkan.

Tabel 2: Gambaran umum significant other dari Ir (Subyek 1) Identitas Significant Other 1 Significant Other 2

Nama Sl (inisial nama) Fj (inisial nama)

Jenis kelamin Perempuan Laki-laki

Usia 43 tahun 27 tahun

Pendidikan SMA MTS

Pekerjaan Ibu rumah tangga Office boy

Anak 3 Belum

(65)

Tabel 3: Gambaran umum significant other dariSw (Subyek 2) Identitas Significant Other 1 Significant Other 2

Nama Sa (inisial nama) Dd (inisial nama)

Jenis kelamin Perempuan Laki-laki

Usia 43 tahun 22 tahun

Pendidikan S1 SD

Pekerjaan Guru SMA Buruh

Anak 2 Belum

Hubungan dengan subjek Saudara sepupu dan Tetangga

Suami

C. Cara Pengumpulan Data 1. Metode Observasi

Observasi adalah kegiatan yang dilakukan dengan memperhatikan secara akurat dan mencatat fenomena. Data observasi dikatakan penting oleh Patton (Poerwandari, 2007) karena dengan metode observasi akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang konteks yang sedang diteliti, menunjukkan peneliti bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan daripada pembuktian dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif serta merefleksikan pemikiran mereka tentang pengalamannya, yang terkadang kurang disadari responden.

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan observasi terhadap tingkah laku subjek selama proses wawancara dan dalam kegiatan sehari-hari subjek.

2. Metode Wawancara

Wawancara menurut pendapat Benister (Poerwandari, 2007) adalah

(66)

pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewe) yang memberikan jawaban.

Maksud dilakukan wawancara untuk mengetahui informasi tentang pribadi

responden, perasaan, pendapat, anggapan, aktivitas, motivasi dan tujuan

(Moleong 2004). Jenis wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah

wawancara semi terstruktur.

3. Metode Dokumentasi

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif (Sugiyono, 2014). Berdasarkan pada dokumen buku nikah sumber data primer, kartu keluarga dan akta kelahiran.

D. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data

Analisis data dalam metode penelitian kualittatif dengan pendekatan fenomenologis dilakukan melalui beberapa tahap. Tahapan dalam melakukan analisis data dapat dijelaskan sebagai berikut (Creswell, 1998):

(67)

disertakan dalam transkrip itu. Keterangan lain seperti tempat wawancara, waktu wawancara, dan bentuk wawancara juga akan ditambahkan di dalamnya.

2. Membaca dengan teliti data yang sudah diatur. Peneliti akan membaca dengan teliti dan bekali-kali data yang telah ada (coding). Dengan demikian, maka akan mendapatkan insight mengenai tema-tema penting dari pernyataan subjek.

3. Deskripsi pengalaman peneliti di lapangan. Peneliti akan memberikan gambaran tentang pengalaman dan observasi saat sedang melakukan wawancara terhadap subjek. Situasi saat wawancara, kejadian yang timbul selama proses wawancara, kendala yang dihadapi dalam melakukan wawancara, serta hal lainnya yang berkaitan dengan pengalaman di lapangan.

E. Keabsahan Data

Keabsahan Data dalam penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2012, 121) meliputi uji kredibilitas data, uji transferabiliti, uji depenabiliy, dan uji confirmability. Pada penelitian ini digunakan uji kredibilitas untuk menguji keabsahan data. Uji kredibilitas data dilakukan dengan perpanjangan pengamatan dan triangulasi.

(68)
(69)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Partisipan

Subjek utama dalam penelitian ini 2 orang wanita yang melakukan pernikahan di usia dini. Setiap subjek memiliki 2 significant other untuk membantu memperoleh data yang diinginkan oleh peneliti. Keduanya tersebut bertempat tinggal di satu kecamatan yang sama yaitu desa Petiken, kecamatan Driyorejo, kabupaten Gresik. Untuk significant other yang dipilih adalah orang terdekat dari subjek yang sekiranya secara nyata mengetahui seluk-beluk subjek ketika menikah sehingga peneliti mendapatkan data yang tepat dan sesuai dengan topik yang diangkat.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara di rumah masing-masing subjek. Adapun waktu penelitian disesuaikan dengan jadwal yang dimilki subyek, jarak lokasi menuju tempat kedua subjek cukup dekat yaitu masih dalam satu wilayah yang mudah untuk dijangkau. Selama proses wawancara untuk mengumpulkan data, peneliti perlu berhati-hati dengan setiap pertanyaan agar tidak menyinggung subjek.

1. Subjek pertama

(70)

subjek seorang pekerja. Dalam keseharian subjek tidak memiliki kegiatan karena subjek yang tidak bekerja, hanya mengurus tangga tetapi tidak setiap hari melakukan pekerjaan rumah tangga.

Kehidupan Ir dengan orang tua cukup sederhana, letak rumah Ir yang di desa rumah lumayan bagus dan layak ditempati, kondisi perekonomian subjek tergolong menengah. Ayahnya bekerja sebagai penjaga pasar, untuk ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Sang ibu termasuk orang yang sangat terbuka dan bersedia diwawancarai, sehingga peneliti mudah mendapat data untuk Ir

Ir anak kedua dari 3 bersaudara, mempunyai kakak perempuan yang juga sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Kakak perempuannya tinggal di kost-kostan yang berada dekat dengan tempat bekerja. Untuk anak dari sang kakak dititipkan dengan keluarga dan dijemput seminggu sekali, sedangkan adik laki-lakinya masih bersekolah menempuh pendidikan SMP.

Kemudian significant other atau informan pendukung, untuk subjek pertama memiliki 2 orang yaitu Sl dan Fj. Sl merupakan ibu dari Ir, pekerjaannya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, Sl berusia 43 tahun. Significant other yang kedua yaitu Fj. Fj adalah suami Ir, Fj bekerja menjadi OB (Office Boy) di salah satu Mall, Surabaya. Fj berusia 27 tahun. 2. Subjek kedua

(71)

pekerja, subjek dan suami bertempat tinggal di rumah subjek dengan sang ibu. Akan tetapi sang suami jarang pulang karena jarak rumah yang sangat jauh antara tempat kerja, dalam kesehariannya subjek tidak memiliki kegiatan selain hanya mengurus rumah tangga dan tidak dilakukan setiap hari.

Subjek anak kedua dari 2 bersaudara, mempunyai kakak perempuan yang juga sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Hubungan subjek dengan sang kakak tidak terlalu dekat. Ayah dari subjek Sw sudah meninggal karena sakit, Sw hanya tinggal berdua dengan ibunya. Adapun pekerjaan ayahnya bekerja sebagai pegawai pabrik begitu juga dengan ibunya.

Kehidupan subjek dengan sang ibu sangat sederhana, letak rumah subjek di desa termasuk layak ditempati, kondisi perekonomian subjek tergolong menengah kebawah. Sedangkan ibunya mengalami pendengaran sejak lama tidak tahu kapan pastinya, ketika subjek SD kelas 6 sang ibu sudah mulai gangguan pendengaran. Peneliti pernah bertanya tentang gangguan pendengaran sang ibu, subjek berkata bahwa itu efek samping obat tetapi subjek tidak mengetahui obat apa itu dan pernah mengalami operasi kanker payudara.

Gambar

Tabel 4: Hasil analisa kematangan emosi dari wawancara dan observasi ......... 102
Tabel 1: Gambaran umum dari Subyek
Tabel 2: Gambaran umum significant other dari Ir (Subyek 1)
Tabel 3: Gambaran umum significant other dari Sw (Subyek 2)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Buku register atau file khusus dalam bentuk softcopy tentang registrasi pengajuan keberatan pelayanan informasi Berkas pengajuan keberatan pelayanan informasi yang telah diisi

Namun, pada saat yang sama, ada korelasi antara hasil-hasil belajar siswa dengan gelar akademis guru yang tidak dapat dijelaskan hanya oleh perbedaan pengetahuan tentang

Bertujuan memberikan keyakinan apakah laporan keuangan dari organisasi yang diaudit telah menyajikan secara wajar tentang posisi keuangan, hasil operasi atau usaha, dan arus

“ PUTIH UNTUK ABU-ABU ” yang digunakan sebagai tugas akhir3. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada

Kandungan air buah dan kandungan vitamin C (Tabel 5) pada melon yang diuji tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding.Kandungan gula pada genotipe IPB Meta 4 (4.2 ° Brix)

melalui RAMSI Australia berusaha untuk dapat diakui dan diterima sebagai regional powers di kawasan Pasifik Selatan, yang mana dari segi ekonomi dan militer Australia

Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun

dan persepsi pribadi, setelah semuanya dipelajari maka ia akan dapat menyimpulkan pandangan-pandangan mana yang bertahan atau yang paling populer, sehingga pendapat yang dominan