• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil

4.12. Data laboratorium

4.13.2. Pembahasan Hasil Penelitian

4.13.2.1. Pasien DHF berdasarkan data demografi 4.13.2.1.1. Pasien DHF berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan pengelompokkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang mencolok antara jumlah pasien dengan jenis kelamin laki – laki maupun perempuan. Secara keseluruhan jumlah pasien dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu 28 pasien (53,8%) dan pasien dengan jenis kelamin laki – laki sebanyak 24 pasien (46,6%). Penelitian

yang dilakukan oleh Afiana dan Mery (2012) dari Universitas Muhammadiyah Semarang menunjukkan bahwa pasien DHF yang paling banyak adalah pasien dengan jenis kelamin laki – laki yaitu sebesar 330 anak (55,09%) dari keseluruhan jumlah populasi sebesar 599 anak.

4.13.2.1.2. Pasien DHF berdasarkan umur

Berdasarkan data demografi dari pengelompokkan umur pasien DHF, sebagian besar pasien DHF pada kelompok umur 1 – 14 tahun yaitu sebesar 29 pasien (55,7%) dengan 16 pasien (61,5%) diberikan antibiotik, kemudian pasien pada kelompok 15 – 44 tahun sebesar 21 pasien (40,4%) dengan 9 pasien (34,6%) diberikan antibiotik dan kelompok umur < 1 tahun sebesar 1 pasien (3,8%) yang diberikan antibiotik. Penelitian yang dilakukan oleh Aryu (2010) menunjukkan bahwa dalam penelitiannya pasien DHF yang paling banyak adalah pasien pada kelompok umur < 15 tahun yaitu sebesar 95% dan mengalami pergeseran dengan adanya peningkatan proporsi pasien pada kelompok umur 15 – 44 tahun, sedangkan proporsi pasien pada kelompok umur >45 tahun sangat rendah. Hal ini mungkin dikarenakan pengaruh dari sistem imun anak – anak yang kurang kebal dan pola hidup yang kurang diperhatikan.

4.13.2.2. Analisis Pasien DHF Berdasarkan Hasil Tepat Diagnosis

Berdasarkan hasil data yang dilihat dari diagnosis pasien yang diperoleh menunjukkan bahwa pasien yang tanpa disertai infeksi dengan trombosit > 100.000/µL (trombositopenia) paling banyak yaitu 29 pasien (55,7 %) dari 52 pasien merupakan tepat diagnosis, dengan trombosit 100.000 – 150.000 terdapat 20 pasien (38 %) dari 52 pasien termasuk tepat diagnosis dan dengan trombosit > 150.000 tidak ada untuk pasien tanpa disertai infeksi sekunder. Sementara, untuk pasien dengan disertai infeksi sekunder dengan trombosit < 100.000 terdapat 2 pasien, dengan trombosit 100.000 – 150.000 terdapat 7 pasien dan pasien yang disertai infeksi sekunder dengan trombosit > 150.000 terdapat 3 pasien bisa dikatakan tepat diagnosis. Untuk pasien dengan trombosit > 150.000 kemungkinan

32

32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

belum masuk pada fase demam atau fase syok, yang mana trombosit dalam jumlah normal atau lebih akan kemudian menurun pada fase tersebut.

Berdasarkan diagnosis DHF menurut kriteria WHO 1999, secara klinis pasien DHF dengan trombositopenia (< 100.000/µ L). Terjadi penurunan hitung trombosit dari nilai normal. Umumnya pada masa akut jumlah trombosit 100.000/mm3 darah untuk patokan rawat inap dan rawat jalan 150.000/mm3. Pada saat awal infeksi, trombosit dalam jumlah normal kemudian menurun drastis, hingga saat fase demam, fase syok mencapai puncak terendah (bisa mencapai 20.000), setelah itu perlahan naik kembali pada fase konvalesken, setelah itu 7 – 10 setelah sakit maka akan kembali normal.

4.13.2.3. Analisis Tepat Indikasi

Berdasarkan hasil penelitian dari pemberian antibiotik pada pasien DHF, antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan tanpa komplikasi infeksi tidak tepat. Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi tifoid merupakan tepat indikasi. Akan tetapi, terdapat 1 pasien yang disertai infeksi tifoid tidak diberikan antibiotik merupakan tidak tepat indikasi, karena pengobatan dari tifoid yaitu antibiotik. Kemudian antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi ISPA termasuk tepat indikasi dan terdapat pula 4 pasien yang disertai infeksi ISPA tidak diberikan antibiotik termasuk tidak tepat indikasi.

Sesuai indikasi antibiotik secara umum yaitu antibiotik mempunyai indikasi penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Sedangkan DHF itu sendiri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (Nursalam, 2005). Karena disebabkan oleh virus, maka pemberian antibiotik dalam pengobatan DHF tidak diperlukan kecuali jika terdapat infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri dan apabila terjadi DSS (Dengue Syok

Syndrome), mengingat kemungkinan infeksi sekunder dapat terjadi dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna.

karena antibiotik yang digunakan kebanyakan adalah golongan sefalosporin generasi ketiga. Dimana, sefalosporin generasi ketiga sebaiknya diberikan pada pasien apabila pemberian sefalosporin generasi pertama dan generasi kedua sudah tidak bisa untuk memperbaiki keadaan pasien (Farmakologi bergambar).

4.13.2.4. Analisa Tepat Obat

Berdasarkan hasil penelitian dari pemberian antibiotik pada pasien DHF, antibiotik yang paling banyak diberikan adalah seftriakson. Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien dengan diagnosis tanpa disertai infeksi tidak tepat. Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi tifoid dapat dikatakan tepat obat. Akan tetapi, pemilihan antibiotik seftriakson bukan merupakan pengobatan pilihan utama untuk infeksi tifoid. Pengobatan untuk tifoid pilihan utama menggunakan antibiotik seperti kloramfenikol. Kemudian antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi ISPA juga dapat dikatakan tepat. Namun, pemilihan antibiotik seftriakson bukan merupakan pengobatan pilihan utama. Seftriakson merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga. Dimana, sefalosporin generasi ketiga sebaiknya diberikan pada pasien apabila pemberian sefalosporin generasi pertama dan generasi kedua sudah tidak bisa untuk memperbaiki keadaan pasien (Farmakologi bergambar).

Seftriakson termasuk anitibiotik spektrum luas yaitu golongan sefalosporin. Karena termasuk sefalosporin generasi ketiga, seftriakson sebaiknya diberikan pada pasien apabila sefalosporin generasi pertama dan generasi kedua sudah tidak bisa untuk memperbaiki keadaan pasien. Seftriakson diberikan sebagai generasi selanjutnya untuk perbaikan dari generasi pertama dan generasi kedua (Farmakologi bergambar). Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati penyakit infeksi

34

34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang menyerang, belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas (Farmakologi bergambar).

4.13.2.5. Analisis Tepat Dosis

Berdasarkan hasil penelitian yang dilihat dari dosis yang diberikan kepada pasien paling banyak pasien DHF diberikan antibiotik seftriakson dengan dosis 2 g sehari dan seftriakson dengan dosis 1 g sehari yaitu keseluruhan pasien masing – masing sebanyak 12 pasien (10,6%) dan 3 pasien (5,7%) serta dosis 2x400 mg 1 pasien (1,9%) dosis 1x1 ½ g 1 pasien (1,9%). Apabila dilihat dari hasil data berdasarkan umur, pasien dengan kelompok umur 1 – 14 tahun adalah paling banyak, untuk pasien pada kelompok umur 1 – 14 tahun terdapat 5 pasien (12 tahun, 12 tahun, 12 tahun, 9 tahun, 6 tahun) dengan dosis 2 g sehari, 3 pasien (10 tahun, 9 tahun, 1 tahun) dengan dosis 1 g sehari dan 1 pasien (4 tahun) dengan dosis 2x400 mg serta 1 pasien (7 tahun) dengan dosis 1x1 ½ g yang diberikan antibiotik seftriakson. Sedangkan pasien yang diberikan antibiotik lain sebanyak 6 pasien untuk kelompok umur 1 – 14 tahun, yaitu antibiotik sefadroksil 3 pasien (6 tahun) dengan masing – masing dosis 3x300 mg, (6 tahun) dosis 3x400 mg dan (8 tahun) dosis 2x250 mg, sefiksim 2 pasien (7 tahun) dengan dosis 1x1 g dan (11 tahun) dosis 3x1 g dan ciprofloksasin 1 pasien (12 tahun) dengan dosis 2x500 mg. Sehingga jumlah pasien dengan kelompok umur 1 – 14 tahun yang diberikan antibiotik sebanyak 16 pasien (61,5%).

Dalam buku Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 - 2003) menyatakan bahwa dosis dari seftriakson untuk orang dewasa adalah 1 – 2 g setiap 12 – 24 jam, untuk anak > 12 tahun 250 mg dalam dosis tunggal dan anak < 12 tahun 125 mg dalam dosis tunggal. Dalam penelitian ini, pasien anak – anak dengan umur 1 – 14 tahun adalah yang paling banyak. Sehingga untuk pasien anak – anak dengan umur 1 – 14 tahun, dosis yang diberikan adalah tidak sesuai atau terlalu besar. Sedangkan untuk pasien dewasa, dosis yang diberikan sudah sesuai menurut buku literatur

menurut buku Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003) dosis bayi dan anak – anak adalah 30 mg/kg/hari terbagi dalam 2 kali sehari, dosis maksimal hingga 2 g/hari, dosis orang dewasa adalah 1 – 2 g/hari dalam 1 – 2 dosis terbagi, dosis maksimum untuk orang dewasa 4 g/hari. Dalam penelitian ini, pasien yang diberikan sefadroksil terdapat 3 pasien dengan kelompok umur 1 – 14 tahun untuk masing – masing dosis 3x300 mg (6 tahun), dosis 3x400 mg (8 tahun) dan dosis 2x250 mg (6 tahun). Untuk kelompok umur 1 – 14 tahun dosis yang diberikan sesuai dengan buku literatur Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003).

Dalam penelitian ini, untuk antibiotik sefiksim diberikan dosis 1x1 kapsul (7 tahun) dan dosis 3x1 kapsul (11 tahun) pada kelompok umur 1 –

14 tahun serta pada kelompok umur 15 – 44 tahun (34 tahun) dengan dosis 2x1 kapsul. Disini, dosis 1x1 kapsul yang diberikan untuk pasien pada kelompok umur 1 – 14 tahun dengan berat badan 25 kg adalah kurang, sedangkan dosis 3x1 kapsul yang diberikan untuk pasien pada kelompok umur 1 – 14 tahun sesuai menurut buku literatur Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003) yaitu dosis untuk bayi dan anak 8 mg/kg/hari dibagi setiap 12 – 24 jam, dosis maksimum 400 mg/hari, dewasa 400 mg/hari setiap 12 – 24 jam. Apabila diberikan untuk pasien dewasa dosis tersebut juga sesuai menurut buku literatur Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003). Sedangkan antibiotik siprofloksasin terdapat 1 pasien dengan dosis 2x500 mg untuk kelompok umur 1 – 14 tahun (12 tahun). Pada buku Drug Information Handbook, menyatakan bahwa dosis untuk dewasa infeksi ringan 250 mg 2x/hari, infeksi berat 500

– 750 mg 2x/hari, sehingga dosis yang diberikan sesuai untuk orang dewasa dan kurang sesuai untuk kelompok umur 1 – 14 tahun. Antibiotik sefotaksim, di sini digunakan pada pasien kelompok umur < 1 tahun yaitu umur 6 bulan dengan dosis yang diberikan 2x300 mg. Dalam buku Drug Information Handbook menunjukkan, dosis untuk bayi dan anak 1 bulan sampai 12 tahun adalah 50 – 180 mg/kg/hari dalam dosis terbagi setiap 4 –

6 jam. Untuk pasien dengan umur 6 bulan, dosis tersebut yang diberikan sesuai menurut buku Drug Information Handbook.

36

36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Antibiotik selanjutnya yang digunakan adalah amoksisilin, yaitu diberikan pada pasien kelompok umur 15 – 44 tahun (27 tahun) dengan dosis 3x500 mg. Dalam buku Drug Information Handbook menyatakan, dosis untuk anak ≤ 3 bulan adalah 20 – 30 mg/kg/hari terbagi setiap 12 jam, untuk anak > 3 bulan atau < 40 kg adalah 20 – 50 mg/kg/hari dosis terbagi setiap 8 – 12 jam, dan untuk dewasa adalah 250 – 500 mg setiap 8 jam atau 500 – 875 mg 2x sehari, dosis maksimum 2 – 3 g/hari. Jadi, dosis amoksisilin yang diberikan sesuai dengan buku Drug Information Handbook untuk pasien pada kelompok umur 15 – 44 tahun.

4.13.2.6. Analisis Tepat Cara Pemberian

Berdasarkan data hasil cara pemberian, antibiotik yang diberikan paling banyak diberikan secara oral yaitu merupakan tepat cara pemberian. Cara pemberian secara injeksi juga termasuk tepat cara pemberian. Dalam penelitian ini, pasien yang paling banyak adalah pasien dengan umur 1 –

14 tahun. Antibiotik lebih banyak diberikan secara oral kemungkinan dikarenakan kebanyakan pasien adalah pasien umur 1 – 14 tahun yang akan lebih susah diberikan secara injeksi dibandingkan diberikan secara oral. Karena bentuk sediaan antibiotik yang tersedia di rumah sakit maupun di pasaran adalah berupa tablet, kapsul atau puyer dan tidak bisa diberikan secara injkesi sehingga cara pemberiannya secara oral.

4.13.2.7. Analisis Tepat Lama Pemberian

Berdasarkan hasil lama pemberian obat antibiotik menunjukkan bahwa sebagian besar pasien DHF diberikan terapi antibiotik yaitu berkisar antara 4 – 6 hari yang merupakan tepat lama pemberian. Sementara untuk lama pemberian selama 1 – 3 hari, 7 – 9 hari dan > 9 hari merupakan tidak tepat lama pemberian. Dimana, berdasarkan lama pemberian antibiotik secara umum adalah antibiotik paling lama diberikan selama 7 hari atau sampai antibiotik tersebut habis.

Distribusi frekuensi lama pemberian obat antibiotik disini berdasarkan lama perawatan pasien di RS Mintohardjo, yaitu pasien

diberikan terapi obat antibiotik pada saat pasien datang ke RS sampai pasien keluar dari RS. Akan tetapi, ada beberapa pasien yang diberikan antibiotik berkisar antara 1 – 3 hari kemudian pada hari berikutnya tidak diberikan antibiotik. Hal ini dikarenakan keluhan pasien pada hari selanjutnya yang memungkinkan untuk tidak diberikan antibiotik.

4.13.2.8. Analisis waspada efek samping

Berdasarkan hasil penelitian dari keluhan pasien, demam atau panas, mual, muntah, sakit kepala atau pusing dan lemas adalah keluhan yang paling banyak dikeluhkan oleh pasien DHF, baik pasien DHF yang diberikan antibiotik maupun pasien DHF yang tidak diberikan antibiotik. Infeksi dari gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus pertama kali dapat memberi gejala sebagai demam dengue.

Keluhan pasien tersebut dapat juga ditimbulkan dari efek samping obat antibiotik seperti seftriakson yang menimbulkan efek samping gastrointestinal yaitu faeces encer / diare, mual, muntah, stomatitis dan glositis. Sefiksim memberikan efek samping seperti syok, reaksi hipersensitivitas, kelainan hematologi, peningkatan hasil tes fungsi hati, gangguan saluran cerna, disfungsi ginjal, gangguan pernapasan, sakit kepala atau pusing. Siprofloksasin mempunyai efek samping seperti mual, rasa tidak enak pada perut, dyspepsia, kembung, diare dan stomatitis, kolitis psedomembranosa, sakit kepala, pusing, tidak enak badan, mengantuk, rasa capek, kegelisahan, insomnia, terkadang depresi, halusinasi, pandangan kabur, psikosis dan kejang serta kulit kemerahan. Sedangkan untuk amoksisilin mempunyai efek samping berupa reaksi kepekaan seperti erythematosus maculopapular, rash, urtikaria, serum sickness. Reaksi kepekaan yang serius dan fatal pada amoksisilin adalah anafilaksis terutama terjadi pada penderita yang hipersensitif pada penisilin, gangguan saluran pencernaan seperti mual, muntah dan diare, reaksi – reaksi hematologik (biasanya bersifat reversibel).

38

38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.13.2.9. Analisis Tepat Pasien

Berdasarkan data catatan rekam medis yang didapatkan, tidak dituliskan atau tidak dicantumkan bahwasannya pasien mempunyai riwayat alergi, adanya penyakit kelainan ginjal atau kerusakan hati dan kondisi khusus misalnya pasien tersebut hamil, laktasi, balita atau lansia. Sehingga terdapat kesulitan untuk mempertimbangkan pemilihan obat dan untuk menganalisis ketepatan pasien, apakah obat yang diberikan pada pasien tersebut telah memenuhi syarat tepat pasien atau tidak.

Dalam teori pada penelitian ini, obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu atau pasien yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari (Swestika, 2013).

4.13.2.10. Pasien DHF berdasarkan lama perawatan

Berdasarkan hasil penelitian dari lama perawatan pasien DHF, sebagian besar pasien dirawat di RS selama 4 – 6 hari. Pada penelitian oleh Afiana dan Mery (2012) dari Universitas Muhammadiyah Semarang menunjukkan bahwa pasien DHF paling lama dirawat selama 4 – 6 hari di Rumah Sakit. Ini dilihat dari hasil laboratorium pasien, dimana hasil data laboratorium berdasarkan kadar trombosit pasien semakin meningkat setiap harinya. Sehingga memungkinkan pasien untuk tidak dirawat di rumah sakit atau diperbolehkan pulang. Kadar trombosit normal adalah 150.000 sampai 450.000 trombosit per mikro-liter darah.

4.13.2.11. Pasien DHF berdasarkan data laboratorium 4.13.2.11.1. Pasien DHF berdasarkan kadar trombosit

Berdasarkan hasil data laboratorium dilihat dari kadar trombosit menunjukkan bahwa sebagian besar pasien mengalami trombositopenia.

Penelitian Afiana dan Merry (2012) dari Universitas Muhammadiyah Semarang, menunjukkan adanya penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa terjadi pada pasien DHF, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit.

Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai hari ke-8 sakit, yang sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan hemtokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DHF, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi.

4.13.2.11.2. Pasien DHF berdasarkan kadar hematokrit

Berdasarkan hasil kadar hematokrit menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara jumlah pasien dengan hemokonsentrasi maupun dengan kadar hematokrit normal. Jumlah pasien dengan keadaan hemokonsentrasi lebih banyak dibanding pasien dengan kadar hematokrit normal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Afiana dan Mery (2010) menunjukkan jumlah pasien dengan keadaan hemokonsentrasi lebih sedikit disbanding pasien dengan kadar hematokrit normal. Peningkatan nilai hematokrit terjadi sebelum atau bersamaan dengan penurunan jumlah trombosit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan.

40

40 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB V

Dokumen terkait