• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Antibiotik pada Pasien DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Antibiotik pada Pasien DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

i

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT

PADA PASIEN DHF (

DENGUE HEMORRHAGIC

FEVER

) DITINJAU DARI PENGGUNAAN

ANTIBIOTIK DI RUMKITAL ( RUMAH SAKIT

ANGKATAN LAUT ) DR. MINTOHARDJO JAKARTA

PUSAT

SKRIPSI

SHELLY ZALLINA SUSTIAWATI 1110102000007

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

EVALUASI RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT

PADA PASIEN DHF (

DENGUE HEMORRHAGIC

FEVER

) DITINJAU DARI PENGGUNAAN

ANTIBIOTIK DI RUMKITAL ( RUMAH SAKIT

ANGKATAN LAUT ) DR. MINTOHARDJO JAKARTA

PUSAT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi SHELLY ZALLINA SUSTIAWATI

1110102000007

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

(3)

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

Telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Shelly ZallinaSustiawati NIM : 1110102000007

Tanda Tangan :

(4)
(5)
(6)

Farmasi

Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Antibiotik pada Pasien DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat

Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk AedesAegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, sehingga pemberian antibiotic dalam pengobatan DHF tidak diperlukan kecuali jika terdapat komplikasi infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pemberian antibiotik pada penatalaksanaan pasien DHF.

Penelitian ini dilakukan di RUMKITAL DR Mintohardjo Jakarta Pusat. Responden yang diambil adalah pasien dengan diagnose akhir DHF di RUMKITAL DR Mintohardjo Jakarta Pusat periode 2013. Data penelitian merupakan data sekunder yaitu dari catatan medik pasien.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik pada penderita DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL DR Mintohardjo masih cukup besar dilihat dari catatan medik pasien tersebut.

(7)

vii

ABSTRACT Shelly Zallina Sustiawati

Pharmacy

Evaluation rationality of Antibiotics usage for Dengue Hemorrhagic Fever’s Patient on RUMKITAL (Navy Hospital) Dr.Mintohardjo Central Jakarta.

Dengue Hemorrhagic Fever is an infectious disease due to the dengue virus and transmitted through bites of Aedes Aegypti mosquitos. This disease could attack every single person and caused a death. In this case, antibiotics usage for Dengue

Hemorrhagic Fever medicine treatment is not necessary, except if there’s some

secondary infection complication that cause of bacteria. The research done to know the illustrate of Antibiotics usage for the DHF Patients management.

The Research held in RUMKITAL Dr.Mintohardjo Central Jakarta. And take a Dengue Hemorrhagic Fever Patient diagnostics in 2013 at RUMKITAL Dr.Mintohardjo as a Respondent. Research Data is a secondary data from Patient Medical Record.

(8)

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Obat pada Pasien DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) Ditinjau dari Penggunaan Antibiotik di RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat” ini. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, teladan bagi umat manusia dalam mejalani kehidupan.

Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di Instalasi Rekam Medik pada pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo, serta teori yang didapat dari berbagai literatur. Dalam menyelesaikan masa perkuliahan sampai penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan dan bimbingan banyak pihak. Oleh karena itu, ucapan terimakasih penulis haturkan kepada:

1. BapakYardi, Ph.D., Apt sebagai Pembimbing I dan bapak Letkol Laut (K) Drs. R. E. Aritonang, M.Si., Apt sebagai Pembimbing II yang telah memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga dan pikiran selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran da Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Ofa Suzanthi Betha, M.Si., Apt selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan selama masa perkuliahan.

(9)

ix

6. Segenap pegawai RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang telah memberikan bimbingan da bantuan selama penelitian di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta.

7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Adhan S.H dan Ibunda Niswatin yang selalu ikhlas tanpa pamrih memberikan kasih sayang, dukungan moral, material, nasehat – nasehat, serta lantunan doa di setiap waktu.

8. Masku Alvian Meydiananda, sahabatku Kurnia Anisah, S. Farm, adekku Nasrul Ja’far dan Visa yang selalu memberikan arahan, semangat dan dukungan.

9. Teman – teman di Program Studi Farmasi: Aina, Khulfa serta teman – teman farmasi 2010 atas semangat dan kebersamaan kita selama perkuliahan berlangsung.

10. Teman – teman seperjuangan selama penelitian di RUMKITAL Dr. Mintohardjo: LukLuk, Halida, Isti dan Rendy atas bantuan yang telah diberikan.

11. Teman – teman White House: Nia, Shulcha, Alung, Hilma dan Reka atas semangat dan kebersamaan kita selama ini. Semoga tetap terjalin persaudaraan kita dan akan terus berlanjut.

12. Keluarga IKPI Jakarta 2010 (Nurfa, Arik, Tsalis, Ahep), keluarga besar IKPI Jakarta dan keluarga FORMALA serta saudara sekosan Elvin atas dukungan dan hiburan yang telah diberikan.

13. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan penulisan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat , 6 Juli 2015

(10)

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Shelly Zallina Sustiawati NIM : 1110102000007

Program Studi : Strata-1 Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul:

Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat pada Pasien DHF ( Dengue Hemorrhagic Fever) Ditinjau dari Penggunaan Antibiotik di RUMKITAL

(Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang – undang Hak Cipta. Demikian pernyataan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada tanggal :

Yang menyatakan,

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIYAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

2.1 Demam DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)... 4

2.1.1 Definisi Demam DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) . 4 2.1.2 Etiologi ... 4

2.1.3 Patogenesis ... 5

2.2 Rasionalitas Obat ... 8

2.3 Antibiotik ... 11

2.3.1 Definisi antibiotik ... 11

2.3.2 Penggolongan antibiotik ... 11

2.3.3 Penggunaan antibiotik... 15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 17

(12)

3.2.2 VariabelTerikat... 18

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 20

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ... 20

3.5.1 Populasi ... 20

3.5.2 Sampel. ... 20

3.5.3 Kriteria Sampel ... 21

3.6 Sumber Data.. ... 21

3.7 Analisa Data.. ... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1 Hasil ... 22

4.2 Data demografi ... 22

4.2.1 Jenis kelamin ... 22

4.2.2 Umur ... 23

4.3 Data Hasil Analisis Tepat Diagnosis Penyakit ... 23

4.4 Data Hasil Analisis Tepat Indikasi ... 24

4.5 Data Hasil Analisis Tepat Obat ... 24

4.6 Data Hasil Analisis Tepat Dosis ... 25

4.7 Data Hasil Analisis Tepat Cara pemberian ... 27

4.8 Data Hasil Analisis Tepat Lama Pemberian ... 27

4.9 Data Hasil Analaisis Waspada Efek Samping ... 28

4.10 Data Hasil Analisis Tepat Pasien ... 28

4.11 Data Hasil Analisis Lama Perawatan ... 29

4.12 Data laboratorium ... 29

4.12.1 Kadar trombosit ... 29

4.12.2 Kadar hematokrit ... 30

4.13 Pembahasan ... 30

4.13.1 Keterbatasan penelitian ... 30

4.13.2 Pembahasan hasil penelitian ... 30

(13)

xiii

4.13.2.1.1 Pasien DHF berdasarkan jenis kelamin ... 30

4.13.2.1.2 Pasien DHF berdasarkan umur.. ... 31

4.13.2.2 Analisis Pasien DHF Berdasarkan Hasil Diagnosis 31

4.13.2.3 Analisa Tepat Indikasi.. ... 32

4.13.2.4 Analisa Tepat Obat ... ……… 33

4.13.2.5 Analisis Tepat Dosis ... 34

4.13.2.6 Analisis Tepat Cara Pemberian ... 36

4.13.2.7 Analisis Tepat Lama Pemberian ... 36

4.13.2.8 Analisa waspada efek samping ... 37

4.13.2.9 Analisa Tepat Pasien ... 38

4.11.2.9 Pasien DHF Berdasarkan Lama Perawatan ... 38

4.11.2.10 Pasien DHF berdasarkan data laboratorium ... 38

4.11.2.10.1 Pasien DHF berdasarkan kadar trombosit ... 38

4.11.2.10.2 Pasien DHF berdasarkan kadar hematokrit ... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran……… … ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(14)

4.1 Kriteria pasien.. ... 22

4.2 Data demografi pasien DHF berdasarkan jenis kelamin ... 22

4.3 Data demografi pasien DHF berdasarkan umur……… .. 23

4.4 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan hasil diagnosis DHF ... 23

4.5 Distribusi pemberian antibiotik pasien berdasarkan indikasi... 24

4.6 Distribusi antibiotik yang diberikan kepada pasien DHF ... 24

4.7 Distribusi dosis obat yang diberikan kepada pasien DHF ... 25

4.8 Distribusi antibiotik berdasarkan cara pemberian ... 27

4.9 Distribusi lama pemberian antibiotik pasien DHF ... 27

4.10 Distribusi frekuensi data klinis pasien ... 28

4.11 Distribusi antibiotik berdasarkan kondisi pasien ... 28

4.12 Distribusi frekuensi lama perawatan pasien ... 29

4.13 Parameter laboratorium pasien berdasarkan kadar trombosit ... 29

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Definisi kelompok umur ... 43 Lampiran 2. Alur penelitian ... 44 Lampiran 3. Surat izin melakukan penelitian di RUMKITAL ... 45 Lampiran 4. Mintohardjo Surat permohonan izin pengambilan data Kabag

Minmed RSMTH ... 46 Lampiran 5. Surat permohonan izin pengambilan data Kasubbag Rawat Inap

(16)

BAB I

Pasien yang terinfeksi virus dengue akan terjadi respon berupa sekresi mediator vasoaktif yang berakibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan perembesan cairan ke ekstravaskuler (plasma kebocoran), sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Supriatna, 2010). Sampai saat ini belum ada terapi yang spesifik untuk DHF. Karena disebabkan oleh virus, maka pemberian antibiotik dalam pengobatan DHF tidak diperlukan kecuali jika terdapat infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri dan apabila terjadi DSS (Dengue Syok Syndrome), mengingat kemungkinan infeksi sekunder dapat terjadi dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Namun dalam beberapa kasus penanganan pasien DHF masih ditemukan pemberian antibiotik. Prinsip pengobatan demam berdarah adalah penggantian volume cairan akibat pembocoran plasma dan mempertahankan oksigenasi jaringan akibat syok hipovolemik (Hapsari, 2010).

Pada penelitian yang dilakukaan oleh staff Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang, Afiana Rohmani dan Mery Tiyas Anggraini di rumah sakit Roemani Semarang tahun 2010, menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik yang tidak sesuai pada pasien DHF anak masih luas. Dengan hasil penderita DHF tanpa komplikasi sebesar 88%, sementara yang tidak mendapatkan antibiotik hanya 5%. Di samping itu, informasi yang didapat dari Departemen Farmasi RUMKITAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Dr. Mintohardjo bahwa dari catatan rekam medis pasien DHF ditemukan penggunaan antibiotik secara luas.

(17)

2

2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

biaya pengobatan dan efek samping dari pemberian antibiotik seperti terjadinya resistensi (Hooton dan Levy, 2001).

Rasionalitas antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang didasarkan asas tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, serta waspada terhadap efek samping yang mungkin timbul dari pemberian antibiotik secara rasional. Penggunaan obat yang rasional lebih diarahkan pada pasien agar didapatkan hasil yang aman, efektif dan efisien (DepKes RI, 1997).

Penggunaan Obat secara Rasional (POR) merupakan suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia. Dalam situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu dan biaya yang sesuai, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif (Swestika, 2013).

Beberapa tahun terakhir, kasus DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) seringkali muncul di musim pancaroba, khususnya bulan januari di awal tahun. Karena itu, masyarakat perlu mengetahui penyebab penyakit DHF, mengenali tanda dan gejalanya, sehingga mampu mencegah dan menanggulangi dengan baik. Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita (Kemenkes, 2015)

(18)

1.2 Perumusan Masalah

Apakah penggunaan antibiotik terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintoharjo sudah memenuhi konsep rasional.

1.3 Tujuan Penelitian

 Mengetahui gambaran pemberian antibiotik terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintoharjo Jakarta Pusat.

 Untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.

1.4 Manfaat Penelitian

 Dengan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data – data ilmiah yang memberikan informasi tentang penggunaan antibiotik terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.

 Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan landasan bagi tenaga medis agar penggunaan antibiotik dapat mengikuti kaidah rasionalitas.

1.5 Batasan Penelitian

(19)

4

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) 2.1.1 Definisi DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)

Demam berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit demam akut terutama menyerang pada anak – anak, dan saat ini cenderung polanya berubah ke orang dewasa. Gejala yang ditimbulkan dengan manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan shock yang dapat menimbulkan kematian (Depkes, 2006).

Infeksi virus dengue dapat menyebabkan Demam Dengue (DD),

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), dan Syndrom Shock Dengue (SSD). Infeksi dengue di jumpai sepanjang tahun dan meningkat pada musim hujan. Demam berdarah dengue merupakan penyakit infeksi yang masih menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini masih disebabkan oleh karena tingginya angka morbiditas dan mortalitas (Depkes, 2006).

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue adalah penyakitr menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak (Nursalam, 2005).

2.1.2 Etiologi

(20)

sedang mengalami viremia, maupun secara tidak langsung setelah mengalami masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8 – 10 hari. Pada manusia diperlukan waktu 4 – 6 hari atau 13 – 14 hari sebelum menjadi sakit setelah virus masuk dalam tubuh (Nursalam, 2005).

Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus sebagai vector ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi pertama kali dapat memberi gejala sebagai demam dengue. Apabila orang itu mendapat infeksi berulang oleh tipe virus dengue yang berlainan akan menimbulkan reaksi yang berbeda. DHF dapat terjadi bila seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya (Mansjoer, 2000).

2.1.3 Patogenesis

a. Proses perjalanan penyakit

Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk

Aedes Aegypti dimana virus tersebut akan masuk ke aliran darah, maka terjadilah viremia (virus dalam aliran darah). Kemudian aliran darah beredar ke seluruh tubuh maka virus tersebut dapat dengan mudah menyerang organ tubuh manusia. Paling banyak organ yang terserang adalah system gastrointestinal, hepar, pembuluh darah dan pada reaksi imunologi. Jika virus masuk ke dalam system gastrointestinal maka tidak jarang pasien mengeluh mual, muntah dan anoreksia. Bila virus menyerang organ hepar, maka virus dengue tersebut mengganggu system kerja hepar, dimana salah satunya adalah tempat sintesis dan oksidasi lemak, namun karena hati terserang virus dengue maka hati tidak dapat memecahkan asam lemak tersebut menjadi benda – benda keton, sehingga akan menyebabkan pembesaran hepar atau hepatomegali, dimana pembesaran hepar ini akan menekan abdomen dan menyebabkan distensi abdomen.

(21)

6

6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

faktor koagulasi merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat. Dapat terjadi kebocoran plasma yang akan menyebabkan hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan berakhir dengan kematian. Bila virus bereaksi dengan antibody maka mengaktivasi system komplemen untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah atau terjadi demam, dimana dapat terjadi DHF dengan derajat I, II, II, IV

b) Manifestasi perdarahan, termasuk paling tidak setelah di uji dengan tourniquet positif dan tampak bentuk lain perdarahan spontan (petechia, purpura, echimosis, epistaksis, perdarahan gusi dan hematemesis melena)

c) Pembesaran hati

d) Syok, yang ditandai nadi cepat dan lemah (130 x/menit), disertai oleh tekanan darah menurun (tekanan systole manurun sampai 80 mmHg atau kurang) dan kulit yang teraba dingin dan lembab, terutama pada ujung hidung, jari dan kaki. Penderita mengalami gelisah serta timbul sianosis di sekitar mulut.

c. Klasifikasi

Berdasarkan derajat beratnya DHF secara klinis dibagi sebagai berikut (Mansjoer, 2005):

a) Derajat I (ringan)

(22)

b) Derajat II (sedang)

Ditemukan pula perdarahan kulit dan manifestasi perdarahan yang lebih hebat seperti: ptikie, purpura, ekimosis dan perdarahan konjugtiva.

c) Derajat III

Didapatkan perdarahan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah tekanan menurun (20 mmHg) hipotens, sianosis disekira mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.

d) Derajat IV

Terdapat dengue syok syndrome (DSS) dengan nadi dan tekanan darah yang tidak terukur.

d. Komplikasi

Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah (Hidayat, 2004) diantaranya:

a) Perdarahan gastrointestinal karena trombositopenia serta terganggunya fungsi trombosit di samping difisiensi yang ringan atau sedang.

b) Syok hipovolumik karena kekurangan plasma sampai 20% atau lebih, menghilangnya plasma melalui endhotelium ditandai dengan peningkatan hematokrit yang menyebabkan asidosis metabolik, bahkan menimbulkan kematian.

c) Efusi pleura terjadi karena kerusakan dinding pembuluh darah bersifat sementara, dengan pemberian cairan yang cukup syok dapat di atasi dari efusi pleura biasanya menghilang setelah beberapa kali perawatan.

(23)

8

8 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2 Rasionalitas Obat

Penggunaan Obat secara Rasional (POR) merupakan suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia. Dalam situsnya, WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu dan biaya yang sesuai, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif.

WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Tujuan dari penggunaan obat rasional yaitu untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau.

Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:

a. Tepat Diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.

b. Tepat Indikasi Penyakit

(24)

c. Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

d. Tepat Dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

e. Tepat Cara Pemberian

Obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivitasnya.

f. Tepat Interval Waktu Pemberian

Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

g. Tepat Lama Pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing – masing. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

h. Waspada Terhadap Efek Samping

(25)

10

10 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah d wajah.

i. Tepat Penilaian Kondisi Pasien

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna.

j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau

Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat – obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis.

Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB.

k. Tepat Informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi.

l. Tepat Tindak Lanjut (follow-up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tidak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping.

m. Tepat Penyerahan Obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien. n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan,

ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:

(26)

 Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering

 Jenis sediaan obat terlalu beragam

 Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi

 Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara minum/menggunakan obat

 Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urin menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu (KemenKes RI, 2011).

2.3 Antibiotik

2.3.1 Definisi Antibiotik

Antibiotik adalah agen yang digunakan untuk mencegah dan mengobati suatu infeksi karena bakteri ( Mitrea, 2008 ). Akan tetapi, istilah antibiotik sebenarnya mengacu pada zat kimia yang dihasilkan oleh satu macam organisme, terutama fungi yang menghambat pertumbuhan atau membunuh organisme yang lain ( Michael, 2006 ).

2.3.2 Penggolongan Antibiotik

Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Berdasarkan struktur kimia antibiotik

Berdasarkan strukturnya kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:

a) Golongan Aminoglikosida, antara lain amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin.

(27)

12

12 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

antibacterial yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium chrysognum.

c) Golongan Glikopeptida, antara lain vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin.

d) Golongan Poliketida, antara lain golongan makrolida (eritromisin, azitromisin, klariromisin, roksitromisin), golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin (doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin).

e) Golongan Polimiksin, antara polimiksin dan kolistin.

f) Golongan Kinolon (fluorokinolon), antara lain asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin dan trovafloksasin.

g) Golongan Streptogramin, antara lain pristinamycin, virginiamycin, mikamycin dan kinupristin-dalfopristin. h) Golongan Oksazolidinon, antara lain linezaolid.

i) Golongan Sulfonamida, antara lain kotrimoksazol dan trimetoprim.

j) Antibiotik lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam fusidat.

2. Berdasarkan toksisitas selektif

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat bakteriostatik dan ada yang bersifat bakterisid ( Farmakologi dan terapi edisi 5, 2008 ). Agen bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan agen bakterisida membunuh bakteri. Perbedaan ini biasanya tidak penting secara klinis selama mekanisme pertahanan pejamu terlibat dalam eliminasi akhir patogen bakteri. Pengecualiannya adalah terapi infeksi pada pasien immunocompromised dimana menggunakan agen – agen bakterisida (Michael, 2006).

(28)

dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antibiotik tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Famakologi dan terapi edisi 5, 2008).

3. Berdasarkan mekanisme kerja antibiotik

Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:

a) Inhibitor sintesis dinding sel bakteri

Memiliki efek bakterisidal dengan cara memecah enzim dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis dinding sel. Contohnya antara lain golongan beta-laktam seperti penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam, basitrasin, fosfomycin dan daptomycin.

b) Inhibitor sintesis protein bakteri

Memiliki efek bakterisidal atau bakteriostatik dengan cara mengganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel – sel normal dan menghambat tahap – tahap sintesis protein. Obat – obat yang aktivitasnya menginhibitor sintesis protein bakteri seperti aminoglikosida, makrolida, tetrasiklin, streptogamin, klindamisin, oksazolidinon, kloramfenikol. c) Menghambat sintesa folat

Mekanisme kerja ini terdapat pada obat – obat seperti sulfonamida dan trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi asam folat, tetapi harus membuat asam folat dari PABA (asam paraaminobenzoat), pteridin dan glutamate. Sedangkan pada manusia, asam folat merupakan vitamin dan kita tidak dapat menyintesis asam folat. Hal ini menjadi suatu target yang baik dan selektif untuk senyawa – senyawa antimikroba.

(29)

14

14 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Memiliki efek bakteriostatik dan bakterisidal dengan menhilangkan permeabilitas membran dan oleh karena hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obat – obat yang memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B, gramisidin, nistatin, kolistin. e) Mengganggu sintesis DNA

Mekanisme kerja ini terdapat pada obat – obat seperti metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat – obat ini menghambat asam deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga menghambat sintesis DNA. DNA girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan terbukanya dan terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat replikasi DNA.

f) Mengganggu sintesa RNA, seperti rifampisin (Janet, 2006 dan Hayes, 1996).

4. Berdasarkan aktivitas antibiotik

Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:

a) Antibiotik spektrum luas (broad spectrum)

Contohnya seperti tetrsiklin dan sefalosporin efektif terhadap organisme baik gram positif maupun gram negatif. Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati penyakit infeksi yang menyerang belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.

b) Antibiotik spekrtum sempit (narrow spectrum)

(30)

5. Berdasarkan daya hambat antibiotik

Terdapat 2 daya hambat antibiotik terhadap kuman yaitu ( Farmakologi dan terapi edisi 5, 2008):

a) Time dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya hambat maksimal jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas Kadar Hambat Minimal kuman. Contohnya pada antibiotik penisilin, sefalosporin, linezoid dan eritromisin.

b) Concentration dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya hambat maksimal jika kadarnya relatif tinggi atau dalam dosis besar, tapi tidak perlu mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu lama. Contohnya pada antibiotik aminoglikosida, fluorokuinolon dan ketolid.

2.3.3 Penggunaan Antibiotik

Pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat – obatan yang telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik. Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria pemakaian obat secara rasional meliputi (DepKes RI, 1997) : tepat indikasi, tepat obat, tepat penderita, tepat dosis dan cara pemakaian serta waspada efek samping.

(31)

16

16 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat Variabel Luar

3.2 Desain Operasional 3.2.1 Variabel Bebas

3.2.1.1 Penggunaan Obat Antibiotik Pada Pasien DHF

(33)

18

18 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

g. Golongan Streptogramin h. Golongan Oksazolidinon i. Golongan Sulfonamida j. Kloramfenikol

k. Klindamisin l. Asam Fusidat

3.2.2 Variabel Terikat 3.2.2.1 Tepat Diagnosis

Definisi: penggunaan obat sesuai dengan diagnosis pasien Skala : Nominal

Kategori : i. Tepat ii. Tidak tepat

3.2.2.2 Tepat Indikasi

Definisi: penggunaan obat sesuai indikasi berdasarkan diagnosis pasien.

Skala : Nominal Kategori :

i. Tepat ii. Tidak tepat

3.2.2.3 Tepat Obat

Definisi: pemilihan obat antibiotik pada pasien DHF berdasarkan pengobatan.

Skala : Nominal Kategori :

i. Tepat ii. Tidak tepat 3.2.2.4 Tepat Dosis

(34)

Skala : Nominal Kategori :

i. Tepat ii. Tidak tepat

3.2.2.5. Tepat Cara Pemberian

Definisi: ketepatan cara pemberian obat berdasarkan kondisi dan keadaan pasien.

Skala : Nominal Kategori :

i. Tepat ii. Tidak tepat

3.2.2.6 Tepat Lama Pemberian

Definisi: lama pemberian obat sesuai dengan penyakit pasien. Skala : Nominal

Kategori : i. Tepat ii. Tidak tepat

3.2.2.7 Efek Samping

Definisi: efek samping yang ditimbulkan akibat pemberian obat antibiotik pada pasien DHF.

Skala : Nominal Kategori :

i. Ada ii. Tidak ada

3.2.2.8 Tepat Pasien

Definisi: obat yang digunakan pasien mempertimbang kondisi individu pasien yang bersangkutan.

(35)

20

20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kategori : i. Tepat ii. Tidak tepat

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – Mei 2014. Sedangkan lokasi penelitian dilakukan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jl. Bendungan Hilir No. 17, Jakarta Pusat Telp. (021)5703081-85(021)5749037-40 Fax. (021)5711997 Indonesia.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini berupa data sekunder yaitu pengambilan data dilakukan dari catatan medis pasien DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) yang ada di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat.

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian 3.5.1 Populasi

Populasi penelitian adalah semua catatan medis pasien DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) di RUMKITAL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat pada periode tahun 2013.

3.5.2 Sampel

(36)

3.6.3 Kriteria sampel a) Kriteria inklusi

 Pasien dengan diagnosa penyakit DHF dengan atau tanpa disertai infeksi sekunder.

 Pasien dengan catatan medis yang lengkap. b) Kriteria eksklusi

 Pasien yang pindah ke Rumah Sakit lain sebelum terapi selesai dilaksanakan.

3.7Sumber Data

Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder yang didapatkan dari catatan medis antara lain:

a. Nama antibiotik b. Indikasi

c. Dosis

d. Lama pemberian e. Cara pemberian f. Jenis penggunaan

g. Data demografi (umur, jenis kelamin) h. Data klinis

i. Data laboratorium

3.8 Analisa Data

(37)

22

22 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Dari jumlah 52 sampel pasien Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dengan jumlah 26 pasien diberikan antibiotik dan jumlah 26 pasien tidak diberikan antibiotik yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Angkatan Laut (RUMKITAL) Dr. Mintohardjo. Data tersebut diambil dari bagian Instalasi Rekam Medik, untuk melihat gambaran dari setiap pemberian obat antibiotik terhadap pasien DHF di RUMKITAL Dr. Mintohardjo yang diteliti sesuai dengan kriteria inklusi. Sedangkan dari jumlah 24 data dengan kriteria eksklusi, sehingga total sampel yang didapat sebesar 76 sampel.

Tabel 4.1 Kriteria pasien DHF

Kriteria Jumlah pasien

N %

Diberikan antibiotik 26 50 Tidak diberikan antibiotik 26 50

Total 52 100

*N: jumlah pasien

4.2. Data demografi 4.2.1. Jenis kelamin

Tabel 4.2 Data demografi pasien DHF berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Jumlah pasien DHF

(38)

4.2.2. Umur

Tabel 4.3 Data demografi pasien DHF berdasarkan umur (ICD-10 WHO,1992) Umur (tahun) Jumlah pasien DHF

N % datanya terlihat umur yang paling banyak adalah 1 – 14 tahun sebesar 29 pasien (55,7%), diikuti oleh umur 15 – 44 tahun sebesar 21 pasien (40,4%), umur dibawah 1 tahun sebesar 1 pasien (2%), umur 45 – 64 sebanyak 1 pasien (2%) dan tidak ada pasien yang berumur diatas 45 tahun. Pengelompokkan umur diatas menurut ICD-10 WHO, 1992.

4.3. Data Hasil Analisis Tepat Diagnosis Penyakit

(39)

24

24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

merupakan tepat diagnosis, dengan trombosit 100.000 – 150.000 ada 7 pasien termasuk tepat diagnosis dan dengan trombosit > 150.000 terdapat 3 pasien (5,7 %) dari 52 pasien yang merupakan tepat diagnosis.

4.4. Data Hasil Analisis Tepat Indikasi

Tabel 4.5 Distribusi pemberian antibiotik pasien berdasarkan indikasi

Obat

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian antibiotik pada pasien DHF dengan indikasi tanpa disertai infeksi sekunder adalah cukup tinggi yaitu 19 pasien (36,53 %) dari 52 pasien merupakan tidak tepat indikasi. Sedangkan pasien DHF dengan indikasi disertai infeksi tifoid ada 2 pasien dan ISPA ada 5 pasien termasuk tepat indikasi. Sementara pasien DHF tanpa disertai infeksi sekunder yang tidak diberikan antibiotik sebanyak 21 pasien (40,38 %) dari 52 pasien merupakan tepat indikasi. Sedangkan pasien DHF yang disertai infeksi tifoid ada 1 pasien dan ISPA ada 4 pasien termasuk tidak tepat indikasi.

4.5. Data Hasil Analisis Tepat Obat

Tabel 4.6 Distribusi Antibiotik yang diberikan kepada pasien DHF

Antibiotik

(40)

(25 %) dari 52 pasien. Antibiotik yang paling banyak diberikan adalah seftriakson sebanyak 19 pasien, merupakan tidak tepat obat. Sedangkan pasien DHF dengan diagnosis disertai infeksi tifoid 1 pasien dan ISPA 3 pasien yang diberikan seftriakson dapat dikatakan tepat obat. Sementara pasien DHF dengan diagnosis tanpa disertai infeksi yang tidak diberikan antibiotik sebanyak 21 pasien (40,38 %) dari 52 pasien merupakan tepat obat. Sedangkan pasien DHF dengan diagnosis disertai infeksi tifoid yang tidak diberikan antibiotik 1 pasien dan ISPA 4 pasien termasuk tidak tepat obat.

4.6. Data Hasil Analisis Tepat Dosis

Tabel 4.7 Distribusi dosis obat yang diberikan kepada pasien DHF

(41)

26

26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(42)

4.7. Data Hasil Analisis tepat Cara Pemberian

Tabel. 4.8 Distribusi antibiotik berdasarkan cara pemberian

Nama antibiotik Cara pemberian Ketepatan Oral Injeksi Tepat Tidak

4.8. Data Hasil Analisis Tepat Lama Pemberian

(43)

28

28 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.9. Data Hasil Analisis Waspada Efek Samping Tabel 4.10 Distribusi frekuensi data klinis pasien

Keluhan Jumlah pasien DHF

N dg antibiotik N tanpa antibiotik

Demam/panas 23 24

Mual/muntah 17 17

Pusing/sakit kepala 11 13

Lemas 9 3 antibiotik maupun tidak diberikan tanpa antibiotik, paling banyak mengalami keluhan demam atau panas yaitu sebesar 23 pasien untuk pasien DHF yang

4.10. Data Hasil Analisis Tepat Pasien

(44)

Tabel diatas menunjukkan bahwa tidak ada pasien yang mempunyai kelainan ginjal, kerusakan hati atau riwayat alergi. Data yang ada untuk menentukan ketepatan pasien hanya data umur pasien. Dilihat dari data umur yang ada, menunjukkan semua tepat pasien.

4.11. Data Hasil Analisis Lama perawatan

Tabel 4.12 Distribusi frekuensi lama perawatan pasien

Lama perawatan Jumlah pasien DHF

N %

Dari data tabel diatas dapat diketahui bahwa lama perawatan pasien DHF terbanyak adalah 4 – 6 hari yaitu 33 pasien (63%), diikuti terbanyak kedua adalah 1 – 3 hari yaitu sebanyak 15 pasien (28,8%). Selanjutnya 7 – 9 hari sebanyak 3 pasien (5,7%) dan paling sedikit pasien DHF dengan lama perawatan selama lebih dari 9 hari yaitu 1 pasien (2%).

4.12. Data laboratorium

Parameter laboratorium yang dijadikan acuan adalah kadar trombosit dan hematokrit. Distribusi frekuensi kadar trombosit dan hemtokrit pada sampel pasien DHF pada saat dating ke RS adalah sebagai berikut:

4.12.1. Kadar trombosit

Tabel 4.13 Parameter laboratorium pasien berdasarkan kadar trombosit Kadar trombosit Jumlah pasien DHF

N %

<100.000 (trombositopenia) 29 55,7 100.000-150.000

(trombositopenia ringan) 20 38

>150.000 3 5,7

Total 52 100

(45)

30

30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pasien dengan trombositopenia sebanyak 29 pasien (55,7%), sedangkan pasien dengan trombositopenia ringan sebanyak 20 pasien (38%) dan pasien dengan trombositopenia tinggi sebanyak 3 pasien (5,7%).

4.12.2. Kadar hematokrit

Tabel 4.14 Distribusi frekuensi kadar hematokrit pasien

Kadar hematokrit Jumlah pasien DHF

N %

≤ 40 Vol % 24 46

>40 Vol % (hemokonsentrasi) 28 53,8

Total 52 100

*N: jumlah pasien

Dari tabel di atas, jumlah pasien dengan keadaan hemokonsentrasi lebih banyak dibanding pasien dengan kadar hematokrit normal, yaitu sebesar 28 pasien (53,8%).

4.13. Pembahasan

4.13.1. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi keterbatasan antara lain: kemungkinan masih ada keterbatasan waktu penelitian, keterbatasan dana penelitian dan keterbatasan data yang dikumpulkan untuk penelitian ini data retrospektif sehingga tidak semua informasi dapat diperoleh dengan lengkap.

4.13.2. Pembahasan Hasil Penelitian

4.13.2.1. Pasien DHF berdasarkan data demografi 4.13.2.1.1. Pasien DHF berdasarkan jenis kelamin

(46)

yang dilakukan oleh Afiana dan Mery (2012) dari Universitas Muhammadiyah Semarang menunjukkan bahwa pasien DHF yang paling banyak adalah pasien dengan jenis kelamin laki – laki yaitu sebesar 330 anak (55,09%) dari keseluruhan jumlah populasi sebesar 599 anak.

4.13.2.1.2. Pasien DHF berdasarkan umur

Berdasarkan data demografi dari pengelompokkan umur pasien DHF, sebagian besar pasien DHF pada kelompok umur 1 – 14 tahun yaitu sebesar 29 pasien (55,7%) dengan 16 pasien (61,5%) diberikan antibiotik, kemudian pasien pada kelompok 15 – 44 tahun sebesar 21 pasien (40,4%) dengan 9 pasien (34,6%) diberikan antibiotik dan kelompok umur < 1 tahun sebesar 1 pasien (3,8%) yang diberikan antibiotik. Penelitian yang dilakukan oleh Aryu (2010) menunjukkan bahwa dalam penelitiannya pasien DHF yang paling banyak adalah pasien pada kelompok umur < 15 tahun yaitu sebesar 95% dan mengalami pergeseran dengan adanya peningkatan proporsi pasien pada kelompok umur 15 – 44 tahun, sedangkan proporsi pasien pada kelompok umur >45 tahun sangat rendah. Hal ini mungkin dikarenakan pengaruh dari sistem imun anak – anak yang kurang kebal dan pola hidup yang kurang diperhatikan.

4.13.2.2. Analisis Pasien DHF Berdasarkan Hasil Tepat Diagnosis

(47)

32

32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

belum masuk pada fase demam atau fase syok, yang mana trombosit dalam jumlah normal atau lebih akan kemudian menurun pada fase tersebut.

Berdasarkan diagnosis DHF menurut kriteria WHO 1999, secara klinis pasien DHF dengan trombositopenia (< 100.000/µ L). Terjadi penurunan hitung trombosit dari nilai normal. Umumnya pada masa akut jumlah trombosit 100.000/mm3 darah untuk patokan rawat inap dan rawat jalan 150.000/mm3. Pada saat awal infeksi, trombosit dalam jumlah normal kemudian menurun drastis, hingga saat fase demam, fase syok mencapai puncak terendah (bisa mencapai 20.000), setelah itu perlahan naik kembali pada fase konvalesken, setelah itu 7 – 10 setelah sakit maka akan kembali normal.

4.13.2.3. Analisis Tepat Indikasi

Berdasarkan hasil penelitian dari pemberian antibiotik pada pasien DHF, antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan tanpa komplikasi infeksi tidak tepat. Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi tifoid merupakan tepat indikasi. Akan tetapi, terdapat 1 pasien yang disertai infeksi tifoid tidak diberikan antibiotik merupakan tidak tepat indikasi, karena pengobatan dari tifoid yaitu antibiotik. Kemudian antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi ISPA termasuk tepat indikasi dan terdapat pula 4 pasien yang disertai infeksi ISPA tidak diberikan antibiotik termasuk tidak tepat indikasi.

(48)

Syndrome), mengingat kemungkinan infeksi sekunder dapat terjadi dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna.

karena antibiotik yang digunakan kebanyakan adalah golongan sefalosporin generasi ketiga. Dimana, sefalosporin generasi ketiga sebaiknya diberikan pada pasien apabila pemberian sefalosporin generasi pertama dan generasi kedua sudah tidak bisa untuk memperbaiki keadaan pasien (Farmakologi bergambar).

4.13.2.4. Analisa Tepat Obat

Berdasarkan hasil penelitian dari pemberian antibiotik pada pasien DHF, antibiotik yang paling banyak diberikan adalah seftriakson. Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien dengan diagnosis tanpa disertai infeksi tidak tepat. Antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi tifoid dapat dikatakan tepat obat. Akan tetapi, pemilihan antibiotik seftriakson bukan merupakan pengobatan pilihan utama untuk infeksi tifoid. Pengobatan untuk tifoid pilihan utama menggunakan antibiotik seperti kloramfenikol. Kemudian antibiotik yang diindikasikan untuk pasien DHF dengan disertai infeksi ISPA juga dapat dikatakan tepat. Namun, pemilihan antibiotik seftriakson bukan merupakan pengobatan pilihan utama. Seftriakson merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga. Dimana, sefalosporin generasi ketiga sebaiknya diberikan pada pasien apabila pemberian sefalosporin generasi pertama dan generasi kedua sudah tidak bisa untuk memperbaiki keadaan pasien (Farmakologi bergambar).

(49)

34

34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang menyerang, belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas (Farmakologi bergambar).

4.13.2.5. Analisis Tepat Dosis

Berdasarkan hasil penelitian yang dilihat dari dosis yang diberikan kepada pasien paling banyak pasien DHF diberikan antibiotik seftriakson dengan dosis 2 g sehari dan seftriakson dengan dosis 1 g sehari yaitu keseluruhan pasien masing – masing sebanyak 12 pasien (10,6%) dan 3 pasien (5,7%) serta dosis 2x400 mg 1 pasien (1,9%) dosis 1x1 ½ g 1 pasien (1,9%). Apabila dilihat dari hasil data berdasarkan umur, pasien dengan kelompok umur 1 – 14 tahun adalah paling banyak, untuk pasien pada kelompok umur 1 – 14 tahun terdapat 5 pasien (12 tahun, 12 tahun, 12 tahun, 9 tahun, 6 tahun) dengan dosis 2 g sehari, 3 pasien (10 tahun, 9 tahun, 1 tahun) dengan dosis 1 g sehari dan 1 pasien (4 tahun) dengan dosis 2x400 mg serta 1 pasien (7 tahun) dengan dosis 1x1 ½ g yang diberikan antibiotik seftriakson. Sedangkan pasien yang diberikan antibiotik lain sebanyak 6 pasien untuk kelompok umur 1 – 14 tahun, yaitu antibiotik sefadroksil 3 pasien (6 tahun) dengan masing – masing dosis 3x300 mg, (6 tahun) dosis 3x400 mg dan (8 tahun) dosis 2x250 mg, sefiksim 2 pasien (7 tahun) dengan dosis 1x1 g dan (11 tahun) dosis 3x1 g dan ciprofloksasin 1 pasien (12 tahun) dengan dosis 2x500 mg. Sehingga jumlah pasien dengan kelompok umur 1 – 14 tahun yang diberikan antibiotik sebanyak 16 pasien (61,5%).

Dalam buku Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 - 2003) menyatakan bahwa dosis dari seftriakson untuk orang dewasa adalah 1 – 2 g setiap 12 – 24 jam, untuk anak > 12 tahun 250 mg dalam dosis tunggal dan anak < 12 tahun 125 mg dalam dosis tunggal. Dalam penelitian ini, pasien anak – anak dengan umur 1 – 14 tahun adalah yang paling banyak. Sehingga untuk pasien anak – anak dengan umur 1 – 14 tahun, dosis yang diberikan adalah tidak sesuai atau terlalu besar. Sedangkan untuk pasien dewasa, dosis yang diberikan sudah sesuai menurut buku literatur

(50)

menurut buku Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003) dosis bayi dan anak – anak adalah 30 mg/kg/hari terbagi dalam 2 kali sehari, dosis maksimal hingga 2 g/hari, dosis orang dewasa adalah 1 – 2 g/hari dalam 1 – 2 dosis terbagi, dosis maksimum untuk orang dewasa 4 g/hari. Dalam penelitian ini, pasien yang diberikan sefadroksil terdapat 3 pasien dengan kelompok umur 1 – 14 tahun untuk masing – masing dosis 3x300 mg (6 tahun), dosis 3x400 mg (8 tahun) dan dosis 2x250 mg (6 tahun). Untuk kelompok umur 1 – 14 tahun dosis yang diberikan sesuai dengan buku literatur Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003).

Dalam penelitian ini, untuk antibiotik sefiksim diberikan dosis 1x1 kapsul (7 tahun) dan dosis 3x1 kapsul (11 tahun) pada kelompok umur 1 – 14 tahun serta pada kelompok umur 15 – 44 tahun (34 tahun) dengan dosis 2x1 kapsul. Disini, dosis 1x1 kapsul yang diberikan untuk pasien pada dewasa dosis tersebut juga sesuai menurut buku literatur Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003). Sedangkan antibiotik siprofloksasin terdapat 1 pasien dengan dosis 2x500 mg untuk kelompok umur 1 – 14 tahun (12 tahun). Pada buku Drug Information Handbook, menyatakan bahwa dosis untuk dewasa infeksi ringan 250 mg 2x/hari, infeksi berat 500

(51)

36

36 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Antibiotik selanjutnya yang digunakan adalah amoksisilin, yaitu diberikan pada pasien kelompok umur 15 – 44 tahun (27 tahun) dengan dosis 3x500 mg. Dalam buku Drug Information Handbook menyatakan, dosis untuk anak ≤ 3 bulan adalah 20 – 30 mg/kg/hari terbagi setiap 12 jam, untuk anak > 3 bulan atau < 40 kg adalah 20 – 50 mg/kg/hari dosis terbagi setiap 8 – 12 jam, dan untuk dewasa adalah 250 – 500 mg setiap 8 jam atau 500 – 875 mg 2x sehari, dosis maksimum 2 – 3 g/hari. Jadi, dosis amoksisilin yang diberikan sesuai dengan buku Drug Information Handbook untuk pasien pada kelompok umur 15 – 44 tahun.

4.13.2.6. Analisis Tepat Cara Pemberian

Berdasarkan data hasil cara pemberian, antibiotik yang diberikan paling banyak diberikan secara oral yaitu merupakan tepat cara pemberian. Cara pemberian secara injeksi juga termasuk tepat cara pemberian. Dalam penelitian ini, pasien yang paling banyak adalah pasien dengan umur 1 – 14 tahun. Antibiotik lebih banyak diberikan secara oral kemungkinan dikarenakan kebanyakan pasien adalah pasien umur 1 – 14 tahun yang akan lebih susah diberikan secara injeksi dibandingkan diberikan secara oral. Karena bentuk sediaan antibiotik yang tersedia di rumah sakit maupun di pasaran adalah berupa tablet, kapsul atau puyer dan tidak bisa diberikan secara injkesi sehingga cara pemberiannya secara oral.

4.13.2.7. Analisis Tepat Lama Pemberian

Berdasarkan hasil lama pemberian obat antibiotik menunjukkan bahwa sebagian besar pasien DHF diberikan terapi antibiotik yaitu berkisar antara 4 – 6 hari yang merupakan tepat lama pemberian. Sementara untuk lama pemberian selama 1 – 3 hari, 7 – 9 hari dan > 9 hari merupakan tidak tepat lama pemberian. Dimana, berdasarkan lama pemberian antibiotik secara umum adalah antibiotik paling lama diberikan selama 7 hari atau sampai antibiotik tersebut habis.

(52)

diberikan terapi obat antibiotik pada saat pasien datang ke RS sampai pasien keluar dari RS. Akan tetapi, ada beberapa pasien yang diberikan antibiotik berkisar antara 1 – 3 hari kemudian pada hari berikutnya tidak diberikan antibiotik. Hal ini dikarenakan keluhan pasien pada hari selanjutnya yang memungkinkan untuk tidak diberikan antibiotik.

4.13.2.8. Analisis waspada efek samping

Berdasarkan hasil penelitian dari keluhan pasien, demam atau panas, mual, muntah, sakit kepala atau pusing dan lemas adalah keluhan yang paling banyak dikeluhkan oleh pasien DHF, baik pasien DHF yang diberikan antibiotik maupun pasien DHF yang tidak diberikan antibiotik. Infeksi dari gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus pertama kali dapat memberi gejala sebagai demam dengue.

(53)

38

38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.13.2.9. Analisis Tepat Pasien

Berdasarkan data catatan rekam medis yang didapatkan, tidak dituliskan atau tidak dicantumkan bahwasannya pasien mempunyai riwayat alergi, adanya penyakit kelainan ginjal atau kerusakan hati dan kondisi khusus misalnya pasien tersebut hamil, laktasi, balita atau lansia. Sehingga terdapat kesulitan untuk mempertimbangkan pemilihan obat dan untuk menganalisis ketepatan pasien, apakah obat yang diberikan pada pasien tersebut telah memenuhi syarat tepat pasien atau tidak.

Dalam teori pada penelitian ini, obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu atau pasien yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus dihindari (Swestika, 2013).

4.13.2.10. Pasien DHF berdasarkan lama perawatan

Berdasarkan hasil penelitian dari lama perawatan pasien DHF, sebagian besar pasien dirawat di RS selama 4 – 6 hari. Pada penelitian oleh Afiana dan Mery (2012) dari Universitas Muhammadiyah Semarang menunjukkan bahwa pasien DHF paling lama dirawat selama 4 – 6 hari di Rumah Sakit. Ini dilihat dari hasil laboratorium pasien, dimana hasil data laboratorium berdasarkan kadar trombosit pasien semakin meningkat setiap harinya. Sehingga memungkinkan pasien untuk tidak dirawat di rumah sakit atau diperbolehkan pulang. Kadar trombosit normal adalah 150.000 sampai 450.000 trombosit per mikro-liter darah.

4.13.2.11. Pasien DHF berdasarkan data laboratorium 4.13.2.11.1. Pasien DHF berdasarkan kadar trombosit

(54)

Penelitian Afiana dan Merry (2012) dari Universitas Muhammadiyah Semarang, menunjukkan adanya penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa terjadi pada pasien DHF, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit.

Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai hari ke-8 sakit, yang sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan hemtokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DHF, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi.

4.13.2.11.2. Pasien DHF berdasarkan kadar hematokrit

(55)

40

40 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Dari hasil penelitian ini dengan total jumlah 76 sampel terdiri dari 52 sampel pasien Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) yang masuk kriteria inklusi dengan jumlah 26 pasien diberikan antibiotik dan jumlah 26 pasien tidak diberikan antibiotik serta jumlah 24 data dengan kriteria ekslusi. 2. Dari 52 pasien DHF yang menjalani Rawat Inap di Rumah Sakit Angkatan

Laut (RUMKITAL) Dr. Mintohardjo lebih banyak ditemukan jenis kelamin perempuan dengan usia berkisar antara 1 – 14 tahun.

3. Penggunaan obat antibiotik yang paling banyak adalah golongan sefalosporin seftriakson.

4. Terdapat pemberian obat antibiotik pada pasien Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) yaitu tidak tepat indikasi, tidak tepat obat dan tidak tepat dosis sebanyak 12 pasien (46,15 %) dari 26 pasien. Untuk ketepatan pasien tidak bisa disimpulkan karena data yang didapat kurang lengkap. 5.2. Saran

1. Kepada peneliti selanjutnya agar dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan obat antibiotik pada pasien Dengue Hemorrhagic Fever

(DHF).

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Dertarani, Vindi. 2009. Kajian rasionalitas penggunaan antibiotik di bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Kariadi periode Agustus-Desember 2008. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Hooton, T. M., and Levy, S. B. 2001. Confronting The Antibiotic Resistance Crisis: Making Appropriate Therapeutic Decisions in Community Medical Practic., Medscape Portals.

http://www.rsaldrmintohardjo.com/ (diakses pada tgl 6 Feb. 2014 pukul 10:49)

Kementrian Kesehatan RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasinoal.

Ken Chen, Herdiman T. Pohan, Robert Sinto. 2009. Diagnosis dan Terapi cairan pada Demam Berdarah Dengue. Jurnal Medicinus , 22 (1) , 3–7.

Kee JL, Hayes ER. 1996. Pharmacology: a Nursing Process Approach. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. h. 324-327.

Mitrea, LS. 2008. Pharmacology. Canada: Natural Medicine Books. h. 53.

MM DEAH Hapsari. 2010. Tata Laksana Infeksi Dengue. Dalam : : MM DEAH Hapsari, editor. Update Demam Berdarah Dengue : Naskah lengkap. Semarang : Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 45-74

Moh Supriatna. 2010. Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : MM DEAH Hapsari, editor. Update Demam Berdarah Dengue : Naskah lengkap. Semarang : Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 7-28

(57)

42

42 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Rohmani, Afiana dan Merry T.A. 2012. Pemakaian Antibiotik Pada Kasus Demam Berdarah Dengue Anak Di Rumah Sakit Roemani Semarang Tahun 2010. Semarang: FK UMS. ISBN: 978-602-18809-0-6. Seminal Hasil – Hasil Penelitian-LPPM UNIMUS 2012.

Staf Pengajar Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 585- 586.

Staf Pengajar Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 587- 588, 590-595

Stringer, Janet L. 2006. Basic Concepts in Pharmacology: a Student’s Survival

Guide. Edisi 3. (diterjemahkan oleh: dr. Huriawati Hartanto). Jakarta: Buku Kedokteran EGC. h. 186 – 199.

Swandari, Swestika. 2013. Penggunaan Obat Rasional (POR) Melalui Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. http:bppkmakassar.com diakses pada 4 Maret 2014 pukul 17.26 WIB.

(58)

Lampiran 1. DEFINISI KELOMPOK USIA (Pediatric Dosage Handbook edisi 9 (2002 – 2003)

(59)

44

44 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 2. Alur Penelitian

Pengajuan surat izin penelitian kepada KARUMKIT dan BANGDIKLAT RUMKITAL

Dr. Mintohardjo Jakarta

Surat disetujui oleh KARUMKIT, diterima dan

di ACC oleh pihak BANGDIKLAT

Administrasi pembayaran Surat ke pihak ruang rawat dari

BANGDIKLAT

Surat ke pihak perawat ( kepala bidang perawat ) dari

BANGDIKLAT

Surat ke ruang rekam medis dari BANGDIKLAT

Pengambilan data di ruang rekam medis Pengolahan data

(60)
(61)

46

46 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(62)

Gambar

Tabel
Tabel 4.1 Kriteria pasien DHF
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 52 pasien DHF yang diambil
Tabel 4.5 Distribusi pemberian antibiotik pasien berdasarkan indikasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

gabah, (2) Pada 4 varietas padi sawah yang dicoba memiliki perbedaan tingkat efisiensi pemanfaatan N dengan urutan tingkat efisiensi tertinggi hingga terendah

Menurut penulis, berdasarkan kasus sengketa rokok kretek antara Indonesia dengan Amerika Serikat, dapat dilihat bahwa sengketa ini berawal dari disahkannya suatu

| metaboličke promjenel å| povećana koncentracija salicilata povećan utrošak O2 u perifernim tkivima povećana respiracija

bullying , karena siswa yang melakukan bullying tidak hanya tejadi di lingkungan sekolah tetapi ada juga di luar sekolah. 7) upaya yang di gunakan untuk mengatasi hambatan-hambatan

Pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan di Desa Menganti Kecamatan Kesugihan. Tujuan dari pengabdian kepada masyarakat ini adalah memberikan pemahaman kepada penderita

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga atas ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan

: Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)' Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu' Sebenarnya mereka

Diaken: Turang ras senina i bas Tuhan Jesus Kristus, sikataken bujur man Tuhan arah Jesus Kristus Tuhanta, si enggo naruhken kita ku bas tahun 2017 enda alu