• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PENELITIAN

B. Pembahasan

1. Kondisi serviks ibu hamil sebelum diinduksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa dari 67 ibu hamil yang merupakan sampel dalam penelitian ini, didapatkan 16 orang kondisi serviksnya belum matang sebelum dilakukannya induksi persalinan dan 51 orang lainnya kondisi serviksnya

   

Merujuk dari persyaratan sebelum dilakukannya induksi persalinan, tingkat kematangan serviks adalah merupakan faktor penentu keberhasilan dan salah satu syarat dilakukannya tindakan induksi persalinan. Jika kondisi serviks baik (sudah matang yakni skor bishop 6 atau lebih), maka persalinan biasanya berhasil diinduksi dengan hanya menggunakan induksi. (Sinclair, 2010 & Cunningham, 2013).

Harnani, ED, dalam penelitiannya mengatakan bahwa berdasarkan studi-studi terkini, dimana rasionya bervariasi dari 9,5%-33,7% dari semua kehamilan setiap tahun. Pada keadaan serviks yang tidak matang, jarang terjadi keberhasilan partus pervaginam. Hal ini dikarenakan kemampuan induksi dengan metode drip oksitosin akan lebih baik dan lebih berhasil pada kondisi serviks yang sudah matang. Jika kondisi serviks belum matang, maka sebaiknya dilakukan pematangan serviks terlebih dahulu. Dengan demikian, pematangan serviks atau persiapan induksi harus dinilai sebelum pemilihan terapi.

Menilai kondisi serviks ibu hamil sebelum dilakukannya induksi persalinan penting untuk dilakukan, hal ini bertujuan untuk menentukan tindakan yang harus dokter lakukan terlebih dahulu. Perlukah tindakan prainduksi untuk kondisi serviks yang belum matang dan langsung menggunakan metode induksi tertentu untuk kondisi serviks yang sudah matang. Hal ini berkaitan dengan keberhasilan proses induksi kearah pelahiran spontan (pervaginam) dan menghindari gagal induksi sehingga mengakibatkan peningkatan angka kejadian seksio sesarea.

2. Metode induksi yang digunakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa mayoritas metode induksi yang digunakan untuk tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera

   

Utara tahun 2013 yaitu drip oksitosin pada kondisi serviks yang sudah matang yakni sebanyak 50 orang (98,04%). Kemudian diikuti drip oksitosin pada kondisi serviks yang belum matang yaitu sebanyak 12 orang (75%).

Pada ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang, metode induksi yang mayoritas menggunakan drip oksitosin didukung dan sesuai dengan studi yang dikutip berikut ini, yang mengatakan bahwa stimulasi persalinan yang direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (1999) yaitu menggunakan sejumlah regimen oksitosin. Regimen oksitosin baik dengan dosis rendah maupun tinggi tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk memperpendek waktu persalinan. (Cunningham, 2013)

Akan tetapi pada ibu dengan kondisi serviks yang belum matang, penggunaan drip oksitosin sebagai metode yang mayoritas digunakan tidak sesuai dengan Cunningham (2013) yang menyatakan bahwa perempuan yang serviksnya pada kondisi serviks yang tidak ideal (unfavorable) merupakan indikasi untuk dilakukan pematangan serviks terlebih dahulu sebelum induksi (pematangan serviks prainduksi). Pemberian beberapa teknik prainduksi dapat memberikan keuntungan jika dibandingkan dengan induksi oksitosin saja. Beberapa teknik terbukti cukup berhasil untuk induksi, misalnya dengan kateter transservikal, pemberian prostaglandin E1 (misoprostol atau cytotec).

Menurut asumsi peneliti hal tersebut dapat terjadi dikarenakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara selain menggunakan teknik pematangan serviks menggunakan preparat farmakologi yakni misoprostol, mereka juga menggunakan teknik secara mekanis yaitu menggunakan balon kateter. Dikarenakan peneliti tidak memasukkan metode atau teknik tersebut dalam penelitian ini sebagai variable,

   

sehingga di hasil tidak tampak berapa banyak ibu hamil yang menjalani teknik pematangan serviks dengan cara mekanis seperti balon kateter. Oleh karena itu untuk ibu hamil yang serviksnya belum matang terkesan hanya menggunakan drip oksitosin saja, yang pada kenyataannya dilakukan tindakan prainduksi terlebih dahulu yakni pematangan serviks dengan menggunakan balon kateter.

3. Dosis, rata-rata lama induksi dan metode persalinan setelah dilakukan induksi persalinan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang belum matang di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Berdasarkantabel 5.4 dapat dilihat bahwa mayoritas drip oksitosin diberikan dengan dosis awal 2.5 IU yaitu sebanyak 9 orang (75%). Hal ini tidak mendukung pernyataan Cunningham (2013) yang menyarankan penggunaan dosis tinggi 6 mU/menit (±5 IU) untuk penggunaan dosis awal pada pemakaian drip oksitosin untuk proses induksi persalinan. Akan tetapi dari hasil diatas didukung oleh banyak studi acak yang menemukan bahwa regimen oksitosin dosis rendah dan dosis tinggi sama-sama efektif dalam menegakkan pola persalinan yang adekuat. Begitu juga dengan dosis ulangan, dimana pada tabel 5.4 mayoritas dosis ulangan diberikan dengan dosis 2.5 IU dan 10 IU yang masing-masing sebanyak 3 orang (25%). Pada kondisi serviks yang belum matang telah dianjurkan bahwa sebaiknya dilakukan teknik pematangan serviks terlebih dahulu, hal ini juga dimaksudkan agar proses persalinan pervaginam dapat terjadi dengan tanpa pemberian dosis ulangan.

Selain itu juga, pada tabel tampak bahwa total dosis oksitosin yang diterima ibu hamil yang kondisi serviksnya belum matang, mayoritas dosis yang digunakan yaitu 10 IU sebanyak 3 orang (25%). Hal ini sesuai dan mendukung teori yang mana mengatakan bahwa jika kontraksi tidak adekuat dan jika keadaan janin baik serta

   

persalinan telah berhenti, maka dosis infus oksitosin lebih besar dari 48 mU/menit (±10 IU) tidak menimbulkan resiko yang nyata. Selain itu juga hasil tersebut diatas mendukung hasil penelitian Wen dkk, tahun 2001 dalam penelitiannya terhadap 1151 nulipara secara berurutan menemukan bahwa kecenderungan kemajuan kepelahiran pervaginam menurun pada atau di atas dosis oksitosin 36 mU/menit, namun pada dosis 72 mU/menit, setengah nulipara melahirkan pervaginam. (Cunningham, 2013)

Untuk rata-rata lama induksi yang tampak pada tabel 5.4, mayoritas yaitu <12 jam dan bervariasi sesuai dengan berapa kali ulangan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan teori di dalam buku Cunningham, tahun 2013 dimana ibu hamil yang mendapatkan regimen oksitosin dengan dosis 6 mU/menit (±5 IU) memiliki durasi waktu persalinan yang lebih singkat. Selain itu juga hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Muarif, YS (2002) dimana dalam penelitiannya diperoleh lama induksi baik menggunakan misoprostol maupun oksitosin berlangsung dalam waktu 4-12 jam.

Dari tabel 5.4 juga tampak metode persalinan yang terjadi pada kondisi serviks ibu yang belum matang yang mengalami partus pervaginam yaitu sebanyak 10 orang dan mayoritas pada metode drip oksitosin sebanyak 8 orang (66,7%). Hal ini sesuai dengan teori buku Cunninghan, 2013 yang mana dikatakan bahwa pada induksi dengan menggunakan regimen oksitosin maka akan lebih sedikit induksi yang gagal. Akan tetapi hal ini tidak didukung dengan hasil penelitian dari Muarif, YS tahun 2002, yang mendapatkan hasil bahwa pencapaian pembukaan lengkap yang lebih tinggi pada kelompok misoprostol daripada oksitosin.

   

4. Dosis, rata-rata lama induksi dan metode persalinan setelah dilakukan induksi persalinan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Berdasarkantabel 5.5 dapat dilihat bahwa mayoritas dosis awal drip oksitosin yang digunakan untuk tindakan induksi persalinan yaitu 2.5 IU sebanyak 31 orang (62%). Dari hasil ini tampak bahwa teori dalam buku Cunningham tahun 2013, yang mana dikatakan bahwa dosis tinggi untuk metode dengan drip oksitosin dianjurkan dan telah menunjukkan keberhasilan ke proses persalinan pervaginam. Menurut asumsi peneliti dengan dosis tersebut dapat menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan yakni pelahiran pervaginam dikarenakan kondisi serviks ibu hamil yang favorable (sudah matang).

Sedangkan untuk dosis ulangan, pada tabel tampak bahwa mayoritas ibu hamil yang diberikan dosis ulangan yaitu dengan dosis 2.5 IU sebanyak 16 orang (32%). Sebagaimana telah dibahas pada 5.4, Hasil ini mendukung teori didalam buku Cunningham yang mengatakan bahwa pada kondisi serviks yang sudah matang, tingkat keberhasilan ke pelahiran pervaginam akan semakin tinggi hanya dengan regimen oksitosin saja.

Untuk total dosis yang diberikan yang diberikan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang, maksimal dosis yang digunakan yakni 2.5 IU sebanyak 15 orang (30%). Hal ini tidak mendukung teori yang mengatakan dosis ulangan pada proses induksi sebaiknya ditingkatkan setelah pemberian dosis awal tersebut masih belum berhasil, Dan jika kontraksi tidak adekuat dan jika keadaan janin baik serta persalinan telah berhenti, maka dosis infus oksitosin lebih besar dari 48 mU/menit (±10 IU) tidak menimbulkan resiko yang nyata.

   

Selain itu dari tabel 5.5 juga tampak rata-rata lama induksi persalinan dengan ibu hamil yang kondisi serviksnya sudah matang mayoritas terjadi dalam waktu <12 jam. Hal ini sesuai dengan teori di dalam buku Cunningham, tahun 2013 dimana ibu hamil yang mendapatkan regimen oksitosin dengan dosis 6 mU/menit (±5 IU) memiliki durasi waktu persalinan yang lebih singkat. Selain itu juga juga hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Muarif, YS tahun 2002 dimana dalam penelitiannya diperoleh lama induksi baik menggunakan misoprostol maupun oksitosin berlangsung dalam waktu 4-12 jam.

Selanjutnya metode persalinan yang tampak pada tabel 5.5 mayoritas metode yang terjadi yaitu partus pervaginam sebanyak 44 orang (86,3%). Hal ini sesuai dengan teori buku Cunninghan (2013) yang mana dikatakan bahwa pada induksi dengan menggunakan regimen oksitosin maka akan lebih sedikit induksi yang gagal. Akan tetapi hal ini tidak didukung dengan hasil penelitian dari Muarif, YS tahun 2002, yang mendapatkan hasil bahwa pencapaian pembukaan lengkap yang lebih tinggipada kelompok misoprostol daripada oksitosin.

5. Penyebab dilakukan sectio caesarea pada ibu hamil setelah dilakukan induksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Pada tabel 5.6 diperoleh mayoritas penyebab terjadinya seksio sesarea (terjadinya gagal induksi) pada kondisi serviks belum matang yaitu dikarenakan uteri yang tidak respon yakni sebanyak 4 orang (66,7%), dan pada kondisi serviks yang sudah matang yakni fetal disstres sebanyak 4 orang (57,1%). Maksudnya tidak respon disini yaitu uterus tidak mencapai kontraksi sesuai dengan yang diharapkan/adekuat (3 kali dalam 10 menit) sampai batas maksimal preparat metode induksi yang digunakan. Hal ini tidak mendukung teori yang mana dengan kondisi

   

serviks yang sudah matang, sangat jarang sekali induksi dapat gagal. Dan penelitian yang didapatkan dari Muarif, YS tahun 2002, hanya mendukung terjadinya DJJ yang abnormal (fetal disstres) akibat proses induksi yakni berkisar 8,6%-38,3%, takisistol, hipertonus dan hiperstimulasi yang berkisar 0-12%. Sedangkan untuk kejadian tidak adanya respon uteri, peneliti belum menemukan satu penelitianpun yang mendukung hasil tersebut, sangat jarang sekali pada kondisi serviks yang sudah matang pemberian regimen oksitosin dengan dosis tinggipun tidak dapat mencapai ke proses pelahiran pervaginam.

6. Out come pada ibu setelah dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Pada tabel 5.7 tampak mayoritas out come pada ibu, baik pada kondisi serviks yang belum matang maupun sudah matang yakni dalam kondisi yang sehat yaitu sebanyak 13 orang (81,25%) dan 43 orang (84,31%). Dengan mengindahkan persyaratan dan mempertimbangkan metode induksi yang tepat dan dapat digunakan maka untuk outcome pada ibu tidak akan menimbulkan masalah yang serius terutama ke kematian. Di dalam penelitian Katz et al, mendapatkan bahwa kejadian akibat pemberian induksi yang pernah dilaporkan yakni retensio plasenta dan perdarahan post partum, kejadian rupture uteri sekitar 4-5 kejadian yang terjadi pada kasus kecacatan rahim.

   

7. Persentase out come pada bayi baru lahir setelah dilakukan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.

Pada tabel 5.8 tampak mayoritas out come pada bayi baru lahir, baik pada ibu dengan kondisi serviks yang belum matang maupun sudah matang yakni dalam kondisi yang sehat yaitu sebanyak 8 orang (50%) dan 40 orang (78,43%). Kematian pada bayi yang tampak pada hasil, itu disebabkan karena indikasi induksi yaitu dikarenakan intra uterin fetal death (IUFD). Hal ini sesuai dengan hasil di dalam penelitian Katz et al yang mendapatkan bahwa kejadian asfiksia pada bayi yang dilahirkan hanya berkisar 0%-13,2%, dan mayoritas dalam kondisi yang sehat.

Dokumen terkait