GAMBARAN INDUKSI PERSALINAN DAN
OUT COME
DI RSU MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
TAHUN 2013
SUMARNI 135102008
KARYA TULIS ILMIAH
PROGRAM D-IV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GAMBARAN INDUKSI PERSALINAN DAN OUT COME DI RSU MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA TAHUN 2013
ABSTRAK
Sumarni
Latar belakang: induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai terjadinya persalinan. WHO menemukan di Indonesia dari 500.000 ibu bersalin dengan risiko, 200.000 diantaranya dilakukan induksi persalinan dan 300.000 melakukan seksio sesarea. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Dinas Kesehatan Sumatera Utara pada tahun 2009 mencatat sebanyak 250 ibu hamil per bulan dilakukan induksi persalinan.
Tujuan penelitian: untuk mengetahui gambaran induksi persalinan dan outcome di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
Metodologi: desain penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 67. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. Analisa data univariat.
Hasil: hasil penelitian dari 67 ibu hamil didapatkan bahwa mayoritas tindakan induksi persalinan dilakukan pada kondisi serviks yang sudah matang sebanyak 51 orang (76,1%). Metode induksi yang digunakan yaitu drip oksitosin 50 orang (98,04%), dengan dosis oksitosin yang diberikan 2,5 IU 31 orang (62%). Metode persalinan yang dilakukan adalah partus pervaginam 43 orang (86%), outcome pada ibu dan bayi setelah diinduksi, yakni dalam keadaan sehat dimana pada ibu 43 orang (84,31%) dan pada bayi 40 orang (78,43%).
Kesimpulan: hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi persalinan dengan menggunakan metode drip oksitosin dan dosis yang tepat, merupakan tindakan yang efektif untuk tercapainya proses persalinan pervaginam bagi ibu hamil yang kondisi serviksnya sudah matang. Namun dikarenakan masih adanya perbedaan metode dan dosis dalam pelaksanaan induksi persalinan, maka diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk membuat standar operasional prosedur tentang penatalaksanaan induksi persalinan agar tidak ada perbedaan prosedur induksi bagi setiap ibu hamil dan tindakan induksi akan menjadi lebih baik.
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti ucapakan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan hidayahNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini
tepat pada waktunya.
Adapun judul karya tulis ilmiah ini adalah “Gambaran Induksi Persalinan dan Out Come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2013”.
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini peneliti mengalami beberapa
keterbatasan. Namun, berkat bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak,
akhirnya karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan. Karena itu, sepantasnya jika
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara.
2. Nur Asnah Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep selaku ketua program studi D-IV
Bidan
Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
3. dr. M. Fahdhy SPOG M.Sc selaku dosen pembimbing karya tulis ilmiah
peneliti.
4. Seluruh dosen , staf, dan pegawai administrasi program D-IV Bidan
Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
5. Bagian tata usaha RSU Muhammadiyah Sumatera Utara yang telah
memberikan data yang peneliti perlukan.
6. Herdianto ST suamiku tercinta yang senantiasa membantu dan mendukung
peneliti dalam menyelesaikan program D-IV Bidan Pendidik.
7. Anak-anakku (Dira, Rizky) dan keluargaku yang telah mendukung hingga
8. Teman-teman D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara Tahun 2013-2014, yang telah banyak membantu dalam
memberi masukan terhadap karya tulis ilmiah ini.
Penulis juga menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan karya tulis
ilmiah ini baik dari segi isi dan bahasa. Untuk itu penulis akan menerima kritik dan
saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan karya tulis ilmiah ini..
Medan, 1 juli 2014
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR SKEMA ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum ... 5
2. Tujuan Khusus ... 5
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pendidikan ... 6
2. Bagi Rumah Sakit ... 6
3. Bagi Peneliti ... 7
4. Bagi Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Induksi Persalinan... ... 8
1. Definisi Induksi Persalinan ... 8
2. Indikasi Induksi Persalinan ... 8
4. Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi ... 9
5. Persyaratan ... 9
6. Proses Induksi ... 11
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep ... 23
B. Defenisi Operasional ... 25
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 27
B. Populasi dan Sampel ... 27
C. Tempat Penelitian ... 28
D. Waktu Penelitian ... 28
E. Etika Penelitian ... 28
F. Alat Pengumpulan Data ... 29
G. Prosedur Pengumpulan Data ... 29
H. Rencana Analisa Data ... 29
BAB V HASIL DAN PENELITIAN A. Hasil Penelitian ... 30
B. Pembahasan ... 41
C. Keterbatasan Penelitian ... 49
D. Implikasi Penelitian ... 50
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 51
B. Saran ... 53
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Sistem penilaian pelvic menurut Bishop ... 10
Tabel 2.2: Berbagai regimen oksitosin dosis rendah dan tinggi ... 15
Tabel 2.3: Kecepatan infuse oksitosin untuk induksi persalinan ... 16
Tabel 2.4: Kece[patan infus lanjutan untuk induksi persalinan
Pada primigrafida ... 17
Tabel 3.1: Defenisi Operasional ... 25
Tabel 5.1: Distribusi frekuensi karakteristik umum responden ...
Tabel 5.2: Distribusi Frekuensi Induksi Persalinan Berdasarkan
Kondisi Serviks Ibu Hamil Sebelum Diinduksi di RSU
Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2013 ………. 31
Tabel 5.3: Distribusi Frekuensi Induksi Persalinan Berdasarkan
Metode Induksi yang Digunakan di RSU Muhammadiyah
Sumatera Utara Tahun 2013………. 32
Tabel 5.4: Distribusi Frekuensi Dosis, Rata-rata Lama Induksi
Diberikan, Total Dosis Diterima dan Metode Persalinan setelah
Dilakukan Induksi Persalinan pada Ibu-Ibu dengan Kondisi Serviks
yang Belum Matang di RSU Muhammadiyah
Sumatera Utara Tahun 2013 ……… 33
Tabel 5.5: Distribusi Frekuensi Dosis, Rata-rata Lama Induksi
Diberikan, Total Dosis Diterima dan Metode Persalinan setelah
yang Sudah Matang di RSU Muhammadiyah
Sumatera Utara Tahun 2013 ……… 36
Tabel 5.6: Distribusi Frekuensi Penyebab Dilakukan
Sectio Caesarea pada Ibu Hamil Setelah Dilakukan Induksi
di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2013 ………… 39
Tabel 5.7: Distribusi Frekuensi Out Come pada Ibu setelah
Dilakukan Induksi Persalinan di RSU Muhammadiyah
Sumatera Utara Tahun 2013……… 40
Tabel 5.8: Distribusi Frekuensi Out Come pada Bayi Baru Lahir
setelah Ibu Diinduksi Persalinan di RSU Muhammadiyah
DAFTAR SKEMA
Skema 1 : Kerangka Teori ……… 22
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : lembar checklist/Master tabel
Lampiran 2 : lembar izin pengambilan data penelitian dari Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3 : lembar pernyataan telah selesai melakukan penelitian dari Rumah
Sakit Muhammadiyah Sumatera Utara
Lampiran 4 : lembar konsultasi
Lampiran 5 : lembar daftar riwayat hidup
GAMBARAN INDUKSI PERSALINAN DAN OUT COME DI RSU MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA TAHUN 2013
ABSTRAK
Sumarni
Latar belakang: induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai terjadinya persalinan. WHO menemukan di Indonesia dari 500.000 ibu bersalin dengan risiko, 200.000 diantaranya dilakukan induksi persalinan dan 300.000 melakukan seksio sesarea. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Dinas Kesehatan Sumatera Utara pada tahun 2009 mencatat sebanyak 250 ibu hamil per bulan dilakukan induksi persalinan.
Tujuan penelitian: untuk mengetahui gambaran induksi persalinan dan outcome di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
Metodologi: desain penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 67. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. Analisa data univariat.
Hasil: hasil penelitian dari 67 ibu hamil didapatkan bahwa mayoritas tindakan induksi persalinan dilakukan pada kondisi serviks yang sudah matang sebanyak 51 orang (76,1%). Metode induksi yang digunakan yaitu drip oksitosin 50 orang (98,04%), dengan dosis oksitosin yang diberikan 2,5 IU 31 orang (62%). Metode persalinan yang dilakukan adalah partus pervaginam 43 orang (86%), outcome pada ibu dan bayi setelah diinduksi, yakni dalam keadaan sehat dimana pada ibu 43 orang (84,31%) dan pada bayi 40 orang (78,43%).
Kesimpulan: hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi persalinan dengan menggunakan metode drip oksitosin dan dosis yang tepat, merupakan tindakan yang efektif untuk tercapainya proses persalinan pervaginam bagi ibu hamil yang kondisi serviksnya sudah matang. Namun dikarenakan masih adanya perbedaan metode dan dosis dalam pelaksanaan induksi persalinan, maka diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk membuat standar operasional prosedur tentang penatalaksanaan induksi persalinan agar tidak ada perbedaan prosedur induksi bagi setiap ibu hamil dan tindakan induksi akan menjadi lebih baik.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut World Health Organization (WHO), indikator kesejahteraan suatu
bangsa salah satunya diukur dari besarnya angka kematian (morbiditas). Makin
tinggi angka tersebut, maka makin rendah kesejahteraan suatu bangsa. Di samping
menunjukkan derajat kesehatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat, angka tersebut
juga menunjukkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat. (Hidaya & Sujiatini,
2010)
Menurut WHO, sekitar 500.000 wanita hamil di dunia menjadi korban proses
reproduksi setiap tahun. Sebagian besar kematian ibu dan bayi terjadi di
negara-negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara-negara dengan angka kematian
ibu tertinggi di Asia. WHO memperkirakan 15.000 dari sekitar 4,5 juta wanita
melahirkan di Indonesia mengalami komplikasi yang menyebabkan kematian. Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mengalami kenaikan dari 228 kasus kematian per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 2012. Angka ini sangat jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam (59 per
100.000 kelahiran hidup) dan Cina (37 per 100.000 kelahiran hidup). Dengan adanya
fakta terbaru ini, upaya Indonesia untuk mencapai target penurunan AKI berdasarkan
Millenium Development Goals (MDGs), yakni 102 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2015 menjadi semakin sulit untuk dicapai. Angka kematian ibu tersebut
meningkat diperkirakan akibat dari komplikasi kehamilan dan persalinan. (Sufa,
Persalinan merupakan proses fisiologis yang terjadi pada setiap wanita hamil.
Akan tetapi proses fisiologis tersebut dapat menjadi patologis, dan bila dalam
penatalaksanaannya salah dapat mengakibatkan komplikasi dalam persalinan,
sehingga dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Proses
persalinan tidak selalu akan berlangsung secara normal, akan tetapi dapat
berlangsung dengan risiko atau bahkan telah terjadi gangguan proses persalinan yang
disebut dengan distocia. Distocia erat kaitannya dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi proses persalinan, beberapa diantaranya yaitu power dan passageway.
Salah satu cara mengatasi gangguan proses persalinan (distocia) khususnya terkait
dengan faktor-faktor tersebut diatas, yakni dengan induksi persalinan. (Sumapradja,
2013).
Berdasarkan National Center for Health Statistics, insiden induksi persalinan
di Amerika Serikat melebihi 2 kali lipat dari 9,5% pada tahun 1991 menjadi 22,5%
pada tahun 2006. (Martin dkk, 2009). Dan menurut penelitian Widjanarko pada
tahun 2011 di Indonesia angka tindakan pemberian oksitosin baik dengan tujuan
induksi persalinan atau mempercepat jalannya persalinan (akselerasi persalinan)
meningkat dari 20% pada tahun 1989 menjadi 38% pada tahun 2002.
Menurut Wiknjosastro, pada tahun 2007 tindakan induksi persalinan terjadi
antara 10% sampai 20% dari seluruh persalinan dengan berbagai indikasi baik dari
ibu maupun dari janinnya. WHO menemukan di Indonesia dari 500.000 ibu bersalin
dengan risiko, 200.000 diantaranya dilakukan induksi persalinan dan 300.000
melakukan seksio sesarea. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan
Dinas Kesehatan Sumatra Utara pada tahun 2009 mencatat sebanyak 250 ibu hamil
Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai
terjadinya persalinan. Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum
terjadi persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture membrane. Tujuan tindakan
induksi ialah mencapai his atau kontraksi 3 kali dalam 10 menit, lamanya 40 detik.
Pola persalinan ini merupakan hal yang diharapkan setelah dilakukannya induksi.
(Yulianti, 2006)
Induksi persalinan dapat dilakukan dengan berbagai metode, indikasi, kontra
indikasi dan persyaratan tertentu yang kesemuanya ditetapkan dalam standar
operasional prosedur untuk mencegah risiko yang mungkin akan terjadi dan
berakibat fatal pada janin maupun ibu. Walaupun tindakan induksi persalinan
bertujuan agar persalinan berlangsung normal, namun tindakan ini dapat
menimbulkan risiko baik pada ibu maupun pada janin. Pengelolaan induksi
persalinan yang tidak tepat dapat mengakibatkan beberapa kegawatan baik pada ibu
maupun pada janin. (Cunningham, 2013).
Induksi persalinan mungkin diperlukan untuk menyelamatkan janin dari
lingkungan intra uteri yang potensial berbahaya pada kehamilan lanjut untuk
berbagai alasan atau karena kelanjutan kehamilan membahayakan ibu. Sebelum
kehamilan mencapai usia cukup bulan, induksi diindikasikan hanya untuk pasien
yang kondisi kesehatannya atau kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan
berlanjut. (Cunningham, 2013).
American College of Obstetricians and Gynecologists (1999) berdasarkan
risiko persalinan yang berlangsung secara cepat, tidak mendukung tindakan induksi
persalinan kecuali untuk indikasi-indikasi tertentu (misalnya rumah parturien yang
Tindakan induksi persalinan berhubungan dengan kenaikan angka kejadian
tindakan sectio caesarea, angka ini terutama meningkat pada nulipara yang
menjalani induksi. Luthy dkk, 2002. in Cunningham, 2013 mengatakan Induksi
persalinan elektif menyebabkan peningkatan kejadian sectio caesarea 2–3 kali lipat.
Oleh karena itu induksi persalinan elektif pada kehamilan aterm sebaiknya tidak
dilakukan secara rutin mengingat bahwa tindakan sectio caesarea dapat
meningkatkan risiko yang berat sekalipun jarang dari pemburukan outcome maternal
termasuk kematian. (Hoffman dan Sciscione, 2003, et al. in Cunningham, 2013)
Angka tersebut di atas berkebalikan dengan tingkat kesiapan serviks untuk
diinduksi, yaitu score Bishop. (Vahratian dkk, 2005). pematangan serviks prainduksi
mungkin tidak mengurangi angka sectio caesarea pada nulipara. Walaupun begitu
tingkat kematangan servik tetap merupakan faktor penentu keberhasilan dan salah
satu syarat dilakukannya tindakan induksi persalinan. Akan tetapi sebagian
besar kasus menunjukkan bahwa ibu hamil dengan induksi persalinan memiliki servik
yang tidak favourable (Skoring Bishop <5 ) untuk dilakukannya induksi persalinan. Hal
inilah yang menyebabkan tindakan induksi persalinan akan berujung pada tindakan
sectio caesarea. (Sinclair, 2010).
Ada dua cara atau metode yang biasa dilakukan untuk melalui proses induksi,
yaitu kimia (farmakologis) dan mekanik. Pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan
untuk mengeluarkan hormon prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot
rahim berkontraksi secara kimia. (Cunningham, 2013).
Keadaan mulut rahim menjadi hal penting untuk dijadikan pertimbangan
dalam proses melahirkan dengan cara diinduksi. Induksi akan bermanfaat ketika
mulut rahim telah menipis sekitar 50% dan berdilatasi 3-4 cm, atau dengan skor
Namun, jika mulut rahim belum cukup menipis dan berdilatasi, itu menandakan
bahwa tubuh belum siap untuk melahirkan. Melakukan induksi dan melahirkan
pervaginam bukan hal yang tepat pada keadaan demikian, karena kemungkinan besar
persalinan akan diubah menjadi sectio caesarea. (Llewellyn-Jones, 2002).
Berdasarkan survei awal yang peneliti lakukan di RSU Muhammadiyah
Sumatra Utara kejadian induksi persalinan tahun 2012 sebanyak 38%, berdasarkan
angka tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran
Induksi Persalinan dan Out Come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun
2013”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk mengetahui “Bagaimanakah
Gambaran Induksi Persalinan dan Out Come di RSU Muhammadiyah Sumatera
Utara pada Tahun 2013”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran induksi persalinan dan Out Come di RSU
Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui persentase kondisi serviks ibu hamil sebelum diinduksi
di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
b. Untuk mengetahui persentase metode induksi yang digunakan di RSU
c. Untuk mengetahui persentase dosis, rata-rata lama induksi, total dosis
diterima dan metode persalinan setelah dilakukan induksi persalinan pada
ibu-ibu dengan kondisi serviks yang belum matang di RSU
Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
d. Untuk mengetahui persentase dosis, rata-rata lama induksi, total dosis
diterima dan metode persalinan setelah dilakukan induksi persalinan pada
ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang di RSU
Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
e. Untuk mengetahui persentase penyebab dilakukan sectio caesarea pada
ibu hamil setelah dilakukan induksi di RSU Muhammadiyah Sumatera
Utara tahun 2013.
f. Untuk mengetahui out come pada ibu setelah dilakukan induksi
persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
g. Untuk mengetahui out come pada bayi baru lahir setelah ibu diinduksi
persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan bacaan di perpustakaan dan menambah wawasan mahasiswa
di fakultas keperawatan Universitas Sumatera Utara, khususnya mahasiswa
D-IV Bidan Pendidik tentang metodologi penelitian, terutama mengenai topik
induksi persalinan.
2. Bagi Rumah Sakit
Memberikan informasi tentang kasus induksi persalinan yang terjadi di RSU
3. Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman dan menambah wawasan peneliti dalam metodologi
penelitian khususnya mengenai induksi persalinan.
4. Bagi penelitian
Sebagai referensi dan bahan perbandingan untuk penelitian berikutnya, yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Induksi Persalinan
1. Definisi Induksi Persalinan
Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai
terjadinya persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan adalah
meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan.
(Saifuddin, 2002).
Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai terjadi
persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture membrane. Augmentasi merujuk pada
stimulasi terhadap kontraksi spontan yang dianggap tidak adekuat karena kegagalan
dilatasi serviks dan penurunan janin. (Cunningham, 2013).
Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan cara-cara buatan
sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya
his. (Sinclair, 2010)
Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan terhadap
ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk
merangsang timbulnya atau mempertahankan kontraksi rahim sehingga terjadi
persalinan. Atau dapat juga diartikan sebagai inisiasi persalinan secara buatan setelah
janin viable. (Llewellyn, 2002).
2. Indikasi Induksi Persalinan
Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau
kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin
berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan
kehamilan membahayakan ibu. (Llewellyn, 2002).
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan
lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi akibat
kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin terhambat (PJT),
insufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteri
doppler.(Oxford, 2013).
3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk
menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi
sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar
klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan
infeksi herpes genital aktif. (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002).
4. Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi Persalinan
Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun
setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain: atonia uteri,
hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, rupture uteri, solusio plasenta,
hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum,
kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan pelahiran caesar pada
induksi elektif. (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002).
5. Persyaratan
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa
kondisi/persyaratan sebagai berikut:
b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan
menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika kondisi
tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan serviks dengan
menggunakan metode farmakologis atau dengan metode mekanis.
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.
(Oxorn, 2010).
Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan
mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks
dapat dipakai skor Bishop. berdasarkan kriteria Bishop, yakni:
a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya berhasil
diinduksi dengan hanya menggunakan induksi.
b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks terlebih dahulu
sebelum melakukan induksi. (Yulianti, 2006 & Cunningham, 2013)
Tabel. 2.1 Sistem Penilaian Pelvik Menurut Bishop
Faktor
Nilai
0 1 2 3
Pembukaan (cm) 0 1-2 3-4 5-6
Penipisan/Pendataran (%) 0-30% 40-50% 60-70% 80%
Penurunan -3 -2 -1 / 0 +1 / +2
Konsistensi Kuat Sedang Lunak
Posisi Posterior Pertengahan Anterior
Pada kebanyakan kasus, teknik yang digunakan untuk meningkatkan
favorability atau kematangan serviks juga menstimulasi kontraksi. Jadi teknik
untuk mematangkan serviks meliputi preparat farmakologis dan berbagai bentuk
distensi serviks mekanis. (Cunningham, 2013)
Metode farmakologis diantaranya yaitu pemberian prostaglandin E2
(dinoprostone, cervidil, dan prepidil), prostaglandin E1 (Misoprostol atau cytotec),
dan donor nitrit oksida. Sedangkan ynag termasuk kedalam metode mekanis yakni
kateter transservikal (kateter foley), ekstra amnionik salin infusion (EASI), dilator
servikal higroskopik, dan stripping membrane. (Cunningham, 2013)
6. Proses Induksi
Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi, yaitu
kimia dan mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk
mengeluarkan zat prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim
berkontraksi.
a. Secara kimia atau medicinal/farmakologis
1). Prostaglandin E2 (PGE2)
PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat dimasukkan
intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang digunakan secara lokal
akan menyebabkan pelonggaran kolagen serviks dan peningkatan kandungan air di
dalam jaringan serviks. PGE2 memperlunak jaringan ikat serviks dan merelaksasikan
serabut otot serviks, sehingga mematangkan serviks. PGE2 ini pada umumnya
digunakan untuk mematangkan serviks pada wanita dengan nilai bishop <5 dan
digunakan untuk induksi persalinan pada wanita yang nilai bishopnya antara 5 - 7.
(Sinclair, 2010, Llewellyn, 2002)
Bentuk gelnya (prepidil) tersedia dalam suntikan 2,5 ml untuk pemberian
intraserviks berisi 0,5 mg dinoprostone. Ibu dalam posisi terlentang, ujung suntikan
serviks interna. Setelah pemberian, ibu tetap berbaring selama setidaknya 30 menit.
Dosis dapat diulang setiap 6 jam, dengan maksimum tiga dosis yang
direkomendasikan dalam 24 jam.
Cervidil (dinoprostone 10 mg) juga diakui untuk pematangan serviks.
Bentuknya yang persegi panjang (berupa wafer polimerik) yang tipis dan datar, yang
dibungkus dalam kantung jala kecil berwarna putih yang terbuat dari polyester.
Kantungnya memiliki ekor panjang agar mudah untuk mengambilnya dari
vagina.pemasukannya memungkinkan dilepaskannya obat 0,3 mg/jam (lebih lambat
dari pada bentuk gel). (Cunningham, 2013)
Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan melintang pada
forniks posterior vagina. Pelumas harus digunakan sedikit, atau tidak sama sekali,
saat pemasukan. Pelumas yang berlebihan dapat menutupi dan mencegah pelepasan
dinoprostone. Setelah pemasukan, ibu harus tetap berbaring setidaknya 2 jam. Obat
ini kemudian dikeluarkan setelah 12 jam atau ketika persalinan aktif mulai terjadi.
Cervidil ini dapat dikeluarkan jika terjadi hiperstimulasi. American College of
Obstetricians and Gynecologists (1999) merekomendasikan agar pemantauan janin
secara elektronik digunakan selama cervidil digunakan dan sekurang-kurangnya
selama 15 menit setelah dikeluarkan. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013)
Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam adalah
peningkatan aktivitas uterus, menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (1999) mendeskripsikannya sebagai berikut:
a) Takisistol uterus diartikan sebagai ≥6 kontraksi dalam periode 10 menit.
b) Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal yang berlangsung lebih
c) Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola denyut jantung
janin yang meresahkan.
Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi janin bisa
berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum adanya persalinan spontan, maka
penggunaannya tidak direkomendasikan. Kontra indikasi untuk agen prostaglandin
secara umum meliputi asma, glaucoma, peningkatan tekanan intra-okular. (Sinclair,
2010, Cunningham, 2013)
2). Prostaglandin E1 (PGE1)
Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sintetik, diakui sebagai tablet 100 atau
200 μg. Obat ini telah digunakan secara off label (luas) untuk pematangan serviks
prainduksi dan dapat diberikan per oral atau per vagina. Tablet ini lebih murah
daripada PGE2 dan stabil pada suhu ruangan. Sekarang ini, prostaglandin E1
merupakan prostaglandin pilihan untuk induksi persalinan atau aborsi pada Parkland
Hospital dan Birmingham Hospital di University of Alabama. (Sinclair, 2010,
Cunningham, 2013)
Misoprostol oral maupun vagina dapat digunakan untuk pematangan serviks
atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan 25 – 50 μg dan ditempatkan di dalam
forniks posterior vagina. 100 μg misoprostol per oral atau 25 μg misoprostol per
vagina memiliki manfaat yang serupa dengan oksitosin intravena untuk induksi
persalinan pada perempuan saat atau mendekati cukup bulan, baik dengan rupture
membrane kurang bulan maupun serviks yang baik. Misoprostol dapat dikaitkan
dengan peningkatan angka hiperstimulasi, dan dihubungkan dengan rupture uterus
pada wanita yang memiliki riwayat menjalani seksio sesaria. Selain itu induksi
dengan PGE1, mungkin terbukti tidak efektif dan memerlukan augmentasi lebih lanjut
pemberian misoprostol. Karena itu, terdapat pertimbangan mengenai risiko, biaya,
dan kemudahan pemberian kedua obat, namun keduanya cocok untuk induksi
persalinan. Pada augmentasi persalinan, hasil dari penelitian awal menunjukkan
bahwa misoprostol oral 75 μg yang diberikan dengan interval 4 jam untuk
maksimum dua dosis, aman dan efektif. (Saifuddin, 2002, Cunningham, 2013)
3). Donor nitrit oksida
Beberapa temuan telah mengarahkan pada pencarian zat yang menstimulusi
produksi nitrit oksida (NO) lokal yang digunakan untuk tujuan klinis diantaranya
yakni, nitrit oksida merupakan mediator pematangan serviks, metabolit NO pada
serviks meningkat pada awal kontraksi uterus, dan produksi NO di serviks sangat
rendah pada kehamilan lebih bulan. Dasar pemikiran dan penggunaan donor NO
yaitu isosorbide mononitrate dan glyceryl trinitrate. isosorbide mononitrate
menginduksi siklo-oksigenase 2 serviks, agen ini juga menginduksi pengaturan ulang
ultrastruktur serviks, serupa dengan yang terlihat pada pematangan serviks spontan.
Namun sejauh ini uji klinis belum menunjukkan bahwa donor NO sama efektifnya
dengan prostaglandin E2 dalam menghasilkan pematangan serviks, dan penambahan
isosorbide mononitrate pada dinoprostone atau misoprostol tidak meningkatkan
pematangan serviks pada awal kehamilan atau saat cukup bulan dan tidak
mempersingkat waktu pelahiran pervaginam. (Cunningham, 2013)
4). Pemberian oksitosin intravena
Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktifitas uterus
yang cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin. Sejumlah
regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan direkomendasikan oleh American
College of Obstetricians and Gynecologists (1999a). Oksitosin diberikan dengan
mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang digunakan di Amerika
Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis tinggi, dan
hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi
persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk
memperpendek waktu persalinan. (Cunningham, 2013)
Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari
hiperstimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula terjadi, lebih-lebih pada
multipara. Untuk itu senantiasa lakukan observasi yang ketat pada ibu yang
mendapat oksitosin. Dosis efektif oksitosin bervariasi, kecepatan infus oksitosin
untuk induksi persalinan dapat dilihat pada table berikut:
Table 2.2 Berbagai Regimen Oksitosin Dosis Rendah dan Tinggi
Regimen
2 4,8,12,16,20,25,30 15
Tinggi
4 4 15
4,5 4,5 15 – 30
6 6 20 – 40
nnnn Dublin (tahun 1984) menguraikan protokol untuk penatalaksanaan aktif
persalinan yang menggunakan oksitosin dosis awal dan tambahan 6 mU/menit. Dan
di Parkland Hospital, Satin, dkk (1992) mengevaluasi regimen oksitosin dengan
dosis tersebut, peningkatan dengan interval 20 menit jika diperlukan, menghasilkan
rata-rata waktu masuk ke persalinan yang lebih singkat, lebih sedikit induksi yang
gagal, dan tidak ada kasus sepsis neonatus. Dan dengan percobaan pada sampel yang
karena distosia yang lebih sedikit, dan menurunnya korioamnionitis intrapartum atau
sepsis neonatorum.
Dengan demikian, manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan
memberikan regimen dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah.
Di Parkland hospital penggunaan regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan
6 mU/menit secara rutin telah dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham
Hospital di University Alabama memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan
menaikkannya sesuai kebutuhan setiap 15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25,
dan 30 mU/menit. Walaupun regimen yang pertama tampaknya sangat berbeda, jika
tidak ada aktifitas uterus, kedua regimen tersebut mengalirkan 12 mU/menit selama
45 menit ke dalam infuse. (Cunningham, 2013)
Di bawah ini merupakan tabel untuk salah satu protab kecepatan infus
oksitosin untuk induksi persalinan:
Table 2.3 Kecepatan Infus Oksitosin untuk Induksi Persalinan Waktu sejak 500 ml dekstrose atau
garam fisiologi dekstrose atau garam fisiologi (10 mIU/ml)
3,5 Sama 40 20 45 360
4,0 Sama 50 25 60 420
4,5 Sama 60 30 75 495
5,0
10 unit dalam 500 ml dekstrose atau garam fisiologik (20 mIU/ml)
30 30 90 585
5,5 Sama 40 40 45 630
6,0 Sama 50 50 60 690
6,5 Sama 60 60 75 765
7,0 Sama 60 60 90 855
Jika setelah mengikuti protokol berdasarkan tabel di atas tetap belum
terbentuk pola kontraksi yang baik dengan penggunaan konsentrasi oksitosin yang
tinggi maka pada multigravida induksi dinyatakan gagal, dan lahirkan janin dengan
section caesar. Pada primigravida dapat diberikan infuse oksitosin konsentrasi tinggi
(10 unit dalam 500 ml) sesuai dengan protokol berikut:
Table 2.3 Kecepatan Infus Oksitosin Lanjutan untuk Induksi Persalinan pada primigravida
500 ml dekstrose atau garam fisiologi dekstrose atau garam
fisiologi (10 mIU/ml)
2,5 Sama 45 23 45 270
3,0 Sama 60 30 68 338
3,5
10 unit dalam 500 ml dekstrose atau garam fisiologik (20 mIU/ml)
30 30 90 428
4,0 Sama 45 45 45 473
4,5 Sama 60 60 68 540
5,0 Sama 60 60 90 630
Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal,
lahirkanlah janin melalui sectio caesar. Dalam pemberian infuse oksitosin, selama
pemberian ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas kesehatan yaitu:
a) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara cermat.
b) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan
kecepatan infuse yang sama sampai pelahiran.
c) Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri
d) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20 mIU/ml) pada
multigravida dan pada ibu dengan riwayat section caesar.
e) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk pola
kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan tersebut.
(Saifuddin, 2002)
b. Secara mekanis atau tindakan
1). Kateter Transservikal (Kateter Foley)
Kateter foley merupakan alternatif yang efektif disamping pemberian
pecah ketuban, dan terdapat riwayat perdarahan. Kateter foley diletakkan atau
dipasang melalui kanalis servikalis (os seviks interna) di dalam segmen bawah uterus
(dapat diisi sampai 100 ml). tekanan kearah bawah yang diciptakan dengan
menempelkan kateter pada paha dapat menyebabkan pematangan serviks. Modifikasi
cara ini, yang disebut dengan extra-amnionic saline infusion (EASI), cara ini terdiri
dari infuse salin kontinu melalui kateter ke dalam ruang antara os serviks interna dan
membran plasenta. Teknik ini telah dilaporkan memberikan perbaikan yang
signifikan pada skor bishop dan mengurangi waktu induksi ke persalinan.
(Cunningham, 2013)
Penempatan kateter, dengan atau tanpa infuse salin yang kontinu,
menghasilkan perbaikan favorability serviks dan sering kali menstimulasi kontraksi.
Sherman dkk. (1996), merangkum hasil dari 13 percobaan dengan metode ini
menghasilkan peningkatan yang cepat pada skor bishop dan persalinan yang lebih
singkat. Chung dkk. (2003) secara acak mengikutsertakan 135 wanita untuk
menjalani teknik induksi persalinan dengan kateter foley ekstra amnion dengan
inflasi balon sampai 30 ml juga menghasilkan waktu rata-rata induksi ke pelahiran
memendek secara nyata. Dan Levy dkk. (2004) melaporkan bahwa penggunaan
balon kateter foley transservikal 80 ml lebih efektif untuk pematangan serviks dan
induksi dari pada yang 30 ml. (Cunningham, 2013)
Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai berikut:
a) Pasang speculum pada vagina
b) Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik dengan menggunakan cunam
tampon.
c) Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum
e) Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina
f) Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau maksimal 12
jam
g) Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan kemudian lanjutkan
dengan infuse oksitosin.
(Saifuddin, 2002)
2). Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
Dilatasi serviks dapat juga di timbulkan menggunakan dilator serviks osmotik
higroskopik. Teknik yang dilakukan yakni dengan batang laminaria dan pada
keadaan dimana serviks masih belum membuka. Dilator mekanik ini telah lama
berhasil digunakan jika dimasukkan sebelum terminasi kehamilan, tetapi kini alat ini
juga digunakan untuk pematangan serviks sebelum induksi persalinan. Pemasangan
laminaria dalam kanalis servikalis dan dibiarkan selama 12-18 jam, kemudian jika
perlu dilanjutkan dengan infus oksitosin. (Cunningham, 2013)
3). Stripping membrane
Yang dimaksud dengan stripping membrane yaitu cara atau teknik
melepaskan atau mamisahkan selaput kantong ketuban dari segmen bawah uterus.
Induksi persalinan dengan “stripping” membrane merupakan praktik yang umum dan
aman serta mengurangi insiden kehamilan lebih bulan. Stripping dapat dilakukan
dengan cara manual yakni dengan jari tengah atau telunjuk dimasukkan dalam
kanalis servikalis. (Cunningham, 2013)
4). Induksi Amniotomi
Ruptur membrane artifisial atau terkadang disebut dengan induksi
pembedahan, teknik ini dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Pemecahan
awal sebagai tindakan induksi, dengan atau tanpa oksitosin. Pada uji acak, Bacos dan
Backstrom (1987) menemukan bahwa amniotomi saja atau kombinasi dengan
oksitosin lebih baik dari pada oksitosin saja. Induksi persalinan secara bedah
(amniotomi) lebih efektif jika keadaan serviks baik (skor Bishop > 5). Amniotomi
pada dilatasi serviks sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan spontan selama 1
sampai 2 jam, bahkan Mercer dkk. (1995) dalam penelitian acak dari 209 perempuan
yang menjalani induksi persalinan baik itu amniotomi dini pada dilatasi 1-2 cm
ataupun amniotomi lanjut pada dilatasi 5 cm didapatkan awitan persalinan yang lebih
singkat yakni 4 jam. (Cunningham, 2013; Sinclair, 2010)
Namun ada komplikasi atau resiko yang dapat timbul setelah dilakukan
amniotomi yakni: sekitar 0,5 % terjadi prolaps tali pusat, infeksi (jika jangka waktu
antara induksi-persalinan > 24 jam), perdarahan ringan, perdarahan post partum
(resiko relatif 2 kali dibandingkan dengan tanpa induksi persalinan),
hiperbilirubinemia neonatus (bilirubin > 250 μmol/l). (Llewellyn, 2002)
5). Stimulasi putting susu
Untuk stimulasi payudara gunakan pedoman CST dan pantau DJJ dengan
auskultasi atau pemantauan janin dengan cardiotografi. Observasi adanya
hiperstimulasi pada uterus. (Varney, 2002)
6). Hubungan seksual
Hanya dilakukan apabila ketuban dalam keadaan utuh. Orgasme pada wanita
akan menyebabkan kontraksi uterus. semen atau sperma mengandung prostaglandin,
sehingga dapat pula merangsang kontraksi. (Varney, 2002)
7). Minyak Castor
Digunakan pada serviks yang telah matang, efektif pada multigravida.
jeruk atau minuman lain sesuai pilihan ibu. Namun setelah menggunakan cara ini,
ibu dianjurkan untuk banyak minum. (Varney, 2002)
Tanda-tanda induksi baik yaitu: respons uterus berupa aktifitas kontraksi
miometrium baik, kontraksi simetris, dominasi fundus, relaksasi baik (sesuai dengan
tanda-tanda his yang baik/adekuat), dan nilai serviks menurut bishop.
Prinsip penting: monitor keadaan bayi, keadaan ibu, awasi tanda-tanda
rupture uteri dan harus memahami farmakokinetik, farmakodinamik, dosis dan cara
KERANGKA TEORITIS INDIKASI INDUKSI
• KPD
• Kehamilan Lewat Waktu • Oligohidramnion • Korioamnionitis • Preeklampsi
• Hipertensi Gestasional • Insufisiensi plasenta • Iufd Dan Pjt
• Perdarahan antepartum
• Umbilical abnormal Arteri
doppler
INDUKSI
PERSALINAN
PERSYARATAN
a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan menipis.
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.
CARA MEKANIS ATAU TINDAKAN
Kateter Transservikal (Kateter Foley)
Dilator Servikal Higroskopik (Batang Laminaria)
Stripping membrane
Induksi Amniotomi
Stimulasi putting susu
Hubungan seksual
Minyak Castor
Partus
Gabungan cara farmakologi dan mekanis
CARA FARMAKOLOGI ATAU MEDISINAL
Prostaglandin E2 (PGE2)
Protaglandin E1 (PGE1)
Donor Nitrit Oksida
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Serviks belum matang
Misoprostol Gabungan
misoprostol dgn drip oksitosin oral+ oksitosin
drip oksitosin drip
Lama induksi
Misoprostol oral & vaginam + oksitosin
drip
Lama induksi
Serviks sudah matang misoprostol dgn drip
oksitosin
Misoprostol oral+ oksitosin
drip oksitosin drip
Lama induksi
Lahir pervaginam
Sectio caesarea
Misoprostol oral & vaginam + oksitosin drip
Lama induksi
Lahir pervaginam
A. Defenisi Operasional
2. Kondisi serviks Keadaan serviks yang dinilai dengan Bishop skor pada saat dimulainya induksi.(serviks dikatakan baik jika skor Bishop >5, dan dikatakan tidak baik jika skor Bishop ≤5)
3. Metode Induksi cara yang digunakan untuk memulai awalnya tidak ada menjadi ada yang diberikan saat pertama kali infus oksitosin akan
5. Dosis ulangan Pemberian kembali dosis induksi jika pemberian
pemberian ulangan)
6. Total dosis
Cara keluarnya janin secara normal atau tindakan setelah
Indikasi atau alasan dilakukan SC
Hasil, efek, atau konsekuensi yang akan terjadi dari pelaksanaan induksi persalinan pada ibu
11. Out Come pada bayi
Hasil, efek, atau konsekuensi yang akan terjadi dari pelaksanaan induksi persalinan pada bayi
Lembar cheklist
Mencatat dari
dokumentasi atau catatan rekam medis
Bayi sehat
Asfiksia neonatorum
meninggal
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan
studi pendokumentasian dimana penelitian dilakukan dengan cara melihat catatan
keperawatan atau rekam medik subyek yang diteliti, dengan tujuan untuk mencari
persentase tindakan induksi persalinan dan out come di RSU Muhammadiyah
sumatera utara tahun 2013.
B. Populasi Dan Sampel 1. Populasi
Pada penelitian ini, populasinya adalah seluruh ibu hamil yang
dilakukan tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera
Utara dari bulan Januari sampai bulan Desember Tahun 2013, yaitu sebanyak
67 orang.
2. Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan total sampling, yaitu seluruh populasi dijadikan sampel, atau
seluruh ibu hamil yang dilakukan tindakan induksi persalinan di RSU
Muhammadiyah Sumatera Utara dari bulan Januari sampai bulan Desember
C. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara. Rumah
sakit ini dipilih sebagai tempat penelitian karena belum pernah dilakukan
penelitian yang sesuai dengan judul karya tulis ini dan lokasi rumah sakit tersebut
mudah dijangkau oleh peneliti. Selain itu rumah sakit ini juga merupakan rumah
sakit rujukan untuk seluruh Rumah Sakit Muhammadiyah yang ada di provinsi
Sumatera Utara.
D. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Mei tahun 2014.
E. Etika Penelitian
Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Institusi
Pendidikan Program D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara dan RSU Muhammadiyah Sumatera Utara. Dalam melakukan
penelitian ini, beberapa hal yang peneliti lakukan, yaitu:
1. Peneliti mengajukan permohonan izin untuk melakukan penelitian pada
Ketua Program D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara.
2. Peneliti mengajukan surat keterangan izin penelitian ke bagian Tata Usaha
RSU Muhammadiyah Sumatera Utara untuk memperoleh surat pengantar izin
penelitian yang ditujukan kepada bagian penelitian RSU Muhammadiyah
3. Setelah mendapat surat izin penelitian dari Direktur RSU Muhammadiyah
Sumatera Utara, peneliti melihat rekam medik setiap pasien yang telah
diinduksi dan mengisi sendiri lembar checklist.
4. Jika beberapa data yang peneliti perlukan tidak terdapat di dalam rekam
medik, maka peneliti meminta izin kepada kepala ruangan VK RSU.
Muhammadiyah Sumatera Utara untuk melihat catatan keperawatan di
ruangan tersebut.
5. Untuk menjaga kerahasiaan pasien (Confidentiality) maka peneliti tidak
mencantumkan nama dan alamat responden (Anonimity) dalam penelitian ini.
F. Alat Pengumpulan Data
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah menggunakan lembar
checklist yang diisi oleh peneliti.
G. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mendapat surat izin penelitian
dari program pendidikan D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara dan telah mendapat izin dari RSU Muhammadiyah Sumatera
Utara. Setelah mendapat izin peneliti terlebih dahulu membuat lembar checklist,
kemudian melihat rekam medik pasien dan mencatat semua data yang sesuai
dengan kriteria ke dalam lembar cecklist. Namun ada beberapa data yang tidak
peneliti temukan di dalam rekam medik, oleh karena itu peneliti meminta izin
bagian tata usaha dan kepala ruangan VK untuk melihat catatan keperawatan di
H. Analisis Data
Setelah semua data terkumpul, kemudian peneliti melakukan analisa data.
Adapun langkah-langkah dalam menganalisa data yang telah terkumpul adalah
sebagai berikut:
1. Editing Data
Data yang terkumpul diperiksa kembali, apakah semua data yang sesuai
dengan kriteria penelitian sudah benar dan lengkap.
2. Coding Data
Kemudian data diberi kode untuk memudahkan peneliti dalam melakukan
analisa data dan pengambilan kesimpulan data.
3. Entry Data
Kemudian data yang telah diperoleh ditabulasi dalam bentuk tabel untuk
mempermudah perhitungan dengan menggunakan teknik komputerisasi.
4. Cleaning
Setelah semua data telah dientry, kemudian dilakukan
pengecekan/pemeriksaan kembali apakah ada kesalahan atau tidak.
5. Analisa Data
Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data yakni dengan
menggunakan analisa univariat dimana analisa ini dilakukan untuk
mengetahui jumlah dan persentase dari variable-variabel yang diteliti. Data
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian mengenai gambaran induksi
persalinan dan out come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
Adapun sampel dalam penelitian ini yaitu berjumlah 67 responden, dimana peneliti
menggunakan total sampling yaitu seluruh ibu hamil yang dilakukan tindakan
induksi persalinan Untuk mengetahui persentase tindakan induksi persalinan dan out
come di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013, peneliti menggunakan
lembar checklist yang memudahkan peneliti dalam proses pengambilan dan
pengolahan data.
1. Persentase karakteristik umum responden yang dilakukan tindakan induksi
persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Umum Responden yang Dilakukan Tindakan Induksi Persalinan di RSU Muhammadiyah
Sumatera Utara Tahun 2013
Karakteristik responden Frekuensi Persentase (%)
Umur Ibu (tahun)
<20 1 1,5
20-35 63 94
>35 3 4,5
Total 67 100
Paritas Primipara 16 23,9
Multipara 51 76,1
Total 67 100
Hasil penelitian pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 67 responden yang
mayoritas umur responden 20-35 tahun yaitu sebanyak 63 orang (94%), sedangkan
paritas responden mayoritas terjadi pada multipara sebanyak 51 orang (76,1%).
2. Persentase induksi persalinan berdasarkan kondisi serviks ibu hamil sebelum
diinduksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Induksi Persalinan Berdasarkan Kondisi Serviks Ibu Hamil Sebelum Diinduksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara
Tahun 2013
Kondisi Serviks Frekuensi Persentase (%)
Belum Matang 16 23,9
Sudah Matang 51 76,1
Total 67 100
Hasil penelitian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa kondisi serviks ibu hamil
sebelum dilakukan tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera
Utara tahun 2013, mayoritas dengan kondisi serviks yang sudah matang yaitu
sebanyak 51 orang (76,1%).
3. Persentase metode induksi yang digunakan di RSU Muhammadiyah Sumatera
Utara tahun 2013.
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Induksi Persalinan Berdasarkan Metode Induksi yang Digunakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara
Tahun 2013
Metode induksi Frekuensi Persentase (%)
Serviks belum matang
Misoprostol 1 6,25
Drip oksitosin 12 75
Gabungan misoprostol dan drip oksitosin
3 18,75
Gabungan misoprostol dan drip oksitosin
Hasil penelitian pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa mayoritas metode
induksi yang digunakan untuk tindakan induksi persalinan di RSU Muhammadiyah
Sumatera Utara tahun 2013 yaitu drip oksitosin pada kondisi serviks yang sudah
matang yakni sebanyak 50 orang (98,04%). Kemudian diikuti drip oksitosin pada
Universitas
Sumatera
Hasil penelitian pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa induksi persalinan
dengan metode drip oksitosin pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang belum
matang yaitu sebanyak 12 orang, mayoritas dosis awal oksitosin yang digunakan
yaitu 2.5 IU sebanyak 9 orang (75%), dengan rata-rata lama induksi 3,4 jam, dan
yang mencapai ke persalinan pervaginam sebanyak 2 orang (25 %). Selanjutnya dari
8 orang (66,7%) yang belum mencapai ke proses kelahiran yang hanya dengan
pemakaian drip oksitosin pertama, maka dilakukan pemberian ulangan drip oksitosin,
dimana pada pemberian dosis ulangan pertama mayoritas diberikan dengan dosis
oksitosin 2.5 IU dan 10 IU yakni masing-masing sebanyak 3 orang (25%), dengan
rata-rata lama induksi 6,2-6,7 jam, dan yang mencapai ke persalinan yaitu sebanyak
5 orang (62,5%) dengan mayoritas metode persalinannya yaitu seksio caesarea
sebanyak 4 orang (50%). Sedangkan untuk pemberian dosis ulangan kedua yang
dilakukan pada 3 orang ibu hamil yang belum mencapai ke proses kelahiran,
mayoritas diberikan dengan dosis oksitosin 10 IU yaitu sebanyak 2 orang (25%),
dengan rata-rata lama induksinya yaitu 10,3 jam dan semuanya yaitu 3 orang (100%)
mencapai ke persalinan yaitu partus pervaginam.
Selanjutnya pada tabel 5.4 tampak total dosis oksitosin yang diterima untuk
ibu-ibu dengan kondisi serviks yang belum matang, mayoritas yakni dengan total
dosis 10 IU sebanyak 3 orang (25%), dengan rata-rata lama persalinan 5,7 jam, dan
5. Persentase dosis, rata-rata lama induksi diberikan, total dosis diterima dan metode persalinan setelah dilakukan induksi persalinan pada
ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Dosis, Rata-rata Lama Induksi Diberikan, Total Dosis Diterima dan Metode Persalinan setelah Dilakukan Induksi Persalinan pada Ibu-Ibu dengan Kondisi Serviks yang Sudah Matang di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara Tahun 2013
Metode
induksi Cara pemberian
Dosis yang
diberikan Jumlah
Persentase (%)
Rata-rata lama induksi
Metode persalinan
Pervaginam Sectio caesar Jumlah Persentase
& drip oksitosin dosis awal
Hasil penelitian pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa induksi persalinan pada
ibu-ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang di RSU Muhammadiyah
Sumatera Utara tahun 2013, mayoritas ibu-ibu yang diinduksi dengan drip oksitosin
yakni menggunakan dosis awal 2.5 IU yaitu sebanyak 31 orang (62%), dengan
rata-rata lama induksinya 3,2 jam, dan dari 50 orang yang diberikan dosis awal tersebut
yang mencapai ke persalinan yaitu sebanyak 30 orang (60%), dengan mayoritas
metode persalinannya yaitu partus pervaginam sebanyak 25 orang (50%).
Selanjutnya ibu-ibu yang belum berhasil mencapai kepersalinan dilanjutkan dengan
pemberian ulangan pertama, yang mayoritas menggunakan dosis ulangan 2.5 IU
yakni sebanyak 16 orang (32%) dengan rata-rata lama induksinya 5,8 jam. Dari 20
orang yang diberikan ulangan pertama yang mencapai ke persalinan yaitu sebanyak
18 orang (90%). Dan 2 orang lainnya dari 50 orang yang diinduksi dengan drip
oksitosin yang belum juga mencapai ke persalinan dilanjutkan ke pemberian ulangan
kedua, dimana keduanya diberikan dosis ulangan 2.5 IU dan keduanya mencapai ke
persalinan dengan metode persalinan pervaginam.
Kemudian untuk total dosis yang diterima mayoritas menggunakan dosis 2.5
IU sebanyak 15 orang (30%) dengan rata-rata lama induksi 3,4 jam, dan dari 50
orang ibu hamil yang diinduksi dengan drip oksitosin mayoritas mencapai ke
6. Persentase penyebab dilakukan sectio caesarea pada ibu hamil setelah dilakukan
induksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Penyebab Dilakukan Sectio Caesarea pada Ibu Hamil Setelah Dilakukan Induksi di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara
Tahun 2013
Penyebab dilakukan sectio caesarea
Serviks belum matang Serviks sudah matang Frekuensi Persentase
(%) Frekuensi
Persentase (%)
Tidak respon
4 66,7 - -
Ibu menolak
1 16,7 2 28,6
Rupture uteri imminen
- - 1 14,3
Fetal disstres
- - 4 57,1
Partus macet 1 16,7 - -
Total 6 100 7 100
Hasil penelitian pada tabel 5.6 menunjukkan bahwa mayoritas penyebab
dilakukannya tindakan sectio sesarea pada ibu-ibu yang diinduksi dengan kondisi
serviks yang belum matang yaitu karena tidak adanya respon terhadap induksi yang
diberikan atau tidak dapat mencapai kontraksi uterus yang adekuat (3 kali dalam 10
menit), sebanyak 4 orang (66,7%). Sedangkan pada ibu-ibu hamil dengan kondisi
serviks yang sudah matang mayoritas penyebab dilakukannya tindakan sectio sesarea
7. Persentase out come pada ibu setelah dilakukan induksi persalinan di RSU
Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Out Come pada Ibu setelah Dilakukan Induksi Persalinan di RSU Muhammadiyah
Sumatera Utara Tahun 2013
Out come pada ibu
Serviks belum matang Serviks sudah matang Frekuensi Persentase
(%) Frekuensi
Persentase (%)
Ibu sehat
Post partum hemmorage
Rupture uteri iminens
13
Hasil penelitian pada tabel 5.7 menunjukkan bahwa mayoritas out come pada
ibu setelah ibu dengan kondisi serviks yang belum matang dilakukan tindakan
induksi persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013 yaitu ibu
dalam keadaan sehat yakni sebanyak 13 orang (81,25%). Sedangkan pada ibu dengan
kondisi serviks yang sudah matang, mayoritas out come pada ibu setelah dilakukan
induksi persalinan yaitu ibu juga dalam keadaan sehat yakni sebanyak 43 orang
8. Persentase out come pada bayi baru lahir setelah dilakukan induksi persalinan di
RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Out Come pada Bayi Baru Lahir setelah Ibu Diinduksi Persalinan di RSU Muhammadiyah
Sumatera Utara Tahun 2013
Out come pada bayi
Serviks belum matang Serviks sudah matang Frekuensi Persentase
(%) Frekuensi
Persentase (%)
Bayi sehat
Asfiksia neonatorum
Meninggal
Hasil penelitian pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa mayoritas out come pada
bayi dengan kondisi serviks ibu yang belum matang sebelum dilakukan induksi
persalinan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013 yaitu bayi dalam
keadaan sehat yakni sebanyak 8 orang (50%). Sedangkan pada ibu dengan kondisi
serviks yang sudah matang, mayoritas out come pada bayi baru lahir setelah
dilakukan induksi persalinan yaitu bayi juga dalam keadaan sehat yakni sebanyak 40
orang (78,43%).
B. Pembahasan
1. Kondisi serviks ibu hamil sebelum diinduksi di RSU Muhammadiyah Sumatera
Utara tahun 2013.
Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa dari 67 ibu hamil yang merupakan
sampel dalam penelitian ini, didapatkan 16 orang kondisi serviksnya belum matang
Merujuk dari persyaratan sebelum dilakukannya induksi persalinan, tingkat
kematangan serviks adalah merupakan faktor penentu keberhasilan dan salah satu
syarat dilakukannya tindakan induksi persalinan. Jika kondisi serviks baik (sudah
matang yakni skor bishop 6 atau lebih), maka persalinan biasanya berhasil diinduksi
dengan hanya menggunakan induksi. (Sinclair, 2010 & Cunningham, 2013).
Harnani, ED, dalam penelitiannya mengatakan bahwa berdasarkan studi-studi
terkini, dimana rasionya bervariasi dari 9,5%-33,7% dari semua kehamilan setiap
tahun. Pada keadaan serviks yang tidak matang, jarang terjadi keberhasilan partus
pervaginam. Hal ini dikarenakan kemampuan induksi dengan metode drip oksitosin
akan lebih baik dan lebih berhasil pada kondisi serviks yang sudah matang. Jika
kondisi serviks belum matang, maka sebaiknya dilakukan pematangan serviks
terlebih dahulu. Dengan demikian, pematangan serviks atau persiapan induksi harus
dinilai sebelum pemilihan terapi.
Menilai kondisi serviks ibu hamil sebelum dilakukannya induksi persalinan
penting untuk dilakukan, hal ini bertujuan untuk menentukan tindakan yang harus
dokter lakukan terlebih dahulu. Perlukah tindakan prainduksi untuk kondisi serviks
yang belum matang dan langsung menggunakan metode induksi tertentu untuk
kondisi serviks yang sudah matang. Hal ini berkaitan dengan keberhasilan proses
induksi kearah pelahiran spontan (pervaginam) dan menghindari gagal induksi
sehingga mengakibatkan peningkatan angka kejadian seksio sesarea.
2. Metode induksi yang digunakan di RSU Muhammadiyah Sumatera Utara tahun
2013.
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa mayoritas metode induksi yang
Utara tahun 2013 yaitu drip oksitosin pada kondisi serviks yang sudah matang yakni
sebanyak 50 orang (98,04%). Kemudian diikuti drip oksitosin pada kondisi serviks yang
belum matang yaitu sebanyak 12 orang (75%).
Pada ibu dengan kondisi serviks yang sudah matang, metode induksi yang
mayoritas menggunakan drip oksitosin didukung dan sesuai dengan studi yang
dikutip berikut ini, yang mengatakan bahwa stimulasi persalinan yang
direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (1999)
yaitu menggunakan sejumlah regimen oksitosin. Regimen oksitosin baik dengan
dosis rendah maupun tinggi tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi
persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk
memperpendek waktu persalinan. (Cunningham, 2013)
Akan tetapi pada ibu dengan kondisi serviks yang belum matang, penggunaan
drip oksitosin sebagai metode yang mayoritas digunakan tidak sesuai dengan
Cunningham (2013) yang menyatakan bahwa perempuan yang serviksnya pada
kondisi serviks yang tidak ideal (unfavorable) merupakan indikasi untuk dilakukan
pematangan serviks terlebih dahulu sebelum induksi (pematangan serviks
prainduksi). Pemberian beberapa teknik prainduksi dapat memberikan keuntungan
jika dibandingkan dengan induksi oksitosin saja. Beberapa teknik terbukti cukup
berhasil untuk induksi, misalnya dengan kateter transservikal, pemberian
prostaglandin E1 (misoprostol atau cytotec).
Menurut asumsi peneliti hal tersebut dapat terjadi dikarenakan di RSU
Muhammadiyah Sumatera Utara selain menggunakan teknik pematangan serviks
menggunakan preparat farmakologi yakni misoprostol, mereka juga menggunakan
teknik secara mekanis yaitu menggunakan balon kateter. Dikarenakan peneliti tidak
sehingga di hasil tidak tampak berapa banyak ibu hamil yang menjalani teknik
pematangan serviks dengan cara mekanis seperti balon kateter. Oleh karena itu untuk
ibu hamil yang serviksnya belum matang terkesan hanya menggunakan drip
oksitosin saja, yang pada kenyataannya dilakukan tindakan prainduksi terlebih
dahulu yakni pematangan serviks dengan menggunakan balon kateter.
3. Dosis, rata-rata lama induksi dan metode persalinan setelah dilakukan induksi
persalinan pada ibu-ibu dengan kondisi serviks yang belum matang di RSU
Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 2013.
Berdasarkantabel 5.4 dapat dilihat bahwa mayoritas drip oksitosin diberikan
dengan dosis awal 2.5 IU yaitu sebanyak 9 orang (75%). Hal ini tidak mendukung
pernyataan Cunningham (2013) yang menyarankan penggunaan dosis tinggi 6
mU/menit (±5 IU) untuk penggunaan dosis awal pada pemakaian drip oksitosin
untuk proses induksi persalinan. Akan tetapi dari hasil diatas didukung oleh banyak
studi acak yang menemukan bahwa regimen oksitosin dosis rendah dan dosis tinggi
sama-sama efektif dalam menegakkan pola persalinan yang adekuat. Begitu juga
dengan dosis ulangan, dimana pada tabel 5.4 mayoritas dosis ulangan diberikan
dengan dosis 2.5 IU dan 10 IU yang masing-masing sebanyak 3 orang (25%). Pada
kondisi serviks yang belum matang telah dianjurkan bahwa sebaiknya dilakukan
teknik pematangan serviks terlebih dahulu, hal ini juga dimaksudkan agar proses
persalinan pervaginam dapat terjadi dengan tanpa pemberian dosis ulangan.
Selain itu juga, pada tabel tampak bahwa total dosis oksitosin yang diterima
ibu hamil yang kondisi serviksnya belum matang, mayoritas dosis yang digunakan
yaitu 10 IU sebanyak 3 orang (25%). Hal ini sesuai dan mendukung teori yang mana
persalinan telah berhenti, maka dosis infus oksitosin lebih besar dari 48 mU/menit
(±10 IU) tidak menimbulkan resiko yang nyata. Selain itu juga hasil tersebut diatas
mendukung hasil penelitian Wen dkk, tahun 2001 dalam penelitiannya terhadap 1151
nulipara secara berurutan menemukan bahwa kecenderungan kemajuan kepelahiran
pervaginam menurun pada atau di atas dosis oksitosin 36 mU/menit, namun pada
dosis 72 mU/menit, setengah nulipara melahirkan pervaginam. (Cunningham, 2013)
Untuk rata-rata lama induksi yang tampak pada tabel 5.4, mayoritas yaitu <12
jam dan bervariasi sesuai dengan berapa kali ulangan yang diberikan. Hal ini sesuai
dengan teori di dalam buku Cunningham, tahun 2013 dimana ibu hamil yang
mendapatkan regimen oksitosin dengan dosis 6 mU/menit (±5 IU) memiliki durasi
waktu persalinan yang lebih singkat. Selain itu juga hasil tersebut didukung oleh
hasil penelitian dari Muarif, YS (2002) dimana dalam penelitiannya diperoleh lama
induksi baik menggunakan misoprostol maupun oksitosin berlangsung dalam waktu
4-12 jam.
Dari tabel 5.4 juga tampak metode persalinan yang terjadi pada kondisi
serviks ibu yang belum matang yang mengalami partus pervaginam yaitu sebanyak
10 orang dan mayoritas pada metode drip oksitosin sebanyak 8 orang (66,7%). Hal
ini sesuai dengan teori buku Cunninghan, 2013 yang mana dikatakan bahwa pada
induksi dengan menggunakan regimen oksitosin maka akan lebih sedikit induksi
yang gagal. Akan tetapi hal ini tidak didukung dengan hasil penelitian dari Muarif,
YS tahun 2002, yang mendapatkan hasil bahwa pencapaian pembukaan lengkap yang