• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

5.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil yang didapat selama periode bulan Juli- Agustus 2011 di Poliklinik Jantung RSUP Haji Adam Malik Medan, didapati pasien hipertensi sebanyak 206 orang, dengan jenis kelamin laki- laki yaitu sebanyak 121 orang (58,7%), diikuti jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 85 orang (41,3%). Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya di bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Kota Padang Panjang Sumatera Barat dengan sampel 188 orang didapati penderita dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 73 orang (38,8%) dan penderita dengan jenis kelamin laki- laki 118 orang (61,2%) (Kunia, 2007). Studi yang lain juga dilakukan di Kota Pekanbaru dimana terdapat 30,5% kejadian hipertensi pada kelompok jenis kelamin laki- laki dan 69,5% kejadian hipertensi pada kelompok jenis kelamin perempuan (Poerwati, 2008). Berdasarkan data WHO (2000), hipertensi telah menjangkiti 26,4% populasi dunia dengan perbandingan 26,4% pada pria dan 26,1% pada wanita. Hal ini menggambarkan adanya variasi kejadian hipertensi pada kelompok jenis kelamin perempuan dibandingkan dengan kelompok jenis kelamin laki- laki. Dengan kata lain, jenis kelamin bukan merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi (Ginting, 2008).

Pada penelitian ini didapati mayoritas sampel berusia antara 51- 55 tahun yaitu 39 orang (18,9%) diikuti pada kelompok usia 56- 60 tahun yaitu 38 orang (18,4%). Sedangkan yang paling sedikit pada golongan usia 36- 40 tahun yaitu 2 orang (1%) dan golongan usia 81- 85 yaitu 2 orang (1%). Pada studi sebelumnya juga yang dilakukan di Kelurahan Lau Cimba Kabanjahe juga disebutkan bahwa kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok usia 41-50 tahun sebesar 50,5% (Sagala, 2009). Menurut National Center for Health Statistic (2008) secara global prevalensi hipertensi meningkat 67% pada usia > 60 tahun. Hal ini terjadi karena pada kisaran usia tersebut arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit dan menyebabkan naiknya tekanan darah.

sistolik 140-159 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 90-99 mmHg. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Kota Padang Panjang Sumatera Barat, yakni terdapat 50% pasien hipertensi klasifikasi sedang (Tekanan Darah Sistolik 140- 159 mmHg; Tekanan Darah Diastolik 90-99 mmHg) (Kurnia, 2007).

Dari penelitian ini juga didapatkan pasien hipertensi lama yang berobat jalan paling cepat 3 tahun dan yang paling lama 31 tahun, dengan rata- rata dari seluruh pasien selama 4,7 tahun.

Berdasarkan penelitian ini terdapat 5 jenis golongan obat antihipertensi yang digunakan, yaitu golongan diuretik, alpha blocker, beta blocker, calcium channel blocker, ACE-Inhibitor, dan angiotensin receptor blocker. Penggunaan

obat yang paling banyak adalah kombinasi 2 golongan obat, yaitu beta blocker

ditambah angiotensin receptor blocker (18,4%). Penggunaan obat antihipertensi di Poliklinik Jantung RSUP Haji Adam Malik Medan ada yang memakai 1 golongan obat saja 21,9%, kombinasi 2 golongan obat 52,5%, kombinasi 3 golongan obat 22,4%, dan kombinasi 4 golongan obat 3,4%. Obat yang paling banyak diresepkan adalah golongan beta blocker dengan jenis Bisoprolol paten

sebanyak 58,3 % dari seluruh pemakaian golongan obat beta blocker. Pada

penelitian sebelumnya mengenai gambaran pengobatan penderita hipertensi pasien rawat jalan di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta diperoleh hasil

golongan obat yang paling banyak digunakan adalah ACE-Inhibitor, obat yang

digunakan adalah Captopril sebanyak 66%. Antihipertensi yang digunakan tunggal sebanyak 54%, sedangkan kombinasi 2 dan 3 macam antihipertensi sebanyak 46%. Sedangkan di Rumah Sakit Islam Klaten diperoleh hasil jenis obat yang paling banyak digunakan adalah amlodipine sebanyak 27,5% dan golongan

obat terbanyak yang digunakan adalah golongan calcium channel blocker-

dihydropiridine sebanyak 36,1%. Penggunaan kombinasi obat bervariasi antara 1- 3 macam golongan obat (Christy, 2010). Penggunaan polifarmasi dalam terapi hipertensi sangat dipengaruhi oleh penyakit/ penyulit yang menyertai pasien hipertensi tersebut.

Berdasarkan penelitian Da Costa et al., (2002) dalam Mahardika (2009),

kombinasi diuretik dengan beta blocker mempunyai nilai efektivitas (ACER)

sebesar 291,2, kombinasi diuretik dengan calcium channel blocker mempunyai

nilai efektivitas (ACER) sebesar 863,6, kombinasi diuretik dengan ACE-Inhibitor

mempunyai nilai efektivitas (ACER) sebesar 1252,3, kombinasi beta blocker

dengan calcium channel blocker mempunyai nilai efektivitas (ACER) sebesar

1045,4, kombinasi beta blocker dengan ACE-Inhibitor mempunyai nilai

efektivitas (ACER) sebesar 933,6. Sehingga kombinasi diuretik dengan beta

blocker lebih cost effective dibandingkan dengan kombinasi yang lainnya.

Penatalaksanaan secara farmakologis pada hipertensi ringan, tekanan darah dapat dinormalkan pada sebagian besar pasien dengan obat tunggal. Monoterapi ini juga memadai untuk beberapa pasien dengan hipertensi sedang. Diuretik dan beta blocker, adalah satu- satunya obat yang telah terbukti mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas hipertensi sedang. Adanya penyakit yang mengikuti seyogyanya mempengaruhi pilihan untuk penggunaan obat antihipertensi karena dua penyakit dapat mendapatkan mamfaat dari satu obat tunggal. Sebagai contoh, ACE-Inhibitor terutama berguna pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal. Beta blocker atau calcium channel blocker sangat berguna bagi pasien yang juga menderita angina, diuretik ataupun ACE- Inhibitor pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Ras juga mempengaruhi pemilihan obat;

orang kulit hitam memberikan respon lebih baik terhadap diuretik dan calcium

channel blocker daripada terhadap beta blocker dan ACE- Inhibitor (Katzung, 2001).

Pada penelitian dengan 206 pasien hipertensi yang dilakukan di Poliklinik Jantung RSUP Haji Adam Malik ini didapati bahwa biaya minimum seorang pasien hipertensi untuk obat antihipertensi adalah sebesar Rp. 27.000,-/bulan yaitu obat Furosemide golongan diuretik sedangkan biaya maksimum sebesar Rp. 672.000,/bulan yaitu Spironolakton (diuretik), Bisoprolol paten (beta blocker),

52.774.000,- untuk 206 pasien selama 1 bulan. Biaya total ini merupakan biaya obat selama 1 bulan, karena pasien hipertensi yang rawat jalan di Poliklinik Jantung RSUP Haji Adam Malik melakukan kunjungan ke dokter/ kontrol selama satu kali per bulan. Sehingga jika dikalkulasikan biaya total untuk pasien hipertensi selama 1 tahun adalah sebesar Rp. 633.288.000,-. Sungguh angka yang sangat besar untuk negara kita yang sedang berkembang ini. Penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh lembaga The National Heart, Lung, and Blood

Institute (NHLBI) pada tahun 2002 total biaya kesehatan untuk hipertensi di Amerika telah diperkirakan sekitar $ 47,2 milyar per tahunnya. Total pelayanan kesehatan ini sudah termasuk biaya obat yang terhitung bisa lebih dari 70% dari total biaya pelayanan kesehatan untuk hipertensi (Dipiro et al., 2005).

Dokumen terkait