• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4.1 Pengaruh Profitabilitas (ROA) Terhadap Pengungkapan CSR

Berdasarkan hasil pengujian pengaruh variabel ROA (return on asset) terhadap pengungkapan CSR, dapat diketahui bahwa variabel ROA tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa hipotesis pertama (H1) ditolak. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005), Anggraini (2006), dan Reverte (2008) yang menemukan pengaruh profitabilitas yang tidak signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.

ROA menggambarkan tingkat profitabilitas perusahaan, dengan demikian tingkat profitabilitas perusahaan tidak berpengaruh terhadap besar pengungkapan CSR. Artinya bahwa perusahaan yang mempunyai profitabilitas tinggi belum tentu lebih banyak melakukan aktivitas sosial dan mengungkapkannya dalam

laporan tahunan perusahaannya karena perusahaan lebih berorientasi pada laba semata. Hal didukung dengan argumentasi bahwa ketika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi, perusahaan (manajemen) menganggap tidak perlu melaporkan hal-hal yang dapat mengganggu informasi tentang sukses keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat profitabilitas rendah, mereka berharap

para pengguna laporan akan membaca “good news” kinerja perusahaan. “Good

news” ini dapat berupa aktivitas-aktivitas sosial lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan (Heinze,1976 dalam Hackston & Milne (1996)). Hasil penelitian ini tidak mendukung teori yang menyatakan bahwa dengan adanya laba yang tinggi maka manajemen akan melakukan pengungkapan sosial yang luas.

4.4.2 Pengaruh AGE (Umur Perusahaan) Terhadap Pengungkapan CSR Berdasarkan hasil pengujian pengaruh variabel AGE (umur perusahaan) terhadap pengungkapan CSR, dapat diketahui bahwa variabel AGE tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa hipotesis kedua (H2) ditolak. Hal ini tidak didukung oleh penelitian terdahulu. Perusahaan dengan umur yang lebih lama belum tentu paling banyak mengungkapkan aktivitas sosialnya, karena bias saja perusahaan yang baru berdiri lebih aktif dalam melakukan kegiatan sosial dan mengungkapkannya secara lengkap dalam laporan tahunannya.

Hal ini berarti bahwa penelitian ini tidak mendukung teori yang menyatakan bahwa perusahaan yang pada umumnya dengan umur yang lebih lama cenderung lebih banyak mengungkapkan informasi sosial dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki umur bediri yang lebih sedikit.

4.4.3 Pengaruh Leverage Terhadap Pengungkapan CSR

Berdasarkan hasil pengujian pengaruh variabel Leverage terhadap pengungkapan CSR yang diukur dengan debt to equity ratio, dapat diketahui bahwa variabel Leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa hipotesis ketiga (H3) ditolak. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005), Anggraini (2006), Reverte (2008), Rizkia (2012), dan Haryanto (2007) yang menemukan leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Hal ini berarti bahwa tinggi rendahnya variabel leverage tidak mempengaruhi pengungkapan CSR. Penelitian ini tidak mendukung teori sebagai berikut. Leverage merupakan alat untuk mengukur seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditor dalam membiayai asset perusahaan. Perusahaan yang memiliki proporsi utang lebih besar dalam struktur pemodalannya akan mempunyai biaya keagenan yang lebih besar. Dengan demikian, semakin besar proporsi utang suatu perusahaan, maka semakin luas pula informasi yang dibutuhkan atau yang harus dipaparkan. Akan tetapi, berdasarkan teori agensi, manajemen perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi pengungkapan tanggung jawab sosial yang dibuatnya. Hal ini dilakukan agar tidak menjadi sorotan dari para debtholders.

4.4.4 Pengaruh SIZE (Ukuran Perusahaan) Terhadap Pengungkapan CSR Berdasarkan hasil pengujian pengaruh variabel ukuran perusahaan (SIZE) terhadap pengungkapan CSR, dapat diketahui bahwa variabel ukuran

perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa hipotesis keempat (H4) ditolak. Hal ini berarti bahwa perusahaan dengan aset yang besar belum tentu mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaanya secara luas, pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan juga bergantung pada tingkat kepekaan perusahaan dalam kepedulian akan lingkungan sosialnya.

Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian mengenai hubungan pengaruh antara ukuran perusahaan dan pengungkapan CSR. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Anggraini (2006) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Dan tidak didukung oleh penelitian seperti yang dilakukan oleh Reverte (2008), Anggraini (2006), dan Sembiring (2006) yang tidak mendukung hasil penelitian ini. Secara umum menyatakan bahwa semakin besar suatu perusahaan maka pengungkapan tanggung jawab sosial yang dibuat juga cenderung semakin luas. Penelitian ini tidak mendukung teri menurut Cowen et. al., (1987) dalam Sembiring (2005), secara teoritis perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan, dan perusahaan yang lebih besar dengan aktivitas operasi dan pengaruh yang lebih besar terhadap masyarakat mungkin akan memiliki pemegang saham yang memperhatikan program sosial yang dibuat perusahaan sehingga pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan akan semakin luas.

4.4.5 Pengaruh UDK (Ukuran Dewan Komisaris) Terhadap Pengungkapan CSR

Berdasarkan hasil pengujian pengaruh variabel ukuran dewan komisaris (UDK) terhadap pengungkapan CSR, dapat diketahui bahwa variabel ukuran dewan komisaris berpengaruh positif secara signifikan terhadap pengungkapan CSR. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa hipotesis kelima (H5) diterima. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005) yang menemukan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.

Dewan komisaris dianggap sebagai suatu mekanisme pengendalian internal yang dianggap bertanggung jawab untuk memonitor atau mengawasi tindakan manajemen puncak. Berkaitan dengan ukuran dewan komisaris, Sembiring (2005) menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan memonitoring yang dilakukan akan semakin efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial, maka tekanan terhadap manajemen akan semakin besar untuk mengungkapkannya. Berdasarkan teori agensi, dewan komisaris dianggap sebagai mekanisme pengendalian intern tertinggi, yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen puncak. Dikaitkan dengan pengungkapan informasi oleh perusahaan, kebanyakan penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara berbagai

karakteristik dewan komisaris dengan tingkat pengungkapan informasi oleh perusahaan.

4.4.6 Pengaruh Profitabilitas (ROA), Umur Perusahaan (AGE), Leverage

(LEV), Ukuran Perusahaan (SIZE), dan Ukuran Dewan Komisaris (UDK) terhadap pengungkapan CSR

Berdasarkan hasil pengujian pengaruh variabel profitabilitas (ROA), umur perusahaan (AGE), leverage, ukuran perusahaan (SIZE), dan ukuran dewan komisaris (UDK) secara simultan terhadap pengungkapan CSR, dapat diketahui bahwa kelima variabel tersebut secara simultan berpengaruh terhadap pengungkapan CSR suatu perusahaan. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa hipotesis keenam (H6) diterima. Hal ini berari bahwa meskipun secara parsial kelima variabel bebas tersebut memiliki hasil yang berbeda-beda yaitu ada yang berpengaruh dan ada yang tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial, namun secara bersama-sama (simultan) kelima variabel bebas tersebut memiliki pengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR suatu perusahaan.

BAB V

Dokumen terkait