• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. Pembahasan Hasil Penelitian

1) Working Capital to Total Assets Ratio (X1)

Working Capital to Total Assets Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur likuiditas aktiva perusahaan relatif terhadap total kapitalisasinya atau untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Hasil perhitungan Working Capital to Total Assets Ratio (X1) disajikan dalam table 4.3.

Tabel 4.3

Working Capital to Total Assets Ratio (X1)

No Nama Perusahaan

(X1)

2007 2008 2009

1. PT Adhi Karya (Persero) Tbk 0.1132 0.0965 0.1085 2. PT Duta Graha Indah Tbk 0.3087 0.2727 0.2674 3. PT Jaya Kontruksi Manggala

Pratama Tbk

0.2038 0.1945 0.1959 4. PT Surya Semesta Internusa Tbk -0.0422 -0.0181 0.0157 5. PT Total Bangun Persada Tbk 0.1736 0.1791 0.2178 6. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 0.2524 0.1999 0.1921

Sumber: Diolah Penulis, 2011

PT Surya Semesta Internusa Tbk merupakan perusahaan dengan rasio X1 terendah yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut tingkat likuidasinya paling rendah diantara perusahaan-perusahaan lainnya dalam kelompok tersebut, karena mempunyai tingkat kesulitan keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya.

Pada tahun 2007 dan 2008 PT Surya Semesta Internusa Tbk tercatat sebagai perusahaan yang ilikuid yaitu jumlah hutang lebih besar dari jumlah aktivanya, tetapi pada tahun-tahun berikutnya perusahaan ini sudah dapat memperbaiki kondisinya. Keadaan. Selama tiga tahun berturut-turut

mean Working Capital to Total Assets Ratio (X1) bernilai sangat rendah, hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan Kontuksi Bangunan mengalami tingkat kesulitan keuangan.

2) Retained Earnings to Total Assets Ratio (X2)

Retained Earnings to Total Assets Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur profitabilitas kumulatif. Rasio ini mengukur akumulasi laba selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan. Hal tersebut menyebabkan perusahaan yang masih relatif muda pada umumnya akan menunjukkan hasil rasio yang rendah, kecuali yang labanya sangat besar pada masa awal berdirinya. Hasil perhitungan

Retained Earnings to Total Assets Ratio (X2)disajikan dalam table 4.4. Tabel 4.4

Retained Earnings to Total Assets Ratio (X2) No.

Nama Perusahaan

(X2)

2007 2008 2009

1. PT Adhi Karya (Persero) Tbk 0.0684 0.0666 0.0827 2. PT Duta Graha Indah Tbk 0.0554 0.0738 0.0971 3. PT Jaya Kontruksi Manggala

Pratama Tbk

0.0225 0.0664 0.1049 4. PT Surya Semesta Internusa Tbk -0.0651 -0.0521 -0.0443 5. PT Total Bangun Persada Tbk 0.1145 0.1078 0.1423 6. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 0.1447 0.1176 0.1411

PT Surya Semesta Internusa Tbk bernilai negatif, ini berarti bahwa selama itu pula perusahaan tidak pernah membukukan laba ditahan atau selalu mengakumulasikan rugi ditahan. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan aktivanya untuk memperoleh laba ditahan sangatlah rendah bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Rugi usaha yang dialami perusahaan tersebut disebabkan karena penghasilan yang diterima tidak mampu menutupi beban-beban yang menjadi tanggungannya. Beban-beban yang harus ditanggung selama periode tersebut lebih mengarah kepada beban usaha (operating expenses) dan biaya pokok penjualan (cost of goods sold).

Retained Earnings to Total Assets Ratio (X2) pada PT Wijaya Karya (Persero) Tbk selama tiga tahun berturut-turut mengalami turun naik. Pada tahun 2007 rasio sebesar 0.1447, kemudian turun pada tahun 2008 sebesar 0.1176 dan naik menjadi 0.1411 pada tahun 2009. Hal ini mengindikasikan bahwa PT Wijaya Karya (Persero) Tbk mempunyai kemampuan untuk memperoleh laba ditahan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Kemampuan memperoleh laba ditahan oleh perusahaan ini tidak terlepas pula oleh umur perusahaan, yang mana perusahaan ini telah berdiri sejak tahun 1961.

3) Earnings Before Interest and Taxes to Total Assets Ratio (X3)

Earnings Before Interest and Taxes to Total Assets Ratio (X3) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur produktivitas yang sebenarnya dari aktiva perusahaan. Rasio tersebut mengukur kemampuan

perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. Semakin kecil tingkat profitabilitas berarti semakin tidak efisien dan tidak efektif perusahaan menggunakan keseluruhan aktiva didalam menghasilkan laba usaha begitu juga sebaliknya. Hasil perhitungan Earnings Before Interest and Taxes to Total Assets Ratio (X3)disajikan dalam table 4.5.

Tabel 4.5

Earnings Before Interest and Taxes to Total Assets Ratio (X3)

No.

Nama Perusahaan

(X3)

2007 2008 2009

1. PT Adhi Karya (Persero) Tbk 0.1103 0.0742. 0.1830 2. PT Duta Graha Indah Tbk 0.2784 0.2202 0.2169 3. PT Jaya Kontruksi Manggala

Pratama Tbk

0.3641 0.3862 0.3968 4. PT Surya Semesta Internusa Tbk 0.0587 0.0183 0.1567 5. PT Total Bangun Persada Tbk 0.1622 0.1221 0.2501 6. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 0.1414 0.1379 0.1898

Sumber: Diolah Penulis, 2011

Perusahaan dengan X3 terendah adalah PT Surya Semesta Internusa Tbk., hal ini menunjukkan bahwa pihak manajemen tidak dapat mengelola aktivanya secara efektif. X3 yang bernilai rendah disebabkan karena probabilitas perusahaan selama tiga tahun penelitian mengalami kerugian yang mana operating profit yang dicapai perusahaan lebih kecil daripada total aktivanya. Dalam laporan laba rugi perusahaan, terlihat bahwa biaya operasi perusahaan selalu lebih besar dari laba kotornya, bahkan terjadi rugi secara berturut-turut selama tiga tahun. Akibatnya perusahaan tidak dapat membukukan laba rugi usahanya.

Perusahaan dengan rasio X3 tertinggi adalah PT Jaya Kontruksi Manggala Pratama Tbk. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan

tersebut lebih tinggi tingkat produktivitasnya dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain dalam sektor Kontruksi Bangunan. Rata-rata perusahaan Kontruksi Bangunan, produktivitas aktiva yang digunakannya untuk menghasilkan laba usaha mengalami penurunan tetapi setelah itu mengalami kenaikan.

4) Market Value Equity to Book Value of Total Debt Ratio (X4)

Merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa banyak aktiva perusahaan dapat turun nilainya sebelum jumlah hutang lebih besar daripada aktivanya dan perusahaan menjadi pailit. Modal yang dimaksud adalah gabungan nilai pasar dari modal biasa dan saham preferen, sedangkan hutang mencakup hutang lancar dan hutang jangka panjang.

Tabel 4.6

Market Value Equity to Book Value of Total Debt Ratio (X4)

No.

Nama Perusahaan

(X4)

2007 2008 2009

1. PT Adhi Karya (Persero) Tbk 0.2117 0.0430 0.0494 2. PT Duta Graha Indah Tbk 1.3550 0.2268 0.3509 3. PT Jaya Kontruksi Manggala

Pratama Tbk

2.8715 1.2625 1.0413 4. PT Surya Semesta Internusa Tbk 0.5483 0.1391 0.0976 5. PT Total Bangun Persada Tbk 0.7977 0.1139 0.2693 6. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 0.5039 0.1255 0.1963

Sumber: Diolah Penulis, 2011

Perusahaan dengan X4 terendah adalah PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Perusahaan dengan rasio X4 terendah mempunyai indikasi bahwa perusahaan tersebut mengakumulasikan lebih banyak hutang daripada modal sendiri dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Bila dilihat dari modal sendiri perusahaan yang berasal dari modal disetor pada

sahamnya, selama tiga tahun berturut-turut kondisinya terlihat tidak mengalami peningkatan (stagnan). Sedangkan untuk laba ditahannya, kondisi yang ada selalu kebalikan yaitu mengalami rugi ditahan, sehingga ketergantungan perusahaan terhadap sumber eksternal guna mendanai aktivanya terutama yang berasal dari kreditur sangatlah tinggi.

Perusahaan dengan rasio X4 tertinggi adalah PT Duta Graha Indah Tbk. Meskipun setiap tahun mengalami penurunan tetapi perusahaan ini masih lebih baik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Hal ini berarti bahwa perusahaan tersebut mengakumulasikan hutang terhadap modal sendiri lebih dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya.

Market Value Equity to Book Value rendah bila of Total Debt Ratio

(X4) dari tahun ketahun mengalami kecenderungan menurun untuk masing-masing perusahaan. Hal ini terjadi karena rata-rata emiten pada perusahaan Kontruksi Bangunan mengakumulasikan lebih banyak hutang daripada modal sendiri terutama yang berasal dari pemilik. Penurunan rasio ini disebabkan oleh adanya harga saham selalu mengalami penurunan yang signifikan, bahkan harga pasar saham lebih rendah dari harga nominalnya. Sehingga mengakibatkan tingkat kesejahteraan pemegang saham semakin buruk, dengan semakin buruknya kondisi tersebut pada akhirnya semakin memperburuk nilai perusahaan (value of the firm).

5) Sales to Total Assets Ratio (X5)

Merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan. Rasio tersebut mengukur kemampuan manajemen dalam menggunakan aktiva untuk menghasilkan penjualan.

Tabel 4.7

Sales to Total Assets Ratio (X5)

No.

Nama Perusahaan

(X5)

2007 2008 2009

1. PT Adhi Karya (Persero) Tbk 1.1455 1.2929 1.3676 2. PT Duta Graha Indah Tbk 0.8266 0.9848 0.8682 3. PT Jaya Kontruksi Manggala

Pratama Tbk

1.4890 1.7041 1.7508 4. PT Surya Semesta Internusa Tbk 0.7886 0.7772 0.6626 5. PT Total Bangun Persada Tbk 1.0099 1.4193 1.3392 6. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 1.0346 1.1342 1.1539 Sumber: Diolah Penulis, 2011

Perusahaan dengan X5 terendah adalah PT Duta Graha Indah Tbk. Dalam hal ini perusahaan tersebut dapat diindikasikan kurang efektif dalam penggunaan aktiva untuk meningkatkan penjualan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya.

Perusahaan dengan rasio X5 tertinggi adalah PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut mempunyai tingkat efektivitas tertinggi dalam penggunaan aktivanya untuk menghasilkan penjualan bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain.

6) Penilaian Tingkat Kebangkrutan Metode Altman Z-Score

Setelah dilakukan perhitungan terhadap masing-masing variable dan ditentukan nilai Z-scorenya, maka dapat diketahui bahwa perusahaan

Kontruksi Bangunan sedikit berpotensi mengalami kebangkrutan. Dari table 4.8 dapat dilihat perusahaan yang mengalami kebangkrutan selama tiga tahun berturut-turut yaitu PT Surya Semesta Internusa Tbk. Hal ini disebabkan karena kecilnya nilai likuiditas dan profitabilitas dibandingkan dengan rasio variabel lain dari masing-masing perusahaan. Ditambah nilai likuiditas dan profitabilitas dari masing-masing perusahaan mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Dengan melihat kondisi tersebut, sebaiknya pengelola perusahaan lebih menfokuskan pada usaha perbaikan kinerja perusahaan dengan meningkatkan rasio likuiditas dan rasio profitabilitas perusahaan. Misalnya untuk meningkatkan rasio likuiditas seperti meningkatkan volume penjualan terhadap persediaan barang yang ada, sehingga ada pemasukan kas perusahaan dari hasil penjualan tersebut. Sementara untuk meningkatkan rasio profitabilitas yaitu laba yang diperoleh perusahaan tidak semuanya dibagikan kepada para pemegang saham atau jumlah laba yang akan diberikan kepada para pemegang saham dikurangi agar perusahaan tidak mengalami kebangkrutan.

Perusahaan yang mempunyai catatan bangkrut dan tidak bangkrut selama tiga tahun berturut-turut adalah PT Adhi Karya (Persero) Tbk, PT Duta Graha Indah Tbk, PT Total Bangun Persada Tbk dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Dalam kurun waktu tiga tahun masing-masing perusahaan mengalami naik turun pada rasio likuiditas dan profitabilitas. Perusahaan yang tidak mengalami kebangkrutan selama kurun waktu tiga tahun berturut-turut adalah PT Jaya Kontruksi Manggala Pratama Tbk. PT

Jaya Kontruksi Manggala Pratama Tbk lebih memiliki rasio yang relatif stabil. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan dalam kondisi baik selama tiga tahun berturut-turut.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Penilaian terhadap 6 (enam) perusahaan kontruksi bangunan dengan menggunakan model Altman menunjukkan 16.66 % atau 1 perusahaan dikategori bangkrut pada tahun 2007,2008 dan 2009. Sedangkan yang masuk kategori rawan bangkrut sebanyak 66.66 % atau 4 perusahaan pada tahun 2007,2008 dan 2009, serta 16.66% atau 1 perusahaan pada tahun 2007,2008 dan 2009 dikategori perusahaan tidak bangkrut.

2. Laporan keuangan perusahaan dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan yang bersangkutan dengan menggunakan model Altman pada perusahaan kontruksi bangunan di Bursa Efek Indonesia tahun 2007, 2008 dan 2009.

3. Secara teoritis penelitian ini adalah merupakan ruang lingkup penggunaan metode AltmanZ-score, karena dari hasil penelitian sebelumnya terbukti bahwa metode Altman Z-score tersebut dapat diimplementasikan dalam mendeteksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan kontruksi bangunan.

Dokumen terkait