• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV.8 Pembahasan Hasil Temuan

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan terhadap penerapan Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan oleh PT JMU, diperoleh temuan-temuan sebagai berikut:

1. Terdapat penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak tertentu yang seharusnya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai namun tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Berdasarkan hasil evaluasi, kondisi yang ada selama bulan Desember 2005, PT JMU melakukan penyerahan Barang Kena Pajak untuk pihak eksternal sebesar Rp 5.576.029.824,00, untuk pihak intercompany sebesar Rp 197.220.323,21 sehingga keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak Desember 2005 yang seharusnya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.773.250.147,21. Penyerahan Barang Kena Pajak PT JMU Desember 2005 untuk pihak eksternal yang dipungut Pajak Pertambahan Nilai hanya sebesar Rp 5.065.436.869,00 dan pihak

intercompany sebesar Rp 197.220.323,21. Dari hal itu, ternyata diketahui bahwa

terdapat penyerahan Barang Kena Pajak untuk pihak eksternal yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Setelah dilakukan evaluasi, penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai tersebut yaitu sebesar Rp 510.592.955,00 sehingga Pajak Keluaran yang masih harus dipungut dan disetor

oleh perusahaan sebesar Rp 51.059.295,50. (Lihat kertas kerja pendukung 1)

Berdasarkan Pasal 1 angka 25 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 disebutkan bahwa Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak. Pasal 3A ayat (1)

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 menjelaskan bahwa Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Petambahan Nilai terutang. Dalam Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ./2000 disebutkan bahwa Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir dan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang tidak diketahui identitasnya dapat membuat Faktur Pajak Sederhana.

Hal ini disebabkan ketika melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, beberapa Pengusaha Kena Pajak pembeli tidak mau dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Menurut PT JMU, di satu sisi perusahaan juga tidak ingin kehilangan pelanggan jika memaksakan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak pembeli. Oleh karena itu, beberapa penyerahan Barang Kena Pajak dilakukan tanpa dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Menurut penulis, melihat status PT JMU sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka PT JMU harus melakukan kewajiban untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak pembeli.

Akibatnya, penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dicatat sebagai penjualan non-PPN dalam buku besar perusahaan, dan tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN Desember 2005 karena tidak terdapat bukti pungutan berupa Faktur Pajak Standar. Selain itu, PT JMU harus menanggung sendiri Pajak Keluaran yang seharusnya dibayarkan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli. Menurut penulis, jika hal ini dibiarkan akan berdampak negatif bagi PT JMU. Pada saat nanti dilakukan pemeriksaan oleh pihak fiskus, atas kondisi yang terjadi tersebut dapat diterbitkan

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sehingga PT JMU akan dikenakan sanksi berupa bunga sebesar 2% per bulan dari pajak yang kurang dibayar.

Penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1. PT JMU harus menekankan pentingnya sisi Pajak Pertambahan Nilai dalam melakukan penyerahan Barang Kena Pajak karena memungut Pajak Pertambahan Nilai dari pembeli merupakan kewajiban PT JMU sebagai Pengusaha Kena Pajak. PT JMU dapat mengemukakan kepada Pengusaha Kena Pajak pembeli, bagaimanapun kondisinya jika tidak memperhatikan Pajak Pertambahan Nilai akan berdampak negatif bagi keduanya. Dari sisi pihak PT JMU akan dikenakan sanksi berupa bunga, denda, bahkan kenaikan, sedangkan dari pihak Pengusaha Kena Pajak pembeli Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan karena tidak terdapat bukti pungutan berupa Faktur Pajak Standar.

2. Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai tersebut, PT JMU dapat menerbitkan Faktur Pajak Sederhana. Hal ini dilakukan karena identitas pembeli dianggap tidak diketahui dan pembeli tersebut dapat dianggap sebagai konsumen akhir. Nilai Pajak Keluaran yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana tersebut nantinya dimasukkan ke dalam SPT Masa PPN Desember 2005 Pembetulan II formulir 1195 lampiran A1 pada kolom Faktur Pajak Sederhana.

2. Terdapat perolehan Barang Kena Pajak yang seharusnya dipungut Pajak Pertambahan Nilai, namun tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.

Penulis menemukan kondisi bahwa terdapat perolehan Barang Kena Pajak yang dilakukan PT JMU tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak penjual. Dari hasil evaluasi pada kertas kerja pendukung (2), berdasarkan data yang diperoleh dari laporan laba rugi selama bulan Desember 2005

perolehan Barang Kena Pajak PT JMU dari pihak eksternal sebesar Rp 3.767.623.937,70, dari pihak intercompany sebesar Rp 103.063.733,60.

Berdasarkan saldo yang terdapat di buku besar, perolehan Barang Kena Pajak yang dipungut Pajak Pertambahan Nilai dari pihak eksternal sebesar Rp 3.235.902.436,00, dan yang berasal dari pihak intercompany sebesar Rp 103.063.733,60. Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa terdapat perolehan Barang Kena Pajak yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 531.721.501,70, dan Pajak Pertambahan Nilainya sebesar Rp 53.172.150,17.

Berdasarkan Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ./2000, tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak yaitu bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 2 ketentuan ini dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana. Menurut Pasal 5 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ./2000,

Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan oleh pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak sebagai dasar pengkreditan Pajak Masukan.

Hal ini disebabkan transaksi pembelian tidak hanya dilakukan oleh departemen pembelian saja, melainkan dapat dilakukan oleh departemen manapun di PT JMU. Terkadang dari transaksi pembelian tersebut, mengabaikan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dibayarkan melalui Pengusaha Kena Pajak pembeli.

Akibatnya, Pajak Masukan yang telah dibayarkan melalui Pengusaha Kena Pajak pembeli lebih kecil dibandingkan yang seharusnya. Jika dilakukan pemeriksaan, maka kepada PT JMU dapat diterbitkan Surat Teguran bahkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Hal ini sangat merugikan bagi PT JMU, karena PT JMU harus membayar sanksi berupa bunga 2% per bulan dari pajak yang kurang dibayar. Penulis memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

1) Tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas perolehan Barang Kena Pajak yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana. Nilai Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana tersebut nantinya dimasukkan ke dalam SPT Masa PPN Desember 2005 Pembetulan II formulir 1195 lampiran B4 pada kolom Faktur Pajak Sederhana (tidak dapat dikreditkan).

2) Untuk selanjutnya, setiap pembelian yang dilakukan oleh departemen manapun di PT JMU, harus memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. Selain itu, ketika pembelian dilakukan selain oleh departemen pembelian, departemen yang bersangkutan harus segera melakukan konfirmasi kepada departemen pembelian agar dapat dilakukan kontrol dalam hal kewajiban Pajak Pertambahan Nilainya.

3. PT JMU belum mengelompokkan antara Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan yang tidak dapat dikreditkan.

Menurut temuan penulis, kondisi yang terdapat di PT JMU saat ini yaitu belum dilakukannya pengelompokkan atau klasifikasi antara Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan yang tidak dapat dikreditkan. Menurut perusahaan, Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar seluruhnya sebesar Rp 336.526.510,00 seluruhnya dianggap dapat dikreditkan oleh PT JMU. Menurut penulis, dari sejumlah Pajak Masukan tersebut, terdapat sejumlah Rp 252.373.235,17 yang tidak dapat dikreditkan, dengan rincian Rp 199.201.084,90. dari Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan serta hasil evaluasi penulis sejumlah Rp 53.172.150,17 dari Pajak Masukan yang masih harus dipungut.

Kriteria umum suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan apabila telah memenuhi persyaratan baik formal maupun material berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. Sedangkan dalam Pasal 9 ayat (8), disebutkan bahwa Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana, dan Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.

Menurut perusahaan, hal ini disebabkan fungsi pajak PT JMU kurang memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. Tanggapan penulis atas keterangan dari perusahaan tersebut, Pajak Masukan tersebut sudah memenuhi persyaratan namun hal ini lebih disebabkan karena Faktur Pajak Masukan yang diperoleh dari Pengusaha Kena Pajak penjual merupakan Faktur Pajak Standar yang cacat, dan pihak perusahaan tidak menyadari hal tersebut sebagai sebuah kekeliruan.

Akibatnya karena Faktur Pajak Standar yang diterima tergolong Faktur Pajak Standar cacat, seharusnya perusahaan tidak menggolongkan Pajak Masukan tersebut sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan selama Faktur Pajak tersebut belum diganti.

Berdasarkan kondisi yang terjadi, penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut:

1) PT JMU harus meminta Faktur Pajak Standar pengganti kepada Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar, agar Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Masa Pembetulan.

2) PT JMU harus melakukan klasifikasi Pajak Masukan terlebih dahulu sebelum mengisi SPT Masa. Klasifikasi Pajak Masukan dapat dilakukan dengan menggunakan format kertas kerja. Format kertas kerja dapat dilihat seperti terdapat pada kertas kerja pendukung (6).

4. Faktur Pajak Standar yang dibuat oleh PT JMU dalam rangka penyerahan Barang Kena Pajak, terdapat 3 (tiga) lembar Faktur Pajak Standar yang tidak ditandatangani.

Kondisi yang ada di PT JMU saat ini, terdapat 3 (tiga) lembar Faktur Pajak Standar Keluaran yang dibuat oleh PT JMU belum ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Nilai penyerahan Barang Kena Pajak dalam Faktur Pajak tersebut adalah Rp 7.343.700,00 dan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 734.370,00. Dari hasil evaluasi yang telah dilakukan, penulis menemukan beberapa Faktur Pajak Standar yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Pasal 13 ayat 5 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. Faktur Pajak Standar tersebut berasal dari transaksi dengan perusahaan afiliasi (perusahaan dalam satu grup).

Berdasarkan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 disebutkan bahwa dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat diantaranya nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Menurut perusahaan, hal ini disebabkan karena Faktur Pajak Standar Keluaran tersebut nantinya akan diserahkan kepada pihak afiliasi, dimana pihak afiliasi tersebut tidak mempermasalahkannya. Penulis berpendapat, bahwa apa yang terjadi tersebut merupakan sebuah kekeliruan, karena berdasarkan ketentuan yang berlaku walaupun transaksi dilakukan dengan pihak afiliasi, Faktur Pajak Standar harus ditandatangani sebagai bukti bahwa transaksi telah diketahui dan diotorisasi oleh pejabat yang berwenang.

Akibatnya, jika dilakukan pemeriksaan oleh pihak fiskus maka Faktur Pajak Standar yang dibuat oleh PT JMU merupakan Faktur Pajak Standar yang cacat. Bagi pihak afiliasi, mengakibatkan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan karena Faktur Pajak Standar yang diperoleh dari PT JMU cacat.

Penulis merekomendasikan agar PT JMU segera mengganti Faktur Pajak Keluaran yang telah diberikan sebelum dilakukan pemeriksaan oleh fiskus. Faktur Pajak Standar pengganti dapat dibuat dengan cara:

1) Pengusaha Kena Pajak mengisi Faktur Pajak Standar lagi sesuai dengan keterangan yang sebenarnya, nomor seri yang digunakan berbeda.

2) Tetap menggunakan tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti.

3) Pada Faktur Pajak Standar yang diganti dibubuhi cap yang menyebutkan nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak Standar yang diganti.

4) Faktur Pajak Standar yang diganti dilampirkan pada Faktur Pajak Standar pengganti.

5. Terdapat Faktur Pajak Standar yang diperoleh dari Pengusaha Kena Pajak penjual yang tergolong Faktur Pajak Standar cacat.

Dari hasil temuan penulis, kondisi beberapa Faktur Pajak Standar Masukan yang diperoleh dari Pengusaha Kena Pajak penjual termasuk ke dalam Faktur Pajak yang cacat. Faktur Pajak Masukan yang cacat tersebut berjumlah 15 lembar dengan nilai perolehan Barang Kena Pajak sebesar Rp 1.992.010.849,00 dan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 199.201.084,90.

Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, Faktur Pajak wajib diisi dengan benar, lengkap, dan jelas. Benar berarti sesuai dengan undang-undang material. Lengkap berarti semua unsur yang tercantum dan lampiran yang disyaratkan harus lengkap dan ditandatangani. Jelas berarti setiap tulisan maupun angka harus jelas sehingga tidak dapat ditafsirkan lain. Dari unsur jelas ini, diantaranya termasuk dengan memberikan coretan pada bagian yang tidak perlu dari kalimat (Harga Jual/ Penggantian/ Uang Muka/ Termijn**) sesuai dengan keadaan pada saat pembuatan Faktur Pajak Standar. Jika penyerahan Barang Kena Pajak Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Harga Jual, maka baris tersebut yang bukan harga jual harus dicoret, menjadi seperti berikut:

“Harga Jual/ Penggantian/ Uang Muka/ Termijn **)”.

Hal ini disebabkan karena ada kolom atau baris yang ternyata tidak diisi berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan tidak memenuhi persyaratan jelas. Faktur Pajak Standar tidak dicoret pada bagian yang tidak perlu dari kalimat (Harga Jual/ Penggantian/ Uang Muka/ Termijn), sehingga menjadikan jumlah yang terdapat

dalam Faktur Pajak Standar menjadi rancu, apakah berupa Harga Jual, Penggantian, Uang Muka atau Termijn.

Akibatnya, Faktur Pajak Standar Masukan yang diperoleh itu merupakan Faktur Pajak Standar yang cacat. Karena Faktur Pajak Standar yang diperoleh tidak lengkap atau cacat, maka Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan.

Rekomendasi dari penulis yaitu, saat menerima Faktur Pajak Standar dari Pengusaha Kena Pajak penjual, fungsi pajak PT JMU harus memeriksa kembali kelengkapan dari Faktur Pajak Standar itu. Jika ternyata ditemukan Faktur Pajak Standar yang tidak lengkap, PT JMU harus segera meminta Faktur Pajak Standar pengganti kepada Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut. 6. Terdapat kesalahan dalam melakukan pengisian SPT Masa PPN Pembetulan Masa

Pajak Desember 2005.

Berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan, penulis menemukan kondisi terdapat beberapa kesalahan dalam pengisian SPT Masa PPN Desember 2005. Kesalahan pengisian tersebut antara lain:

a. Kesalahan dalam penulisan tanggal pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam formulir 1195 A1. Dalam formulir 1195 A1, tanggal Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak tertera 5 April 2000, namun setelah dikonfirmasi dengan pihak perusahaan dan mencocokkan dengan dokumen yang ada, ternyata tanggal pengukuhan Pengusaha Kena Pajak seharusnya tanggal 22 Oktober 2001.

b. Kesalahan penulisan nama Pengusaha Kena Pajak pembeli dalam formulir 1195 A1. Dalam SPT Masa PPN PT JMU formulir 1195 A1 kode III nomor urut 38, tertera PT BSP namun setelah mencocokkan dengan Faktur Pajak Standar seharusnya ditulis PT IJP.

c. PT JMU tidak melakukan pengisian lampiran SPT Masa 1195 lampiran B4 (Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan).

Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, salah satu unsur yang terdapat dalam pengisian Surat Pemberitahuan adalah benar, lengkap, dan jelas. Benar berarti, pengisian SPT sudah sesuai penghitungannya menurut undang-undang material (undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000). Lengkap, berarti seluruh unsur dan lampiran yang disyaratkan telah diisi dengan lengkap dan SPT tersebut ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya. Jelas, berarti baik tulisan maupun angka yang ada di dalam SPT harus jelas dan terang sehingga tidak dapat ditafsirkan lain. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, dengan syarat Dirjen Pajak belum memulai tindakan pemeriksaan.

Menurut konfirmasi dengan pihak perusahaan, hal tersebut terjadi karena human

error yang dilakukan oleh user (orang yang melakukan input data ke dalam SPT).

Akibat yang ditimbulkan yaitu data yang terdapat dalam SPT Masa PPN Desember 2005 menjadi tidak benar, sehingga harus dilakukan lagi pembetulan kedua.

Rekomendasi yang dapat penulis berikan yaitu:

1. Perusahaan seharusnya memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam ketentuan perpajakan yang berlaku. Perbaikan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa PPN Desember 2005 Pembetulan II. Prosedur yang harus ditempuh yaitu menyampaikan permohonan tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan dengan menggunakan formulir SPT biasa, dengan mencantumkan kata Pembetulan baik di SPT induk maupun lampiran-lampirannya.

2. Perusahaan seharusnya melakukan pengisian SPT Masa PPN formulir 1195 lampiran B4. Menurut penulis, ternyata tidak semua Pajak Masukan dapat dikreditkan karena beberapa Faktur Pajak Masukan tergolong Faktur Pajak Standar cacat. Selengkapnya, uraian alur pengisian SPT Masa PPN dapat dilihat pada kertas kerja pengisian SPT Masa PPN 1195.

3. Sebelum SPT Masa PPN disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak, sebaiknya diperiksa ulang. Penulis berpendapat bahwa peran personel yang khusus memeriksa kembali SPT Masa PPN sebelum disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sangat penting dan diperlukan. Personel ini harus terpisah dari bagian penghitungan serta input data, agar kesalahan dalam pengisian SPT dapat diminimalkan.

7. SPT Masa PPN Pembetulan I Masa Pajak Desember 2005 yang telah dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak merupakan SPT Masa PPN yang tidak lengkap.

Kondisi pada PT JMU saat ini yaitu SPT Masa PPN Pembetulan I yang telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak, merupakan SPT yang tidak lengkap, karena:

a. Elemen yang terdapat dalam formulir 1195 Induk lembar kedua dan ketiga belum lengkap diisi.

b. SPT Masa PPN yang telah disampaikan PT JMU ke Kantor Pelayanan Pajak hanya menyampaikan lampiran SPT yang diisi saja. Lampiran SPT Masa PPN lain yang disyaratkan oleh Direktur Jenderal Pajak tidak disampaikan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, salah satu unsur yang terdapat dalam pengisian Surat Pemberitahuan adalah benar, lengkap, dan jelas. Benar berarti, pengisian SPT sudah sesuai penghitungannya menurut undang-undang material (undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000). Lengkap, berarti seluruh unsur dan lampiran yang disyaratkan telah diisi dengan lengkap dan SPT tersebut ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya. Jelas berarti, baik tulisan maupun angka yang ada di dalam SPT harus jelas dan terang sehingga tidak dapat ditafsirkan lain. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-215/PJ./2001, Surat Pemberitahuan dinyatakan tidak lengkap apabila memenuhi diantaranya:

1. Elemen Surat Pemberitahuan induk dan lampiran tidak atau kurang lengkap diisi. 2. Surat Pemberitahuan tidak atau kurang dilampiri dengan lampiran yang

diisyaratkan termasuk media elektronik.

Perusahaan berpendapat bahwa praktek tersebut sudah lama diterapkan di perusahaan. Selama ini perusahaan tidak mengetahui bahwa hal seperti itu merupakan sebuah kekeliruan yang dapat berdampak negatif untuk perusahaan sendiri. Menurut penulis, hal seperti ini disebabkan pihak perusahan kurang memperhatikan ketentuan yang berlaku.

Akibatnya, jika suatu saat dilakukan pemeriksaan oleh fiskus, kemudian diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, maka perusahaan dapat dikenakan sanksi yang lebih besar lagi yaitu dapat berupa kenaikan.

Rekomendasi yang penulis berikan yaitu perusahaan harus melakukan pemeriksaan kembali atas SPT Masa PPN. PT JMU harus menyampaikan SPT Masa beserta seluruh lampiran yang disyaratkan. Penulis menyarankan agar perusahaan menyampaikan SPT Masa PPN Pembetulan kedua yang dapat dilihat pada lembar lampiran 12 sampai 21.

Dengan asumsi penyampaian SPT Masa PPN Pembetulan kedua dilakukan pada tanggal 20 Juni 2006, dan penyetoran dilakukan pada tanggal 15 Juni 2006, maka Pajak Pertambahan Nilai terutang beserta sanksi bunga yang harus dibayar sebagai berikut:

• Pajak Pertambahan Nilai yang lebih dibayar

(Lajur G.2 SPT Masa PPN Pembetulan I) : Rp 156.589.286,70 • Pajak Pertambahan Nilai yang kurang dibayar

(Lajur G.1 SPT Masa PPN Pembetulan II) : Rp 93.671.000,00 • Hasil Pembetulan kedua kurang dibayar : Rp 250.260.286,70 Pembulatan ke bawah ribuan penuh : Rp 250.260.000,00 • Perhitungan Bunga:

Jangka Waktu Bunga : 20 Februari 2006 – 20 Juni 2006 = 4 bulan

Tarif : 2 %

Bunga : 2% x 4 x Rp 250.260.000,00

: Rp 20.020.000,00.

• Pajak Pertambahan Nilai

Kurang Bayar : Rp 250.260.000,00

• Pajak Pertambahan Nilai

Yang Masih Harus Dibayar : Rp 270.280.000,00

Dokumen terkait