• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

6.2. Pembahasan Hasil Uji Hipotesis

Pengaruh Neuroticism dengan dispepsia fungsional menunjukkan bahwa dispepsia fungsional lebih mudah terjadi pada individu dengan kepribadian yang pencemas, temperamental, mengasihi diri sendiri, emosional, dan retan terhadap gangguan stres. Sedangkan mereka yang tidak mengalami dispepsia fungsional merupakan cenderung lebih tenang, rileks, tidak emosional, memiliki daya tahan terhadap stres, merasa aman, dan puas atas diri sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka yang mengalami dispepsia fungsional merupakan orang-orang yang memiliki sifat mudah khawatir, gugup, kemarahan, merasa tidak aman, tidak mampu dan mudah panik, kurang kontrol diri, kerapuhan, sedangkan mereka yang tidak mengalami dispepsia fungsional merupakan orang- orang yang memiliki temparamental datar, puas akan diri sendiri dan tidak emosional (Feist & Feist, 2009).

Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Ambarwati pada penelitian kuantitatif dengan sampel 90 orang penderita dispepsia fungsional dilakukan di RSCM dan beberapa klinik di Jakarta. Penelitian ini mempergunakan cara penyebaran angket yang diadaptasi dari NEOP1-R buatan McCrae dan Costa (1990). Hasilnya ternyata trait neuroticism dan trait extraversion masing-masing memiliki pengaruh yang cukup kuat pada penderita dispepsia fungsional. Jika dibandingkan per subgrup dispepsia fungsional terlihat kalau pasien-pasien dari subgrup ulcer-like dyspepsia serta non-specific dyspepsia cenderung lebih dipengaruhi trait neuroticism. Dan pasien- pasien pada subgrup dysmotility-like dyspepsia cenderung lebih dipengaruhi trait extraversion. Selanjutnya dari hasil penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara depth interview dan observasi terlihat bahwa pengaruh trait neuroticism membuat penderita menjadi sosok yang selalu worrying, emotional, insecure, dan inadequate (Ambarwati, 2005).

Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Chun dkk, pada 187 pasien rawat jalan (72,2% pasien wanita, usia rata-rata 42,6 tahun) dengan dispepsia fungsional berdasarkan kriteria Roma III. Pasien diwawancarai dan dievaluasi dengan Brief Symptom Rating Scale, dan hasilnya ternyata trait neuroticism berpengaruh secara signifikan dengan timbulnya dispepsia fungsional terutama pada sub group postprandial distress syndrome (Chun dkk, 2009).

Penelitian yang berkaitan dengan terapi dilakukan oleh Tanum & Malt menemukan pengaruh antara kepribadian dan respon terhadap pengobatan dengan

tetracyclic antidepressant mianserin atau plasebo pada pasien dengan gangguan dispepsia fungsional pada 48 pasien dengan mengisi kuesioner Buss-Durkee Hostility Inventory, Neuroticism Extroversion Openness -Personality Inventory (NEO-PI), and Eysenck Personality Questionnaire (EPQ), neuroticism + lie subscales secara komplit. Hasilnya skor level rendah neuroticism dengan pengobatan dengan obat tetracyclic antidepressant mianserin pada pasien dispepsia fungsional mempunyai efek terapi yang lebih baik dibandingkan dengan penderita dispepsia fungsional yang mempunyai skor level sedang sampai tinggi neuroticism (Tanum & malt, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Branka dkk, mendapatkan bahwa pemeriksaan yang dilakukan pada 60 pasien dengan dispepsia fungsional kemudian diberikan kuesioner kepribadian Eysenck mengungkapkan bahwa kecemasan tetinggi ditemukan pada dispepsia fungsional dan memiliki skor neuroticism yang tinggi (Branka dkk, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Guowen dkk, menemukan bahwa pasien dengan dispepsia fungsional memiliki skor neuroticism yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami dispepsia fungsional (Guowen dkk, 2009). Individu dengan skor tinggi pada neuroticism memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan, temperamental, mengasihani diri sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stress sehingga cenderung mudah mengalami dispepsia fungsional. Sesuai dengan teori S. Freud pada psikoanalitik klasik yaitu: teori kepribadian yang membagi struktur mind ke dalam tiga bagian yaitu : consciousness (alam sadar), preconsciousness (ambang

sadar) dan unconsciousness (alam bawah sadar). Konflik yang terjadi pada masa awal-awal kehidupan, sangat berperan terbentuknya kepribadian seseorang setelah dewasa. Semua konflik-konflik yang terjadi pada fase tersebut akan terrepresi atau tersimpan ke alam bawah sadar atau unconscious. Apabila timbul konflik saat dewasa, energi negatif yang tersimpan di alam bawah sadar pada awal kehidupan akan muncul dalam bentuk suatu demensi kepribadian tertentu. Pada kepribadian cemas (neuroticism) konflik-konflik yang tersimpan di alam bawah sadar akan dimunculkan ke alam sadar dalam bentuk gejala-gejala konversi sebagai bentuk mekanisme pembelaan diri. Gejala-gejala konversi bila berlangsung berulang kali akan muncul keluhan-keluhan fisik dalam wujud Somatisasi, salah satunya dispepsia fungsional (Oldham dkk, 2009).

Penelitian lain memperoleh hasil bahwa ditemukan ada pengaruh antara dimensi extraversion terhadap dispepsia fungsional. Makin rendah skor dimensi extraversion maka semakin tinggi risiko mengalami dispepsia fungsional. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Cano dkk, yang mendapatkan bahwa skor extraversion yang rendah berpengaruh dengan dispepsia fungsional. Individu dengan extraversion yang rendah tidak bisa menikmati hidup, tidak bisa fokus pada pekerjaan, merasa tidak bertujuan dalam hidup, kadang- kadang disebabkan oleh perasaan negatif, seperti suasana hati yang rendah, kekecewaan, kecemasan, dan depresi. Di sisi lain, dispepsia fungsional menyebabkan diri ketidakpuasan dan menodai diri. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pasien menganggap dispepsia disebabkan karena kegiatan yang dia

lakukan. Individu dengan dispepsia memiliki hubungan sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan individu normal (Cano dkk, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Tobon dkk, menemukan bahwa individu dengan dispepsia fungsional memiliki skor neuroticism yang tinggi, skor extraversion, openness, agreeableness dan conscientiousness yang rendah. Penelitian ini mendapatkan conscientiousness yang rendah hanya berpengaruh secara indirect terhadap dispepsia fungsional (Tobon dkk, 2013). Hal ini mungkin disebabkan karena individu yang memiliki skor rendah dalam concienstiousness cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan tidak memiliki tujuan serta mudah menyerah ketika menemui kesulitan dalam tugas-tugasnya sehingga mudah mengalami stress (Tobon dkk, 2013).

Penelitian ini memperoleh hasil bahwa ditemukan pengaruh yang kurang signifikan antara dimensi agreeableness terhadap dispepsia fungsional. Makin rendah skor dimensi agreeableness maka semakin tinggi risiko mengalami dispepsia fungsional. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori yang ada, dimana orang dengan skor agreeableness yang rendah cenderung argumentatif, tidak kooperatif atau tidak simpatik sehingga diperkirakan lebih mungkin mengalami dispepsia fungsional. Individu dengan tingkat agreeableness yang rendah cenderung suka mencurigai, kikir, tidak ramah, mudah tersinggung, cenderung untuk lebih agresif dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif (Cloninger, 2012).

Pada penelitian ini openness ditemukan berpengaruh yang kecil dengan terjadinya dispepsia fungsional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Openness

digambarkan dengan individu yang bersedia untuk melakukan penyesuaian terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki ciri mudah bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Pada individu dengan tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang berpikiran sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan. Individu seperti ini akan cenderung mengalami dispepsia fungsional (Cloninger, 2012).

BAB VII

Dokumen terkait