• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut hasil penelitian Di Rumah Sakit Unair bulan Januari-Desember tahun 2015 prevalensi ketuban pecah dini adalah 10,4%, dan 7,8% diantaranya adalah KPD pada ibu dengan kehamilan aterm. Persentase ini sesuai bila dibandingkan dengan prevalensi KPD menurut Jazayeri (2015) bahwa 10% wanita hamil akan mengalami KPD. Berdasarkan data Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) tahun 2014 KPD terjadi sekitar 6,46-15,6% pada kehamilan aterm. Hal ini menunjukkan kejadian KPD masih memerlukan perhatian karena prevalensinya yang cukup besar.

6.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik subyek penelitian ini meliputi umur, status paritas dan lamanya pecah ketuban. Ditribusi frekuensi ibu hamil berdasarkan golongan umur di RSUA tahun 2015 pada tabel 5.1 menunjukkan secara umum persebaran berdasarkan usia ibu hamil adalah sama antara kehamilan dengan ketuban pecah dini dan kehamilan tanpa ketuban pecah dini yaitu sebagian besar subyek penelitian berada pada umur 20-35 tahun. Umur ibu hamil tidak secara langsung berpengaruh pada kejadian ketuban pecah dini. Namun menurut Affandi (2012) dalam usia reproduksi sehat yaitu umur 20-35 tahun, ibu dan anak memiliki risiko paling rendah untuk menjalani kehamilannya. Penelitian di Denpasar oleh Sudiarta (2014) juga

menunjukkan tidak adanya perbedaan disribusi umur pada ibu hamil dengan dan tanpa ketuban pecah dini.

Menurut kejadian ketuban pecah dini, 55,4% ibu yang mengalami ketuban pecah dini adalah multigravida, artinya sebagian besar subyek penelitian memiliki faktor redisposisi terjadinya ketuban pecah dini. Multigravida merupakan salah satu faktor predisposisi yang mempengaruhi kejadian ketuban pecah dini (Mochtar, 2012). Penelitian yang dilakukan Aisyah (2012) menunjukkan bahwa 80% ibu bersalin multipara mengalami ketuban pecah dini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pawestri (2010) ada hubungan yang sangat rendah antara paritas dan usia ibu dengan ketuban pecah dini.

6.2 Perbandingan Rerata Hitung Leukosit pada Ibu Hamil Dengan dan Tanpa Ketuban Pecah Dini

Tabel 5.4 menunjukkan perbandingan rerata hitung leukosit pada ibu hamil dengan ketuban pecah dini dan ibu hamil tanpa ketuban pecah dini sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan rerata hitung leukosit yang bermakna antara kelompok ibu hamil dengan ketuban pecah dini dan ibu hamil tanpa ketuban pecah dini. Dimana hitung leukosit ibu hamil dengan ketuban pecah dini lebih tinggi dari pada ibu hamil tanpa ketuban pecah dini. Hasil penelitian ini sesuai menurut penelitian yang dilakukan di China tahun 2016 bahwa wanita yang mengalami ketuban pecah dini memiliki kadar sitokin yang lebih tinggi (Wang, et al, 2016).

Hasil penelitian juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lee bahwa peningkatan hormon prostagandin yang dalam hal ini di produksi oleh leukosit dapat menjadi kemungkinan terjadinya ketuban pecah dini (Lee, et al., 2009). Ditinjau dari fase imunologis dalam kehamilan, tahap akhir kehamilan dan persalinan merupakan fase dimana ibu hamil akan mengalami kondisi proinflammatory ditandai dengan aliran-aliran sel imunologis ke dalam miometrium sehingga memicu terjadinya proses inflamasi yang dapat dilihat salah satunya dengan pemeriksaan leukosit (Chunninham, et. al., 2014).

Peningkatan jumlah hitung leukosit merupakan salah satu bukti adanya proses inflamasi dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan sehingga pemeriksaan terhadap leukosit dijadikan sebagai variabel inflamasi dan sebagai pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan pada ibu hamil baik dengan ketuban pecah dini maupun ibu hamil dengan kehamilan normal untuk mendeteksi terjadinya proses inflamasi akibat proses kehamilan (Kosim, 2009). Hal ini sesuai oleh penelitian yang dilakukan oleh Kang dan kawan-kawan di Korea Selatan pada tahun 2015 bahwa kepadatan sel selaput ketuban menurun pada ibu dengan ketuban pecah dini (Kang, et al, 2015)

Dalam kondisi normal, peningkatan jumlah leukosit bermanfaat untuk meredam infeksi dan mempertahankan homeostasis organ vital, namun apabila kondisi reaksi yang berlebihan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan dalam hal ini adalah membran khorionamnion dan dapat timbul nekrosis (Kosim, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Farida Maharani tahun 2012 tentang peningkatan kadar leukosit pada

kejadian persalinan prematur menunjukkan bahwa peningkatan leukosit hubungannya dengan proses inflamasi dapat memicu terjadinya persalinan prematur dikarenakan penurunan kekuatan jaringan dalam mempertahankan kehamilan (Maharani, 2012).

Untuk memprediksi terjadinya ketuban pecah dini bedasarkan peningktan hitung leukosit perlu ditetapkan titik poting optimal/ cutt-off point

hitung leukosit. Dengan sensitifitas dan spesifitas 76,6% didapatkan cut-off point hitung leukosit adalah ≥ 9,53 . 103/µl. Nilai AUC sebesar 88,2% artinya apabila hitung leukosit digunakan untuk mendiagnosa ada tidaknya peningkatan leukosit pada 100 orang ibu hamil dengan KPD maka kesimpulan yang tepat akan diperoleh pada 88 orang ibu hamil. Nilai p < 0,05 yang diperoleh pada output menggunakan program SPSS artinya nilai AUC hitung leukosit berbeda bermakna dengan nilai AUC 50%.

Hal ini berarti pasien yang memiliki hitung leukosit ≥ 9,53 akan didiagnosa sebagai pasien yang telah mengalami peningkatan leukosit dan beresiko mengalami ketuban pecah dini. Data cut-off point untuk membedakan penigkatan hitung leukosit pada ketuban pecah dini pada populasi di indonesia belum ditemukan hasil penelitiannya, demikian juga data penelitian di luar negeri yang spesifik untuk cut-off point peningkatan leukosit antara ibu hamil dengan dan tanpa ketuban pecah dini belum ditemukan hasil laporannya. Dalam penelitian ini juga ditemukan nilai ekstrim yaitu hitung leukosit yang tidak dalam batas cut-off point sebesar 23% dari subyek penelitian. Hal ini dikarenakan kemungkinan terdapat fakor

lain yang dapat menyebabkan peningkatan serta penurunan hitung leukosit selain faktor inflamasi yang terjadi selama akhir kehamilan.

Lamanya ketuban pecah hingga waktu pemeriksaan darah dipengaruhi oleh durasi pasien ketuban pecah dini untuk sampai di Rumah Sakit Universitas Airlangga baik karena rujukan atau mandiri. Hasil analisis korelasi menggunakan diagram pencar (scatter) pada penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan korelasi positif lemah. Peningkatan hitung leukosit berhubugan langsung dengan lamanya pecah ketuban namun kemungkinan terdapat faktor lain yang berpengaruh pada hitung leukosit seperti terapi yang sudah didapat oleh pasien, aktifitas fisik, stress/ trauma, nekrosis jaringan, anemia hemolitik dan sel sabit, penyakit kolagen, leukimia, serta kemungkinan infeksi dalam rahim yang belum menunjukkan gejala secara klinis (Gomez, et al. 2010)

Lamanya ketuban pecah dalam kasus ini juga berhubungan dengan lamanya lag period pasien KPD karena tidak segera terjadi proses persalinan. Lamanya pecah ketuban dapat mempengaruhi jumlah hitung leukosit darah seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Wang dan kawan-kawan (2016) bahwa wanita yang mengalami ketuban pecah dini memiliki kadar sitokin lebih tinggi dan meningkat bergantung lamanya fase ketuban pecah dini. Sitokin merupakan mediator inflamasi yang dihasilkan oleh leukosit. Dilihat dari rerata hitung leukosit berdasarkan lamanya peah ketuban dalam penelitian ini menunjukkan rerata hitung leukosit pada KPD ≥12 jam adalah 16,6 . 103/µl yang menunjukkan bahwa pasien telah mengalami leukositosis

adanya pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosa komplikasi lain yang mungkin terjadi pada kasus KPD ≥12 jam. Infeksi awitan dini pada neonatal dapat terjadi bahkan sebelum ibu mengalami gejala klinis seperti febris, sehingga sebagai tenaga kesehatan perlu waspada untuk memantau kesejahteraan janin pada ibu KPD ≥12 jam serta perlu adanya tindakan untuk segera melahirkan janin dalam rahim.

Penelitian Hendrarto (2011) menunjukkan KPD ≥12 jam lebih beresiko mengalami infeksi awitan dini pada neonatal dibandingkan dengan KPD <12 jam. Kejadian khorioamnitis pada ketuban pecah dini dilaporkan kurang dari 10% namun akan meningkat sampai 40% setelah 24 jam selaput ketuban pecah. (Jazayeri, 2015) Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya strategi penanganan yang tepat pada kasus ketuban pecah dini agar tidak terjadi komplikasi kehamilan lain pada ibu dan janin.

Hasil analisis dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui peranan leukosit dan hubungannya dengan proses inflamasi selama kehamilan dan keadian ketuban pecah dini. Sealin itu penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan mahasiwa dan tenaga kesehatan mengenai proses perubahan hematologi terutama hitung leukosit terhadap kejadian ketuban pecah dini dan sebagai acuan untuk meningkatkan pelayanan kaitannya dengan deteksi dini pada kasus ketuban pecah dini. Peningkatan leukosit sering dihubungkan dengan kejadian infeksi, karena leukosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dalam menahan reaksi infeksi. Dalam tata laksana ibu hamil yang mengalami ketuban pecah dini tdak boleh dilakukan pemeriksaan dalam dan mempunyai batasan waktu untuk periode partus kala

I yaitu periode mulai pembukaan mulut rahim sampai terjadi pembukaan lengkap. Kejadian infeksi sering kali sulit untuk dideteksi melalui pemeriksaan fisik pada ibu dikarenakan kejadian infeksi neonatorum dapat terjadi bahkan sebelum ibu dengan ketuban pecah dini belum menunjukkan gejala adanya infeksi (Jazayeri, 2015)

Penelitian ini tidak luput dari keterbatasan maupun hambatan yang terjadi di luar kendali peneliti. Penelitian ini mengambil data yang diambil dari sumber rekam medis sehingga penelitian ini memiliki kelemahan bias informasi karena peneliti hanya dapat melakukan penelitian mengenai data yang terdapat pada rekam medik saja. Terdapat pemeriksaan lain yang dapat berpengaruh terhadap hasil penelitian seperti pemeriksaan urinalisis dan swab vagina yang tidak terkaji karena pemeriksaan yang tidak ada dalam protab Rumah Sakit. Terdapat catatan rekam medik yang tidak lengkap dan terdapat terdapat beberapa pasien yang tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan alasan yang tidak dapat diketahui seluruhnya, sehingga data rekam medis pasien tidak bisa dijadikan sebagai sampel penelitian. Selain itu terdapat beberapa rekam medik yang tidak dapat ditemukan oleh petugas ruang rekam medis.

Dokumen terkait