• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kondisi Geografis

Desa Balumbang Jaya Kabupaten Bogor mempunyai luas wilayah 124 959 Ha meliputi 13 RW dan 45 RT. Topografinya bergelombang berat dengan kemiringan antara 0º s/d 40º, curah hujan 3000–4000 mm/tahun, kelembaban udara ± 70%. Terletak pada 106.48º BT, 60.36º LS dengan kemiringan 200 M dari permukaan laut.

Desa Balumbang Jaya dibatasi oleh :

a. Sebelah Utara : Kelurahan Situ Gede/Desa Cikarawang b. Sebelah Timur : Kelurahan Bubulak/ Kel.Situ Gede c. Sebelah Selatan : Kelurahan Marga Jaya

d. Sebelah Barat : Desa Babakan Kec.Dramaga Kab.Bogor

Kondisi Demografi

Kondisi penduduk di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat tersebar cukup merata yang terdapat di wilayah ini dengan proporsi terhadap keseluruhan penduduk Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat sebesar 11.17% terdapat di RW 9, 6, dan RW 10 dan wilayah yang memiliki jumlah penduduk terkecil adalah RW 13 dengan proporsi sebesar 1.5% dari jumlah keseluruhan penduduk Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat. Dilihat dari kepadatan penduduk, RW 6 memiliki kepadatan penduduk tertinggi, yaitu sebesar 8.50 jiwa/Ha dan RW 13 memiliki kepadatan penduduk terendah, yaitu 2.60 jiwa/Ha. Kepadatan penduduk di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu kepadatan rendah, kepadatan sedang dan kepadatan tinggi. Nilai dari masing-masing golongan sebagai berikut :

Golongan Kepadatan Penduduk Rendah : 2.60 Jiwa/Ha-3.60 Jiwa/Ha Golongan Kepadatan Penduduk Sedang : 4.76 Jiwa/Ha-6.84 Jiwa/Ha Golongan Kepadatan Penduduk Tinggi : 8.50 Jiwa/Ha-10.60 Jiwa/Ha

Kondisi Sosial Ekonomi, Budaya dan Kesehatan

Kegiatan perdagangan dan jasa di wilayah Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat sangat dipengaruhi oleh tersedianya akses sarana perhubungan melalui pembangunan jalan-jalan baru pada tahun-tahun sebelumnya. Dengan akses jalan yang memadai ini memicu investor-investor baru melakukan investasi disektor perdagangan, jasa dan terutama properti yang pada tahun 2013 di Perumahan Pakuan Regency ( RW XIII ) mengalami pertumbuhan yang signifikan. Jenis usaha di Kelurahan Balumbang Jaya meliputi bidang toko bahan bangunan sebanyak 2 buah, pertokoan/swalayan 18 buah, koperasi 1 buah, warung 56 buah dan rumah makan sebanyak 4 buah.

Kondisi kesehatan dan Kondisi Pendidikan

Dalam rangka mendukung terpeliharanya kondisi kesehatan warga masyarakat di wilayah Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat, terdapat beberapa fasilitas penunjang sarana kesehatan, baik yang dikelola instansi Pemerintah maupun swasta. Adapun sarana penunjang kesehatan yang ada terdiri dari rumah bersalin sebanyak 1 buah, puskesmas pembantu 1 buah, dokter praktek swasta 1 buah, bidan praktek swasta 3 buah, dan posyandu 14 buah.

Salah satu faktor penunjang keberhasilan peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) adalah ketersediaan sarana pendidikan yang ada. Adapun sarana dan fasilitas pendidikan di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor terdiri dari PAUD dengan jumlah 2 buah, TK 2 buah, SD/MI 3 buah dan SMP/MTS sebanyak 1 buah.

Karakteristik Keluarga Besar Keluarga

Hasil penelitian menunjukan besar keluarga contoh berkisar antara 2 sampai dengan 7 orang, dengan rata-rata besar keluarga pada baduta adalah 4±1 orang. Sebagian besar keluarga (62.9%) memiliki jumlah anak ≤ 2 anak.

Mayoritas besar keluarga contoh termasuk kategori keluarga kecil 51.4% dan 48.6% termasuk dalam keluarga sedang. Jumlah anggota keluarga yang besar akan mempersulit dalam memenuhi kebutuhan pangan. Terutama anak balita yang memerlukan perhatian khusus karena belum bisa mengurus keperluannya sendiri serta ada dalam masa pertumbuhan (Gabriel 2008). Brinkman et al. (2010) menyatakan dari jumlah anggota keluarga yang besar akan menurunkan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi dan menyebabkan semakin besar resiko terjadinya malnutrisi terutama pada anak usia di bawah tua tahun. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga

Karakteristik Keluarga n % Besar Keluarga Kecil (≤ 4 orang) 36 51.4 Sedang (5-7 orang) 34 48.6 Jumlah Anak < 2 anak 26 37.1 > 2 anak 44 62.9

Tingkat Pendidikan Ayah

Tamat SD 11 15.7

Tamat SLTP/MTS 20 28.6

Tamat SLTA/MA 31 44.3

Perguruan Tinggi 8 11.4

Tingkat Pendidikan Ibu

Tamat SD 21 30

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga (lanjutan)

Karakteristik Keluarga n %

Tamat SLTA/MA 22 31.4

Perguruan Tinggi 3 4.3

Pekerjaan Ayah

Buruh non tani 24 34.3

PNS/TNI/Polri 5 7.1 Pegawai Swasta 17 24.3 Dagang/Wiraswasta 16 22.9 Lainnya 8 11.4 Pekerjaan Ibu Tidak bekerja 65 92.9

Buruh non tani 1 1.4

PNS/TNI/Polri 1 1.4

Pegawai Swasta 2 2.9

Dagang/Wiraswasta 1 1.4

Pendapatan per Kapita (Rp/bulan)

Miskin (< 312 328) 14 20

Tidak miskin (> 312 328) 56 80

Total 70 100

Pendidikan Orang Tua

Berdasarkan Tabel 4 presentase terbesar tingkat pendidikan ayah berada pada tingkat SLTA/MA 44.3%. Sementara itu, terdapat 15.7% ayah yang menempuh pendidikan tingkat sekolah dasar dan hanya sebagian kecil 11.4% ayah yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal ini diduga berhubungan dengan status sosial ekonomi keluarga. Keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi cenderung akan diimbangi dengan tingkat pendidikan yang tinggi, sebaliknya keluarga dengan status sosial ekonomi rendah akan mendapatkan pendidikan yang rendah.

Presentase terbesar tingkat pendidikan ibu baduta berada pada tingkat SLTP/MTS 34.3%. Presentase ibu baduta yang tamat SD lebih tinggi dibandingkan dengan ayah yaitu sebesar 30% dua kali diatas presentase tamat SD pada ayah baduta 15.7% dan hanya 4.3% ibu baduta yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Secara umum, presentase tingkat pendidikan ayah baduta lebih baik dibandingkan dengan tingkat pendidikan ibu. Hal ini dapat dilihat pada besarnya jumlah ayah yang jenjang pendidikannya sampai pada tingkat SLTA/MA, sedangkan tingkat pendidikan ibu baduta sebagian besar hanya pada tingkat sekolah dasar.

Pekerjaan Orang Tua

Berdasarkan pada Tabel 4, presentase terbesar jenis pekerjaan ayah pada penelitian ini adalah sebagai burun non-tani (34.3%) sebagian besar bekerja sebagai buruh bangunan/buruh proyek. Sementara itu, presentase terkecil jenis pekerjaan ayah adalah pada kategori PNS (7.1%). Jenis pekerjaan lain-lain

menunjukan hasil sebesar 11.4%, kategori lain-lain ini terdiri dari pekerjaan bidang pariwisata, imam masjid, satpam dan dealer motor.

Presentase terbesar jenis pekerjaan ibu baduta berada pada kategori tidak bekerja atau ibu rumah tangga (92.9%). Sementara itu ibu yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan hanya dalam jumlah kecil. Sebagian kecil ibu bekerja sebagai buruh non tani (1.4%), PNS (1.4%), pegawai swasta (2.9%), pedagang/wiraswasta (1.4%). Besarnya prevalensi ibu baduta yang tidak bekerja diduga karena rendahnya pendidikan ibu yang disebabkan oleh keterbatasan ekonomi keluarga, sehingga menjadi faktor penyebab ibu tidak melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Peranan ibu rumah tangga dalam usaha perbaikan gizi keluarga sangatlah penting. Peran ibu di dalam keluarga di antaranya sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga. Menurut Santrock (2007) bekerja dapat menghasilkan pengaruh yang positif dan negatif pada pengasuhan dan status kesehatan bayi. Pengaruh positif dari ibu yang bekerja yaitu perasaan sejahtera karena bekerja dapat menghasilkan kualitas pengasuhan yang lebih positif dan akan memperbaiki status gizi pada bayi. Pengaruh negatif dari ibu yang bekerja adalah dapat menimbulkan perasaan stres dari bekerja yang dapat membahayakan pengasuhan dan status gizi pada bayi.

Pendapatan Keluarga

Hasil penelitian menunjukan secara keseluruhan rata-rata pendapatan per kapita keluarga sebesar Rp 544 762±268 720. Pendapatan terkecil pada penelitian ini adalah sebesar Rp 50 000 per kapita/bulan, sedangkan pendapatan keluarga terbesar Rp 1 333 333 per kapita/bulan. Keluarga yang termasuk ke dalam kategori keluarga tidak miskin adalah sebanyak 80%, sedangkan keluarga yang tergolong ke dalam keluarga miskin adalah sebanyak 20%. Kategori tingkat pendapatan keluarga dibuat berdasarkan garis kemiskinan Jawa Barat (BPS 2014). Menurut Suwarman (2003), pendapatan yang diukur oleh seseorang biasanya bukan hanya pendapatan yang diterima oleh individu, melainkan pendapatan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga. Pendapatan per kapita keluarga adalah total pendapatan dalam keluarga dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan Badan Pusat Statistik 2014, sebuah keluarga di Provinsi Jawa Barat digolongkan dalam keluarga miskin jika pendapatan per kapita per bulan di bawah Rp 312 328. Tingkat pendapatan akan mencerminkan kemampuan untuk membeli bahan pangan. Semakin tinggi pendapatan akan semakin tinggi daya beli keluarga terhadap pangan, sehingga akan membawa pengaruh terhadap beragam dan banyaknya pangan yang akan dikonsumsi dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi (Soekirman 2000). Menurut Nicholson et al. (2012), perkembangan kesehatan anak dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, semakin tinggi pendapatan keluarga akan mempengaruhi keluarga dalam membeli dan mengkonsumsi beragam jenis pangan.

Karakteristik Baduta Jenis Kelamin

Salah satu karakteristik baduta yang diteliti adalah karakteristik baduta berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan proporsi laki-laki dan perempuan secara keseluruhan tidak jauh berbeda. Lebih dari separuh contoh (52.9%) adalah laki-laki sedangkan sisanya (47.1%) adalah perempuan. Sebaran baduta berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik baduta

Karakteristik Baduta n % Jenis Kelamin Laki-laki 37 52.9 Perempuan 33 47.1 Total 70 100 Usia 6-11 / < 12 bulan 36 51.4 12-24 bulan 34 48.6 Total 70 100

Berat Badan Lahir

Rendah (≤ 2500 g) 10 14.3

Normal (> 2500 g) 60 85.7

Total 70 100

Panjang Badan Lahir

Stunting (< 48 cm) 11 15.7

Normal (≥ 48 cm) 59 84.3

Total 70 100

Umur Baduta

Sebagian besar baduta berada pada golongan umur 6-11 bulan (51.4%) dan 12-24 bulan (48.6%). Secara keseluruhan proporsi umur anak tersebar hampir merata. Rata-rata umur anak adalah 12.6±5.5 bulan. Usia baduta merupakan periode paling kritis dalam pertumbuhan dan perkembangan motorik anak. Pertumbuhan anak secara pesat terutama terjadi pada masa bayi, yaitu pada tahun pertama kehidupan.

Berat Badan Lahir

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar baduta (85.7%) memiliki riwayat berat badan lahir normal dan jumlah BBLR dalam penelitian ini hanya ditemukan sebesar (14.3%) yaitu berat badan lahir < 2500g. Hasil ini sudah di atas angka prevalensi nasional yaitu 85.0% proporsi balita yang memiliki berat badan lahir normal (Riskesdas 2013). Rata-rata berat badan lahir baduta adalah 3329±567g sebagian besar berada pada kategori normal. Namun, pada penelitian ini masih terdapat baduta yang memiliki berat badan lahir rendah. Hal tersebut dikarenakan anak yang memiliki berat badan lahir rendah termasuk pada keluarga dengan pendapatan yang rendah atau berada pada kategori miskin, status

kesehatan yang kurang baik dalam satu bulan terakhir dan memiliki ibu yang pendek. Menurut Joshi et al. (2012), faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap kejadian BBLR adalah pendidikan ibu, tinggi badan ibu, usia saat melahirkan, interval pendek antara kehamilan, kurang memadai perawatan pemeriksaan kehamilan, dan pendapatan per kapita keluarga. Penelitian Singh et al. (2005) di AS, melaporkan bahwa IMT sebelum hamil < 20, pemeriksaan kehamilan < 3 kali, pre eklampsia dan riwayat kehamilan yang buruk merupakan faktor maternal yang signifikan menyebabkan BBLR. Prevalensi yang tinggi pada bayi dengan berat badan lahir normal di dalam penelitian ini diduga karena berbagai faktor, yaitu mudahnya akses terhadap sarana kesehatan, seperti bidan dan rumah sakit, usia ibu saat melahirkan > 20 tahun dan pendapatan per kapita dimana sebagian besar (80%) keluarga tergolong dalam keluarga tidak miskin. Masalah kekurangan nutrisi sejak seribu pertama kehidupan jika dijabarkan dalam sebuah siklus adalah kurang gizi pada pra-hamil dan hamil akan berdampak pada lahirnya anak yang BBLR, anak BBLR jika tidak tercukupi nutrisinya maka akan mengalami sejumlah gangguan pertumbuhan. Jika anak tersebut seorang wanita, maka di kemudian hari ia akan tumbuh menjadi remaja yang kurang menurut berat badan dan tinggi badanya. Kelak jika anak tersebut hamil maka ia berpeluang untuk melahirkan anak yang BBLR kembali. Malnutrisi pada masa kehamilan jika tidak ditangani secara baik selain beresiko terhadap lahirnya bayi yang BBLR juga dapat berdampak pada melemahnya fisik dan membahayakan bahkan dapat mengancam janin.

Panjang Badan Lahir

Sebagian besar panjang badan (PB) lahir contoh berada pada kategori normal (84.3%). Baduta dengan panjang badan lahir tidak normal hanya sebesar (15.7%). Rata-rata PB lahir contoh adalah 48.75±4.92 cm. Presentase ukuran panjang badan lahir yang sudah baik pada penelitian ini diduga karena sebagian besar ibu memiliki status gizi yang baik. Ruchayati (2012) menyebutkan bahwa panjang badan lahir juga dipengaruhi oleh status gizi ibu saat hamil yang dapat dilihat dari kadar hemoglobin, lingkar lengan atas, dan pertambahan berat badan ibu.

Status Gizi Baduta

Pengukuran status gizi anak baduta umunya menggunakan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Pemantauan status gizi anak baduta menggunakan baku WHO antro dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (Z-skor).

Berat Badan Menurut Umur

Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi anak laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki status gizi baik 83.8% dan 81.1%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hurlock (1980) bahwa perbedaan jenis kelamin tidak menonjol dalam peningkatan tinggi dan berat badan anak sehingga perbedaan jenis kelamin juga dimungkinkan tidak menonjol dalam status gizi anak yang menggunakan indikator berat badan dan juga tinggi badan. Namun masih terdapat sebagian kecil anak laki-laki dan perempuan yang memiliki status gizi kurang dengan presentase

masing-masing 10.8% anak laki-laki dan 9.1% anak perempuan. Tabel 6 menyajikan prevalensi berat-kurang (underweight) dengan angka dibawah prevalensi nasional yaitu 13.9% gizi kurang (Riskesdas 2013). Prevalensi gizi kurang pada penelitian ini dapat diartikan belum menunjukan kasus yang serius. Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20.0-29.0% dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥ 30% (WHO 2010).Tidak ada contoh dalam penelitian ini yang mengalami gizi buruk. Sebaran status gizi anak baduta berdasarkan indeks BB/U dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran status gizi anak baduta berdasarkan indeks BB/U

Status gizi BB/U Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Gizi buruk 0 0 0 0 0 0 Gizi kurang 4 10.8 3 9.1 7 10 Gizi baik 31 83.8 27 81.8 58 82.9 Gizi lebih 2 8.1 3 9.1 5 7.1 Total 37 100 33 100 70 100 Rata-rata ± SD -0.46±1.48 -0.45±1.44 -0.46±1.46 Status gizi berat badan menurut umur (BB/U) menggambarkan massa tubuh yang relatif terhadap umur. Rendahnya nilai status gizi berat badan menurut umur (BB/U) menggambarkan ringannya berat tubuh seseorang dan menggambarkan patologis kekurusan seseorang akibat ketidakseimbangan berat badan dengan umur seseorang atau hilangnya berat badan seseorang (Gibson 2005).

Tinggi badan Menurut Umur

Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 7 menunjukan bahwa baduta yang memiliki status gizi normal jumlahnya lebih tinggi pada laki-laki (91.9%) dibandingkan perempuan (78.8%).

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi TB/U baduta

Status Gizi (TB/U) Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Normal 34 91.9 26 78.8 60 85.7

Stunting 3 8.1 7 21.2 10 14.3

Total 37 100.0 33 100.0 70 100.0

Rata-rata±SD -0.05±1.78 -0.08±1.74 -0.05±1.78

Hasil menunjukan bahwa terdapat kecenderungan nilai z-skor TB/U pada contoh laki-laki yang stunting lebih rendah (8.1%) daripada contoh perempuan (21.2%). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Arifin (2014) bahwa contoh laki-laki stunting lebih rendah dibandingkan dengan contoh perempuan. Anak yang stunting pada penelitian ini diduga karena anak tersebut termasuk dalam keluarga miskin, status kesehatan yang buruk pada satu bulan terakhir, tingkat kecukupan energi dan zat gizi yang berada pada kategori defisit dan anak yang stunting

tersebut memiliki ibu yang pendek yang artinya ibu yang pendek sangat berpengaruh tehadap status gizi TB/U.

Status gizi tinggi badan menurut umur (TB/U) mengukur pertumbuhan linear seorang anak sehingga dapat menggambarkan nilai status gizi masa lampau anak atau status kesehatan anak. Rendahnya nilai status gizi tinggi badan menurut umur (TB/U) anak menggambarkan pendeknya tinggi badan seorang anak dan menggambarkan proses patologis gagalnya seorang anak mencapai pertumbuhan linear yang sesuai tahapan anak tersebut (Gibson 2005).

Berat Badan Menurut Tinggi Badan

Berdasarkan Tabel 8, sebagian besar baduta laki-laki (100%) dan perempuan (66.7%) memiliki status gizi normal menurut BB/TB. Sementara itu, ada sebanyak 30.3% yang memiliki status gizi kurus yaitu pada baduta perempuan. Angka prevalensi kurus yang cukup tinggi pada contoh perempuan diduga karena status kesehatan contoh perempuan yang kurang baik, dimana seluruh contoh perempuan dalam penelitian ini pernah mengalami penyakit infeksi pada satu bulan terakhir. Hal ini sejalan dengan penelitian Widiastuti (2005) menyatakan bahwa mekanisme malnutrisi pada baduta dapat disebabkan oleh penurunan intake zat gizi akibat kurang nafsu makan saat sakit. Baduta yang menderita penyakit ISPA akan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan kalori karena meningkatnya suhu tubuh. Penyakit infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur tapi lebih nyata pada kelompok anak terutama baduta. Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10.0%-14.0% dan dianggap kritis bila ≥ 15.0% (WHO 2010). Riyadi (2001) menyatakan bahwa wasting secara luas digunakan untuk menjelaskan proses yang mengarah pada terjadinya kehilangan berat badan, sebagai akibat dari kelaparan akut dan penyakit berat.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB baduta Status gizi (BB/TB) Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Kurus 0 0 10 30.3 15 21.4 Normal 37 100 22 66.7 54 77.1 Gemuk 0 0 1 3.0 1 1.4 Total 37 100 33 100 70 100 Z-score (rata-rata ± SD) -0.62 ± 2.32 -0.76 ± 2.36 -0.62 ± 2.32 Menurut Supariasa et al. (2002), berat badan mempunyai hubungan linier dengan tinggi badan. Pada keadaan normal, pertambahan berat badan akan searah diikuti dengan pertumbuhan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat sekarang dan merupakan indeks yang independen terhadap umur.

Karakteristik Ibu

Rata-rata tinggi badan ibu secara keseluruhan adalah 153.9±154.1 cm, dengan tinggi badan ibu tertinggi 176 cm dan terendah 134 cm. Sebagian besar ibu anak adalah tergolong tinggi (>150 cm). Menurut Black et al. (2008), status gizi ibu yang buruk dan ibu yang pendek dapat meningkatkan resiko kegagalan pertumbuhan intrauterine. Tubuh pendek, gemuk, dan beberapa indikator kualitas hidup lainnya, faktor penyebab terpenting terhadap status gizi anak adalah lingkungan hidup sejak konsepsi sampai anak usia 2 tahun yang dapat diubah dan diperbaiki (WHO 2000).

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik ibu

Kategori Total N % Tinggi Ibu < 150 cm 8 11.4 > 150 cm 62 88.6 Usia Ibu Dewasa muda (20-29) 37 53 Dewasa madya (30-49) 33 47 Dewasa lanjut (≥ 50) 0 0 Total 70 100

Usia ibu dalam penelitian ini berkisar antara 20 sampai dengan 42 tahun dengan rata-rata usia adalah 28±5 tahun. Sebagian besar (53%) termasuk dalam usia dewasa muda 20 sampai dengan 29 tahun dan sisanya sebesar 47% berada pada kelompok usia 30 sampai dengan 49 tahun (dewasa madya). Banyaknya ibu yang tergolong dalam kategori dewasa muda diduga karena rendahnya pendidikan ibu yang mayoritas hanya menempuh pendidikan hingga tingkat sekolah dasar. Pendidikan yang rendah menyebabkan ibu memutuskan untuk menikah dan mempunyai anak pada usia muda. Menurut Pudjiaji (2000), umur bagi seorang ibu merupakan faktor yang turut menentukan produksi ASI. Ibu yang berumur antara 19 sampai dengan 23 tahun umunya menghasilkan ASI yang lebih banyak dibandingkan ibu yang beurmur tiga puluhan.

Status Gizi Ibu

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar (40%) ibu memiliki status gizi normal. Penelitian yang dilakukan oleh Masuma et al. (2013) menyatakan bahwa status gizi ibu di kota Daka, Bangladesh dipengaruhi oleh status sosial ekonomi keluarga. Status sosial ekonomi keluarga dalam penelitian ini sudah cukup baik yang ditandai dengan rendahnya prevalensi penduduk miskin sehingga di dalam penelitian ini sebagian besar status gizi ibu berada pada kategori normal. Namun presentase obesitas I (34.3%) dalam penelitian ini berada di atas angka nasional yaitu 32.9%. Hal tersebut diduga karena kurangnya aktivitas fisik pada ibu dan pola makan yang kurang baik. Obesitas atau kegemukan terjadi karena ketidakseimbangan energi, dimana energi intake jauh

lebih besar dibandingkan energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik (WHO 2000).

Tabel 10 Sebaran status gizi berdasarkan IMT

Status gizi N % Kurang 10.0 14.3 Normal 28.0 40.0 Overweight 8.0 11.4 Obesitas I 24.0 34.3 Obesitas II 0.0 0.0 Total 70.0 100.0

Konsumsi Pangan Baduta

Rata-rata Asupan Energi dan Zat Gizi

Tabel 11 memperlihatkan bahwa rata-rata asupan energi baduta adalah 920±372 kkal. Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013 menetapkan kecukupan energi anak usia 0-6 bulan sebesar 550 kkal/hari, 7-11 bulan 725 kkal/hari, 1-3 tahun 1125 kkal/hari. Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata asupan energi pada ketiga kelompok tersebut sudah di atas standar AKG 2013. Rata-rata asupan protein, kalsium, fosfor, besi, vitamin A dan vitamin C masih di bawah standar AKG 2013.

Tabel 11 Sebaran rata –rata asupan energi dan zat gizi baduta

Zat Gizi Asupan

Energi (kkal) 920 ± 372 Protein (g) 15.1 ± 5.9 Kalsium (mg) 165.3 ± 135.5 Fosfor (mg) 199.7 ± 60.5 Besi (mg) 2.3 ± 1.7 Vit A (mg) 305.3 ± 360.2 Vit C (mg) 9.2 ± 10.6

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Baduta

Konsumsi zat gizi sehari merupakan penjumlahan zat gizi yang berasal dari makanan dan minuman mulai dari pagi hingga malam hari. Di bawah ini disajikan sebaran baduta berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein. Sebaran baduta berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran baduta berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein Kategori Energi Protein

n % n %

Defisit tingkat berat 0 0 13 18.6

Defisit tingkat ringan 17 24.3 29 41.4

Normal 42 60.0 18 25.7

Lebih 11 15.7 10 14.3

Total 70 100 70 100

Energi

Hasil penelitian menunjukan sebanyak 60% memiliki tingkat kecukupan energi normal. Hasil ini diduga karena makanan sumber energi sebagian besar dapat dipenuhi karena harganya yang terjangkau dan didukung dengan keterjangkauan akses terhadap pangan yang berkontribusi besar dalam pemenuhan kebutuhan pangan pada baduta. Makanan yang menjadi sumber energi dan dikonsumsi baduta adalah nasi, bahan makanan yang digoreng dan bubur bayi kemasan. Meskipun secara umum kecukupan energi dalam kategori normal, akan tetapi masih terdapat anak yang tingkat kecukupannya berada pada defisit tingkat ringan sebesar 24.3%. Proporsi baduta yang memiliki tingkat kecukupan energi pada kategori defisit tingkat ringan diduga karena terdapat baduta yang stunting serta memiliki status kesehatan yang kurang baik dan pendapatan yang rendah sehingga hal tersebut mempengaruhi tingkat kecukupan energi pada baduta. Baduta yang sering mengalami sakit maka akan berpengaruh terhadap konsumsi pangannya dimana pada saat sakit biasanya anak mengalami tidak nafsu makan sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat kecukupan zat gizinya. Pendapatan yang rendah akan berpengaruh terhadap terbatasnya daya beli terhadap pangan

Dokumen terkait