• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Riwayat Pemberian Asi Dan Status Gizi Baduta (Tb/U) Di Desa Balumbang Jaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Riwayat Pemberian Asi Dan Status Gizi Baduta (Tb/U) Di Desa Balumbang Jaya"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN, STATUS KESEHATAN,

RIWAYAT PEMBERIAN ASI DAN STATUS GIZI BADUTA

(TB/U) DI DESA BALUMBANG JAYA

ADHE FADILLAH PUTRI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Riwayat Pemberian ASI dan Status Gizi Baduta (TB/U) di Desa Balumbang Jaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

ADHE FADILLAH PUTRI. Hubungan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Riwayat Pemberian ASI dan Status Gizi Baduta (TB/U) di Desa Balumbang Jaya. Dibimbing oleh EVY DAMAYANTHI dan NAUFAL MUHARAM NURDIN

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji hubungan konsumsi pangan, status kesehatan, riwayat pemberian ASI dan status gizi baduta di Desa Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor tahun 2015. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study, dengan subjek penelitian berjumlah 70 orang. Terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah (p=0.006), pendidikan ibu (p=0.005), riwayat pemberian kolostrum (0.026), tinggi badan ibu (p=0.003), berat badan lahir (p=0.023), tingkat kecukupan energi (p=0.012) dengan status gizi baduta (TB/U). Terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah dengan tingkat kecukupan energi (0.017) dan protein (p=0.022) pada baduta, pendapatan keluarga dengan tingkat kecukupan energi (p=0.010) pada baduta, lama sakit dengan tingkat kecukupan energi (p=0.008), dan protein (p=0.017).

Kata kunci: anak baduta, cross sectional study, konsumsi pangan, riwayat pemberian ASI, status gizi, status kesehatan.

ABSTRACT

ADHE FADILLAH PUTRI. The Association of Food Consumption, Health Status, History of Breastfeeding and Nutritional Status of Children Under Two Years at Balumbang Jaya Village. Supervised by EVY DAMAYANTHI and NAUFAL MUHARAM NURDIN

The purpose of this study is to examine the relationship of food consumption, health status, history of breastfeeding and nutritional status of children under two years in the village of Balumbang Jaya subdistrict, Bogor City 2015. The design was a cross-sectional study with 70 subject. The result showed there were significant correlation between father’s education level (p=0.006),

mother’s education level (p=0.005), history of giving colostrum (p=0.026), mother's height (p=0.003), birth weight (p=0.023), the adequacy level of energy (p=0.012) and nutritional status of children (H/A). There were significant correlation between father’s education level and energy (p=0.017), protein adequacy level (p=0.022) of children, family income and energy adequacy level (p=0.010) of children, duration of disease and energy adequacy level (p=0.008), protein adequacy level (p=0.017) of children.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN, STATUS KESEHATAN,

RIWAYAT PEMBERIAN ASI DAN STATUS GIZI BADUTA

(TB/U) DI DESA BALUMBANG JAYA

ADHE FADILLAH PUTRI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan bulan Januari-maret 2015 di Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat dengan judul Hubungan Konsumsi Pangan, Status Kesehatan, Riwayat Pemberian ASI dan Status Gizi Baduta (TB/U).

Terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Prof Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS dan dr. Naufal Muharam Nurdin S.Ked yang senantiasa sabar dalam memberikan bimbingan, motivasi, perhatian dan semangat kepada penulis.

2. Kedua Orang tua, Agus Samsul Bahri dan Helda Rahman. Serta adik Syahreza Hakim yang telah memberikan doa, semangat, nasihat, motivasi dan pengorbanan serta kasih sayang kepada penulis.

3. Tagor Syaputra Halomoan Nasution S.Gz yang telah memberikan motivasi, semangat, perhatian, dan doa kepada penulis.

4. Sahabat-sahabat tercinta Laeli Nur Fitriani, Annisa Khairunika, Caselia Ajeng, Pradita Chandra, Annisa Kirana Nusanti, Rahma Perdana, Sry Novi Yanti Sofya, Widya Dewanti, Hanifah Al Khairiyah, Fitriya Nafsiyah, Cyntia, Dimas Bagus, atas dukungan, semangat dan kebersamaannya.

5. Teman-teman seperjuangan GM 48 beserta seluruh pihak yang selama ini telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah penelitian ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

KERANGKA PEMIKIRAN 6

METODE 6

Desain, Waktu dan Tempat 6

Jumlah dan Cara Pengambilan Data 6

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 7

Pengolahan dan Analisis Data 9

Definisi Operasional 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 13

Karakteristik Keluarga 14

Karakteristik Baduta 17

Status Gizi Baduta 18

Karakteristik Ibu 21

Konsumsi Pangan Baduta 22

Status Kesehatan 25

Status Imunisasi 27

Riwayat Pemberian ASI dan MP ASI 27

Praktik Kesehatan dan Sanitasi Ibu 31

Konsumsi Pangan Ibu 32

Hubungan antar Variabel 34

SIMPULAN DAN SARAN 39

Simpulan 39

(14)

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 46

RIWAYAT HIDUP 61

DAFTAR TABEL

1 Penarikan contoh penelitian 7

2 Jenis dan cara pengumpulan data berdasarkan variabel 8 3 Pengkategorian berdasarkan variabel penelitian 10 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga 14 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik baduta 17 6 Sebaran status gizi anak baduta berdasarkan BB/U 19 7 Sebaran status gizi anak baduta berdasarkan TB/U 19 8 Sebaran status gizi anak baduta berdasarkan BB/TB 20 9 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik ibu 21

10 Sebaran status gizi ibu berdasarkan IMT 22

11 Sebaran baduta berdasarkan rata-rata asupan energi dan zat gizi

baduta 22

12 Sebaran baduta berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein 23 13 Sebaran baduta berdasarkan tingkat kecukupan vitamin dan mineral 24 14 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit satu bulan terakhir 26 15 Sebaran baduta berdasarkan jenis penyakit satu bulan terakhir 26 16 Sebaran baduta berdasarkan status imunisasi 27 17 Sebaran baduta berdasarkan riwayat pemberian ASI dan MP ASI 28 18 Sebaran ibu baduta yang menjawab pertanyaan dengan benar

mengenai praktik kesehatan dan sanitasi ibu 31

19 Sebaran ibu baduta menurut kategori praktik kesehatan dan sanitasi

ibu 31

20 Rata-rata frekuensi untuk masing-masing kelompok pangan 33 21 Hasil analisis hubungan variabel dengan status gizi baduta (TB/U) 34

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran konsumsi pangan, status kesehatan, riwayat pemberian ASI dan status gizi baduta (TB/U)

5

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini negara berkembang dihadapkan pada masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang yang berakibat tidak optimalnya pertumbuhan dan kecerdasan dan masalah gizi lebih yang berakibat timbulnya penyakit degeneratif (Devi 2010). Global Nutrition Report tahun 2014 menunjukan bahwa tidak satu dunia pun yang bebas dari permasalahan gizi. Secara global Indonesia termasuk di dalam 17 negara di dunia yang secara bersama-sama mempunyai tiga masalah gizi saat ini, yaitu stunting (pendek atau pendek), wasting (kurus dan gizi buruk), dan overweight (gemuk atau obes) pada balita. Indonesia merupakan Negara terbesar ke-5 yang berkontribusi terhadap besarnya anak balita stunting di dunia. Indonesia termasuk dalam 47 negara dari 122 negara yang mempunyai masalah stunting. Posisi Indonesia, cakupan untuk 3 dari 5 program spesifik (inisiasi menyusui dini, ASI eksklusif, meneruskan ASI sampai 1 tahun, suplementasi vitamin A untuk balita) masih lemah.

Berdasarkan Riskesdas tahun 2013 prevalensi berat kurang pada balita secara nasional adalah 19.6% yang terdiri dari 5.6% gizi buruk dan 13.9% gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2010 (17.9%) terlihat ada peningkatan lagi setelah terjadi penurunan prevalensi dari tahun 2007 (18.4%). Peningkatan terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 4.9% tahun 2010 menjadi 5.6% pada tahun 2013 atau naik sebesar 0.7% dan prevalensi gizi kurang yaitu dari 13.0% tahun 2010 menjadi 13.9% tahun 2013 atau naik sebesar 0.9%. Stunting/pendek pada balita masih cukup serius, angka nasional 37.2%, bervariasi dari yang terendah di Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur (< 30%) sampai yang tertinggi (> 50%) di Nusa Tenggara Timur. Jawa Barat memiliki prevalensi stunting sebesar 33.6%. Berdasarkan Departemen Kesehatan, ambang batas masalah stunting dikatakan masalah kesehatan masyarakat jika prevalensi lebih dari 20 % (Kemenkes RI 2011).

(16)

Seorang bayi tidak tergantung dari diet ibu selama kehamilan, tetapi tergantung dari zat gizi yang tersimpan dan ketersediaan protein serta lemak di dalam jaringan tubuh ibunya. Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu, beberapa hal yang erat kaitannya terhadap stunting adalah kejadian BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah), dampak dari kelahiran BBLR adalah akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Dampak dari IUGR (Intrauterine Growth Restriction) adalah terhambatnya pertumbuhan yang kemungkinan akan bersifat kronis atau permanen (Robert dan Jennifer 2007). Semuanya itu menentukan komposisi tubuh anak dan oleh karena itu merefleksikan kondisi gizinya seumur hidup. Barker (2012) menyatakan bahwa masa kritis 1000 hari pertama kehidupan menentukan kesehatan seseorang dan sesungguhnya adalah refleksi 100 tahun perjalanan gizi generasi sebelumnya. Sebaliknya menyelamatkan 1000 hari pertama kehidupan saat ini, pada hakikatnya adalah investasi untuk menyelamatkan 100 tahun keturunan yang akan datang. Kekurangan gizi dapat menimbulkan masalah kesehatan yang saling terkait antar siklus kehidupan dan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya (Drake dan Walker 2004). Salah satu proses penting dalam pemenuhan gizi baduta adalah pemberian ASI. ASI adalah makanan yang paling sesuai untuk bayi karena mengandung zat-zat gizi yang diperlukan oleh bayi untuk tumbuh dan berkembang. Hasil penelitian Kimberly et al. (2012) menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif terhadap status gizi baduta usia 6-24 bulan, dimana ibu yang memberikan ASI eksklusif maka akan semakin baik status gizi anaknya dan sebaliknya.

(17)

Tujuan

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji hubungan konsumsi pangan, status kesehatan, riwayat pemberian ASI dan status gizi baduta di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor tahun 2015.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, karakteristik baduta, status gizi baduta, konsumsi pangan baduta, status kesehatan baduta, status imunisasi, riwayat pemberian ASI, MP ASI dan praktik kesehatan sanitasi ibu.

2. Mengidentifikasi karakterstik ibu dan konsumsi pangan ibu.

3. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga, riwayat pemberian ASI, tinggi badan ibu, berat badan lahir, status kesehatan, konsumsi pangan terhadap status gizi baduta (TB/U).

4. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga, status kesehatan dengan konsumsi pangan baduta.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan status gizi baduta (TB/U), sehingga dapat melakukan upaya pencegahan untuk menurunkan prevalensi gizi buruk atau gizi kurang pada baduta. Selain itu, bagi masyarakat penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi upaya pencegahan gizi kurang dan gizi buruk pada baduta yang selanjutnya untuk mencapai status gizi yang baik pada baduta umumnya.

KERANGKA PEMIKIRAN

Usia baduta adalah usia yang merupakan periode kritis dan penting, namun demikian dalam usia ini juga rawan terjadi gangguan gizi dan gangguan penyakit. Periode kritis adalah waktu yang tepat bagi seorang individu untuk memperoleh pengalaman, keterampilan maupun kemampuan (Dariyo 2007). Dengan demikian penelitian ini mengambil contoh anak usia baduta (6-24 bulan).

Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi status gizi. Kurangnya kuantitas konsumsi pangan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kurangnya asupan energi dan zat gizi dan menjadikan tingkat kecukupan energi dan zat gizi rendah. Bila hal tersebut terjadi secara berkelanjutan dapat menyebabkan kekurangan energi dan zat gizi kronis yang dapat menimbulkan masalah gizi, antara lain stunting. Konsumsi pangan yang kurang baik akan menurunkan daya tahan tubuh sehingga meningkatkan morbiditas atau kejadian sakit pada anak.

(18)

ibu akan berpengaruh terhadap status gizi (TB/U) anak dan mempengaruhi potensi biologis anak ketika proses pertumbuhan fisik berlangsung. Sehingga terdapat dugaan jika ibu memiliki tinggi badan yang pendek maka kemungkinan tinggi badan anak juga akan termasuk kategori pendek (stunting).

Karakteristik keluarga (besar keluarga, pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan) dan karakteristik baduta merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan anak. Karakteristik anak meliputi usia, jenis kelamin, panjang lahir dan berat lahir. Selain itu, semakin bertambahnya usia anak semakin banyak pula konsumsi pangan anak karena semakin tingginya kebutuhan energi dan zat gizi yang harus dipenuhi. Karakteristik anak secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap status gizi, khususnya stunting. Terdapat dugaan semakin bertambahnya usia anak maka semakin meningkatnya kejadian stunting.

(19)

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

= Hubungan antar variabel yang dianalisis = Hubungan antar variabel yang tidak dianalisis

Gambar 1 Kerangka pemikiran konsumsi pangan, status kesehatan, riwayat pemberian ASI dan status gizi baduta (TB/U)

(20)

METODE PENELITIAN

Desain, Waktu, dan Tempat

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study atau metode survei yaitu data dikumpulkan pada satu waktu yang tidak berkelanjutan untuk menggambarkan karakteristik dari subjek dan hubungan antar variabel. Penelitian dilaksanakan pada bulan januari-maret 2015 di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor.

Jumlah dan Cara Pengambilan Data

Contoh dalam penelitian ini adalah anak yang berusia 6-24 bulan. Responden penelitian adalah ibu dari contoh yang berada di Kelurahan Balumbang Jaya. Pengambilan data dilakukan pada 9 posyandu dan dilakukan secara purposive dengan memperhitungkan kelengkapan data posyandu yang diperoleh dari Puskesmas Kelurahan Balumbang Jaya dan kemudian disaring kembali menggunakan kriteria inklusi.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1. Anak baduta usia 6-24 bulan yang masih memiliki ibu dan tinggal bersama ibunya

2. Tinggal di Kelurahan Balumbang Jaya

3. Terdaftar pada posyandu dan masih memiliki kartu menuju sehat (KMS) 4. Ibu bersedia diwawancarai

Contoh minimal didasarkan pada rumus perhitungan Slovin yaitu sebagai berikut :

n= N/ (1+Nd²)

n= 210/ (1+210 x 0.1²) n=210/ (3.1)

n= 67.7 ≈ 70 contoh Keterangan :

n = ukuran sampel

N = ukuran populasi baduta di Kelurahan Balumbang Jaya

D = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih ditafsir atau diinginkan (diambil 10 %).

Dari rumus tersebut didapatkan n (jumlah contoh) sebesar 67.7 ≈ 70 contoh. Dengan demikian banyaknya contoh yang terambil pada masing-masing posyandu adalah :

(21)

Tabel 1 Penarikan contoh penelitian

Posyandu Jumlah baduta Ni

Posyandu A 35 12

Posyandu B 20 7

Posyandu C 15 5

Posyandu D 10 3

Posyandu E 15 5

Posyandu F 25 8

Posyandu G 35 12

Posyandu H 25 8

Posyandu I 30 10

Total baduta 210 70

Keterangan :

ni = jumlah contoh yang diambil dari masing-masing posyandu n = ukuran minimal contoh yang diambil dalam penelitian N = jumlah baduta di semua posyandu yang diteliti

Ni = jumlah baduta di posyandu i

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran secara langsung dan wawancara dengan alat bantu kuesioner yang telah mendapat penjelasan dari peneliti. Data primer meliputi sosial ekonomi keluarga (besar keluarga, pendapatan per kapita, pekerjaan orang tua dan pendidikan orang tua) karakteristik anak baduta (jenis kelamin, usia, tinggi badan, berat badan lahir, panjang badan lahir dan status gizi baduta), karakteristik ibu (tinggi badan, usia, dan status gizi ibu) riwayat pemberian ASI dan MP ASI, praktik kesehatan dan sanitasi ibu, konsumsi pangan ibu (FFQ), konsumsi baduta dengan recall 2x24 jam, penyakit infeksi, dan status imunisasi.

(22)

keputusan memberikan MP ASI. Data FFQ diperoleh dengan wawancara kepada responden untuk mengetahui konsumsi pangan ibu. Data penyakit baduta disusun sebelumnya meliputi kejadian sakit dan jenis penyakit dalam 1 bulan terakhir. Data konsumsi pangan baduta dikumpulkan dari wawancara langsung kepada ibu baduta dengan metode recall 2x24 jam. Data konsumsi pangan ibu diperoleh melalui kuesioner food frequency. Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder dari kantor kecamatan. Data sekunder meliputi gambaran umum lokasi penelitian. Secara terperinci dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data berdasarkan variabel

No Variabel Data yang dikumpulkan Cara pengumpulan data

1 Karakteristik

 Asupan energi Wawancara

(23)

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dimulai dari editing, coding, entry, cleaning dan analisis data. Proses editing adalah pemeriksaan seluruh isi kuesioner setelah data terkumpul. Coding adalah pemberian angka atau kode terhadap jawaban-jawaban pertanyaan dalam kuesioner. Coding dilakukan sebagai panduan entry dan pengolahan data. Entry adalah memasukan data jawaban kuesioner sesuai kode masing-masing variabel. Cleaning ini digunakan untuk melakukan pengecekan terhadap isian data yang tidak sesuai dengan jawaban kuesioner atau jawaban di luar kewajaran. Cleaning digunakan untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukan data. Selanjutnya data yang sudah benar kemudian diolah dan dianalisis menggunakan program komputer Microsoft Excell 2010.

Status gizi baduta yaitu berat badan dan tinggi badan anak dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (z-skor) dengan menggunakan software WHO Anthro plus. Penilaian praktik kesehatan dan sanitasi ibu dalam penelitian ini berdasarkan pada kemampuan ibu baduta dalam menjawab pertanyaan yang diberikan. Penilaian dilakukan dengan cara menjumlahkan skor jawaban dari setiap pertanyaan dengan kriteria. Penilaian jawaban dengan cara diberi skor, yaitu skor 1=benar dan skor 0=salah. Pemakaian skor tergantung pernyataan yang diberikan. Kemudian skor yang diperoleh dibandingkan dengan skor maksimal. Kategori kurang apabila skor yang diperoleh < 60% dari skor maksimal, kategori cukup apabila skor yang diperoleh antara 60-80% dari skor maksimal, dan kategori baik apabila skor yang diperoleh > 80% dari skor maksimal (Khomsan 2000).

Analisis univariat (deskriptif) dilakukan terhadap semua variabel. Analisis bivariat, yaitu menganalisis keberadaan hubungan yang dilakukan dengan uji korelasi. Data yang tersebar normal menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan data yang tidak tersebar normal menggunakan uji korelasi Spearman.

Tingkat konsumsi zat gizi dapat diperoleh dengan rumus (Hardinsyah & Briawan 1994) :

Keterangan :

TKGi : tingkat konsumsi zat gizi i Ki : konsumsi zat gizi i

AKGi : kecukupan zat gizi i yang dianjurkan

Kandungan zat gizi dari suatu jenis pangan dihitung dengan rumus (Hardinsyah dan Briawan 1994) :

Keterangan :

KGij : jumlah zat gizi dari setiap jenis pangan j Bj : berat pangan j (gram)

Gij : kandungan zat gizi I dari pangan j

BDDj : persen jumlah pangan j yang dapat dimakan

Status gizi balita ditentukan melalui suatu perhitungan statistik dengan menghitung angka nilai hasil penimbangan dibandingkan dengan angka rata-rata

TKGi = (Ki/AKGi) × 100%)

(24)

atau median dan standar deviasi dari suatu angka acuan standar WHO. Rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai Z-skor adalah (Supariasa et al.2001):

Z-Skor= Nilai individu subjek – Nilai median baku rujukan / Nilai simpangan

Pendapatan Keluarga 1. < 312 328 (miskin) BPS 2014 2. >312 328 (tidak miskin)

Berat badan lahir Rendah ( ≤ 2500 gram) Normal ( >2500 gram)

(25)

Tabel 3 Pengkategorian berdasarkan variabel penelitian (lanjutan)

1. Sangat kurus ( z-score <-3) 2. Kurus (-3 ≤ z-score < -2)

6 Kelengkapan imunisasi dasar 1. Lengkap (Pore et al.

2010)

8 Praktik kesehatan dan sanitasi

ibu

1. Kurang (< 60%)

Khomsan 2000 2. Cukup ( 60-80%)

3. Baik (> 80%)

9 Tingkat konsumsi vitamin dan

mineral

1. Defisit tingkat berat ( <70%)

(26)

Definisi Operasional

Ibu baduta adalah ibu yang mempunyai anak baduta yang terdaftar sebagai peserta posyandu.

Anak baduta adalah anak yang berusia 6-24 bulan yang tinggal bersama orang tuanya.

Besar keluarga adalah jumlah/banyaknya orang yang tinggal dalam satu keluarga dan menjadi tanggungan kepala keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan yang diperoleh anggota keluarga dari pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan dalam bentuk uang dan dibagi dengan seluruh tanggungan keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan.

Status ekonomi keluarga adalah gambaran status ekonomi keluarga baduta yang dikelompokan berdasarkan jumlah pengeluaran per kapita/bulan.

Usia adalah umur subjek pada saat penelitian dilakukan yang dinyatakan dalam tahun.

Jenis kelamin baduta adalah penampilan fisik anak baduta yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Berat lahir baduta adalah berat badan pada saat dilahirkan yang diukur dengan timbangan.

Status gizi baduta adalah keadaan gizi baduta yang diukur berdasarkan standar baku WHO 2007 dengan menggunakan metode antropometri dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

Pendidikan ibu baduta adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh ibu baduta.

Pekerjaan orang tua adalah jumlah penghasilan per bulan dalam bentuk uang yang didapatkan orang tua subjek dari hasil pekerjaannya.

Praktik kesehatan dan sanitasi ibu adalah aktivitas nyata yang telah dilakukan terkait gizi dan merupakan perbuatan atau penerapan pola hidup ibu baduta terhadap anak baduta sehari-hari.

Asupan energi adalah asupan energi total dalam sehari (gram), kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG 2013) yang dianjurkan.

Asupan protein adalah Asupan protein dalam sehari (gram), kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG 2013).

Pemberian ASI ekslusif adalah memberikan hanya ASI saja untuk bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan.

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kondisi Geografis

Desa Balumbang Jaya Kabupaten Bogor mempunyai luas wilayah 124 959 Ha meliputi 13 RW dan 45 RT. Topografinya bergelombang berat dengan kemiringan antara 0º s/d 40º, curah hujan 3000–4000 mm/tahun, kelembaban udara ± 70%. Terletak pada 106.48º BT, 60.36º LS dengan kemiringan 200 M dari permukaan laut.

Desa Balumbang Jaya dibatasi oleh :

a. Sebelah Utara : Kelurahan Situ Gede/Desa Cikarawang b. Sebelah Timur : Kelurahan Bubulak/ Kel.Situ Gede c. Sebelah Selatan : Kelurahan Marga Jaya

d. Sebelah Barat : Desa Babakan Kec.Dramaga Kab.Bogor

Kondisi Demografi

Kondisi penduduk di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat tersebar cukup merata yang terdapat di wilayah ini dengan proporsi terhadap keseluruhan penduduk Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat sebesar 11.17% terdapat di RW 9, 6, dan RW 10 dan wilayah yang memiliki jumlah penduduk terkecil adalah RW 13 dengan proporsi sebesar 1.5% dari jumlah keseluruhan penduduk Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat. Dilihat dari kepadatan penduduk, RW 6 memiliki kepadatan penduduk tertinggi, yaitu sebesar 8.50 jiwa/Ha dan RW 13 memiliki kepadatan penduduk terendah, yaitu 2.60 jiwa/Ha. Kepadatan penduduk di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu kepadatan rendah, kepadatan sedang dan kepadatan tinggi. Nilai dari masing-masing golongan sebagai berikut :

Golongan Kepadatan Penduduk Rendah : 2.60 Jiwa/Ha-3.60 Jiwa/Ha Golongan Kepadatan Penduduk Sedang : 4.76 Jiwa/Ha-6.84 Jiwa/Ha Golongan Kepadatan Penduduk Tinggi : 8.50 Jiwa/Ha-10.60 Jiwa/Ha

Kondisi Sosial Ekonomi, Budaya dan Kesehatan

(28)

Kondisi kesehatan dan Kondisi Pendidikan

Dalam rangka mendukung terpeliharanya kondisi kesehatan warga masyarakat di wilayah Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat, terdapat beberapa fasilitas penunjang sarana kesehatan, baik yang dikelola instansi Pemerintah maupun swasta. Adapun sarana penunjang kesehatan yang ada terdiri dari rumah bersalin sebanyak 1 buah, puskesmas pembantu 1 buah, dokter praktek swasta 1 buah, bidan praktek swasta 3 buah, dan posyandu 14 buah.

Salah satu faktor penunjang keberhasilan peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) adalah ketersediaan sarana pendidikan yang ada. Adapun sarana dan fasilitas pendidikan di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor terdiri dari PAUD dengan jumlah 2 buah, TK 2 buah, SD/MI 3 buah dan SMP/MTS sebanyak 1 buah.

Karakteristik Keluarga Besar Keluarga

Hasil penelitian menunjukan besar keluarga contoh berkisar antara 2 sampai dengan 7 orang, dengan rata-rata besar keluarga pada baduta adalah 4±1 orang. Sebagian besar keluarga (62.9%) memiliki jumlah anak ≤ 2 anak. Mayoritas besar keluarga contoh termasuk kategori keluarga kecil 51.4% dan 48.6% termasuk dalam keluarga sedang. Jumlah anggota keluarga yang besar akan mempersulit dalam memenuhi kebutuhan pangan. Terutama anak balita yang memerlukan perhatian khusus karena belum bisa mengurus keperluannya sendiri serta ada dalam masa pertumbuhan (Gabriel 2008). Brinkman et al. (2010) menyatakan dari jumlah anggota keluarga yang besar akan menurunkan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi dan menyebabkan semakin besar resiko terjadinya malnutrisi terutama pada anak usia di bawah tua tahun. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga

Karakteristik Keluarga n %

Besar Keluarga

Kecil (≤ 4 orang) 36 51.4

Sedang (5-7 orang) 34 48.6

Jumlah Anak

< 2 anak 26 37.1

> 2 anak 44 62.9

Tingkat Pendidikan Ayah

Tamat SD 11 15.7

Tamat SLTP/MTS 20 28.6

Tamat SLTA/MA 31 44.3

Perguruan Tinggi 8 11.4

Tingkat Pendidikan Ibu

Tamat SD 21 30

(29)

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga (lanjutan)

Karakteristik Keluarga n %

Tamat SLTA/MA 22 31.4

Perguruan Tinggi 3 4.3

Pekerjaan Ayah

Buruh non tani 24 34.3

PNS/TNI/Polri 5 7.1

Pegawai Swasta 17 24.3

Dagang/Wiraswasta 16 22.9

Lainnya 8 11.4

Pekerjaan Ibu

Tidak bekerja 65 92.9

Buruh non tani 1 1.4

PNS/TNI/Polri 1 1.4

Pegawai Swasta 2 2.9

Dagang/Wiraswasta 1 1.4

Pendapatan per Kapita (Rp/bulan)

Miskin (< 312 328) 14 20

Tidak miskin (> 312 328) 56 80

Total 70 100

Pendidikan Orang Tua

Berdasarkan Tabel 4 presentase terbesar tingkat pendidikan ayah berada pada tingkat SLTA/MA 44.3%. Sementara itu, terdapat 15.7% ayah yang menempuh pendidikan tingkat sekolah dasar dan hanya sebagian kecil 11.4% ayah yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal ini diduga berhubungan dengan status sosial ekonomi keluarga. Keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi cenderung akan diimbangi dengan tingkat pendidikan yang tinggi, sebaliknya keluarga dengan status sosial ekonomi rendah akan mendapatkan pendidikan yang rendah.

Presentase terbesar tingkat pendidikan ibu baduta berada pada tingkat SLTP/MTS 34.3%. Presentase ibu baduta yang tamat SD lebih tinggi dibandingkan dengan ayah yaitu sebesar 30% dua kali diatas presentase tamat SD pada ayah baduta 15.7% dan hanya 4.3% ibu baduta yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Secara umum, presentase tingkat pendidikan ayah baduta lebih baik dibandingkan dengan tingkat pendidikan ibu. Hal ini dapat dilihat pada besarnya jumlah ayah yang jenjang pendidikannya sampai pada tingkat SLTA/MA, sedangkan tingkat pendidikan ibu baduta sebagian besar hanya pada tingkat sekolah dasar.

Pekerjaan Orang Tua

(30)

menunjukan hasil sebesar 11.4%, kategori lain-lain ini terdiri dari pekerjaan bidang pariwisata, imam masjid, satpam dan dealer motor.

Presentase terbesar jenis pekerjaan ibu baduta berada pada kategori tidak bekerja atau ibu rumah tangga (92.9%). Sementara itu ibu yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan hanya dalam jumlah kecil. Sebagian kecil ibu bekerja sebagai buruh non tani (1.4%), PNS (1.4%), pegawai swasta (2.9%), pedagang/wiraswasta (1.4%). Besarnya prevalensi ibu baduta yang tidak bekerja diduga karena rendahnya pendidikan ibu yang disebabkan oleh keterbatasan ekonomi keluarga, sehingga menjadi faktor penyebab ibu tidak melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Peranan ibu rumah tangga dalam usaha perbaikan gizi keluarga sangatlah penting. Peran ibu di dalam keluarga di antaranya sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga. Menurut Santrock (2007) bekerja dapat menghasilkan pengaruh yang positif dan negatif pada pengasuhan dan status kesehatan bayi. Pengaruh positif dari ibu yang bekerja yaitu perasaan sejahtera karena bekerja dapat menghasilkan kualitas pengasuhan yang lebih positif dan akan memperbaiki status gizi pada bayi. Pengaruh negatif dari ibu yang bekerja adalah dapat menimbulkan perasaan stres dari bekerja yang dapat membahayakan pengasuhan dan status gizi pada bayi.

Pendapatan Keluarga

(31)

Karakteristik Baduta

Jenis Kelamin

Salah satu karakteristik baduta yang diteliti adalah karakteristik baduta berdasarkan jenis kelamin. Perbedaan proporsi laki-laki dan perempuan secara keseluruhan tidak jauh berbeda. Lebih dari separuh contoh (52.9%) adalah laki-laki sedangkan sisanya (47.1%) adalah perempuan. Sebaran baduta berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik baduta

Karakteristik Baduta n %

Jenis Kelamin

Laki-laki 37 52.9

Perempuan 33 47.1

Total 70 100

Usia

6-11 / < 12 bulan 36 51.4

12-24 bulan 34 48.6

Total 70 100

Berat Badan Lahir

Rendah (≤ 2500 g) 10 14.3

Normal (> 2500 g) 60 85.7

Total 70 100

Panjang Badan Lahir

Stunting (< 48 cm) 11 15.7

Normal (≥ 48 cm) 59 84.3

Total 70 100

Umur Baduta

Sebagian besar baduta berada pada golongan umur 6-11 bulan (51.4%) dan 12-24 bulan (48.6%). Secara keseluruhan proporsi umur anak tersebar hampir merata. Rata-rata umur anak adalah 12.6±5.5 bulan. Usia baduta merupakan periode paling kritis dalam pertumbuhan dan perkembangan motorik anak. Pertumbuhan anak secara pesat terutama terjadi pada masa bayi, yaitu pada tahun pertama kehidupan.

Berat Badan Lahir

(32)

kesehatan yang kurang baik dalam satu bulan terakhir dan memiliki ibu yang pendek. Menurut Joshi et al. (2012), faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap kejadian BBLR adalah pendidikan ibu, tinggi badan ibu, usia saat melahirkan, interval pendek antara kehamilan, kurang memadai perawatan pemeriksaan kehamilan, dan pendapatan per kapita keluarga. Penelitian Singh et al. (2005) di AS, melaporkan bahwa IMT sebelum hamil < 20, pemeriksaan kehamilan < 3 kali, pre eklampsia dan riwayat kehamilan yang buruk merupakan faktor maternal yang signifikan menyebabkan BBLR. Prevalensi yang tinggi pada bayi dengan berat badan lahir normal di dalam penelitian ini diduga karena berbagai faktor, yaitu mudahnya akses terhadap sarana kesehatan, seperti bidan dan rumah sakit, usia ibu saat melahirkan > 20 tahun dan pendapatan per kapita dimana sebagian besar (80%) keluarga tergolong dalam keluarga tidak miskin. Masalah kekurangan nutrisi sejak seribu pertama kehidupan jika dijabarkan dalam sebuah siklus adalah kurang gizi pada pra-hamil dan hamil akan berdampak pada lahirnya anak yang BBLR, anak BBLR jika tidak tercukupi nutrisinya maka akan mengalami sejumlah gangguan pertumbuhan. Jika anak tersebut seorang wanita, maka di kemudian hari ia akan tumbuh menjadi remaja yang kurang menurut berat badan dan tinggi badanya. Kelak jika anak tersebut hamil maka ia berpeluang untuk melahirkan anak yang BBLR kembali. Malnutrisi pada masa kehamilan jika tidak ditangani secara baik selain beresiko terhadap lahirnya bayi yang BBLR juga dapat berdampak pada melemahnya fisik dan membahayakan bahkan dapat mengancam janin.

Panjang Badan Lahir

Sebagian besar panjang badan (PB) lahir contoh berada pada kategori normal (84.3%). Baduta dengan panjang badan lahir tidak normal hanya sebesar (15.7%). Rata-rata PB lahir contoh adalah 48.75±4.92 cm. Presentase ukuran panjang badan lahir yang sudah baik pada penelitian ini diduga karena sebagian besar ibu memiliki status gizi yang baik. Ruchayati (2012) menyebutkan bahwa panjang badan lahir juga dipengaruhi oleh status gizi ibu saat hamil yang dapat dilihat dari kadar hemoglobin, lingkar lengan atas, dan pertambahan berat badan ibu.

Status Gizi Baduta

Pengukuran status gizi anak baduta umunya menggunakan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Pemantauan status gizi anak baduta menggunakan baku WHO antro dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (Z-skor).

Berat Badan Menurut Umur

(33)

masing-masing 10.8% anak laki-laki dan 9.1% anak perempuan. Tabel 6 menyajikan prevalensi berat-kurang (underweight) dengan angka dibawah prevalensi nasional yaitu 13.9% gizi kurang (Riskesdas 2013). Prevalensi gizi kurang pada penelitian ini dapat diartikan belum menunjukan kasus yang serius. Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20.0-29.0% dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥ 30% (WHO 2010).Tidak ada contoh dalam penelitian ini yang mengalami gizi buruk. Sebaran status gizi anak baduta berdasarkan indeks BB/U dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran status gizi anak baduta berdasarkan indeks BB/U

Status gizi BB/U Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Gizi buruk 0 0 0 0 0 0

Gizi kurang 4 10.8 3 9.1 7 10

Gizi baik 31 83.8 27 81.8 58 82.9

Gizi lebih 2 8.1 3 9.1 5 7.1

Total 37 100 33 100 70 100

Rata-rata ± SD -0.46±1.48 -0.45±1.44 -0.46±1.46

Status gizi berat badan menurut umur (BB/U) menggambarkan massa tubuh yang relatif terhadap umur. Rendahnya nilai status gizi berat badan menurut umur (BB/U) menggambarkan ringannya berat tubuh seseorang dan menggambarkan patologis kekurusan seseorang akibat ketidakseimbangan berat badan dengan umur seseorang atau hilangnya berat badan seseorang (Gibson 2005).

Tinggi badan Menurut Umur

Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 7 menunjukan bahwa baduta yang memiliki status gizi normal jumlahnya lebih tinggi pada laki-laki (91.9%) dibandingkan perempuan (78.8%).

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi TB/U baduta

Status Gizi (TB/U) Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Normal 34 91.9 26 78.8 60 85.7

Stunting 3 8.1 7 21.2 10 14.3

Total 37 100.0 33 100.0 70 100.0

Rata-rata±SD -0.05±1.78 -0.08±1.74 -0.05±1.78

(34)

tersebut memiliki ibu yang pendek yang artinya ibu yang pendek sangat berpengaruh tehadap status gizi TB/U.

Status gizi tinggi badan menurut umur (TB/U) mengukur pertumbuhan linear seorang anak sehingga dapat menggambarkan nilai status gizi masa lampau anak atau status kesehatan anak. Rendahnya nilai status gizi tinggi badan menurut umur (TB/U) anak menggambarkan pendeknya tinggi badan seorang anak dan menggambarkan proses patologis gagalnya seorang anak mencapai pertumbuhan linear yang sesuai tahapan anak tersebut (Gibson 2005).

Berat Badan Menurut Tinggi Badan

Berdasarkan Tabel 8, sebagian besar baduta laki-laki (100%) dan perempuan (66.7%) memiliki status gizi normal menurut BB/TB. Sementara itu, ada sebanyak 30.3% yang memiliki status gizi kurus yaitu pada baduta perempuan. Angka prevalensi kurus yang cukup tinggi pada contoh perempuan diduga karena status kesehatan contoh perempuan yang kurang baik, dimana seluruh contoh perempuan dalam penelitian ini pernah mengalami penyakit infeksi pada satu bulan terakhir. Hal ini sejalan dengan penelitian Widiastuti (2005) menyatakan bahwa mekanisme malnutrisi pada baduta dapat disebabkan oleh penurunan intake zat gizi akibat kurang nafsu makan saat sakit. Baduta yang menderita penyakit ISPA akan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan kalori karena meningkatnya suhu tubuh. Penyakit infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur tapi lebih nyata pada kelompok anak terutama baduta. Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10.0%-14.0% dan dianggap kritis bila ≥ 15.0% (WHO 2010). Riyadi (2001) menyatakan bahwa wasting secara luas digunakan untuk menjelaskan proses yang mengarah pada terjadinya kehilangan berat badan, sebagai akibat dari kelaparan akut dan penyakit berat.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB baduta Status gizi (BB/TB) Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Kurus 0 0 10 30.3 15 21.4

Normal 37 100 22 66.7 54 77.1

Gemuk 0 0 1 3.0 1 1.4

Total 37 100 33 100 70 100

Z-score (rata-rata ± SD) -0.62 ± 2.32 -0.76 ± 2.36 -0.62 ± 2.32

(35)

Karakteristik Ibu

Rata-rata tinggi badan ibu secara keseluruhan adalah 153.9±154.1 cm, dengan tinggi badan ibu tertinggi 176 cm dan terendah 134 cm. Sebagian besar ibu anak adalah tergolong tinggi (>150 cm). Menurut Black et al. (2008), status gizi ibu yang buruk dan ibu yang pendek dapat meningkatkan resiko kegagalan pertumbuhan intrauterine. Tubuh pendek, gemuk, dan beberapa indikator kualitas hidup lainnya, faktor penyebab terpenting terhadap status gizi anak adalah lingkungan hidup sejak konsepsi sampai anak usia 2 tahun yang dapat diubah dan diperbaiki (WHO 2000).

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik ibu

Kategori Total

N %

Tinggi Ibu

< 150 cm 8 11.4

> 150 cm 62 88.6

Usia Ibu

Dewasa muda (20-29) 37 53

Dewasa madya (30-49) 33 47

Dewasa lanjut (≥ 50) 0 0

Total 70 100

Usia ibu dalam penelitian ini berkisar antara 20 sampai dengan 42 tahun dengan rata-rata usia adalah 28±5 tahun. Sebagian besar (53%) termasuk dalam usia dewasa muda 20 sampai dengan 29 tahun dan sisanya sebesar 47% berada pada kelompok usia 30 sampai dengan 49 tahun (dewasa madya). Banyaknya ibu yang tergolong dalam kategori dewasa muda diduga karena rendahnya pendidikan ibu yang mayoritas hanya menempuh pendidikan hingga tingkat sekolah dasar. Pendidikan yang rendah menyebabkan ibu memutuskan untuk menikah dan mempunyai anak pada usia muda. Menurut Pudjiaji (2000), umur bagi seorang ibu merupakan faktor yang turut menentukan produksi ASI. Ibu yang berumur antara 19 sampai dengan 23 tahun umunya menghasilkan ASI yang lebih banyak dibandingkan ibu yang beurmur tiga puluhan.

Status Gizi Ibu

(36)

lebih besar dibandingkan energi expenditure atau energi yang terpakai dalam aktivitas fisik (WHO 2000).

Tabel 10 Sebaran status gizi berdasarkan IMT

Status gizi N %

Kurang 10.0 14.3

Normal 28.0 40.0

Overweight 8.0 11.4

Obesitas I 24.0 34.3

Obesitas II 0.0 0.0

Total 70.0 100.0

Konsumsi Pangan Baduta

Rata-rata Asupan Energi dan Zat Gizi

Tabel 11 memperlihatkan bahwa rata-rata asupan energi baduta adalah 920±372 kkal. Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013 menetapkan kecukupan energi anak usia 0-6 bulan sebesar 550 kkal/hari, 7-11 bulan 725 kkal/hari, 1-3 tahun 1125 kkal/hari. Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata asupan energi pada ketiga kelompok tersebut sudah di atas standar AKG 2013. Rata-rata asupan protein, kalsium, fosfor, besi, vitamin A dan vitamin C masih di bawah standar AKG 2013.

Tabel 11 Sebaran rata –rata asupan energi dan zat gizi baduta

Zat Gizi Asupan

Energi (kkal) 920 ± 372

Protein (g) 15.1 ± 5.9

Kalsium (mg) 165.3 ± 135.5

Fosfor (mg) 199.7 ± 60.5

Besi (mg) 2.3 ± 1.7

Vit A (mg) 305.3 ± 360.2

Vit C (mg) 9.2 ± 10.6

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Baduta

(37)

Tabel 12 Sebaran baduta berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein Kategori Energi Protein

n % n %

Defisit tingkat berat 0 0 13 18.6

Defisit tingkat ringan 17 24.3 29 41.4

Normal 42 60.0 18 25.7

Lebih 11 15.7 10 14.3

Total 70 100 70 100

Energi

Hasil penelitian menunjukan sebanyak 60% memiliki tingkat kecukupan energi normal. Hasil ini diduga karena makanan sumber energi sebagian besar dapat dipenuhi karena harganya yang terjangkau dan didukung dengan keterjangkauan akses terhadap pangan yang berkontribusi besar dalam pemenuhan kebutuhan pangan pada baduta. Makanan yang menjadi sumber energi dan dikonsumsi baduta adalah nasi, bahan makanan yang digoreng dan bubur bayi kemasan. Meskipun secara umum kecukupan energi dalam kategori normal, akan tetapi masih terdapat anak yang tingkat kecukupannya berada pada defisit tingkat ringan sebesar 24.3%. Proporsi baduta yang memiliki tingkat kecukupan energi pada kategori defisit tingkat ringan diduga karena terdapat baduta yang stunting serta memiliki status kesehatan yang kurang baik dan pendapatan yang rendah sehingga hal tersebut mempengaruhi tingkat kecukupan energi pada baduta. Baduta yang sering mengalami sakit maka akan berpengaruh terhadap konsumsi pangannya dimana pada saat sakit biasanya anak mengalami tidak nafsu makan sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat kecukupan zat gizinya. Pendapatan yang rendah akan berpengaruh terhadap terbatasnya daya beli terhadap pangan yang apabila berlangsung lama maka akan menyebabkan kekurangan gizi kronis.

Protein

(38)

Tabel 13 Sebaran baduta berdasarkan tingkat kecukupan vitamin dan mineral

Kategori Kalsium Fosfor Besi Vit A Vit C

n % n % n % n % n %

Defisit 38 54.3 44 62.9 42 60.0 36 51.4 55 78.6 Normal 32 45.7 26 37.1 28 40.0 34 48.6 15 21.4

Total 70 100 70 100 70 100 70 100 70 100

Kalsium

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar baduta 54.3% memiliki tingkat kecukupan kalsium yang berada pada kategori defisit sehingga perlu ditingkatkan. Sementara itu, hanya 45.7% yang memiliki tingkat kecukupan kalsium pada kategori normal. Hal ini sejalan dengan penelitian Prasetyo (2013) bahwa kecukupan kalsium pada anak usia balita dengan rata-rata masih dibawah 65% yang masih termasuk dalam kategori kurang. Kalsium penting untuk pertumbuhan dan mineralisasi tulang dan gigi. Anak memerlukan kalsium dua sampai empat kali lebih besar per unit berat badan dibandingkan orang dewasa. Asupan kalsium yang rendah memperlambat laju pertumbuhan dan mineralisasi tulang dan gigi. Bahan makanan sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahannya yang mempunyai ketersediaan biologis yang tinggi (Arisman 2004). Peningkatan konsumsi pangan sumber kalsium penting dilakukan karena kalsium sangat diperlukan pada masa pertumbuhan. Pangan sumber kalsium diantaranya terdapat pada susu, serealia, pangan hewani, dan kacang-kacangan serta olahannya (Hardinsyah et al. 2008).

Fosfor

Sebagian besar baduta memiliki tingkat kecukupan fosfor pada kategori defisit (62.9%). Hal ini diduga karena konsumsi pangan baduta yang kurang beragam sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan zat gizinya. Sementara itu hanya sebesar 37.1% baduta yang memiliki tingkat kecukupan fosfor pada kategori normal. Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh, yaitu 1% dari berat tubuh. Fosfor berfungsi untuk klasifikasi tulang dan gigi, mengatur pengalihan energi, absorbsi dan transportasi zat gizi dan mengatur keseimbangan asam-basa. Kekurangan fosfor menyebabkan kerusakan tulang. Fosfor terdapat di dalam semua makanan, terutama makanan yang kaya akan protein, seperti daging, ayam, ikan, telur, susu, kacang-kacangan dan serealia (Almatsier 2001).

Besi

(39)

makanan hewani adalah daging, hati, unggas dan ikan, dalam makanan nabati yaitu kacang-kacangan dan olahannya, sayuran hijau, dan rumput laut (Arisman 2004).

Vitamin A

Sebanyak 51.4% baduta memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang berada pada kategori defisit. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan baduta yang memiliki tingkat kecukupan vitamin A normal, yaitu sebanyak 48.6%. Vitamin A berperan untuk fungsi penglihatan, diferensiasi sel dan daya tahan tubuh. Gejala dari kekurangan vitamin A adalah buta senja. Sebanyak 500 000 anak-anak dari negara berkembang beresiko mengalami buta senja. Makanan dan minuman sumber vitamin A diantaranya adalah sereal, susu, wortel, margarin dan keju. Rendahnya konsumsi sayur, buah dan hasil olahan susu berkontribusi pada rendahnya asupan vitamin A (Stang dan Stroy 2005)

Vitamin C

Sebagian besar baduta (78.6%) mengalami defisit vitamin C. Hanya 21.4% baduta dengan kecukupan vitamin C pada kategori normal. Hal ini sejalan dengan penelitian Riyadi dan Sukandar (2009) bahwa vitamin C paling sulit untuk dipenuhi kecukupannya pada anak usia di bawah 5 tahun. Kekurangan vitamin C berpengaruh terhadap sistem pertahanan tubuh yang menyebabkan anak menjadi rentan mengalami sakit (Setiawan dan Rahayuningsih 2004).

Status Kesehatan Baduta

(40)

tersebut terancam menderita stunting, yang mengakibatkan pertumbuhan mental dan fisiknya terganggu, sehingga potensinya tak dapat berkembang dengan maksimal. Sebaran contoh berdasarkan sakit satu bulan terakhir disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit satu bulan terakhir

Kejadian sakit Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Sakit 35 94.6 33 100 68 97.1

Tidak sakit 2 5.4 0 0 2 2.9

Total 37 100 33 100 70 100

Menurut Khomsan et al. (2009) terjadinya masalah gizi tidak hanya disebabkan oleh asupan gizi kurang, tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Anak yang mendapatkan makanan yang cukup, tetapi sering diserang penyakit diare atau ISPA akan mengalami kekurangan gizi. Penyakit yang pernah diderita anak baduta selama satu bulan terakhir beraneka ragam. Sebaran baduta berdasarkan status kesehatan satu bulan terakhir disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Sebaran baduta berdasarkan jenis penyakit satu bulan terakhir

Jenis Penyakit n %

ISPA 67 95.7

Campak 14 20

Cacar 3 4.3

Asma 0 0

DBD 1 1.4

Thypus 1 1.4

Cacingan 0 0

Diare 17 24.3

(41)

secara langsung berpengaruh pada imunitas, perkembangan kognitif, pertumbuhan dan stamina tubuh (Hardinsyah 2007).

Status Imunisasi

Menurut Hidayat (2008), Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan kekebalan bayi dan anak terhadap berbagai penyakit, sehingga dengan pemberian imunisasi diharapkan bayi dapat tumbuh dalam keadaan sehat. Imunisasi dasar yang wajib diberikan kepada bayi pada saat usia 0-6 bulan adalah BCG, DPT, Polio, dan hepatitis B (Prasetyawati 2012). Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar (57.1%) baduta sudah diberikan imunisasi lengkap. Angka ini masih dibawah angka prevalensi nasional, dimana cakupan imunisasi lengkap adalah 59.2% (Riskesdas 2013). Berdasarkan pengkajian di lapang, status imunisasi yang tidak lengkap diduga karena sebagian besar ibu menyatakan bahwa anak sedang sakit saat pelaksanaan imunisasi, sehingga bayi tidak dapat dibawa ke posyandu dan tidak menerima imunisasi pada saat imunisasi berlangsung. Sebaran bayi berdasarkan cakupan pemberian imunisasi dasar disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran baduta berdasarkan status imunisasi

Status imunisasi n %

Lengkap 40 57.1

Tidak lengkap 30 42.9

Kelengkapan imunisasi dasar bayi juga dapat dipengaruhi oleh pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh ibu dan pengetahuan ibu tentang imunisasi (Etenea & Deressa 2012). Pemberian imunisasi merupakan proses menginduksi imunitas secara buatan baik dengan vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi (imunisasi pasif). Dalam hal ini, imunisasi aktif menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi dan respon imun seluler yang dapat melawan agen penginfeksi. Lain halnya dengan imunisasi pasif, imunisasi ini menyediakan proteksi sementara melalui pemberian antibodi yang diproduksi secara eksogen maupun transmisi transplasenta dari ibu ke janin (Peter 2003).

Riwayat Pemberian ASI dan MP ASI

(42)

Tabel 17 Sebaran baduta berdasarkan riwayat ASI dan MP ASI

Riwayat Pemberiaan ASI dan MP ASI n %

Diberi ASI Eksklusif 31 44.3

Tidak ASI Eksklusif 39 55.7

Total 70 100

Lama Pemberian ASI Saja

≤ 3 bulan 21 30.0

4-5 bulan 18 25.7

≥ 6 bulan 31 44.3

Total 70 100

Status menyusui saat ini Ya

6-11 bulan 29 41.4

Tidak

6-11 bulan 7 10

Ya

12-24 bulan 31 44.3

Tidak

12-24 bulan 3 4.3

Total 70 100

Diberi kolostrum 61 87.1

Tidak diberi kolostrum 9 12.9

Total 70 100

Alasan tidak diberikan ASI Eksklusif 6 15.8

ASI sedikit keluar 4 10.5

Anak sakit 0 0

Ibu sakit 29 74.4

Tidak cukup hanya ASI 39 100.0

Total 39 55.7

Diberikan MP ASI sebelum usia 6 bulan Siapa yang mengajurkan pemberian MP ASI sebelum usia 6 bulan

Suami 7 18.4

Orang tua 2 5.3

Dokter 7 17.9

Bidan 3 7.9

Inisiatis ibu 20 52.6

Total 39 100

ASI Eksklusif

(43)

ASI eksklusif yaitu sebesar 44.3%. Angka ini sudah berada di atas angka nasional dan cakupan ASI eksklusif provinsi jawa barat namun belum memenuhi target nasional. Berdasarkan Riskesdas (2013), cakupan ASI eksklusif nasional sebesar 30.2% dan cakupan provinsi Jawa Barat sebesar 19.2%. Target nasional pemberian ASI eksklusif adalah 80%. Penyebab kegagalan pemberian ASI adalah akibat pemberian gizi pada neonatus atau bayi melalui pemberian ASI selama 6 bulan pada bayi dengan tambahan pemberian cairan sebelum atau selama pemberian ASI. Cairan yang diberikan dapat berupa air atau minuman berbasis air, jus buah, tetesan atau sirup (vitamin, mineral atau obat). Hasil penelitian Rajendra et al. (2014) menyatakan bahwa tingkat pemberian ASI eksklusif menurun secara substansial dari waktu ke waktu, proporsi pemberian ASI eksklusif di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan di Nepal.

Status Menyusui

Setelah bayi mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan, bayi diberi makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan tetap mendapatkan ASI sampai minimal usia 2 tahun. Hasil penelitian ini menunjukan sebanyak 41.4% baduta usia 6-11 bulan dan 44.3% baduta usia 12-24 bulan masih mendapatkan ASI (Tabel 17). Penelitan Helen (2002) menyatakan bahwa lama pemberian ASI tidak hanya dipengaruhi dari produksi ASI yang dihasilkan tetapi juga faktor luar seperti dukungan dari keluarga, kondisi lingkungan sosial, dukungan dan sarana yang diberikan tenaga kesehatan (bidan dan kader posyandu).

Lama Pemberian ASI

Tabel 17 memperlihatkan bahwa rata-rata lama pemberian ASI pada baduta adalah 4.5±1.4 bulan dengan presentase terbesar diberikan ASI saja hingga 6 bulan 44.3% dan sebagian baduta dengan lama pemberian ASI saja ≤ 3 bulan sebesar 30%. Baduta pada penelitian ini berusia 6-24 bulan dan hampir sebagian besar tidak mendapatkan ASI Eksklusif (55.7%).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar (74.4%) alasan ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif dikarenakan memiliki pemikiran bahwa tidak cukup jika hanya diberikan ASI saja selama 6 bulan. Sementara sebagian kecil ibu (15.8%) tidak memberikan ASI eksklusif pada anaknya karena ibu mengalami kendala ASI yang sedikit keluar sehingga ibu berinisiatif untuk memberikan anaknya makanan dan minuman selain ASI.

Status Pemberian Kolostrum

(44)

akan memiliki insiden, durasi dan keparahan penyakit yang tinggi seperti diare yang kemudian membuat anak mengalami kekurangan gizi.

Makanan Pendamping ASI

Sebagian contoh diperkenalkan MP-ASI sebelum usia 6 bulan (55.7%). Masih rendahnya presentase ibu yang memberikan MP-ASI setelah bayi berusia 6 bulan menandakan bahwa sebagian besar ibu belum mengetahui resiko yang ditimbulkan bila MP-ASI diberikan sebelum waktunya. Tabel 17 memperlihatkan bahwa sebagian besar ibu memberikan MP ASI sebelum usia 6 bulan dikarenakan inisiatif ibu sendiri yaitu sebesar (52.6%), artinya dalam penelitian ini yang paling berpengaruh terhadap keputusan memberikan ASI eksklusif adalah ibu.

Sementara itu suami juga berperan dalam pengambilan keputusan ibu untuk memberikan makanan tambahan sebelum usia 6 bulan, sebanyak 18.4% suami ibu mengajurkan untuk memberikan MP ASI karena menganggap tidak cukup jika hanya diberikan ASI, sehingga ayah baduta berinisiatif untuk menganjurkan ibu memberikan MP ASI sebelum usia 6 bulan.

Sebanyak 17.9% ibu memberikan makanan tambahan selain ASI karena anjuran dokter, dokter mengajurkan pemberian makanan selain ASI pada usia dibawah 6 bulan karena ASI ibu yang sedikit keluar, karena dengan ASI yang sedikit keluar akan berdampak menimbulkan rasa lapar pada anak sehingga makanan tambahan harus diberikan.

Sebanyak 7.9% ibu memberikan MP ASI usia < 6 bulan dengan alasan anjuran dari bidan. Bidan menganjurkan ibu untuk memberikan makanan tambahan karena anak sering sakit, sehingga harus ditambah makanan atau minuman selain ASI. Hanya sebagian kecil ibu (5.3%) yang memberikan MP ASI < 6 bulan dengan anjuran orang tua. Orang tua yang menganjurkan ibu baduta karena sudah menjadi tradisi di dalam keluarganya sehingga orang tua menganjurkan ibu baduta untuk memberikan anaknya makanan minuman selain ASI pada usia < 6 bulan. Pemberian MP ASI yang terlalu dini yang dilakukan oleh sebagian besar ibu bayi diduga karena tradisi yang diajarkan oleh orangtua dari ibu bayi dan pemikiran bahwa ASI saja tidak mencukupi kebutuhan bayi yang dapat menyebabkan bayi rewel jika hanya diberikan ASI (Syahab 2012). Hasil ini sesuai dengan dengan penelitian Medya et al. (2010), faktor yang mempengaruhi keputusan untuk memberikan ASI eksklusif adalah dukungan sosial, dukungan keluarga, dan kepercayaan diri ibu.

(45)

Praktik Kesehatan dan Sanitasi Ibu

Praktik kesehatan dan sanitasi dalam penelitian ini diperoleh dari pernyataan yang sudah disediakan pada kuesioner dengan pernyataan yang sifatnya cenderung dengan pengaplikasiannya sehari-hari. Tabel 18 memperlihatkan bahwa presentase ibu baduta tertinggi menjawab ya adalah pernyataan saya memantau setiap makanan yang dikonsumsi oleh anak saya (100%). Hal ini karena mayoritas ibu baduta dalam penelitian ini berprofesi sebagai ibu rumah tangga sehingga waktu ibu bersama anaknya lebih banyak dan akan sering memantau setiap makanan yang dikonsumsi oleh anaknya.

Tabel 18 Sebaran ibu baduta berdasarkan jawaban benar mengenai pernyataan praktik kesehatan dan sanitasi ibu

No Pernyataan n %

1 Saya membawa anak saya ke posyandu tiap kali imunisasi dan

penimbangan 69 98.6

2 Saya membawa KMS tiap kali datang ke posyandu 69 98.6 3 Saya mengizinkan jika ada petugas kesehatan datang ke rumah 70 100 4 Anak saya mendapatkan imunisasi sesuai umur 67 95.7 5 Saya memantau setiap jenis makanan yang dikonsumsi anak saya

termasuk makanan jajanan 70 100

6 Saya selalu mencuci tangan sebelum memberikan makan kepada

anak saya 61 87.1

7 Dalam sehari anak saya mandi 2 kali sehari 62 8.6 8 Saya selalu memotong kuku anak (baduta) setiap kali panjang 69 98.6 9 Peralatan makan dan minum anak saya selalu dibersihkan dengan

menggunakan air yang mengalir 53 75.7

10 Saya selalu membiasakan mencuci tangan sebelum memberikan

ASI kepada anak saya 51 72.9

Selanjutnya, dari 10 pernyataan mengenai praktik kesehatan dan sanitasi ibu baduta diberi skor dan dikategorikan ke dalam kategori kurang, cukup dan baik.

Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan praktik kesehatan dan sanitasi ibu

Kategori n %

Kurang (<60%) 0 0

Cukup (60-80%) 7 10

Baik (>80%) 63 90

Total 70 100

Rata-rata±SD 92.7±6.7

(46)

sanitasi pada kategori kurang. Praktik merupakan suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu. Perilaku gizi dicerminkan oleh tindakan-tindakan berkaitan dengan upaya peningkatan status gizi dan pemenuhan kebutuhan gizi. Perilaku diawali oleh adanya pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor lingkungan. Kemudian pengalaman dan faktor lingkungan tersebut diketahui, dipersepsi dan diyakini sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya terwujud dalam bentuk praktik (Notoatmodjo 2010).

Konsumsi Pangan Ibu

Menurut Spark (2007), FFQ (Food Frequency Questionnaire) adalah metode yang digunakan untuk menilai asupan makanan individu dalam jangka panjang. FFQ digunakan untuk mengestimasi frekuensi makan individu dalam skala waktu satu tahun, satu bulan, satu mingu, maupun satu hari.

Tabel 20 memperlihatkan bahwa distribusi kelompok pangan pada makanan pokok yang sering dikonsumsi oleh ibu adalah nasi dengan rata-rata 18 kali/minggu. Nasi menjadi sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi oleh ibu. Bahan pangan lain yang sering dikonsumsi oleh ibu adalah roti putih, sereal, jagung, mie dan kentang. Namun frekuensi jenis pangan tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan frekuensi ibu mengkonsumsi nasi. Sebagian besar ibu sudah mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat yang baik, walaupun masih terdapat ibu yang mengonsumsi pangan sumber karbohidrat yang kurang berkualitas seperti mie sebanyak 2.2 kali/minggu. Hal tersebut diduga karena faktor pendapatan keluarga, dimana semakin tinggi pendapatan keluarga akan mempengaruhi daya beli keluarga terhadap pangan yang lebih berkualitas dan sebaliknya.

(47)

Tabel 20 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan per minggu untuk masing-masing kelompok pangan ibu baduta

Jenis Pangan Rata-Rata±SD Gram

Pangan pokok

Nasi 18 ± 4.2 17.1

Roti putih 4.6 ± 4.1 23.4

Cereal 2.7 ± 2.6 25.3

Jagung 2.4 ± 3.3 23.9

Mie 2.2 ± 2.9 14

Pangan hewani

Telur ayam 6.1 ± 4.1 63.6

Ikan asin 4.1 ± 2.3 29.3

Ikan teri 4.0 ± 1.1 11.4

Ayam 3.5 ± 2.8 30

Ikan mujair 2.2 ± 3.5 48.1

Protein nabati

Tempe 7.9 ± 5.2 61

Tahu 7.8 ± 5.4 58.9

Kacang hijau 2.1 ± 2.0 108.7

Oncom 2.0 ± 2.2 52.9

Kacang tanah 1.9 ± 2.6 20

Susu dan olahanya

Susu bubuk 6.5 ± 4.7 28.8

Susu cair 4.9 ± 4.3 214.5

Keju 2.5 ± 1.2 29.4

Yoghurt 1.2 ± 0.5 250

Sayur-sayuran

Bayam 4.0 ± 3.9 36.5

Kangkung 3.3 ± 3.8 23.9

Sawi 3.1 ± 3.5 44.7

Wortel 2.7 ± 2.3 45.2

Kacang panjang 2.6 ± 3.3 23.7

Buah-buahan

Mangga 2.9 ± 2.4 465.7

Jeruk manis 2.4 ± 2.6 117.6

Pepaya 2.3 ± 2.1 189.3

Melon 2.2 ± 1.9 106.1

Salak 2.0 ± 2.2 57.8

Jajanan

Gorengan 5.3 ± 3.0 117

Biskuit 4.5 ± 2.6 19.5

Donat 3.4 ± 2.5 52.9

(48)

Berdasarkan Tabel 20, susu bubuk merupakan pangan hasil olahan susu yang paling sering dikonsumsi oleh ibu yaitu sebesar 6.1 kali/minggu, dibandingkan dengan susu cair, yoghurt, dan keju. Sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi oleh ibu baduta adalah tempe dengan rata-rata sebanyak 7.9 kali/minggu. Selain tempe sumber protein nabati yang sering dikonsumsi adalah tahu, dan kacang hijau dengan rata-rata konsumsi 7.8 kali/minggu dan 2.1 kali/minggu.

Berdasarkan Tabel 20, dapat dilihat bahwa sayuran yang paling sering dikonsumsi oleh ibu baduta adalah bayam dengan frekuensi rata-rata 4.0 kali /minggu. Selain bayam, urutan sayuran yang sering dikonsumsi lainnya adalah kangkung dan sawi dengan frekuensi rata-rata 3.3 kali/minggu dan 3.1 kali/minggu. Sedangkan frekuensi buah yang paling sering dikonsumsi adalah mangga 2.9 kali/minggu. Buah-buahan yang sering dikonsumsi ibu selanjutnya adalah buah jeruk dan pepaya dengan masing-masing frekuensi konsumsi sebesar 2.4 kali/minggu dan 2.3 kali/minggu. Konsumsi pangan jajanan yang paling sering dikonsumsi oleh ibu baduta adalah gorengan dengan frekuensi rata-rata konsumsi 5.3 kali/minggu. Selain gorengan urutan makanan jajanan yang sering dikonsumsi selanjutnya adalah biskuit dan donat dengan frekuensi masing-masing sebesar 4.5 kali/minggu dan 3.4 kali/minggu.

Hubungan Antar Variabel

Tabel 21 Hasil analisis hubungan variabel dengan status gizi baduta (TB/U) Variabel data independen p value Koefisien Korelasi

Pendidikan Ayah 0.006* 0.325

Pendidikan Ibu 0.005* 0.228

Besar keluarga 0.728 0.042

Pekerjaan Ayah 0.201 0.155

Pekerjaan Ibu 0.214 0.151

Pendapatan orang tua 0.089 0.205

Status kesehatan 0.558 0.343

Riwayat pemberian ASI 0.281 1.161

Status pemberian kolostrum 0.026* 0.267

Tinggi badan ibu 0.003* 0.352

Berat badan lahir 0.023* 0.271

Panjang badan lahir 0.238 0.143

Tingkat kecukupan energi 0.012* 0.297

Tingkat kecukupan protein 0.159 0.159

Tingkat kecukupan kalsium 0.601 0.064

Tingkat kecukupan fosfor 0.533 0.076

Tingkat kecukupan besi 0.062 0.256

Tingkat kecukupan vitamin A 0.347 0.114

Tingkat kecukupan vitamin C 0.277 0.132

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran konsumsi pangan, status kesehatan, riwayat
Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data berdasarkan variabel
Tabel 3 Pengkategorian berdasarkan variabel penelitian
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Our physiological, patho- physiological, and clinical depart- ment is a little different concerning its approach to the teaching of physi- ology, but the goal is the same: to

March 2 nd 3 rd , 2016, Atria Hotel &amp; Conference, Malang, Indonesia Department of Mathematics, Faculty of Science, Brawijaya

Keputusan Walikota Semarang Nomor 875.1/2 Tahun 2011 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatanganan Perijinan dan Non Perijinan kepada Kepala Badan Pelayanan.. Perijinan Terpadu

Dengan mengetahui faktor dari hasil analisis diagram sebab akibat, maka dilakukan rancangan percobaan metode Taguchi untuk dapat diketahui faktor mana yang paling optimal

Menurut opini kami, laporan keuangan terlampir menyajikan secnra wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan Reksa Dana Panin Dana Teladan tanggal 31

Adanya pembatasan legal standing bagi permohonan pernyataan pailit bagi bank oleh lembaga pengawas perbankan dapat menjadi jaminan diterapkannya prinsip commercial exit

Apabila karyawan tidak memiliki predikat good citizenship behaviour maka karyawan tersebut tidak akan bersedia bekerja melebihi apa yang seharusnya dia kerjakan sehingga

Pada aplikasi control alat elektronik menggunakan virtual keypad ini memiliki kelebihan dalam hal keakuratan pendeteksian obyek sesuai dengan range warna yang