• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN

Hasil penelitian pada 105 anak usia 37-71 bulan diperoleh rerata pengalaman karies sebesar 8,55 ± 4,98. Rerata pengalaman karies pada anak perempuan hampir sama dengan anak laki-laki, mungkin karena anak pada usia ini masih sepenuhnya dalam pengawasan orang tua/ibunya, ini berbeda dengan pernyataan WHO bahwa kesehatan rongga mulut perempuan lebih buruk daripada laki-laki.18 Anak yang bebas karies hanya 6 orang (5,7%), kondisi memberikan gambaran bahwa masih rendahnya angka kesehatan gigi khususnya pada anak balita di Kecamatan Medan Barat, seperti kondisi yang ada bahwa penyakit gigi dan mulut masih diderita oleh 90% penduduk Indonesia. Rendahnya prevalensi bebas karies pada penelitian ini lebih kecil dari penelitian Rizal dkk pada anak usia 3-5 tahun, sebanyak 27,4% anak bebas karies, 40,3% anak memiliki 1-5 gigi karies, dan 32,3% anak memiliki lebih dari 5 gigi karies.19

Pola makan merupakan salah satu penyebab terjadinya karies. Anak dengan

frekuensi makan utama ≥4 kali/hari terlihat memiliki rerata pengalaman karies (9,00 ± 5,15) lebih tinggi dibandingkan anak dengan frekuensi makan 1-3 kali/hari yaitu 8,44 ± 4,96, namun secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara frekuensi makan utama dengan pengalaman karies, p=0,647 (Tabel 10). Hal ini mungkin terjadi karena jumlah sampel anak dengan frekuensi makan utama 1-3 kali/sehari (80,0%) tidak seimbang dengan jumlah anak yang memiliki frekuensi

makan utama ≥4 kali/sehari (20,0%). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Francisco et al bahwa mengonsumsi makanan sebanyak 3 kali per hari dan tidak lebih dari 3 kali makan selingan merupakan aturan yang baik untuk membantu menurunkan potensi karies.20

Hasil penelitian menunjukkan bahwa makin lama durasi anak mengonsumsi makanan, makin tinggi rerata pengalaman karies, rerata deft tertinggi durasi >30 menit yaitu 10,43 ± 4,75, durasi 21-30 menit 7,55 ± 4,90 dan durasi 1-20 menit

6,25 ± 4,12. Variabel durasi makan utama menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan pengalaman karies, p=0,004 (Tabel 10). Hal ini juga sesuai dengan teori Steven curve (cit. Stegeman) yang menjelaskan tentang korelasi positif antara peningkatan karies dan frekuensi serta durasi makan melalui studi pH plak.12,14

Berdasarkan hasil penelitian, makin buruk pola makan utama makin tinggi rerata pengalaman karies. Rerata deft tertinggi (9,83 ± 4,96) terdapat pada kategori buruk, kategori sedang (9,66 ± 4,94) dan kategori baik (7,33 ± 4,81). Secara statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pola makan utama dengan pengalaman karies dengan nilai kemaknaan p=0,049 (Tabel 11).

Hasil penelitian menunjukkan makin tinggi frekuensi makan selingan semakin tinggi rerata pengalaman karies, rerata deft tertinggi terdapat pada anak dengan

frekuensi makan selingan ≥4 kali/hari yaitu 13,70 ± 3,32, frekuensi 2-3 kali/hari 9,34 ± 5,02 dan frekuensi 1-2 kali/hari 7,27 ± 4,67. Secara uji statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan selingan dengan pengalaman karies, p=0,013 (Tabel 12). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Vipeholm (cit. Stegeman) yang menunjukkan kerusakan yang lebih tinggi pada orang yang mengonsumsi makanan kariogenik diantara jam makan6 dan penelitian yang dilakukan oleh Siagian dkk bahwa ada hubungan yang bermakna antara jam makan dan frekuensi makanan dan minuman manis dengan timbulnya karies gigi.21

Semakin lama durasi makan selingan maka semakin tinggi nilai rerata deft. Anak dengan durasi makan selingan >30 menit memiliki rerata deft tertinggi yaitu

sebesar 13,44 ± 2,51, durasi 21-30 menit 8,93 ± 4,88 dan durasi 1-20 menit 6,17 ± 4,51. Secara statistik variabel durasi makan selingan memiliki hubungan yang

bermakna dengan pengalaman karies, p=0,000 (Tabel 12). Hal ini sesuai dengan teori bahwa proses demineralisasi enamel gigi akan semakin cepat terjadi jika semakin lama gigi terpapar dengan gula.12

Hasil penelitian menunjukkan makin tinggi konsumsi jenis makan selingan kariogenik makin tinggi rerata pengalaman karies. Anak yang mengonsumsi jenis makanan selingan kariogenik dengan keteraturan ≥4 hari/minggu memiliki rerata deft yang paling tinggi yaitu 8,97 ± 4,87, makan selingan kariogenik 2-3 kali/minggu

5,50 ± 4,80 dan 0-1 kali/minggu 3,00 ± 3,32. Secara statistik variabel keteraturan mengonsumsi jenis makanan selingan kariogenik menunjukkan hubungan yang bermakna dengan pengalaman karies, p=0,014 (Tabel 12). Sesuai dengan teori bahwa makanan selingan yang sering dikonsumsi oleh anak adalah bersifat kariogenik yang dapat menyebabkan proses demineralisasi mudah terjadi.11-13 Hasil ini juga sama dengan hasil penelitian Burt et al yang menemukan bahwa anak lebih suka mengonsumsi makanan selingan yang dapat menyebabkan karies,22 dan penelitian yang dilakukan oleh Lilik Hidayanti pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Cihideung Tasikmalaya juga menunjukkan adanya hubungan antara kesukaan makan makanan berkariogenik dengan prevalensi karies.23

Makanan selingan bentuk lengket menunjukkan rerata deft tertinggi yaitu sebesar 8,83 ± 4,89 (93,2%), bentuk padat 3,00 ± 3,32 (4,8%). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada anak yang mengonsumsi makanan selingan bentuk cair, kemungkinan karena modus anak mengonsumsi makan cair adalah rendah dibandingkan dengan bentuk padat atau lengket. Secara uji statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara bentuk makanan selingan (p=0,010) dengan pengalaman karies (Tabel 12). Hal ini sesuai dengan teori bahwa bentuk makanan selingan yang lengket seperti permen, kismis dan buah-buahan kering akan lebih besar peluangnya sebagai penyebab karies.6,12 Teori ini didukung oleh penelitian dilakukan Siagian dkk yang menyatakan ada hubungan antara makan makanan yang lengket dengan timbulnya karies gigi.21

Semakin buruk pola makan selingan makan maka semakin tinggi rerata pengalaman karies. Rerata deft tertinggi pola makan selingan terdapat pada kategori buruk dengan rerata pengalaman karies 9,29 ± 4,84, kategori sedang 6,20 ± 4,49 dan kategori baik 3,00 ± 3,32. Secara statistik menunjukkan ada hubungan bermakna antara pola makan selingan dengan pengalaman karies dengan nilai kemaknaan p=0,003 (Tabel 13). Hasil statistik menunjukkan semua variabel frekuensi, durasi, jenis dan bentuk makanan selingan memiliki risiko yang tinggi terhadap terjadinya karies.

Berdasarkan hasil penelitian makin tinggi frekuensi minum minuman manis maka makin tinggi rerata pengalaman karies, rerata deft tertinggi terdapat pada anak

dengan frekuensi minum minuman manis ≥4 kali/hari yaitu 13,00 ± 5,66, frekuensi

2-3 kali/hari 10,41 ± 5,22 dan frekuensi 0-1 kali/hari 7,28 ± 4,42. Variabel frekuensi minum minuman manis menunjukkan hubungan bermakna dengan pengalaman karies, p=0,003 (Tabel 14), sesuai dengan teori frekuensi dan waktu konsumsi makanan dan minuman karbohidrat memicu karies.12,14

Hasil penelitian menunjukkan makin lama durasi anak minum minuma manis, makin tinggi rerata pengalaman karies. Rerata deft tertinggi pada anak untuk durasi minum minuman manis >30 menit 13,13 ± 4,63 , durasi 21-30 menit 10,94 ± 4,29 dan durasi 1-20 menit 7,54 ± 4,63. Secara statistik ditemukan ada hubungan yang bermakna antara durasi minum minuman manis dengan pengalaman karies, p=0,001 (Tabel 14), hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan durasi minum minuman manis yang lama meningkatkan terjadinya karies.12

Berdasarkan hasil penelitian terlihat anak yang tidak minum minuman manis dengan botol pada malam hari memiliki rerata deft 8,39 ± 4,89, rerata deft minum minuman manis dengan botol 1-3 hari/minggu adalah 11,33 ± 6,66 dan ≥4

hari/minggu 17,00 ± 0,00. Hasil menunjukkan peningkatan rerata deft bagi ketiga kelompok tersebut, sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa konsumsi sukrosa pada malam hari dapat meningkatkan risiko karies karena berkurangnya aliran saliva dan efek self cleansing rongga mulut sehingga substrat akan menempel di rongga mulut,10,15 walaupun secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara minum minuman manis dengan botol pada malam hari dengan pengalaman karies, p=0,140 (Tabel 14). Kemungkinan ini disebabkan distribusi sampel tidak merata yaitu anak yang tidak minum minuman manis dengan botol yaitu 96,2% sedangkan anak yang minum minuman manis dengan botol 1-3 kali/minggu hanya 2,9% dan ≥4 kali/minggu 1,0%.

Rerata deft pola minum minuman manis tertinggi pada kategori sedang yaitu sebesar 12,58 ± 4,52 (18,1%), kategori baik 7,77 ± 4,75 (81,9%) dan tidak ada/ditemukan anak dengan kategori buruk. Hasil statistik menunjukkan ada

hubungan yang bermakna antara pola minum minuman manis dengan pengalaman karies dengan nilai kemaknaan p=0,000 (Tabel 15). Pada kategori pola minum minuman manis hanya variabel frekuensi dan durasi yang memiliki hubungan yang bermakna, ini berarti frekuensi minum minuman manis yang tinggi dan durasi mengonsumsi yang lama dapat memicu meningkatnya risiko karies.

Hasil penelitian terlihat rerata deft terendah pada anak yang minum dengan frekuensi 0-2 kali/hari yaitu sebesar 8,40 ± 5,10 (80,0%), frekuensi 3-4 kali/hari

9,10 ± 4,64 (19,0%) dan tertinggi pada frekuensi ≥5 kali/hari 10,00 ± 0,00 (1,0%).

Secara statistik ditemukan tidak adanya hubungan antara frekuensi minum susu dengan pengalaman karies, p=0,821 (Tabel 16), hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Kris Paulus yang menyatakan anak yang paling tinggi terjadi karies adalah anak yang minum susu lebih dari 3 kali sehari.24

Hasil penelitian didapat rerata deft tertinggi pada anak yang minum susu dengan durasi >30 menit yaitu 12,59 ± 5,52 (16,2%), durasi 21-30 menit 8,71 ± 4,95 (40,0%) dan durasi 1-20 menit 6,91 ± 3,90 (43,8%). Variabel durasi minum susu secara statistik menunjukkan ada hubungan bermakna dengan pengalaman karies, p=0,000 (Tabel 16), sesuai dengan teori yang menyatakan durasi kontak susu dengan permukaan gigi yang lama di rongga mulut meningkatkan keparahan karies.10

Anak yang tidak minum susu dengan botol pada malam hari memiliki rerata deft sebesar 7,33 ± 4,61 (43,8%),rerata deft meningkat pada anak yang minum susu dengan botol 1-3 hari/minggu yaitu sebesar 11,58 ± 5,76 (11,4%). Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa ada perbedaan antara anak yang minum susu dengan botol dan tanpa botol. Secara statistik ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara minum susu dengan botol pada malam hari dengan pengalaman karies (p=0,021), sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa prevalensi rampan karies yang tinggi disebabkan oleh penggunaan susu botol yang terlalu lama.10,15 Variabel minum susu menggunakan botol pada malam hari 1-3 kali/minggu sebanyak (11,4%), dari jumlah tersebut sebanyak 5,7% berusia 48-59 bulan, 4,8% berusia 60-71 bulan dan 1,0% berusia 37-47 bulan, hal ini sesuai dengan teori bahwa prevalensi karies akan meningkat sesuai dengan meningkatnya usia anak.

Hasil penelitian menunjukkan rerata deft tertinggi untuk pola minum susu pada kategori sedang yaitu 10,64 ± 4,74 (40,0%), kategori buruk 8,50 ± 5,37 (19,0%) dan kategori baik 6,53 ± 4,22 (41,0%). Secara statistik didapat ada hubungan bermakna antara pola minum susu dengan pengalaman karies dengan kemaknaan p=0,000 (Tabel 17). Pola minum susu menunjukkan hanya variabel durasi dan minum susu dengan botol malam hari memiliki hubungan yang bermakna, hal ini berarti durasi yang lama dan minum susu dengan botol malam hari dapat memicu peningkatan risiko karies.

Semakin buruk perilaku diet keseluruhan maka semakin tinggi rerata pengalaman karies, rerata deft terendah diperoleh pada kategori perilaku diet baik yaitu 4,40 ± 3,00 sebanyak 19,0% dan tertinggi pada kategori perilaku diet buruk 16,80 ± 0,84 sebanyak 4,8%. Hasil secara statistik menunjukkan ada hubungan bermakna antara perilaku diet anak dengan pengalaman karies dengan nilai kemaknaan p=0,000 (Tabel 18). Berdasarkan penelitian didapat pola makan utama, pola makan selingan, pola minum minuman manis dan pola minum susu menunjukkan ada hubungan bermakna dengan pengalaman karies.

Pada penelitian ini terbukti bahwa perilaku diet berpengaruh terhadap terjadinya karies pada anak. Dengan menggunakan catatan analisis diet hasil yang lebih terperinci mengenai kebiasaan konsumsi anak usia 37-71 bulan dapat diketahui. Disarankan untuk mengevaluasi perilaku diet individu menggunakan kartu catatan diet agar dapat dievaluasi secara indvidu dan dapat memberikan nasihat diet secara individu juga.

Dokumen terkait