HUBUNGAN PERILAKU DIET ANAK DENGAN
EARLY CHILDHOOD CARIES
(ECC)
PADA ANAK USIA 37-71 BULAN DI
KECAMATAN MEDAN BARAT
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
DHARAMJIT SINGH A/L HAMBAR SHINGH
NIM:090600167
Pembimbing:
YATI ROESNAWI, DRG.
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak
Tahun 2013
Dharamjit Singh Hambar Shingh
Hubungan perilaku diet anak dengan Early Childhood Caries (ECC) pada
anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan barat.
x + 46 halaman
Early Childhood Caries (ECC) merupakan bentuk kerusakan gigi yang
progresif dengan penyebab multifaktorial yang salah satunya adalah perilaku diet.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kategori perilaku diet
dengan pengalaman ECC pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
Kategori perilaku diet tersebut dibagi atas pola makan utama, pola makan selingan,
pola minum minuman manis, dan pola minum susu.
Rancangan penelitian ini adalah analitik dengan desain cross-sectional.
Jumlah sampel adalah 105 sampel, dengan 30 data sekunder (penelitian Septiarini
Astri) dan 75 data primer yang diambil dengan random purposive sampling.
Pencatatan makanan dan minuman yang dikonsumsi anak dalam waktu 24 jam dicatat
dalam buku perilaku diet anak selama 7 hari. Data pengalaman ECC diperoleh
dengan pemeriksaan klinis rongga mulut anak dan menggunakan kriteria Miller. Uji
statistik yang digunakan One-way Anova dan T-test dengan nilai kemaknaan p<0,05.
Ada hubungan bermakna antara kategori perilaku diet anak dengan
makan utama (p=0,049), pola makan selingan (p=0,003), pola minum minuman
manis (p=0,000), dan pola minum susu (p=0,000) dengan pengalaman ECC pada
anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
Disimpulkan, perilaku diet yang buruk akan meningkatkan risiko pengalaman
ECC. Pencatatan diet dengan kartu catatan secara individu dapat memberikan
evaluasi yang lebih terperinci mengenai perilaku diet seseorang.
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 18 April 2013
Pembimbing : Tanda tangan
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji
pada tanggal 18 April 2013
TIM PENGUJI
KETUA : Essie Octiara, drg., Sp. KGA
ANGGOTA : 1. Ami Angela Harahap, drg., Sp. KGA., M. Sc
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Tuhan yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapat bimbingan,
bantuan, dukungan, dan pengarahan serta saran dan masukan dari berbagai pihak
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan
segala kerendahan dan ketulusan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
keluarga tersayang, ayahanda Hambar Shingh dan ibunda Daljit Kaur, juga adinda
Samatjit Singh dan Malvinder Kaur atas segala perhatian, dukungan, motivasi,
harapan dan doa serta cinta kasih yang telah diberikan selama ini.
Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Yati Roesnawi, drg., selaku dosen pembimbing dan Ketua Departemen
Ilmu Kedokteran Gigi Anak (IKGA) atas keluangan waktu, saran, bantuan,
dukungan, motivasi, kesabaran serta bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik.
2. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
3. Seluruh staff pengajar dan tenaga administrasi Departemen IKGA yang
telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis.
4. Prof. Lina Natamiharja, drg., SKM selaku narasumber, atas keluangan
waktu, bimbingan, arahan, serta kritik dan saran yang membangun dalam penulisan
skripsi ini.
5. Minasari Imran Nst, drg., selaku penasihat akademik yang telah
memberikan motivasi dan nasihat selama penulis menjalani masa pendidikan di
6. Teman–teman angkatan 2009, khususnya teman - teman seperjuangan di
Departemen IKGA, Izwan, Yenny, Rezi, Sarah, Ho Kin Kuan, Dameria, Candramala,
Ikrima dan Putra.
7. Sahabat–sahabat terbaik penulis, Sanjarna, Jihan, Shangita, Mimi,
Elisabeth, Astri, Jasmin, Elangkeswary, Inderjeet, Ng Wee Chun, dan lainnya yang
tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan, motivasi dan kekeluargaan selama
menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan
skripsi ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga penulisan skripsi ini diridhoi Tuhan
dan dapat memberikan sumbangan ilmu yang berguna bagi fakultas dan masyarakat
umumnya.
Medan, 15 April 2013
Penulis,
Dharamjit Singh Hambar Shingh
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN ...
HALAMAN TIM PENGUJI SKIPSI ...
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Hipotesis Penelitian ... 3
1.5 Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Early Childhood Caries (ECC) ... 5
2.2 Gambaran Klinis ... 5
2.2.1 Tahap Inisial ... 5
2.2.2 Tahap Karies ... 6
2.2.3 Tahap Lesi Dalam ... 6
2.2.4 Tahap Karies Terhenti ... 7
2.3 Etiologi ... 8
2.3.1 Host ... 8
2.3.2 Mikroorganisme ... 9
2.3.3 Substrat dan Diet ... 10
2.3.4 Waktu ... 10
2.4.1 Jenis Makanan ... 11
2.4.2 Bentuk Fisik ... 13
2.4.3 Frekuensi Konsumsi ... 14
2.4.4 Konsumsi Karbohidrat Diantara Jam Makan ... 15
2.4.5 Penambahan Pemanis dan Cara Konsumsi ... 15
2.4.6 Durasi Konsumsi Makanan dan Minuman Bergula ... 16
2.5 Kerangka Teori... 18
2.6 Kerangka Konsep ... 18
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 19
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 19
3.3 Populasi dan Sampel ... 19
3.4 Variabel – Variabel Penelitian ... 21
3.5 Definisi Operasional... 21
3.6 Cara Pengambilan Data ... 27
3.7 Pengolahan dan Analisis Data ... 28
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden Anak ... 29
4.2 Hubungan Pola Makan Utama dengan Pengalaman ECC ... 29
4.3 Hubungan Pola Makan Selingan dengan Pengalaman ECC ... 30
4.4 Hubungan Pola Minum Minuman Manis dengan Pengalaman ECC ... 32
4.5 Hubungan Pola Minum Susu dengan Pengalaman ECC ... 34
4.6 Hubungan Perilaku Diet dengan Pengalaman ECC ... 35
BAB 5 PEMBAHASAN ... 36
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 42
6.2 Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 44
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Jenis karbohidrat berdasarkan tingkat kariogenik……… 12
2. Jenis makanan berdasarkan tingkat kariogenik……… 13
3. Lembar catatan perilaku diet anak………... 22
4. Definisi operasional perilaku diet pola makan utama……….. 23
5. Definisi operasional perilaku diet pola makan selingan……….. 24
6. Definisi operasional perilaku diet pola minum minuman manis………. 25
7. Definisi operasional perilaku diet pola minum susu……… 26
8. Nilai pola diet anak……….. 27
9. Karakteristik responden anak………... 29
10.Hasil analisis statistik hubungan perilaku diet pola makan utama dengan rerata pengalaman karies………... 30
11.Hasil analisis statistik hubungan pola makan utama dengan rerata pengalaman karies………... 30
12.Hasil analisis statistik hubungan perilaku diet pola makan selingan dengan rerata pengalaman karies……….. 31
13.Hasil analisis statistik hubungan pola makan selingan dengan rerata pengalaman karies………. 32
14.Hasil analisis statistik hubungan perilaku diet pola minum minuman manis dengan rerata pengalaman karies……… 33
16.Hasil analisis statistik hubungan perilaku diet pola minum susu dengan
rerata pengalaman karies ……… 34
17.Hasil analisis statistik hubungan pola minumsusu dengan rerata
pengalaman karies………. 35
18.Hasil analisis statistik hubungan pola diet anak dengan rerata
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. ECC stadium insisal ... 6
2. ECC stadium dua ... 6
3. ECC stadium tiga ... 7
4. ECC stadium empat ... 7
5. Skema etiologi karies ... 8
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Surat persetujuan Komisi Etik
2. Surat keterangan dari tempat penelitian
3. Lembaran penjelasan kepada subjek penelitian
4. Lembaran persetujuan setelah penjelasan (informed consent)
5. Buku lembar pencatatan diet anak
6. Lembar penilaian perilaku diet anak
7. Lembar pemeriksaan pengalaman karies
8. Jenis dan bentuk makanan kariogenik
9. Jadwal pelaksanaan penelitian
10.Data hasil penelitian
11.Uji statistik
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sampai saat ini karies masih merupakan masalah kesehatan yang kompleks
baik di negara maju maupun negara berkembang. Meningkatnya kehidupan sosial
ekonomi masyarakat di negara berkembang sebagai dampak pembangunan sangat
berpengaruh terhadap meningkatnya prevalensi karies gigi.1
Insiden rampan karies anak berkisar antara 0,8% hingga 7,2% bergantung atas
etnis, latar belakang sosial ekonomi dan populasi anak yang diteliti. Dibandingkan
dengan Amerika Serikat yang hampir seperempat (23,7%) anak-anak dengan usia 2-5
tahun telah memiliki karies dan 18,7% diantaranya tidak dirawat, diduga populasi
karies di negara berkembang jumlahnya lebih besar.2
ECC merupakan salah satu masalah kesehatan yang dialami anak-anak di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan penelitian Heriandi (cit. Marlina)
didapat prevalensi karies gigi sulung di beberapa daerah di Indonesia yang bervariasi
yaitu 61%-85%.3 Prevalensi karies gigi diantara bayi dan anak-anak prasekolah diteliti oleh banyak ahli dan ternyata paling sedikit 25% karies gigi terdapat pada
anak-anak berusia 2 tahun dan hampir dua pertiga dari seluruh jumlah anak-anak
berusia 3 tahun menderita karies gigi; demikian juga di Inggris, Jepang dan Hongaria
yang masyarakatnya senang sekali mengonsumsi gula, sehingga kerusakan gigi lebih
banyak ditemui.4
Menurut Berkowitz ECC (cit. Marlina) adalah bentuk karies gigi yang parah
dengan karakteristik infeksi bakteri yang luas di rongga mulut, didukung frekuensi
diet gula yang tinggi. Shaw (cit. Marlina) menyatakan frekuensi makan, lamanya sisa
makanan dipermukaan gigi dan lamanya masa makanan menetap di mulut pada
kondisi kritis lebih penting dari jumlah gula yang dikonsumsi. Penelitian Nunn
menyatakan bahwa kebiasaan makan makanan sehat berhubungan dengan penurunan
prevalensi ECC.3
Peningkatan kejadian karies dihubungkan peningkatan mengonsumi gula.
Penelitian ini fokus pada faktor substrat yang berhubungan dengan pola makan
balita.l Pengambilan data ECC adalah data sekunder yaitu dari penelitian yang dilakukan oleh Septiarini A (yang belum dipublikasikan) pada anak usia 37-71 bulan
di Taman Kanak – Kanak di Kecamatan Medan Barat. Besarnya prevalensi karies
pada anak usia tersebut menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian
hubungan prilaku diet dengan terjadinya ECC. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan kartu perilaku diet anak dengan melihat konsumsi anak selama 7 hari
yang kemudian dianalisis dengan kriteria tertentu. Penelitian ini dilakukan karena
belum pernahnya dilakukan penelitian dengan metode pencatatan perilaku diet anak,
dengan pemilihan tempat penelitian yang sama karena ingin melanjutkan penelitian
sebelumnya di Taman Kanak – Kanak tersebut, namun hasil yang diperoleh kurang
memuaskan, karena data untuk perilaku diet hanya berdasarkan kuesioner dengan
pertanyaan tertutup, sedangkan pada penelitian ini dilakukan dengan metode
pencatatan diet anak.
1.2 Rumusan Masalah Rumusan Masalah Umum
1. Apakah ada hubungan antara perilaku diet anak dengan pengalaman ECC
pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
Rumusan Masalah Khusus
1. Apakah ada hubungan antara pola makan utama dengan pengalaman ECC
pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
2. Apakah ada hubungan antara pola makan selingan dengan pengalaman
ECC pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
3. Apakah ada hubungan antara pola minum minuman manis dengan
4. Apakah ada hubungan antara pola minum susu dengan pengalaman ECC
pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian Umum
1. Menganalisis hubungan antara perilaku diet anak dengan pengalaman ECC
pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
Tujuan Penelitian Khusus
1. Menganalisis hubungan antara pola makan utama dengan pengalaman
ECC pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
2. Menganalisis hubungan antara pola makan selingan dengan pengalaman
ECC pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
3. Menganalisis hubungan antara pola minum minuman manis dengan
pengalaman ECC pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
4. Menganalisis hubungan antara pola minum susu dengan pengalaman ECC
pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
1.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis Penelitian Umum
1. Ada hubungan antara perilaku diet anak dengan pengalaman ECC pada
anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
Hipotesis Penelitian Khusus
1. Ada hubungan antara pola makan utama dengan pengalaman ECC pada
anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
2. Ada hubungan antara pola makan selingan dengan pengalaman ECC pada
anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
3. Ada hubungan antara pola minum minuman manis dengan pengalaman
4. Ada hubungan antara pola minum susu dengan pengalaman ECC pada
anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Barat.
1.5 Manfaat Penelitian 1. Manfaat untuk masyarakat
Memberikan informasi kepada orang tua dan pihak sekolah mengenai
pengaruh dan dampak perilaku diet yang salah terhadap terjadinya karies gigi pada
anak. Selain itu juga memotivasi orang tua untuk memperhatikan perilaku diet anak
agar lebih peduli terhadap kesehatan gigi dan mulut anak.
2. Manfaat untuk ilmu pengetahuan
Mengetahui data perilaku diet anak terhadap pengalaman ECC di Kecamatan
Medan Barat. Hasil penelitian dapat digunakan untuk melakukan penyuluhan
mengenai perilaku diet pada anak juga sebagai penyuluhan pencegahan terjadinya
karies pada anak.
3. Manfaat untuk peneliti
Menambah pengalaman dalam melakukan penelitian terhadap anak-anak dan
menambah wawasan dalam menganalisis perilaku diet anak yang mempengaruhi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Penyakit gigi dan mulut mulai terjadi pada anak usia dini.5 Early Childhood Caries (ECC) merupakan kerusakan pada gigi sulung, hilang karena karies, atau
tambalan pada gigi susu anak berusia kurang dari 6 tahun. Kasus ECC paling banyak
didapat pada anak-anak di bawah usia 3 tahun.5-7 ECC digunakan untuk menggantikan istilah karies yang berkembang cepat serta akut yaitu Nursing Bottle
Caries, Baby Bottle Tooth Decay, Baby Bottle Caries, Nursing Bottle Mouth dan
Nursing Bottle Syndrome.1,5,7 Definisi ECC menurut The American Academy Of Pediatric Dentistry (AAPD) adalah adanya satu atau lebih karies (kavitas atau
non-kavitas), adanya kehilangan gigi karena karies atau adanya tambalan pada gigi
desidui anak usia 0-71 bulan.8
2.2 Gambaran Klinis
ECC adalah penyakit yang serius dan kadang menimbulkan sakit, ditandai
dengan ciri khas yaitu timbul, berkembang sangat cepat, terdiri atas empat tahap,
yaitutahap inisial, tahap karies, tahap lesi dalam dan tahap karies terhenti.8
2.2.1 Tahap Inisial
Tahap inisial ditandai dengan terlihatnya bercak berwarna putih seperti kapur,
lesi berwarna opak karena demineralisasi pada permukaan licin gigi insisivus atas.
Terjadi pada anak usia 10-20 bulan. Bercak putih ini dapat terlihat jelas pada daerah
servikal di vestibular dan palatal insisivus maksila yang disebut white spot. Pada
tahap ini lesi masih dapat mengalami remineralisasi, tetapi sering tidak diketahui
orang tua karena biasanya tidak ada keluhan. Jika tidak dirawat, white spot akan
Gambar 1. Garis putih pada enamel 8
2.2.2 Tahap Karies (Tahap Kerusakan Gigi)
Tahap karies terjadi ketika anak berusia 16-24 bulan. White spot pada
insisivus berkembang dengan cepat dan menyebabkan demineralisasi enamel bahkan
sampai ke dentin. Ketika lesi berkembang, white spot pada enamel tersebut berubah
warna menjadi kuning terang, coklat kemudian menjadi hitam, dan pada kasus yang
lebih parah, lesi juga dapat mengenai tepi insisal. Enamel berubah warna karena
pigmen yang berasal dari saliva yaitu coklat dan hitam, makanan serta akibat
penetrasi dari bakteri. Gigi posterior atas mulai terkena di bagian servikal, proksimal
dan oklusal. Pada tahap ini anak mulai mengeluh sensitif terhadap rasa dingin.8
Gambar 2.Kavitas berwarna kuning kecoklatan pada bagian lingual gigi8
2.2.3 Tahap Lesi Dalam
Tahap lesi dalam terjadi ketika anak berusia 20-36 bulan, lesi sudah meluas
sedangkan molar pertama mandibula dan kaninus maksila pada tahap insisal. Anak
mengeluh sakit ketika mengunyah dan menyikat gigi serta sakit spontan sepanjang
malam. Gigi menjadi rapuh sehingga gigi insisivus mudah patah.8
Gambar 3. Kavitas berwarna coklat dan kerusakan pada anterior insisivus rahang atas 8
2.2.4 Tahap Karies Terhenti
Tahap karies terhenti terjadi ketika anak berusia antara 30-48 bulan. Lesi
meluas dengan cepat ke seluruh permukaan enamel, mengelilingi daerah servikal,
dentin dan dalam waktu singkat terjadi kerusakan yang parah di seluruh mahkota gigi
hingga terjadi fraktur dan hanya akar tersisa. Pada tahap ini insisivus maksila
biasanya nekrosis dan molar pertama maksila pada tahap tiga sedangkan molar kedua
maksila, kaninus maksila dan molar pertama mandibula pada tahap kedua.8
2.3 Etiologi
Etiologi ECC hampir sama dengan etiologi karies pada umumnya. Karies
adalah penyakit infeksi, menular dan multifaktorial yang disebabkan empat faktor
utama yaitu host, subsrat, mikroorganisme dan waktu. Keempat faktor tersebut
berinteraksi pada waktu tertentu, menyebabkan ketidakseimbangan keadaan di rongga
mulut dan demineralisasi antara permukaan permukaan gigi dan plak yang terdapat
pada gigi.1,5-7
Gambar 5. Faktor utama yang interaksi pada proses karies gigi6
2.3.1 Host
Faktor etiologi ECC yang pertama merupakan host yaitu gigi dan saliva.
Proses karies pada gigi sulung berjalan lebih cepat dibandingkan gigi permanen
karena ketebalan enamel gigi sulung lebih tipis dari gigi permanen. Enamel gigi
sulung lebih banyak mengandung bahan organik dan air sedangkan jumlah mineral
lebih sedikit dibandingkan gigi permanen. Pada anak-anak, enamel yang sedang
berkembang dapat mengalami beberapa gangguan. Gangguan yang terjadi berupa
hipoplasia enamel dapat menyebabkan retensi plak dan meningkatkan kolonisasi
bakteri sehingga memperbesar risiko terjadinya karies.1,5-6 Gigi sulung yang berjejal sangat rentan terkena karies karena mudah terjadi penumpukan sisa makanan dan
Saliva merupakan pertahanan utama dan pertama terhadap karies dan
memiliki berbagai peranan dalam melindungi gigi. Saliva membersihkan substrat,
bakteri menyebabkan karies dan berperan dalam mekanisme pembersihan gigi. Saliva
berfungsi sebagai pelicin, pelindung, buffer, dan anti bakteri. Saliva juga
mengandung bahan yang dapat mengaglutinasi bakteri dan mencegah pelekatan
bakteri pada permukaan gigi. Saliva dapat menghambat karies karena aksi buffer,
kandungan bikarbonat, amoniak dan urea yang dapat menetralkan penurunan pH yang
terjadi saat karbohidrat dimetabolisme bakteri plak. Berbagai macam aksi
pelindungan saliva berhubungan dengan tingkat sekresi saliva sebagai faktor
pelindung yang penting. Individu dengan gangguan sekresi saliva memiliki
peningkatan resiko terjadinya karies. Kecepatan sekresi saliva menyebabkan
peningkatan pH dan aksi buffernya. Bila sekresi berkurang akan terlihat peningkatan
akumulasi plak sehingga jumlah mikroorganisme akan bertambah.1,6,8
2.3.2 Mikroorganisme
Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies.
Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang
berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada
permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Jika enamel yang bersih terpapar di rongga
mulut maka akan di tutupi oleh lapisan organik yang amorf yang disebut pelikel.
Pelikel ini terutama terdiri atas glikoprotein yang diendapkan dari saliva dan
terbentuk segera setelah penyikatan gigi. Sifatnya sangat lengket dan mampu
membantu melekatkan bakteri-bakteri tertentu pada permukaan gigi. Hasil penelitian
menunjukkan komposisi mikroorganisme dalam plak berbeda-beda.6,8
Mikroorganisme kariogenik utama adalah jenis Streptokokus dan laktobasilus.
S.mutans dan S.sobrinus berperan dalam proses awal karies dengan merusak lapisan
luar permukaan enamel. S.mutans dan S.sobrinus yang merupakan mikroorganisme
patogen, dapat berkolonisasi dipermukaan gigi dan cepat menghasilkan asam dengan
bantuan plak. Asam yang dihasilkan akan menyebabkan pH dalam rongga mulut
Sumber utama S.mutans terdapat dalam rongga mulut dan infeksi pada bayi
terjadi karena perpindahan yang berasal dari ibu, orang yang dekat dengan bayi.
Keparahan ECC berhubungan langsung dengan jumlah Streptokokus pada bayi yang
berasal dari infeksi ibu atau orang yang dekat dengannya. Penelitian menunjukkan
bahwa mikroorganisme ini baru dijumpai dalam mulut setelah gigi sulung erupsi dan
bertambah seiring dengan bertambah erupsi gigi. Selanjutnya laktobasilus berperan
pada karies yang dalam dan lebih merusak gigi.1,6-8
2.3.3 Substrat dan Diet
Faktor substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena
membantu perkembangan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada permukaan
enamel. Karbohidrat merupakan makanan kariogenik utama dan dikonsumsi secara
luas oleh masyarakat, yaitu jenis sukrosa, glukosa dan fruktosa yang berfungsi
sebagai sumber energi bagi bakteri kariogenik (S.mutans dan laktobasilus) dan
membantu bakteri melekat pada permukaan gigi. Karbohidrat tersebut juga
dimetabolisme oleh S.mutans dan laktobasilus menjadi asam organik yang dapat
medemineralisasi enamel dan dentin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang
banyak mengonsumsi karbohidrat terutama sukrosa cenderung mengalami kerusakan
gigi, sebaliknya pada anak dengan diet yang banyak lemak dan protein hanya sedikit
atau sama sekali tidak mempunyai karies gigi.1,6-7
2.3.4 Waktu
Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang
berkembang dalam beberapa bulan atau tahun. Waktu mempengaruhi kecepatan
terbentuknya karies serta lama dan frekuensi substrat menempel di permukaan gigi.
Lamanya waktu yang dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi kavitas cukup
2.4 Faktor Perilaku Diet
Pada umumnya makanan yang mengandung gula sukar dibersihkan dari
gigi.10 Makanan kariogenik adalah makanan manis yang dapat menyebabkan terjadinya karies gigi. Sifat makanan kariogenik adalah banyak mengandung
karbohidrat, lengket dan mudah hancur di dalam mulut. Kariogenitas suatu makanan
disebabkan dari beberapa faktor, antara lain;6,10jenis makanan, bentuk fisik, frekuensi konsumsi, konsumsi karbohidrat diantara jam makan, penambahan pemanis dan cara
konsumsi serta durasi konsumsi makanan dan minuman bergula.
2.4.1 Jenis Makanan
Karbohidrat adalah satu-satunya nutrisi yang bersifat kariogenik.12 Karbohidrat dalam makanan memiliki derajat kariogenik yang berbeda-beda. Sukrosa
adalah adalah jenis karbohidrat bersifat paling kariogenik. Sisa makanan (termasuk
karbohidrat) akan menempel pada permukaan enamel dan berakumulasi membentuk
plak yang merupakan media pertumbuhan yang menguntungkan bagi
mikroorganisme. Karbohidrat dengan molekul kecil seperti sukrosa akan
dimetabolisme oleh mikroorganisme yang menempel pada permukaan gigi dan
menghasilkan asam yang melarutkan permukaan enamel sehingga terjadi proses
demineralisasi.10-12
Beberapa makanan dapat melindungi gigi dengan menurunkan demineralisasi,
dan meningkatkan proses remineralisasi. Gula seperti sorbitol dan manitol sering
digunakan sebagai gula pengganti. Sorbitol dan manitol difermentasi lambat dalam
mulut daripada monosakarida dan disakarida; efek buffer saliva menetralkan asam
dari plak.6
Jenis gula pengganti lain adalah xylitol yang dijumpai dalam tumbuhan
dengan rasa sama atau lebih manis dari sukrosa. Xylitol diklasifikasikan sebagai
antikariogenik karena flora oral tidak mengandung enzim untuk fermentasi xylitol.
Permen karet yang mengandung xylitol mencegah proses demineralisasi pada enamel.
Efek pencegahan ini langsung meningkatkan aliran saliva, pembersihan mulut, dan
Tabel 1. Klasifikasi tingkat kariogenik pada karbohidrat12
Jenis Karbohidrat Tingkat Kariogenik
Sukrosa Tinggi
Laktosa Sedang
Glukosa Sedang
Fruktosa Sedang
Maltosa Sedang sampai
Rendah
Sorbitol Rendah
Mannitol Rendah
Xylitol Rendah
Zat Pati Rendah
Makanan yang baik lainnya untuk kesehatan gigi adalah keju. Keju yang
berasal dari susu, banyak mengandung kalsium dan fosfat dan kasein yang mampu
mengurangi demineralisasi enamel. Konsumsi keju setelah makan makanan yang
mengandung karbohidrat, dapat membentuk senyawa yang bersifat basa sehingga
dapat menghentikan suasana asam yang dapat merusak enamel sebagai proses awal
karies sehingga keju disebut memiliki sifat kariostatik yaitu mampu mengurangi atau
menghentikan berlangsungnya proses karies.10
Susu merupakan makanan yang baik untuk kesehatan gigi.11 Susu mengandung laktosa, merupakan gula kariogenik yang paling rendah dari gula lain,
dan juga mengandung zat-zat kalsium dan fosfat yang dapat mencegah karies. Lemak
dalam susu membentuk suatu lapisan tipis pada enamel gigi yang menghambat efek
plak dari gula. Susu coklat mengandung gula (sekitar 10%) dan juga coco yang
mengurangi pertumbuhan bakteri. Coco menetralkan efek gula pada gigi dan
menjadikan susu coklat suatu makanan non kariogenik.11
Protein dan lemak merupakan nutrisi yang dianggap kariostatik karena ia
tidak merendahkan pH plak. Secara umum, protein mungkin menyumbang kepada
karbohidrat akan meningkatkan pH plak. Daging, ikan, telur, kacang, dan minyak
adalah contoh makanan kariostatik.6
Sayur-sayuran seperti wortel yang mempunyai kandungan gula kurang 5%
tidak merupakan penyebab karies. Apabila wortel dikonsumsi tanpa dimasak, saliva
akan mengalir dan menetralkan sedikit asam yang diproduksi. Wortel yang sudah
dimasak biasanya dikonsumsi dengan makanan pH netral seperti daging. Apabila
jumlah buah yang dikonsumsi kurang dari 10 biji per hari, ia tidak merusakkan gigi
biarpun buah itu bersifat asam.11 Makanan dapat dibahgikan kepada beberapa kategori yaitu berpotensi tinggi, sedang, rendah, tidak berpotensi dan menghambat
karies. (Tabel 2)
Table 2. Jenis makanan berdasarkan tingkat kariogeniknya13
Potensi Jenis Makanan
Tinggi Buah yang dikeringkan, permen, coklat,
sereal, kue, biskuit, donat, cupcake, dan
bahan pemanis tambahan.
Sedang Jus buah, sirup, manisan, buah kalengan,
minuman ringan, roti, dan potato chips.
Rendah Sayur, susu, kacang, jagung dan yoghurt.
Tidak Berpotensi Daging, ikan, lemak dan minyak.
Mampu Menghambat Karies Keju dan golongan xylitol.
2.4.2 Bentuk Fisik
Bentuk fisik makanan jenis lunak, lengket dan manis mudah menempel pada
permukaaan gigi dan sela-sela gigi, jika dibiarkan akan menghasilkan lebih banyak
asam sehingga meningkatkan risiko karies gigi. Makanan bentuk cair paling tidak
merusak karena hanya sedikit berkontak di rongga mulut walaupun mengandung
seperti permen, kismis dan buah-buahan kering, akan lebih besar peluangnya sebagai
penyebab karies.6,12
Sebaliknya makanan yang kasar dan berserat akan lebih lama dikunyah.
Gerakan mengunyah sangat menguntungkan bagi kesehatan gigi karena merangsang
aliran saliva yang membasuh gigi dan mengencerkan serta menetralisir zat-zat asam
yang ada. Makanan berserat menimbulkan efek seperti menyikat gigi dan tidak
melekat pada gigi. Contoh buah yang mempunyai sifat sebagai pembersih alami
seperti apel, bengkoang, pir dan jeruk.6,12
2.4.3 Frekuensi Konsumsi
Survei pada 600 anak-anak yang mengonsumsi minuman manis dan makanan
ringan menjelang tidur menunjukkan tingkat karies gigi 4 kali lebih besar daripada
anak-anak yang tidak mengonsumsi. Konsumsi makanan kariogenik akan
menyebabkan suasana asam di rongga mulut selama 20 menit. Frekuensi dan waktu
konsumsi makanan dan minuman karbohidrat penting sebagai faktor pemicu karies.
Konsumsi karbohidrat dianjurkan hanya pada waktu makan utama agar pembersihan
rongga mulut lebih cepat karena aliran saliva meningkat. Aliran saliva akan menurun
pada waktu tidur dan pH plak dapat turun dan bertahan selama berjam-jam sehingga
konsumsi makanan manis dan meminum susu botol menjelang tidur harus
dihindarkan.12,14
Setelah makan makanan yang mengandung sukrosa,pH mulut menurun dalam
waktu 2-3 menit dan tetap rendah sampai selama 30-60 menit. Ini berarti jika
makanan kariogenik dikonsumsi 3 kali sehari pH mulut akan berada di bawah 5,5
selama 1.5-3 jam.Proses demineralisasi yang terjadi akan mengikis lapisan enamel.
Stephan curve (cit. Stegeman) menunjukkan perubahan pH pada plak gigi setelah
Gambar 6. Kurva Stephan menunjukkan penurunan pH menjadi 5,5 ketika berkumur dengan larutan 10% glukosa yang menyebabkan demineralisasi enamel14
2.4.4 Konsumsi Karbohidrat Diantara Jam Makan
Makanan kariogenik yang dikonsumsi di antara jam makan utama juga merupakan faktor risiko karies. Penelitian Vipeholm (cit. Stegeman) menunjukkan
kerusakan yang lebih tinggi pada orang yang mengonsumsi makanan dengan kadar
karbohidrat tinggi diantara jam makan utama.6
Konsumsi makanan asam diantara waktu makan utama menunjukkan potensi
terjadi karies. Penelitian menunjukkan minum kopi dengan penambahan gula setelah
mengonsumsi makan utama menurunkan pH, sebaliknya konsumsi makanan non
kariogenik seperti keju setelah konsumsi makanan karbohidrat mencegah penurunan
nilai pH. Risiko untuk demineralisasi enamel lebih rendah jika makanan non
2.4.5 Penambahan Pemanis dan Cara Konsumsi
Penggantian ASI dengan susu formula sering menimbulkan kendala
tersendiri, karena anak enggan minum susu formula. Salah satu cara orang tua adalah
dengan menambahkan gula kedalam susu formula sebagai pengganti rasa manis
laktosa yang terdapat dalam ASI. Dengan menambahkan gula, anak jadi minum susu
botolnya, namun hal ini sangat perlu diwaspadai karena pemberian gula sangat
mempengaruhi timbulnya kerusakan gigi.10
Kontak yang lama antara permukaan gigi dan cairan yang mengandung gula
akan menimbulkan pola khas dari gigi berlubang, terutama pada gigi depan,
khususnya pada saat tidur karena berkurangnya saliva.8 Tingkat keparahan karies dari anak yang minum susu botol yang berlangsung lama disebabkan karena lamanya dan
seringnya susu berkontak dengan permukaan gigi, sehingga bakteri yang ada dalam
mulut mampu mengubah gula yang terkandung dalam susu atau minuman manis
menjadi asam. Kemudian asam tersebut menyebabkan demineralisasi sehingga karies
mudah terjadi.15
Kebiasaan menggunakan botol sepanjang hari atau pada saat tidur dengan
cairan seperti susu (apalagi ditambah gula) dan jus buah dapat menyebabkan
kerusakan gigi yang sangat cepat pada gigi susu. Pemberian susu botol yang tidak
tepat ini dikenali sebagai Baby Bottle Syndrome.10
2.4.6 Durasi Konsumsi Makanan dan Minuman Bergula
Faktor kariogenik suatu makanan harus juga diteliti dari durasi anak
mengonsumsi makanan tersebut, misalnya berapa lamakah waktu mengonsumsi es
krim dan permen. Makanan seperti chewing gum dan permen berada dalam mulut
untuk durasi yang lama, sehingga gigi berkontak dan berada dalam suasana asam
lebih lama dan memudahkan terjadi karies.12
Sebagian besar orang tua memberikan susu formula atau ASI pada anak untuk
waktu yang lama, bahkan sampai anaknya tertidur, sehingga anak tidak sempat lagi
membersihkan giginya. Kondisi ini mengakibatkan aliran saliva dan frekuensi
karies. Selama anak tertidur pH saliva akan menurun akibatnya daya buffer saliva
dalam menetralkan asam berkurang sehingga karies mudah terjadi.15
Meskipun susu sapi mengandung karbohidrat dengan persentase mencapai
5%, namun karbohidrat utama adalah laktosa. Dibandingkan karbohidrat yang lain
seperti glukosa atau fruktosa, laktosa adalah dengan sifat kariogenik paling rendah.
Selain itu, susu kaya akan kalsium, fosfat, kasein, dan komponen protein lain yang
dapat menghambat terjadinya karies.16
Pada penelitian lain, diketahui bahwa susu tidak meningkatkan resiko karies,
bahkan ekstrak protein dapat menghambat rusaknya enamel gigi karena asam.16 Sebagian besar penelitian epidemiologi yang baru-baru ini dilakukan tentang
hubungan mengonsumsi gula dan karies gigi menemukan hubungan yang negatif,
2.5 Kerangka Teori
2.6 Kerangka Konsep
Analisis Perilaku Diet Pola Diet Anak:
Pola makan utama
Pola makan selingan
Pola minum minuman manis
Pola minum susu
Pengalaman
Early Childhood Caries (ECC)
Early Childhood Caries (ECC)
Host Mikrooganisme Substrat Waktu
Pencegahan
Anjuran dan Analisis Diet Pola Diet Anak :
Pola makan utama
Pola makan selingan
Pola minum minuman manis
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan yaitu penelitian analitik observasi dengan
penelitian cross-sectional.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medan Barat yaitu di TK Laksamana
Martadinata, TK Swasta Pertiwi dan TK Aisyah Bustanul Athfal. Alasan pemilihan
tempat tersebut untuk penelitian karena sudah pernah dilakukan penelitian
sebelumnya (Septiarini A. 2012 yang belum dipublikasi) dan didapat data sekunder
dari Taman Kanak-Kanak tersebut, namun hasil yang didapatkan kurang memuaskan
karena data yang diperoleh untuk perilaku diet berdasarkan kuesioner tertutup.
3.2.2 Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan yaitu Nopember 2012 - April 2013.
Pengambilan data dilakukan selama 6 minggu: 4 Februari-16 Maret 2013.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian adalah anak berusia 37-71 bulan di Kecamatan
3.3.2 Sampel
Jumlah sampel diperoleh dengan menggunakan rumus penaksiran proporsi
populasi dengan standard deviasi dan presisi mutlak.
n = Z1-α2 / 2Sd2 d2
n = 1,962 / 2 (12) 102 n = 3,84/4
100
n = 0,96 (100)
n = 96 orang
Keterangan:
Sd = standard deviasi pada penelitian oleh Abdullah S.Almusyat et al 17 Z = skor ditentukan derajat kepercayaan (confidence level) adalah 95% = 1,96
d = presisi mutlak (10%)
n = jumlah sampel
Besar sampel untuk mencari prevalensi populasi terbatas minimumnya adalah
sebesar 96 orang. Peneliti mengambil sampel sebanyak 105 orang untuk
mendapatkan jumlah secara merata untuk analisis data.
Kriteria inklusi:
1. Dalam periode gigi sulung
2. Keadaan umum anak baik
3. Mendapat persetujuan orang tua
4. Usia anak 37-71 bulan
Kriteria eksklusi
2. Gigi berjejal
3.4 Variabel-Variabel Penelitian
Variabel Terikat / Dependent : pengalaman ECC
Variabel Faktor Risiko : perilaku diet anak yaitu pola makan utama,
pola makan selingan, pola minum minuman manis, dan pola minum susu.
3.5 Defenisi Operasional
1. Early Childhood Caries (ECC) adalah kerusakan yang terjadi pada satu
atau lebih gigi yang dapat berupa lesi kavitas, gigi yang indikasi dicabut karena
karies, permukaan gigi desidui yang ditambal pada usia 0-71 bulan.
2. Usia anak 37-71 bulan adalah usia anak dihitung dari tanggal lahir 37-71
bulan sampai waktu dilakukan penelitian sekarang. Apabila sampel terdahulu telah
melewati usia 71 bulan pada saat penelitian dilakukan maka sampel tidak digunakan.
3. Perilaku diet anak adalah semua makanan dan minuman yang dikonsumsi
anak dalam waktu 24 jam dicatat selama 7 hari dalam lembar pencatatan perilaku
diet, kemudian akan dikategorikan menjadi pola makan utama, pola makan selingan,
pola minum minuman manis dan pola minum susu, yang nantinya akan dijumlahkan
keseluruhan menjadi nilai pola diet anak. Lembar pencatatan perilaku diet anak
diberikan pada orang tua anak untuk diisi. Lembar tersebut berisi identitas anak,
contoh pengisian lembar catatan diet dari peneliti dan lembar catatan diet anak
sebanyak 10 lembar (jumlah lembar dilebihkan 3 untuk pencatatan diet yang panjang)
untuk diisi oleh orang tua dengan catatan makanan dan minuman yang dikonsumsi
anak selama 7 hari.
4. Pola makan utama adalah frekuensi makan pagi, siang dan malam pada
anak usia 37-71 bulan seperti nasi, roti, mie, sayur-sayuran, lauk-pauk, buah-buahan
5. Pola makan selingan adalah frekuensi makan makanan di luar jam makan
utama pada anak usia 37-71 bulan seperti snack, keripik, coklat, permen dan
sebagainya. (Tabel 5)
Tabel 3. Lembar catatan perilaku diet anak
Lembar catatan diet yang telah diisi oleh orang tua selama 7 hari, akan
dikategorikan kedalam pola makan utama, pola makan selingan, pola minum
Tabel 4. Definisi operasional perilaku diet pola makan utama
Variabel Defenisi Operasional Hasil Ukur
(Nilai Bobot)
Rerata frekuensi makan utama perhari. Didapat dari jumlah keseluruhan frekuensi makan utama selama 7 hari kemudian dibagi 7. Makan utama dilihat dengan adanya pola makan yang sama pada jam tertentu selama ≥ 4 hari.
1-3 kali/hari (3) > 3 kali/ hari (1)
Ordinal
Durasi Makan Utama
Lamanya/ durasi anak menghabiskan makanan utama dalam sekali makan yang paling sering dilakukan. Diambil dari modus data keseluruhan. (Bila
Kriteria perilaku diet pola makan utama:
a. baik : 5-6 (80%)
b. sedang : 4 (60%-79%)
Tabel 5. Definisi operasional perilaku diet pola makan selingan (diluar jam makan utama)
Variabel Defenisi Operasional Hasil Ukur
(Nilai Bobot)
Skala Ukur
Frekuensi Makan Selingan
Rerata frekuensi makan selingan perhari. Didapat dari jumlah keseluruhan frekuensi makan selingan selama 7 hari kemudian
Lamanya/ durasi anak menghabiskan makanan selingan dalam sekali makan yang paling sering dilakukan. Diambil dari modus data
Keteraturan mengonsumsi makanan selingan yang berkariogenik tinggi (buah yang dikeringkan, permen, coklat, sereal, kue, biskuit, donat, cupcake, dan bahan pemanis tambahan) dalam hitungan hari selama 7 hari/seminggu. dari modus data keseluruhan.
Padat : Buah yang dikeringkan Cair : Es krim
Kriteria perilaku diet pola makan selingan:
a. baik : 10-12 (80%)
b. sedang : 8-9 (60%-79%)
Tabel 6. Definisi operasional perilaku diet pola minum minuman manis (selain susu)
Variabel Defenisi Operasional Hasil Ukur
(Nilai Bobot)
Rerata frekuensi minum minuman manis perhari. Didapat dari jumlah keseluruhan frekuensi minum minuman manis selama 7 hari kemudian dibagi 7. Minuman manis dapat berupa teh manis, minuman ringan, dan jus.
0-1 kali/hari (3)
Lamanya/ durasi anak menghabiskan minuman manis yang paling sering
Keteraturan anak mengonsumsi minuman manis dengan botol pada malam hari, terhitung setelah anak selesai makan utama dalam hitungan hari selama 7 hari / seminggu.
Tidak (3)
1-3 hari / minggu (2) 4-7 hari / minggu (1)
Ordinal
Jumlah 9
Kriteria perilaku diet pola minum minuman manis:
a. baik : 8-9 (80%)
b. sedang : 6-7 (60%-79%)
Tabel 7. Definisi operasional perilaku diet pola minum susu (dengan atau tanpa penambahan pemanis)
Variabel Defenisi Operasional Hasil Ukur
(Nilai Bobot)
Skala Ukur Frekuensi Minum
Susu
Rerata frekuensi minum susu perhari. Didapat dari jumlah keseluruhan frekuensi minum susu selama 7 hari
Durasi Minum Susu Lamanya/ durasi anak menghabiskan susu yang paling sering dilakukan.
Keteraturan anak mengonsumsi susu dengan botol pada malam hari, terhitung setelah anak selesai makan utama dalam hitungan hari selama 7
Kriteria perilaku diet pola minum susu:
a. baik : 8-9 (80%)
b. sedang : 6-7 (60%-79%)
Tabel 8. Nilai pola diet anak
Perilaku Diet Persentase Jumlah Nilai
Nilai maksimal pola makan utama 20% 6 (4) = 24
Nilai maksimal pola makan selingan 30% 12 (6) =72
Nilai maksimal pola minum minuman manis
(selain susu)
25%
9 (5) = 45
Nilai maksimal pola minum susu 25% 9 (5) = 45
Nilai Keseluruhan (Total) 100% 186
Kriteria penilaian pola diet anak :
a. baik : 149-186 (80%)
b. sedang : 112-148 (60%-79%)
c. buruk : ≤111 (59%)
3.6 Cara Pengambilan Data
Setelah mendapat surat persetujuan dari Komisi Etik, dilakukan pengurusan
administrasi dengan pihak sekolah. Pendataan subjek pada penelitian sebelumnya,
dilanjutkan dengan meminta izin waktu untuk mengumpulkan orang tua siswa.
Kepada orang tua siswa diminta kesediaan agar anaknya dizinkan untuk menjadi
subjek penelitian sekaligus dijelaskan mengenai penelitian dan cara pengisian lembar
catatan diet yang akan diisi. Orang tua mengisi lembar informed consent kemudian
diberikan lembar catatan diet dalam bentuk buku sebanyak 10 lembar yang disertai
contoh cara pencatatan diet. Orang tua diminta untuk mengisi setiap diet anak (makan
dan minum) selama 7 hari dalam buku tersebut. Evaluasi kebenaran pengisian lembar
diet oleh orang tua dilakukan setelah hari pertama pencatatan, untuk itu orang tua
diminta untuk membawa buku tersebut pada pagi hari setelah pencatatan hari
peneliti akan menghubungi melalui telepon untuk mengecek kebenaran pencatatan.
Pengumpulan catatan perilaku diet dilakukan setelah 7 hari pencatatan diet, buku
dapat dikumpulkan pada guru atau peneliti sendiri.
Sampel pada penelitian ini berjumlah 105 orang sesuai dengan perhitungan
penaksiran populasi. Sampel diambil dari data sekunder penelitian sebelumnya pada
Mei-Juli 2012 oleh Septiarini Astri. Data sekunder yang memenuhi kriteria inklusi
berjumlah 53 orang, namun pada penelitian ini hanya digunakan 30 karena sampel
menolak untuk diteliti. Pengambilan sampel baru dilakukan dengan randomisasi dan
penyebaran kuesioner sebanyak 150 untuk memenuhi jumlah sampel yang
dibutuhkan. Banyak calon responden yang menolak dengan alasan sibuknya orang tua
anak untuk mengisi kuesioner catatan diet selama 7 hari. Pemeriksaan klinis rongga
mulut anak dilakukan dengan menggunakan kriteria Miller sampai sampel terpenuhi.
3.7 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan sistem komputerisasi. Data yang diperoleh
terdistribusi normal, analisis dilakukan dengan uji One-Way Anova untuk variabel
dengan tiga kriteria dan selanjutnya dilakukan analisis Post-Hoc dengan uji Tukey
untuk melihat perbedaan antara kategori pola tersebut. Untuk data dengan dua kriteria
dilakukan analisis dengan uji-T. Nilai kemaknaan p<0,05 dan derajat kepercayaan
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4. 1 Karakteristik Responden Anak
Berdasarkan jenis kelamin, persentase anak laki-laki sebanyak 46,7% dan
perempuan sebanyak 53,3%. Berdasarkan usia, persentase kelompok anak berusia
37-47 bulan sebanyak 21,9%, usia 48-59 bulan 42,8% dan usia 60-71 bulan 35,2%
(Tabel 9).
Hasil penelitian menunjukkan rerata deft pada anak usia 37-47 bulan
6,61 ± 5,598, usia 48-59 bulan 8,73 ± 4,663 dan usia 60-71 bulan 9,54 ± 4,729.
Rerata deft keseluruhan pada anak usia 37-71 bulan diperoleh sebesar 8,55 ± 4,977.
Berdasarkan jenis kelamin anak usia 37-71 bulan, rerata deft laki-laki sebesar
8,43 ± 5,021 dan perempuan 8,66 ± 4,981, secara statistik diperoleh nilai p=0,813.
Terdapat 5,7% anak yang bebas karies dan 1,0% orang anak dengan nilai deft 20
(Tabel 9) .
Tabel 9. Karakteristik responden anak
Karakteristik Jumlah (N) (%) Bebas Karies (n) (%)
4.2 Hubungan Pola Makan Utama dengan Pengalaman ECC
Pola makan utama dikategorikan dengan dua variabel yaitu frekuensi dan
durasi. Hasil penelitian menunjukkan rerata deft pada frekuensi makan utama
Rerata deft pada durasi makan utama 1-20 menit sebesar 6,25 ± 4,12, durasi 21-30
menit 7,55 ± 4,90 dan durasi >30 menit 10,43 ± 4,75 (p=0,004) (Tabel 10).
Tabel 10. Hasil analisis statistik hubungan perilaku diet pola makan utama dengan
Secara statistik menunjukkan terlihat ada hubungan yang bermakna antara
pola makan utama dengan pengalaman karies (p=0,049). Rerata deft tertinggi berada
pada kategori buruk dengan nilai 9,83 ± 4,96 sebesar 17,1% (Tabel 11).
Hasil Post-Hoc test untuk Tabel 11 menunjukkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara kategori pola makan utama baik dan buruk (p=0,153) dengan
perbedaan rerata 2,50, antara kategori baik dan sedang (p=0,081) dengan perbedaan
rerata 2,31 dan antara kategori buruk dan sedang (p=0,990) dengan perbedaan rerata
0,19.
Tabel 11. Hasil analisis statistik hubungan pengalaman karies dengan rerata pola makan utama
4.3 Hubungan Pola Makan Selingan dengan Pengalaman ECC
Variabel pola makan selingan terdiri atas frekuensi, durasi, jenis, dan bentuk
selingan 0-1 kali/hari sebesar 7,27 ± 4,67, frekuensi 2-3 kali/hari 9,34 ± 5,02 dan
frekuensi ≥4 kali/hari 13,70 ± 3,32 (p=0,013). Rerata deft pada durasi makan selingan 1-20 menit sebesar 6,17 ± 4,51, durasi 21-30 menit 8,93 ± 4,88 dan durasi >30 menit
13,44 ± 2,51 (p=0,000). Rerata deft pada jenis makanan selingan 0-1 hari/minggu
sebesar 3,00 ± 3,32, 2-3 hari/minggu 5,50 ± 4,80 dan ≥4 hari/minggu 8,97 ± 4,87
(p=0,014). Rerata deft pada bentuk makanan selingan padat sebesar 3,00 ± 3,32,
bentuk lengket 8,83 ± 4,89 dan variabel bentuk makanan selingan cair tidak terdapat
sampel (p=0,010) (Tabel 12).
Tabel 12. Hasil analisis statistik hubungan perilaku diet pola makan selingan dengan rerata pengalaman karies
Variabel Kategori n (%) Rerata deft ± SD p
Frekuensi 0-1 kali/hari 2-3 kali/hari
Pola makan selingan secara keseluruhan secara statistik menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara pola makan selingan dengan pengalaman karies
(p=0,003). Rerata deft tertinggi berada pada kategori buruk dengan nilai 9,29 ± 4,84
sebesar 81,0%. (Tabel 13).
Hasil Post-Hoc test untuk Tabel 13 menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara kategori pola makan selingan baik dan buruk (p=0,013) dengan
tidak ada hubungan yang bermakna (p=0,394) dengan perbedaan rerata 3,20, dan
antara kategori buruk dan sedang (p=0,056) dengan perbedaan rerata 3,09 (Tabel 13).
Tabel 13. Hasil analisis statistik hubungan pola makan selingan dengan rerata pengalaman karies
Pola makan selingan n (%) Rerata deft ± SD p Baik
Sedang Buruk
5 (4,8) 15 (14,3) 85 (81,0)
3,00 ± 3,32 6,20 ± 4,49 9,29 ± 4,84
0,003*
Total 105 (100) 8,55 ± 4,98
*p<0,05
4.4 Hubungan Pola Minum Minuman Manis dengan Pengalaman ECC Variabel pola minum minuman manis dibagi atas tiga yaitu frekuensi, durasi,
dan minum minuman manis dengan botol pada malam hari. Hasil penelitian
menunjukkan rerata deft pada frekuensi minum minuman manis tanpa botol
0-1 kali/hari sebesar 7,28 ± 4,42, frekuensi 2-3 kali/hari 10,41 ± 5,22 dan frekuensi
≥4 kali/hari 13,00 ± 5,66 (p=0,003). Rerata deft pada durasi minum minuman manis 1-20 menit sebesar 7,54 ± 4,63, durasi 21-30 menit 10,94 ± 4,29, dan durasi >30
menit 13,13 ± 4,63 (p=0,001). Rerata deft pada minum minuman manis tidak
menggunakan botol pada malam hari sebesar 8,39 ± 4,89, menggunakan botol 1-3
Tabel 14. Hasil analisis statistik hubungan perilaku diet pola minum minuman manis dengan rerata pengalaman karies
Variabel Kategori n (%) Rerata deft ± SD P Frekuensi 0-1 kali/hari
2-3 kali/hari
Pola minum minuman manis secara keseluruhan menunjukkan ada hubungan
yang bermakna dengan pengalaman karies (p=0,000). Rerata deft tertinggi berada
pada kategori sedang dengan nilai 12,11 ± 4,52 sebesar 18,1% (Tabel 15).
Hasil statistik menunjukkan pada kategori baik rerata deft 7,77 ± 4,75
(81,9%), kategori sedang 12,11 ± 4,52 (18,1%), dan kategori buruk tidak terdapat
sampel, sehingga dengan hanya dua kategori dilakukan T-test (tidak dilakukan
One-Way Anova). Hasil menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kategori
pola makan utama baik dan sedang (p=0,000) dengan perbedaan rerata 4,34
(Tabel 15).
4.5 Hubungan Pola Minum Susu dengan Pengalaman ECC
Pola minum susu pada anak dibedakan atas tiga variabel yaitu frekuensi,
durasi dan minum susu dengan botol pada malam hari. Hasil penelitian menunjukkan
rerata deft pada frekuensi minum minuman susu 0-2 kali/hari sebesar 8,40 ± 5,10,
frekuensi 3-4 kali/hari 9,10 ± 4,64 dan frekuensi ≥5 kali/hari 10,00 ± 0,00 (p=0,821).
Rerata deft pada durasi minum minuman susu 1-20 menit sebesar 6,91 ± 3,90, durasi
21-30 menit 8,71 ± 4,95 dan durasi >30 menit 12,59 ± 5,52 (p=0,000). Rerata deft
Fekuensi 0-2 kali/hari 3-4 kali/hari
Pola minum susu secara keseluruhan menunjukkan ada hubungan yang
bermakna dengan pengalaman karies berdasarkan hasil uji statistik (p=0,000). Nilai
rerata deft tertinggi berada di kategori sedang dengan nilai 10,64 ± 4,74 sebanyak
40,0% (Tabel 17).
Hasil Post-Hoc test untuk Tabel 17 menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara kategori pola minum susu baik dan sedang (p=0,000) dengan
tidak ada hubungan yang bermakna (p=0,269) dengan perbedaan rerata 1,97 dan
antara kategori sedang dengan buruk (p=0,213) dengan perbedaan 2,14.
Tabel 17. Hasil analisis statistik hubungan pola minum minuman susu dengan rerata pengalaman karies
4.6 Hubungan Perilaku Diet dengan Pengalaman ECC
Perilaku diet merupakan nilai keseluruhan dari pola makan utama, pola makan
selingan, pola minum minuman manis, dan pola minum susu. Hasil uji analisis
statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara semua pola makan dan
minum diatas dengan pengalaman karies (p=0,000). Nilai rerata deft tertinggi berada
pada kategori buruk dengan nilai 16,80 ± 0,84 sebanyak 4,8% (Tabel 18).
Hasil Post-Hoc test untuk Tabel 18 menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kategori perilaku diet baik dan buruk (p=0,000) dengan perbedaan
rerata 12,40, antara kategori baik dan sedang (p=0,000) dengan perbedaan rerata 4,68
dan kategori sedang dan buruk (p=0,000) dengan perbedaan rerata 7,73.
Tabel 18. Hasil analisis statistik hubungan pola diet anak dengan pengalaman karies
BAB 5
PEMBAHASAN
Hasil penelitian pada 105 anak usia 37-71 bulan diperoleh rerata pengalaman
karies sebesar 8,55 ± 4,98. Rerata pengalaman karies pada anak perempuan hampir
sama dengan anak laki-laki, mungkin karena anak pada usia ini masih sepenuhnya
dalam pengawasan orang tua/ibunya, ini berbeda dengan pernyataan WHO bahwa
kesehatan rongga mulut perempuan lebih buruk daripada laki-laki.18 Anak yang bebas karies hanya 6 orang (5,7%), kondisi memberikan gambaran bahwa masih
rendahnya angka kesehatan gigi khususnya pada anak balita di Kecamatan Medan
Barat, seperti kondisi yang ada bahwa penyakit gigi dan mulut masih diderita oleh
90% penduduk Indonesia. Rendahnya prevalensi bebas karies pada penelitian ini
lebih kecil dari penelitian Rizal dkk pada anak usia 3-5 tahun, sebanyak 27,4% anak
bebas karies, 40,3% anak memiliki 1-5 gigi karies, dan 32,3% anak memiliki lebih
dari 5 gigi karies.19
Pola makan merupakan salah satu penyebab terjadinya karies. Anak dengan
frekuensi makan utama ≥4 kali/hari terlihat memiliki rerata pengalaman karies (9,00 ± 5,15) lebih tinggi dibandingkan anak dengan frekuensi makan 1-3 kali/hari
yaitu 8,44 ± 4,96, namun secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna
antara frekuensi makan utama dengan pengalaman karies, p=0,647 (Tabel 10). Hal ini
mungkin terjadi karena jumlah sampel anak dengan frekuensi makan utama 1-3
kali/sehari (80,0%) tidak seimbang dengan jumlah anak yang memiliki frekuensi
makan utama ≥4 kali/sehari (20,0%). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Francisco et al bahwa mengonsumsi makanan sebanyak 3 kali per hari dan tidak lebih dari 3 kali
makan selingan merupakan aturan yang baik untuk membantu menurunkan potensi
karies.20
Hasil penelitian menunjukkan bahwa makin lama durasi anak mengonsumsi
makanan, makin tinggi rerata pengalaman karies, rerata deft tertinggi durasi >30
6,25 ± 4,12. Variabel durasi makan utama menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna dengan pengalaman karies, p=0,004 (Tabel 10). Hal ini juga sesuai dengan
teori Steven curve (cit. Stegeman) yang menjelaskan tentang korelasi positif antara
peningkatan karies dan frekuensi serta durasi makan melalui studi pH plak.12,14
Berdasarkan hasil penelitian, makin buruk pola makan utama makin tinggi
rerata pengalaman karies. Rerata deft tertinggi (9,83 ± 4,96) terdapat pada kategori
buruk, kategori sedang (9,66 ± 4,94) dan kategori baik (7,33 ± 4,81). Secara statistik
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pola makan utama dengan
pengalaman karies dengan nilai kemaknaan p=0,049 (Tabel 11).
Hasil penelitian menunjukkan makin tinggi frekuensi makan selingan semakin
tinggi rerata pengalaman karies, rerata deft tertinggi terdapat pada anak dengan
frekuensi makan selingan ≥4 kali/hari yaitu 13,70 ± 3,32, frekuensi 2-3 kali/hari 9,34 ± 5,02 dan frekuensi 1-2 kali/hari 7,27 ± 4,67. Secara uji statistik ada hubungan
yang bermakna antara frekuensi makan selingan dengan pengalaman karies, p=0,013
(Tabel 12). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Vipeholm (cit. Stegeman) yang
menunjukkan kerusakan yang lebih tinggi pada orang yang mengonsumsi makanan
kariogenik diantara jam makan6 dan penelitian yang dilakukan oleh Siagian dkk bahwa ada hubungan yang bermakna antara jam makan dan frekuensi makanan dan
minuman manis dengan timbulnya karies gigi.21
Semakin lama durasi makan selingan maka semakin tinggi nilai rerata deft.
Anak dengan durasi makan selingan >30 menit memiliki rerata deft tertinggi yaitu
sebesar 13,44 ± 2,51, durasi 21-30 menit 8,93 ± 4,88 dan durasi 1-20 menit
6,17 ± 4,51. Secara statistik variabel durasi makan selingan memiliki hubungan yang
bermakna dengan pengalaman karies, p=0,000 (Tabel 12). Hal ini sesuai dengan teori
bahwa proses demineralisasi enamel gigi akan semakin cepat terjadi jika semakin
lama gigi terpapar dengan gula.12
Hasil penelitian menunjukkan makin tinggi konsumsi jenis makan selingan
kariogenik makin tinggi rerata pengalaman karies. Anak yang mengonsumsi jenis
makanan selingan kariogenik dengan keteraturan ≥4 hari/minggu memiliki rerata deft
5,50 ± 4,80 dan 0-1 kali/minggu 3,00 ± 3,32. Secara statistik variabel keteraturan
mengonsumsi jenis makanan selingan kariogenik menunjukkan hubungan yang
bermakna dengan pengalaman karies, p=0,014 (Tabel 12). Sesuai dengan teori bahwa
makanan selingan yang sering dikonsumsi oleh anak adalah bersifat kariogenik yang
dapat menyebabkan proses demineralisasi mudah terjadi.11-13 Hasil ini juga sama dengan hasil penelitian Burt et al yang menemukan bahwa anak lebih suka
mengonsumsi makanan selingan yang dapat menyebabkan karies,22 dan penelitian yang dilakukan oleh Lilik Hidayanti pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan
Cihideung Tasikmalaya juga menunjukkan adanya hubungan antara kesukaan makan
makanan berkariogenik dengan prevalensi karies.23
Makanan selingan bentuk lengket menunjukkan rerata deft tertinggi yaitu
sebesar 8,83 ± 4,89 (93,2%), bentuk padat 3,00 ± 3,32 (4,8%). Hasil penelitian
menunjukkan tidak ada anak yang mengonsumsi makanan selingan bentuk cair,
kemungkinan karena modus anak mengonsumsi makan cair adalah rendah
dibandingkan dengan bentuk padat atau lengket. Secara uji statistik didapatkan
hubungan yang bermakna antara bentuk makanan selingan (p=0,010) dengan
pengalaman karies (Tabel 12). Hal ini sesuai dengan teori bahwa bentuk makanan
selingan yang lengket seperti permen, kismis dan buah-buahan kering akan lebih
besar peluangnya sebagai penyebab karies.6,12 Teori ini didukung oleh penelitian dilakukan Siagian dkk yang menyatakan ada hubungan antara makan makanan yang
lengket dengan timbulnya karies gigi.21
Semakin buruk pola makan selingan makan maka semakin tinggi rerata
pengalaman karies. Rerata deft tertinggi pola makan selingan terdapat pada kategori
buruk dengan rerata pengalaman karies 9,29 ± 4,84, kategori sedang 6,20 ± 4,49 dan
kategori baik 3,00 ± 3,32. Secara statistik menunjukkan ada hubungan bermakna
antara pola makan selingan dengan pengalaman karies dengan nilai kemaknaan
p=0,003 (Tabel 13). Hasil statistik menunjukkan semua variabel frekuensi, durasi,
jenis dan bentuk makanan selingan memiliki risiko yang tinggi terhadap terjadinya
Berdasarkan hasil penelitian makin tinggi frekuensi minum minuman manis
maka makin tinggi rerata pengalaman karies, rerata deft tertinggi terdapat pada anak
dengan frekuensi minum minuman manis ≥4 kali/hari yaitu 13,00 ± 5,66, frekuensi
2-3 kali/hari 10,41 ± 5,22 dan frekuensi 0-1 kali/hari 7,28 ± 4,42. Variabel frekuensi
minum minuman manis menunjukkan hubungan bermakna dengan pengalaman
karies, p=0,003 (Tabel 14), sesuai dengan teori frekuensi dan waktu konsumsi
makanan dan minuman karbohidrat memicu karies.12,14
Hasil penelitian menunjukkan makin lama durasi anak minum minuma manis,
makin tinggi rerata pengalaman karies. Rerata deft tertinggi pada anak untuk durasi
minum minuman manis >30 menit 13,13 ± 4,63 , durasi 21-30 menit 10,94 ± 4,29
dan durasi 1-20 menit 7,54 ± 4,63. Secara statistik ditemukan ada hubungan yang
bermakna antara durasi minum minuman manis dengan pengalaman karies, p=0,001
(Tabel 14), hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan durasi minum minuman
manis yang lama meningkatkan terjadinya karies.12
Berdasarkan hasil penelitian terlihat anak yang tidak minum minuman manis
dengan botol pada malam hari memiliki rerata deft 8,39 ± 4,89, rerata deft minum
minuman manis dengan botol 1-3 hari/minggu adalah 11,33 ± 6,66 dan ≥4
hari/minggu 17,00 ± 0,00. Hasil menunjukkan peningkatan rerata deft bagi ketiga
kelompok tersebut, sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa konsumsi sukrosa
pada malam hari dapat meningkatkan risiko karies karena berkurangnya aliran saliva
dan efek self cleansing rongga mulut sehingga substrat akan menempel di rongga
mulut,10,15 walaupun secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara minum minuman manis dengan botol pada malam hari dengan pengalaman
karies, p=0,140 (Tabel 14). Kemungkinan ini disebabkan distribusi sampel tidak
merata yaitu anak yang tidak minum minuman manis dengan botol yaitu 96,2%
sedangkan anak yang minum minuman manis dengan botol 1-3 kali/minggu hanya
2,9% dan ≥4 kali/minggu 1,0%.
Rerata deft pola minum minuman manis tertinggi pada kategori sedang yaitu
sebesar 12,58 ± 4,52 (18,1%), kategori baik 7,77 ± 4,75 (81,9%) dan tidak
hubungan yang bermakna antara pola minum minuman manis dengan pengalaman
karies dengan nilai kemaknaan p=0,000 (Tabel 15). Pada kategori pola minum
minuman manis hanya variabel frekuensi dan durasi yang memiliki hubungan yang
bermakna, ini berarti frekuensi minum minuman manis yang tinggi dan durasi
mengonsumsi yang lama dapat memicu meningkatnya risiko karies.
Hasil penelitian terlihat rerata deft terendah pada anak yang minum dengan
frekuensi 0-2 kali/hari yaitu sebesar 8,40 ± 5,10 (80,0%), frekuensi 3-4 kali/hari
9,10 ± 4,64 (19,0%) dan tertinggi pada frekuensi ≥5 kali/hari 10,00 ± 0,00 (1,0%).
Secara statistik ditemukan tidak adanya hubungan antara frekuensi minum susu
dengan pengalaman karies, p=0,821 (Tabel 16), hal ini sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh Kris Paulus yang menyatakan anak yang paling tinggi terjadi karies
adalah anak yang minum susu lebih dari 3 kali sehari.24
Hasil penelitian didapat rerata deft tertinggi pada anak yang minum susu
dengan durasi >30 menit yaitu 12,59 ± 5,52 (16,2%), durasi 21-30 menit 8,71 ± 4,95
(40,0%) dan durasi 1-20 menit 6,91 ± 3,90 (43,8%). Variabel durasi minum susu
secara statistik menunjukkan ada hubungan bermakna dengan pengalaman karies,
p=0,000 (Tabel 16), sesuai dengan teori yang menyatakan durasi kontak susu dengan
permukaan gigi yang lama di rongga mulut meningkatkan keparahan karies.10
Anak yang tidak minum susu dengan botol pada malam hari memiliki rerata
deft sebesar 7,33 ± 4,61 (43,8%),rerata deft meningkat pada anak yang minum susu
dengan botol 1-3 hari/minggu yaitu sebesar 11,58 ± 5,76 (11,4%). Hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa ada perbedaan antara anak yang minum susu
dengan botol dan tanpa botol. Secara statistik ditemukan adanya hubungan yang
bermakna antara minum susu dengan botol pada malam hari dengan pengalaman
karies (p=0,021), sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa prevalensi rampan
karies yang tinggi disebabkan oleh penggunaan susu botol yang terlalu lama.10,15 Variabel minum susu menggunakan botol pada malam hari 1-3 kali/minggu sebanyak
(11,4%), dari jumlah tersebut sebanyak 5,7% berusia 48-59 bulan, 4,8% berusia
60-71 bulan dan 1,0% berusia 37-47 bulan, hal ini sesuai dengan teori bahwa prevalensi