• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan dengan memberikan lembar pertanyaan mengenai perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut yang meliputi perilaku menyikat gigi sehari-hari, kebiasaan makan jajanan, dan kunjungan ke dokter gigi. Kemudian dilakukan pemeriksaan DMFT dan OHI-S. Hasil yang diperoleh, jumlah siswa yang termasuk kategori perilaku baik dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut sebanyak 54 orang, kategori perilaku sedang sebanyak 82 orang, dan kategori perilaku buruk sebanyak 94 orang.

Jumlah siswa dengan kategori perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut baik paling banyak pada siswa kelas IX yaitu 27 orang. Sedangkan jumlah siswa dengan kategori perilaku buruk paling banyak pada siswa kelas VIII yaitu 40 orang. Anak dengan kategori baik pada kelas VII hanya sebanyak 9 orang. (Tabel 4) Pengetahuan kesehatan gigi seseorang dapat berhubungan dengan status karies giginya. Seseorang dengan pengetahuan tinggi juga belum cukup untuk mempengaruhi status karies giginya menjadi rendah apabila pengetahuan tersebut belum diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga semakin tinggi tingkatan kelas siswa, maka diharapkan akan lebih baik pula perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulutnya.

Hasil penelitian, diperoleh persentase kejadian karies pada SMP Yayasan Nurul Hasanah sebesar 80,44% (Tabel 5). Prevalensi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi karies anak sekolah dasar berdasarkan penelitian

Situmorang N. (2008) di beberapa kecamatan di Kota Madya Medan yaitu sebesar 74,69%.31 Berbeda pula pada penelitian Warni L (2009) di SD wilayah kecamatan Delitua Kabupaten Deli Serdang dengan prevalensi karies sebesar 74%.1 Tingginya prevalensi karies pada penelitian ini, dapat disebabkan oleh karena subjek pada penelitian ini adalah murid SMP, sedangkan subjek penelitian oleh Situmorang N. dan Warni L. adalah murid SD. Penelitian epidemiologis menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya umur.5

Rata-rata DMFT siswa SMP Yayasan Nurul Hasanah adalah sebesar 2,44 yang termasuk kedalam tingkat keparahan karies rendah menurut WHO (1,2-2,6). Diperoleh rata-rata DMFT pada siswa dengan kategori perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut baik sebesar 0,50 yang termasuk tingkat keparahan karies sangat rendah menurut WHO (0,0-1,1), kategori perilaku sedang sebesar 1,79 dan siswa dengan kategori perilaku buruk sebesar 4,12 yang termasuk tingkat keparahan karies sedang menurut WHO (2,7-4,4).18

Decay (D) rata-rata siswa SMP Nurul Hasanah masih lebih tinggi dibandingkan dengan filling (F). Hal ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya kesadaran anak terutama orang tua untuk melakukan penambalan gigi pada gigi anak yang berlubang agar tidak mengakibatkan kerusakan yang lebih lanjut ataupun dicabut. Diperlukan upaya-upaya untuk memotivasi murid agar pengetahuan kesehatan gigi dan mulut yang dimilikinya dapat diwujudkan dalam perilaku kesehatan giginya sehari-hari.

Dapat dilihat dengan jelas bahwa semakin buruk perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut, maka akan semakin tinggi pula tingkat keparahan karies

yang terjadi. Berbeda dengan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2001 yang menunjukkan indeks DMFT pada anak usia 12 tahun sebesar 1,1.1 Selain itu juga pada penelitian epidemiologi karies gigi di sekolah Chandigarh, India selama 25 tahun terakhir, diperoleh rata-rata DMFT 3,03±2.52 and 3.82 ± 2.85 pada anak berusia 12-15 tahun.32 Perbedaan rata-rata DMFT yang diperoleh dapat disebabkan oleh metode penelitian yang dipakai berbeda. Penelitian ini hanya terbatas pada satu sekolah SMP, sedangkan penelitian oleh SKRT dan penelitian epidemiologis karies di Chandigarh melibatkan banyak sekolah, sehingga populasi dan sampel yang digunakan cukup besar dan metode yang digunakan juga berbeda.

Pada penelitian ini juga diperoleh rata-rata indeks oral higiene siswa SMP Yayasan Nurul Hasanah sebesar 1,8363 yang termasuk kriteria sedang dan hampir mendekati kriteria jelek. Dengan nilai rata-rata OHIS 1,5115 pada siswa dengan kategori perilaku baik; 1,4022 pada siswa kategori perilaku sedang; dan 2,4015 pada siswa kategori perilaku buruk. Indeks oral hygiene 1,8363 pada penelitian ini termasuk kriteria sedang, yang lebih baik dibandingkan dengan OHIS pada penelitian Essie O. dan Yati R. (2001) pada anak Panti Karya Pungai di Binjai usia 6-14 tahun yaitu 2,37.33 Perbedaan ini dapat disebabkan oleh penelitian yang dilakukan pada anak panti Karya Pungai di Binjai masih pada periode gigi bercampur, sedangkan penelitian ini pada periode gigi tetap.

Pada penelitian ini diuji hubungan antara perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dengan DMFT (pengalaman karies) dan dengan indeks oral hygiene. Diperoleh nilai p = 0,000 (Tabel 8) pada hubungan perilaku dengan DMFT dan nilai p = 0,000 (Tabel 9) pada hubungan perilaku dengan indeks oral hygiene. Oleh karena

p < 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa paling tidak terdapat hubungan antara perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dengan DMFT dan OHIS. Perilaku merupakan realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi perbuatan nyata. Perilaku juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

Secara aplikatif, terdapat hal yang berbanding terbalik antara perilaku terhadap karies gigi. Terutama yang sangat berpengaruh adalah perilaku dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Semakin baik perilaku seseorang dalam memelihara kesehatan gigi dan mulutnya, maka semakin rendah pula status kariesnya. Semakin buruk perilakunya dalam memelihara kesehatan gigi dan mulutnya, maka semakin tinggi pula status kariesnya.1 Begitu juga sama halnya dengan indeks oral higiene, juga berbanding terbalik dengan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut.

Untuk mengetahui kelompok yang memiliki hubungan atau yang memiliki perbedaan, maka dilakukan analisis post hoc. Hasil dari analisis post hoc tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiga kelompok kategori perilaku, yaitu kategori perilaku baik-sedang, baik-buruk, dan sedang-buruk memiliki perbedaan yang bermakna (p = 0,000) terhadap DMFT. Hasil dari analisis post hoc antara hubungan ketiga kelompok kategori perilaku dengan indeks oral hygiene juga memiliki perbedaan yang bermakna, meskipun diperoleh nilai p = 0,491 pada kelompok kategori perilaku baik dan sedang, namun tetap menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna.

Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut yang diperoleh melalui kuesioner meliputi perilaku menyikat gigi anak sehari-hari, perilaku makan jajanan dan kunjungan ke dokter gigi. Ketiga hal tersebut dianggap cukup berperan terhadap pengalaman karies dan indeks oral hygiene anak. Hasil uji statistik perilaku yang diukur menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Namun juga ditemukan tidak terdapatnya hubungan yang bermakna pada salah satu perilaku memelihara kesehatan gigi dan mulut yaitu kebiasaan suka makan sayur atau buah (p = 0,907 dan p = 0,971) (Tabel 10). Diperoleh 203 anak (88,26%) yang suka makan buah atau sayur. Artinya, hampir semua anak baik kategori perilaku baik, sedang, maupun buruk suka makan sayur atau buah.

Sama halnya dengan Penelitian epidemiologik Savara dan Suher dalam studi anak-anak di AS, tidak menemukan hubungan antara karies gigi dan frekuensi konsumsi buah. Setelah ditinjau secara ekstensif, bukti menghubungkan konsumsi buah untuk karies gigi, Rugg-Gunn menyimpulkan, buah segar tampaknya memiliki tingkat kariogenik yang rendah. Dia juga menyimpulkan dengan bukti-bukti baru, peningkatan konsumsi buah segar seperti jeruk, nenas dan lain-lain yang berserat untuk menyingkirkan gula dalam makanan dan bersifat self cleansing yang kemungkinan akan menurunkan tingkat karies gigi.26

Hasil uji statistik terdapat 137 orang (59,56%) yang menjawab ya pada perilaku menyikat gigi dua kali sehari dan 93 orang (40,44%) yang menjawab tidak. Kebiasaan menyikat gigi setelah sarapan pagi hari telah dilakukan oleh 30,87% anak dan kebiasaan menyikat gigi malam hari sebelum tidur telah dilakukan oleh 35,65% anak. Hal ini menunjukkan jumlah siswa SMP Nurul Hasanah yang menyikat gigi

pada waktu yang tepat masih tergolong rendah. Pengetahuan anak tentang waktu menyikat gigi masih belum tepat. Hal ini dapat disebabkan oleh kebiasaan anak yang menyikat gigi pada waktu yang salah, yaitu pada waktu mandi pagi sebelum sarapan, dan waktu mandi sore. Sulit bagi anak untuk mengubah kebiasaannya, sehingga dalam hal ini sangat diperlukan peran orang tua mendidik anak dalam pemeliharaan kesehatan gigi sejak kecil.

Penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Warni L (2009) yang memiliki 83,3% responden dengan waktu menyikat gigi yang tepat.1 Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000 yang berarti adanya hubungan yang bermakna antara frekuensi dan waktu menyikat gigi dengan DMFT dan OHI-S.

Dalam hal lamanya menyikat gigi yaitu 2 sampai 3 menit, juga diperoleh hubungan bermakna dengan DMFT (p = 0,000) dan dengan OHIS (p = 0,032). Rateitschak dkk dan Kuroiwa mengatakan tujuan penyikatan adalah menghilangkan plak bakteri, dan selama ini tujuan tersebut dapat diterima melalui beberapa metode atau apa yang dikerjakan.34 Berdasarkan metode menyikat gigi yaitu dengan teknik roll diperoleh juga hubungan yang bermakna dengan DMFT dan OHIS, sebanyak 138 anak (60%) memakai teknik roll saat menyikat gigi.

Pada penelitian Vipeholm, yang menjadi faktor utama penyebab tingginya prevalensi karies gigi adalah frekuensi mengkonsumsi gula. Konsumsi makanan jajanan yang mengandung gula termasuk faktor penting pencetus terjadinya karies. Hasil uji statistik penelitian ini menunjukkan 54,4% anak yang suka jajan, sehingga diperoleh adanya hubungan bermakna antara kebiasaan anak suka jajan dengan DMFT (p = 0,000) dan OHIS (p = 0,004). Penelitian Holbrook,et al pada anak usia 5

tahun di Iceland, Eropa juga menemukan risiko anak yang mengkonsumsi gula lebih dari empat kali sehari memikili karies yang tinggi (p < 0,001). Sama halnya dengan penelitian Holt pada anak prasekolah di Inggris, menemukan tingginya indeks DMFT (DMFT 1,69) pada anak yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi jajanan bergula sebanyak empat kali atau lebih dalam sehari, dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi gula sebanyak satu kali dalam sehari (DMFT 1,01).26

Sebanyak 12 anak (22,22%) dengan kategori perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut baik pernah mengalami sakit gigi, 67 anak (81,71%) dengan kategori perilaku sedang pernah mengalami sakit gigi, dan 91 anak (96,81%) dengan kategori perilaku buruk pernah mengalami sakit gigi. Artinya, seluruh anak pernah mengalami sakit gigi. Hasil uji statistik ditemukan bahwa ada hubungan bermakna antara pengalaman karies dengan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (p = 0,000).

Begitu juga halnya dengan perilaku kunjungan ke dokter gigi jika mengalami sakit gigi, hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (p = 0,000), dengan jumlah anak yang berkunjung ke dokter gigi sebanyak 180 orang (78,26%) dan sisanya 50 orang (21,74%) membeli obat sendiri dan tidak melakukan apa-apa untuk mengobati sakit gigi tersebut dengan alasan takut ke dokter gigi, faktor biaya, jarak rumah dengan dokter gigi atau toko obat jauh, dan termasuk faktor malas .

Hasil penelitian diperoleh 95,65% anak tidak melakukan kunjungan ke dokter gigi setiap enam bulan sekali, dengan nilai p = 0,000 yang artinya kunjungan ke dokter gigi setiap enam bulan sekali tetap memiliki hubungan yang bermakna dengan

DMFT, namun tidak memiliki hubungan bermakna dengan OHI-S (p = 0,069). Diketahui bahwa kesadaran anak terhadap kunjungan ke dokter gigi masih rendah, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti kurangnya pengetahuan orang tua terhadap kesehatan gigi dan mulut anak maupun faktor sosial ekonomi. Tingkat pendidikan orang tua juga tidak secara langsung mempengaruhi status karies gigi anaknya, tetapi peran ibu sangat penting dalam membina perilaku kesehatan gigi anak sejak dini.

Menurut rekomendasi dari The American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD) dan American Dental Association (ADA), seorang anak harus mulai melakukan kunjungan ke dokter gigi setelah gigi sulung pertamanya erupsi dan tidak boleh lebih dari usia 12 bulan. Rekomendasi ini ditujukan untuk mendeteksi dan mengontrol berbagai patologi gigi, terutama karies gigi yang merupakan penyakit mulut yang paling relevan pada anak-anak dan dapat terjadi segera setelah gigi erupsi. Selain itu, rekomendasi ini juga didasarkan pada penetapan dasar pendidikan preventif dan perawatan gigi pada anak untuk mendapatkan kesehatan mulut yang optimal pada masa kanak-kanak hingga dewasa.28

Dokumen terkait