• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada penelitian ini didapati jumlah sampel sebanyak 360 orang dengan distribusi jumlah sampel yang merata dimana didapati sebanyak 51-52 orang (14,2%- 14,4%) pada masing-masing rentang usia. Sementara untuk karakteristik jenis kelamin, sampel yang paling banyak dijumpai adalah laki-laki yaitu 182 orang (50,6%) dan perempuan 178 orang (49,4%) (Tabel 2).

Rerata deft kelompok I (1,45±1,40), II (4,67±3,33) dan III (5,37±3,83) lebih besar dibandingkan dengan rerata DMFT kelompok I (1,33±1,31), kelompok II (2,26±2,31) dan kelompok III (1,42±1,89). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Sohi RK (2012) yang menunjukkan rerata deft (1,8 ± 2,1) lebih besar dari rerata DMFT (0,5 ± 0,6).32 Hal ini dapat terjadi karena gigi permanen memiliki kerentanan yang lebih rendah terhadap karies dibandingkan dengan gigi sulung. Kandungan kalsium pada gigi sulung lebih rendah dibandingkan dengan gigi permanen dan perbedaan struktur juga dapat meningkatkan kerentanan pada gigi sulung selama kurangnya tindakan pencegahan.32

Jumlah decay (D/d) pada status DMFT/deft pada penelitian ini terlihat mendominasi dibandingkan dengan jumlah fillimg (F/f) dan Missing/extracted (M/e) (Tabel 3). Banyaknya jumlah karies pada gigi sulung maupun gigi permanen dibandingkan dengan jumlah filling (F/f) menunjukkan bahwa minimnya kesadaran untuk melakukan perawatan apabila ada gigi yang karies. Pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi anak ditentukan oleh interaksi dari tiga komponen yaitu anak sebagai penerima layanan, petugas kesehatan sebagai motivator dan orang tua sebagai motivator dan pengambil keputusan dalam perawatan gigi anak. Rendahnya perawatan kesehatan gigi dan mulut pada anak dapat disebabkan oleh perilaku anak yang takut untuk dirawat dan partisipasi orang tua dalam perawatan kesehatan gigi dan mulut anak yang masih rendah. Rendahnya partisipasi berkaitan dengan kurangnya pengetahuan orang tua tentang karies gigi dan perawatannya, kurangnya

35

sikap orang tua terhadap upaya perawatan kesehatan gigi dan mulut serta kurangnya motivasi orang tua untuk memeriksakan gigi dan mulut anak. Kurangnya partisipasi ini berkaitan dengan tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya penyuluhan tentang kesehatan gigi dan mulut oleh petugas kesehatan.33

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata PUFA+pufa yang dimiliki seorang anak sebesar 3,21±1,97, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar anak usia 6-12 tahun memiliki sekitar 2-5 gigi yang mengalami karies mencapai pulpa (Tabel 3). Hasil penelitian Dua R menunjukkan PUFA+pufa yang lebih rendah yaitu 2,12±1,15 pada anak usia 4-14 tahun, berarti sekitar 3 gigi yang mengalami karies mencapai pulpa.28

Rerata nilai P dan p (karies melibatkan pulpa) terlihat mendominasi pada indeks PUFA/pufa dengan nilai sebesar 0,33 dan 2,71. Hal ini sejalan dengan penelitian Monse et al (2010) bahwa P/p menjadi komponen yang mendominasi dari keseluruhan jumlah PUFA/pufa dengan masing-masing jumlah P dan p sebesar 0,8 dan 2,9,6 dengan demikian sangat diperlukan motivasi dari orang tua agar anaknya dapat melakukan kontrol secara berkala ke dokter gigi agar apabila ditemukan gigi yang karies, segera dilakukan penambalan sebagai bentuk pencegahan agar karies tidak berlanjut.

Hasil uji pada penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan indeks massa tubuh pada kelompok anak tanpa PUFA/pufa dengan anak yang memiliki PUFA/pufa dengan nilai yang signifikan yaitu p<0,001. Indeks massa tubuh dibawah normal terbesar terdapat pada kelompok III yaitu anak yang memiliki PUFA/pufa sebesar 62,60%, diikuti oleh kelompok II sebesar 48,25% dan kelompok I 17,07% (Tabel 4). Hasil ini sesuai dengan peneltian Benzian et al (2011) yaitu anak dengan infeksi odontogenik (pufa/PUFA) berisiko mengalami penurunan IMT.8 Mishu et al (2013) juga melaporkan bahwa setiap anak setidaknya memiliki 1 atau lebih gigi baik sulung ataupun permanen yang tidak dirawat mempunyai berat badan dibawah normal.29 Hal ini mungkin disebabkan karena anak yang mempunyai skor pufa/PUFA akan merasakan rasa sakit sehingga menyebabkan kondisi yang buruk, misalnya asupan makanan berkurang karena anak yang tidak mau makan dapat memengaruhi asupan

36

gizinya sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan yang akan memengaruhi penurunan berat badan anak, selain itu anak menjadi susah tidur, kegiatan menjadi terbatas, frekuensi kehadiran anak di sekolah menurun dan mengganggu konsentrasi belajar. Keadaan ini apabila dibiarkan akan dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup anak.19,29

Hasil penelitian ini mendapatkan korelasi antara PUFA+pufa dengan indeks massa tubuh anak (p<0,001), dengan koefisien korelasinya -0,533 memiliki hubungan keeratan sedang (Tabel 5). Korelasi negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi skor PUFA/pufa seseorang, maka semakin rendah indeks massa tubuhnya. Hasil ini sejalan dengan penelitian Dua R (2014) bahwa terdapat korelasi antara PUFA+pufa dengan indeks massa tubuh (p=0,009) dengan koefisien korelasi -0,259. Hal ini terjadi karena adanya rasa sakit yang timbul akibat dari gigi yang tidak dirawat sehingga berkurangnya asupan makanan dan infeksi odontogenik, disamping itu juga mengakibatkan pelepasan sitokin yang mungkin berdampak pada pertumbuhan.28

Hasil berbeda ditemukan pada penelitian Nabila (2015) yaitu tidak terdapat korelasi antara PUFA/pufa terhadap IMT. Hal ini dapat terjadi karena penyebab karies adalah multifaktorial, seperti umur, jenis kelamin, ras, dan sosial ekonomi. Penyebab gizi kurang juga dapat disebabkan oleh keadaan hygiene yang pada umumnya jelek disertai dengan penyakit kronis, gangguan hubungan antara orang tua dan anak juga dapat memengaruhi keadaan gizi yang dikaitkan dengan psikologis anak untuk menolak makanan karena faktor orang tua berpengaruh terhadap teknik pemberian makan.34

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa meningkatnya karies tanpa keterlibatan pulpa pada dua kelompok anak yang tidak memiliki PUFA/pufa (Tabel 4) akan berpengaruh terhadap menurunnya berat badan dengan nilai korelasi sebesar - 0,414 yang berarti memiliki hubungan yang sedang. Hasil ini sejalan dengan penelitian Alkarimi (2014) yang menunjukkan adanya hubungan antara menurunnya berat badan dengan jumlah karies yang banyak,35 sejalan juga dengan Cameron (2006) yang menyatakan bahwa anak-anak dengan jumlah karies yang banyak secara signifikan dijumpai berat badan dibawah normal.36

37

Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi skor PUFA/pufa, salah satunya adalah usia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata PUFA meningkat seiring bertambahnya usia yaitu usia 6-8 tahun memiliki rerata PUFA sebesar 0,04 sedangkan pada usia 9-12 tahun sebesar 0,58. Pada penelitian ini rerata pufa pada gigi sulung semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia yaitu pada usia 6-8 tahun rerata pufa sebesar 4,08 sedangkan usia 9-12 tahun rerata pufa sebesar 1,86, demikian juga dengan rerata PUFA+pufa pada usia 6-8 tahun sebesar 4,12 dan usia 9-12 tahun sebesar 2,49 (Tabel 6). Hal ini terjadi karena adanya pergantian gigi sulung sehingga pada usia 6-8 tahun, karies yang melibatkan pulpa pada gigi sulung lebih besar dibandingkan usia yang lebih tua.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Dua R (2014) pada anak usia 4-14 tahun yang menyatakan bahwa anak yang lebih muda memiliki rerata PUFA+pufa lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang lebih tua usianya.28 Penelitian Sudha (2005) pada anak 5-13 tahun juga menyatakan bahwa pengalaman karies anak usia 5-8 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan anak usia 9-13 tahun.37 Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran dan kebutuhan perawatan pada anak usia muda, sedangkan anak dengan usia yang lebih tua sudah menyadari bahwa pentingnya merawat gigi dan rutin ke dokter gigi.28 Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Karam (2014) yang menemukan bahwa jumlah PUFA+pufa lebih kecil pada anak usia 7-8 tahun yaitu sebesar 2,38 dibandingkan jumlah PUFA+pufa pada anak usia 9-12 sebesar 2,66.24

Faktor lain yang dapat memengaruhi proses berkembangnya karies adalah jenis kelamin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata PUFA+pufa perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan skor PUFA+pufa laki-laki, walaupun secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan dengan rerata skor PUFA+pufa pada perempuan sebesar 3,27 dan pada laki-laki sebesar 3,09 dengan p=0,655 (Tabel 7). Hasil ini sesuai dengan penelitian Benzian et al (2011) yang menyatakan bahwa rerata PUFA+pufa pada perempuan lebih tinggi yaitu 1,19 dibandingkan skor PUFA+pufa laki-laki yaitu 1,12 dengan p=0,30.8 Hal ini mungkin terjadi karena pola erupsi gigi, perempuan cenderung lebih dulu terjadi erupsi gigi dibandingkan laki- laki, sehingga gigi lebih lama terpapar dengan lingkungan rongga mulut, bakteri dan

38

substrat. Hal inilah yang mengakibatkan gigi anak perempuan akan lebih lama berhubungan dengan faktor risiko terjadinya karies.9,36

39

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan :

1. Indeks massa tubuh yang rendah lebih berisiko dimiliki oleh kelompok anak yang memiliki karies dengan keterlibatan pulpa dibandingkan kelompok anak dengan karies tanpa keterlibatan pulpa, tetapi semakin banyak karies tanpa keterlibatan pulpa yang dimiliki anak akan tetap memengaruhi indeks massa tubuhnya.

2. Didapat korelasi yang sedang antara rerata PUFA/pufa dengan rerata indeks massa tubuh dan antara rerata DMFT/deft dengan rerata indeks massa tubuh dengan masing-masing korelasi sebesar -0,533 dan -0.414.

3. Kelompok anak usia 6-8 tahun memiliki skor PUFA/pufa yang lebih tinggi dibandingkan kelompok anak usia 9-12 tahun.

4. Anak perempuan memiliki skor PUFA/pufa yang lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki.

6.2 Saran

1. Diharapkan peran orang tua dalam memotivasi, mengawasi dan mengontrol pemeliharaan kesehatan gigi anaknya, serta membawa anak ke dokter gigi 6 bulan sekali untuk pemeriksaan rutin.

2. Diharapkan partisipasi guru dalam melakukan pembinaan kesehatan gigi dan mulut serta dapat mendeteksi dini penyakit gigi dan mulut agar dapat melakukan rujukan bagi yang memerlukan.

3. Diharapkan pengelola program kesehatan dapat menyelengarakan UKGS sehingga dapat meningkatkan pendidikan kesehatan gigi dan pemeliharaan kesehatan gigi pada anak.

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karies Gigi dan Etiologinya

Karies gigi adalah kerusakan lokal dari jaringan keras gigi yang terbentuk akibat bakteri yang mengubah substrat karbohidrat menjadi asam. Hal ini menyebabkan pH di dalam rongga mulut turun, jika hal ini terjadi secara terus- menerus akan terlihat tanda-tanda dari demineralisasi pada jaringan keras gigi. Proses penyakit dimulai dari bakteri biofilm (plak gigi) yang menyelimuti permukaan gigi.9-11 Streptococcus mutans merupakan mikroorganisme etiologi utama dalam

penyebab karies, dengan Lactobacillus dan mikroorganisme lain yang berpartisipasi dalam perkembangan penyakit. Bukti terbaru menyebutkan bahwa jamur (Candida

albicans) sebagai salah satu dari berbagai mikrobiota pada mulut yang menyebabkan

karies.9,10

Karies gigi dapat dilihat pada mahkota (karies koronal), akar (karies akar) dan permukaan pit dan fissur pada gigi sulung dan gigi permanen. Hal ini dapat memengaruhi enamel, yang menyelimuti bagian luar dari mahkota; sementum, lapisan terluar dari akar; dan dentin, jaringan yang berada dibawah baik enamel dan sementum.9-11

Karies terjadi bukan karena satu kejadian saja seperti penyakit menular lainnya tetapi disebabkan serangkaian proses yang terjadi selama beberapa kurun waktu. Pada tahun 1960-an oleh Keyes dan Jordan (1995), karies dinyatakan sebagai penyakit multifaktorial yaitu adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab terbentuknya karies.11

Beberapa faktor etiologi karies adalah sebagai berikut:1,10,11 1. Gigi

Gigi adalah bagian tubuh yang terkeras dan terkuat dari anggota tubuh lainnya. Perbedaan gigi sulung dengan gigi permanen adalah struktur enamel dan dentinnya. Gigi sulung memiliki enamel yang lebih tipis dan kontak proksimalnya

7

lebih luas dibandingkan gigi permanen sehingga daerah proksimal lebih rentan terhadap karies dan menyebabkan penjalaran karies gigi sulung lebih cepat mengenai pulpa dibandingkan dengan gigi permanen.1,10,11

2. Saliva

Kemampuan saliva membersihkan secara mekanis dapat membuang debris makanan dan melepaskan mikroorganisme mulut. Saliva mempunyai kapasitas buffer yang tinggi sehingga dapat menetralisir asam yang diproduksi oleh bakteri plak pada permukaan gigi. Saliva kaya akan ion kalsium dan fosfor, ion ini penting untuk remineralisasi white spot dan juga berperan mengantarkan fluor.1,10,11

3. Diet

Terdapat hubungan karies dan karbohidrat. Karbohidrat paling kariogenik adalah sukrosa. Sukrosa mempunyai daya larut yang tinggi dan dapat berdifusi menjadi plak, sukrosa berperan dalam pembentukan polisakarida dan asam.1,10,11

4. Mikroflora (plak)

Plak gigi merupakan lapisan yang tidak berwarna lunak yang melekat pada permukaan gigi. Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies. Kariogenik Streptococcus menghasilkan glikan dari sukrosa dimana menambah kekuatan pada permukaan gigi yang menjadi sumber perkembangan plak.1,10,11

5. Waktu

Karies berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk karies berkembang menjadi suatu kavitas yang cukup bervariasi, diperkirakan 6-48 bulan.1,10,11

2.2 Prevalensi dan Pengalaman Karies

Prevalensi karies ditinjau dari data epidemiologi berbagai negara menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pada prevalensi karies. Peningkatan prevalensi karies melibatkan sebagian besar anak-anak, sama halnya dengan orang dewasa, pada gigi sulung, gigi permanen yang melibatkan koronal serta permukaan

8

Tidak ada geografis di dunia yang tidak terhindar dari karies. Hal ini dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, status sosial ekonomi dan semua kelompok usia. Sekitar 90% dari anak-anak sekolah di seluruh dunia mengalami karies dan menjadi

penyakit yang paling umum di negara-negara Asia dan Amerika Latin.13 Indeks

DMF-T di dunia rata-rata adalah 2,11 ( ± 1,32 ). Setengah dari negara - negara

tersebut, memiliki DMF-T 1,8.14 Menurut WHO 60-90 % anak sekolah di seluruh

dunia menderita karies gigi.2,15 Nepal pada tahun 2004 National Pathfinder Survey

menunjukkan bahwa 58% dari anak-anak sekolah berusia 5-6 tahun menderita karies gigi.15

Menurut RISKESDAS tahun 2013, sebanyak 24,8% anak usia 12 tahun di Indonesia memiliki masalah gigi dan mulut, terdapat 28,4% yang menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga medis gigi, sementara 71,6% lainnya tidak dilakukan perawatan.16 Penelitian Pontonuwu et al. menunjukkan bahwa indeks DMFT di Kota Tomohon Indonesia pada anak usia 6-12 tahun sebesar 3,5.17 Menurut SKRT tahun 2001 prevalensi karies gigi yang mencapai pulpa dan akar gigi pada murid SD kelas 2 sebesar 5,3%. Pengamatan 13 sekolah di Jakarta menemukan 55% anak kelas 1 SD memiliki gigi yang karies dengan rata-rata 2 gigi sulung per anak.4

2.3 Faktor Risiko Karies

Faktor risiko seseorang terkena karies sangat bervariasi seiring berjalannya waktu karena banyak faktor risiko yang memengaruhinya.9 Beberapa faktor yang dianggap sebagai faktor risiko dari karies adalah pengalaman karies, penggunaan fluor, oral hygiene, jumlah bakteri, saliva, pola makan dan status sosial ekonomi.1,9-11

1. Pengalaman Karies

Penelitian epidemiologi telah membuktikan adanya hubungan antara pengalaman karies dengan perkembangan karies di masa mendatang. Tingginya skor pengalaman karies pada gigi sulung dapat memprediksi terjadinya karies pada gigi permanennya.1,9-11

9

2. Penggunaan Fluor yang Cukup

Tujuan penggunaan fluor adalah untuk melindungi gigi dari karies. Fluor bekerja dengan cara menghambat metabolisme bakteri plak yang dapat memfermentasi karbohidrat melalui perubahan hidroksil apatit pada enamel menjadi fluor apatit sehingga menghasilkan enamel yang lebih tahan terhadap asam sehingga dapat menghambat proses demineralisasi dan meningkatkan remineralisasi yang merangsang perbaikan dan penghentian lesi karies1,9-11

3. Oral Hygiene

Salah satu komponen dalam pembentukan karies adalah plak. Insidens karies dapat dikurangi dengan melakukan penyingkiran plak secara mekanis. Peningkatkan

oral hygiene dapat dilakukan dengan pemeriksaan gigi secara teratur untuk

membantu mendeteksi dan memonitor masalah gigi yang berpotensi menjadi karies.1,9-11

4. Pola Makan

Mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat, menyebabkan beberapa bakteri penyebab karies akan mulai memproduksi asam sehingga terjadi demineralisasi. Diantara waktu makan, saliva akan bekerja menetralisir asam dan membantu proses remineralisasi. Seringnya mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung karbohidrat, maka enamel gigi tidak akan mempunyai kesempatan untuk melakukan remineralisasi sehingga terjadi karies.1,9-11

5. Sosial ekonomi

Ada dua faktor sosial ekonomi yaitu pekerjaan dan pendidikan. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan sehingga memengaruhi perilakunya untuk hidup sehat. Menurut Tirthakar pendidikan adalah faktor kedua terbesar dari faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi status kesehatan. Penelitian Paulander, Axelsson dan Lindhe (2003) melaporkan bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi berisiko rendah terkena karies daripada seseorang dengan tingkat pendidikan rendah.1,9-11

10

6. Usia

Penelitian epidemiologis menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya usia. Pada periode gigi bercampur, molar satu paling sering terkena karies. Pada periode pubertas terjadi perubahan hormonal yang dapat menimbulkan pembengkakan gusi sehingga kebersihan mulut kurang terjaga dan menyebabkan presentase karies lebih tinggi.1,9-11

7. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai pengalaman karies yang lebih tinggi daripada pria. Berdasarkan pola erupsi gigi, wanita cendrung lebih dulu terjadi erupsi gigi dibandingkan pria, sehingga gigi lebih lama terpapar dengan lingkungan rongga mulut, bakteri dan substrat.1,9-11,37

2.4 Dampak Karies Tidak Dirawat

Karies gigi merupakan masalah kesehatan masyarakat global, terutama pada anak-anak. Kebanyakan karies di negara berkembang tidak dilakukan perawatan. Karies yang tidak dirawat, dapat menyebabkan infeksi bakteri berkembang melalui dentin dan menimbulkan peradangan pada pulpa dan akan menimbulkan rasa sakit. Gigi yang tidak rawat, dapat menyebabkan kematian pulpa, serta proses radang berlanjut sampai ke tulang alveolar. Beberapa masalah akan timbul pada karies yang tidak terawat, seperti pulpitis, ulserasi, fistula dan abses.5

a. Pulpitis

Pulpitis adalah proses radang pada jaringan pulpa gigi, yang pada umumnya merupakan kelanjutan dari proses karies. Jaringan pulpa terletak di dalam jaringan keras gigi sehingga bila mengalami proses radang, secara klinik sulit untuk menentukan seberapa jauh proses radang tersebut terjadi.5 Selama ini radang pulpa ditentukan dengan adanya keluhan rasa sakit yang sifatnya subyektif. Secara patofisiologik, pulpitis dibagi menjadi pulpitis reversibel dan pulpitis ireversibel, penentuan diagnosis pulpitis yang terpenting adalah jaringan pulpa tersebut masih dapat dipertahankan atau sudah tidak dapat dipertahankan lagi.18

11

b. Ulserasi

Ulserasi rongga mulut merupakan kondisi umum yang disebabkan oleh beberapa faktor, terutama trauma. Trauma tersebut dapat disebabkan kontaknya dengan sisa mahkota gigi atau akar yang tajam akibat proses karies gigi. Ulser traumatikus sering terjadi pada mukosa bukal atau labial dan pada tepi lidah. Ulser traumatikus biasanya terlihat sedikit mendalam dan oval, eritema pada awalnya terlihat di bagian tepi, bagian tengahnya berwarna abu-abu kuning. Apabila faktor trauma dihilangkan, ulser akan sembuh dalam waktu 2 minggu.5

c. Fistula

Abses yang berkelanjutan akan merusak tulang pendukung gigi sampai ke jaringan lunak disekitarnya, setelah mencapai jaringan lunak umumnya abses memasuki fase kronis dan rasa sakit akan berkurang. Sinus atau fistula akan terbentuk pada fase ini, menghubungkan rongga abses dengan permukaan kulit atau mukosa sebagai jalan keluar untuk drainase pus.5

d. Abses

Abses adalah tahap akut dari infeksi yang menyebar dari gigi non-vital melalui tulang alveolar ke jaringan lunak di sekitarnya. Abses terbentuk atas neutrofil, makrofag, dan debris nekrotik. Pemeriksaan klinis menunjukkan nodula yang membengkak, berwarna kuning kemerahan atau merah, yang hangat dan fluktuan apabila diraba. Gigi yang terlibat terasa nyeri jika diperkusi dan memberi respons abnormal atau tidak memberi respons terhadap panas, dingin atau pemeriksaan listrik pulpa.5

Konsekuensi dari karies yang tidak dirawat juga sering hadir sebagai keadaan darurat gigi di rumah sakit anak-anak. Karies yang tidak dirawat dapat memengaruhi kemampuan anak untuk makan dan kemudian mengganggu asupan nutrisi. Karies gigi yang parah dapat memengaruhi kualitas kemampuan hidup termasuk tidur. Penelitian menunjukkan bahwa karies yang tidak dirawat memiliki efek pada berat badan anak dan kesehatan umum mereka.19

12

2.4.1 Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk mengetahui prevalensi overweight dan obesitas pada tingkat populasi. IMT adalah indeks sederhana dari berat badan dibagi tinggi badan yang digunakan untuk mengklasifikasikan kurus, normal, kelebihan berat badan dan obesitas pada anak – anak maupun orang dewasa. Perhitungan IMT yang digunakan berupa berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi dalam meter (kg /m2).20

Berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No.1995/MENKES/SKXII/2010, pengukuran IMT mengacu pada standar antropometri WHO tahun 2005.21 Perhitungan IMT pada anak-anak dibagi berdasarkan usia dan jenis kelamin. Setelah IMT dihitung pada anak-anak dan remaja, kemudian hasilnya disesuaikan dengan tabel berdasarkan usia dan jenis kelamin dalam Z-score (Lampiran 1 dan 2 ). Z-score ini menggambarkan status IMT pada anak yang diklasifikasikan menjadi sangat kurus, kurus, normal, gemuk dan obesitas. Status kategori IMT dapat dilihat pada Tabel 1.21

Tabel 1. Kategori Indeks Massa Tubuh21

Kategori status berat badan Ambang batas (Z-score)

Sangat Kurus <-3 SD

Kurus -3 SD s/d <-2 SD

Normal -2 SD s/d 1 SD

Gemuk >1 SD s/d 2 SD

Obesitas >2 SD

Penelitian Benzian et al (2011) mengkategorikan IMT menjadi tiga yaitu dibawah normal, normal, dan diatas normal.8 Hal ini dikarenakan sedikitnya sampel obesitas dibandingkan kategori dibawah normal, normal dan di atas normal. Pada penelitian ini peneliti juga membagi IMT menjadi 3 kategori yaitu kurus, normal, dan gemuk.

13

2.5 Indeks Karies

Indeks adalah ukuran yang dinyatakan dengan angka dari keadaan suatu kelompok terhadap suatu penyakit. Indeks digunakan untuk mengukur derajat keparahan suatu penyakit. Data mengenai status karies didapat menggunakan indeks karies. Ada beberapa indeks karies yang sering digunakan seperti indeks DMF-T Klein dan PUFA.11

2.5.1 Indeks DMF-T/def-t Klein

Klein et al memperkenalkan indeks ini pada tahun 1938 untuk mengukur pengalaman karies seseorang. Indeks ini umumnya digunakan untuk gigi permanen, namun dapat juga digunakan untuk gigi sulung hanya dibedakan dengan pemberian kodenya saja. Kode DMF-T (decay, missing, filling tooth) untuk gigi permanen

Dokumen terkait