Beberapa isolat Trichoderma yang diteliti memiliki banyak kemiripan morfologi antar spesiesnya. Sifat plastisitas morfologi Trichoderma ini telah menyebabkan keraguan dalam menentukan spesies Trichoderma. Trichoderma asal tanah dan serasah yang diteliti berada dalam tiga seksi Trichoderma, yaitu seksi Longibrachiatum, seksi Pachybasium, dan seksi Trichoderma. Trichoderma spp. IPBCC 06.325, IPBCC 07.556, IPBCC 93.260 dan LIPIMC 0570 berkelompok dalam seksi Longibrachiatum sensu Druzhinina et al. (2005) (Gambar 3) bersama-sama T. reesei, T. saturnisporum, T. ghanense, T. effusum, T. konilangbra, T. sinensis, T. longibrachiatum, dan T. citrinoviride. Morfologi Trichoderma spp. IPBCC 06.325, IPBCC 07.556, dan IPBCC 93.260, LIPIMC 0570 mirip dengan spesies-spesies dalam seksi Longibrachiatum, seperti percabangan konidiofor tidak teratur, konidiofor primer yang panjang, sebagian besar konidiofor sekunder tidak bercabang dan fialid lebih jarang tetapi teratur. Dalam semua analisis pohon filogenetik, semua galur ini menunjukkan hubungan dekat dengan T. reesei QM.6A, kecuali isolat LIPIMC 0570 (Gambar 13 dan 15). Kedekatan karakter morfologi Trichoderma spp. ini dengan jelas signifikan dengan analisis filogenetiknya. Koloninya memproduksi pigmen kuning pada PDA, percabangan konidifor jarang, memiliki fialid interkaler, konidia agak bulat sampai ellips (Bisset 1991). Sebaliknya, Trichoderma sp. LIPIMC 0570 tidak memiliki pigmen kuning pada media PDA, dan percabangan konidiofor jarang, memiliki fialid interkalar dan konidia ellips agak sempit (Gambar 2H-I) yang menandakan kemiripan dengan T. longibrachiatum. Akan tetapi, analisis filogenetik molekuler tidak mendukung hubungan antara Trichoderma sp. LIPIMC 0570 dan T. longibrachiatum. Dalam semua pohon filogenetik yang dihasilkan dari penelitian ini, Trichoderma sp. LIPIMC 0570 membentuk garis keturunan yang berbeda dalam seksi Longibrachiatum (Gambar 3). Oleh karena itu, galur ini untuk sementara diberikan nama Trichoderma cf. Longibrachiatum dengan alasan bahwa secara morfologi mirip tetapi tidak berkerabat dekat secara molekuler. Analisis lebih lanjut menggunakan urutan RPB2 diperlukan untuk konfirmasi identitas galur Trichoderma sp. LIPIMC 0570.
Pada seksi Trichoderma, terdapat galur-galur LIPIMC 0566, LIPIMC 0568, LIPIMC 0571, dan IPBCC 13.1032. Semua galur-galur ini memiliki karakteristik morfologi yang mirip dengan spesies-spesies dalam seksi Trichoderma. Secara umum, kelompok ini memiliki morfologi dengan konidiofor yang sempit dan agak bergelombang, fialid sering berpasangan, dan dalam satu rangkaian fialidnya jarang lebih dari tiga. Karakteristik morfologi ini merupakan ciri khusus dari spesies dalam seksi Trichoderma sensu Bissett (1991a). Secara rinci, karakteristik
22
morfologi Trichoderma sp. LIPIMC 0566 lebih dekat dengan T. atroviride berdasarkan bentuk percabangan konidiofornya. Karakter ini berbeda dari Trichoderma sp. LIPIMC 0568 yang mirip dengan T. asperellum dengan konidiofor bercabang simetris dan konidia berwarna hijau gelap. Karakteristik galur LIPIMC 0571 mirip dengan T. ovalisporum, yaitu memiliki fialid interkaler yang jelas dibandingkan T. atroviride dan T. asperellum. Selain itu, pertumbuhan koloni LIPIMC 0571 lebih cepat dari LIPIMC 0566 dan LIPIMC 0568. Isolat lainnya pada seksi Trichoderma ini yaitu IPBCC 13.1032 secara morfologi mirip dengan T. ovalisporum karena menghasilkan 2-4 fialid interkaler dari konidiofor primer dan konidianya berbentuk bulat (Gambar 2 I-K). Namun, pohon filogenetik dari ITS, tef α-1, dan kombinasinya tidak cukup untuk menentukan identitas galur ini. Oleh karena itu, galur ini sementara diidentifikasi sebagai Trichoderma cf. ovalisporum sampai dilakukannya analisis tambahan dengan sekuen dari gen RPB2.
Pohon filogenetik dari ITS, tef α-1, dan kombinasinya juga menunjukkan bahwa spesies-spesies yang berada dalam seksi Pachybasium menunjukkan hubungan kekerabatan parafiletik seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh Druzhinina et al. (2005) dan Samuels (2006). Seksi Pachybasium telah diakui sebagai kelompok yang paling besar di antara kelompok taksonomi Trichoderma lainnya berdasarkan analisis molekuler dari daerah ITS (Kindermann et al. 1991). Beberapa penelitian lainnya yang melibatkan analisis wilayah gen lain seperti tef α-1 dan RPB2, juga melaporkan bahwa seksi Pachybasium adalah parafiletik (Kindermann et al.1991; Druzhinina et al. 2005; Samuels 2006; Druzhinina & Kubicek 2005). Secara umum, seksi Pachybasium memiliki ukuran konidiofor yang lebih lebar dibandingkan dengan ukuran konidiofor pada seksi lainnya, memiliki postula yang kompak, fialid yang bulat dan pendek, serta membentuk rangkaian fialid yang bergerombol (Bissett 1991).
Beberapa galur yang termasuk dalam seksi Pachybasium, memiliki kemiripan dengan T. harzianum atau T. tawa. Trichoderma sp. LIPIMC 0152, LIPIMC 0548, LIPIMC 0564, LIPIMC 0572, LIPIMC 0573, IPBCC 07.546, IPBCC 07.547, IPBCC 08.605, IPBCC 08.606, IPBCC 99.300, dan IPBCC 13.1034, secara morfologi mirip dengan T. harzianum dengan fialid yang membentuk rangkaian dengan ukuran 14-16 × 3-3.2 μm, permukaan konidia halus, ellipsoidal (5.2-6 × 3.5-7 μm) (Bisset 1991; Chaverri et al. 2003). Sementara itu, Trichoderma LIPIMC 0384, LIPIMC 0569, IPBCC 07.545, IPBCC 13.1031, dan IPBCC 13.1033 yang berbeda dari T. harzianum dengan memiliki ukuran fialid lebih kecil (1.5-5 × 2-3 μm), ampulliform dan konidia agak bulat (1.8-3.7 × 2.5-2.9 μm) (Bisset 1991; Chaverri et al. 2003). Karakteristik morfologi ini adalah khas T. tawa dan ditandai dengan ukuran fialid yang lebih kecil (3.5-7 × 2.5-3.8 μm), ampulliform dan konidia agak bulat (2.8-3.2 × 2.5-2.8 μm) (Chaverri et al.2003).
Hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa sekuen ITS tidak cukup untuk identifikasi Trichoderma sampai dengan tingkat spesies. Daerah gen tef α-1 berguna dalam penentuan spesies Trichoderma ke tingkat spesies. Hal ini mungkin disebabkan oleh nukleotida di wilayah tef α-1 dari spesies-spesies dalam genus Trichoderma lebih bervariasi dibandingkan dengan wilayah rDNA ITS. Sebelum penelitian ini, Samuels (2006) dan Druzhinina & Kubicek (2005) juga melaporkan bahwa pemanfaatan gen penyandi protein tef α-1 bisa menyelesaikan
23
keterbatasan urutan ITS dalam membedakan spesies Trichoderma. Apabila tidak dapat diidentifikasi dengan pendekatan sekuen ITS dan tef α-1, sekuen dari daerah RNA polimerase subunit II (RPB2) dianjurkan untuk digunakan seperti yang telah dilaporkan oleh Chaverri & Samuels (2003). Oleh karena itu, dalam kasus Trichoderma sp. IPBCC 13.1032 dan LIPIMC 0570 gen RPB2 disarankan untuk digunakan sebagai daerah pengidentifikasi.
Antagonis Trichoderma
Uji antagonis secara in-vitro menunjukkan bahwa secara umum semua galur yang diuji memiliki kemampuan antagonisme terhadap Foc. Mekanisme antagonis Trichoderma secara umum terdiri atas beberapa cara yaitu kompetisi nutrisi, mikoparasit, antibiosis untuk menghambat pertumbuhan cendawan patogen (Howell 2002; Benitez et al. 2004). Pada penelitian ini mekanisme antagonis diuji melalui 2 cara yaitu kontak langsung dan senyawa volatil. Daya hambat dari masing-masing mekanisme antagonis beragam bergantung pada galurnya.
Uji Kultur Ganda
Sebanyak 25 galur menunjukkan kapasitas antagonis langsung pada kategori 3. Trichoderma pada kategori interaksi 3 ini mungkin memiliki mekanisme antagonis berupa mikoparasitisme dan produksi senyawa toksin yang menghambat pertumbuhan Foc. Penghambatan Trichoderma terhadap Foc pada uji antagonis melalui kontak langsung menunjukkan persentase yang bervariasi. Adanya perbedaan daya hambat yang bervariasi mungkin disebabkan oleh perbedaan sifat genetik masing-masing galur Trichoderma dalam kemampuan adaptasi terhadap lingkungan (Sinaga 1991; Suryanti et al. 2003), kompetisi dalam memperoleh makanan dan ruang (Sinaga 1991) dan menghasilkan senyawa antibiotik seperti gliotoksin dan viridin (Kurniawan et al. 2006). Bailey et al. (2008) juga telah melaporkan bahwa beberapa galur Trichoderma endofit pada Theobroma cacao memperlihatkan aktivitas mikoparasitisme yang bervariasi terhadap Moniliophthora roreri. Beberapa galur dapat mengkolonisasi biakan M. roreri sampai M. roreri tidak memperlihatkan kemampuan tumbuh lagi, tetapi galur lainnya hanya mengkolonisasi hingga 20% selama 5 minggu interaksi.
Pada penelitian ini uji kemampuan tumbuh Foc setelah dihambat oleh Trichoderma tidak dilakukan sehingga pengaruh fungistatik Trichoderma belum diketahui. Produksi senyawa antibiotik non volatil dapat diduga dari terjadinya penebalan hifa disekitar daerah kontak (Gambar 6D-H). Dennis dan Webster (1971) menyatakan adanya aktivitas antibiotika non-volatil dapat menyebabkan percabangan hifa lebih banyak dan terkadang lebih tebal dari hifa yang normal. Howell (2002) juga menyatakan bahwa umumnya Trichoderma melakukan aktivitas biokontrol dengan mekanisme mikoparasit yaitu diawali dengan hifa Trichoderma melingkar (membelit) hifa patogen dan kemudian melakukan penetrasi terhadap hifa R.solani sehingga pada akhirnya R.solani kehilangan sitoplasmanya dan lisis. Jash dan Pan (2007) juga mengamati interaksi hifa
24
Trichoderma yang tumbuh menutupi koloni Rhizoctonia solani dan menemukan bahwa Trichoderma membentuk suatu tonjolan bulat yang mempenetrasi hifa R. solani. Pada akhir interaksi, hifa R. solani kehilangan protoplasmanya dan mengalami lisis. Selain itu, Nurbailis et al. (2006) menjelaskan bahwa isolat Trichoderma spp. (S6sh dan T1sk) mempenetrasi kedalam hifa Foc, kemudian hifa Foc mengalami lisis yang ditandai dengan berubahnya warna hifa menjadi bening karena nutrisi selnya telah diambil oleh Trichoderma spp.
Galur-galur pada kategori 3 memiliki daya hambat pada kisaran yang luas yaitu 69.11%-85.63% dan kebanyakan galur-galur ini memiliki daya hambat antara 70-80%. Selain itu, sembilan galur lainnya memiliki daya hambat yang tinggi yaitu >80%. Dari sembilan galur tersebut terdapat satu galur yang memiliki kemampuan daya hambat yang tinggi yaitu T. tawa IPBCC 13.1031 (85.63%). Madhanraj et al. (2010) menyatakan bahwa Trichoderma spp. memiliki persentase daya hambat maksimum sebesar 85% dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen Fusarium solani. Penelitian Matroudi et al. (2009) juga menyatakan bahwa Trichoderma memiliki persentase daya hambat berkisar antara 85-95% dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen Sclerotinia sclerotiorum. Hasil-hasil uji in-vitro ini menunjukkan bahwa beberapa galur Trichoderma dari penelitian ini berpeluang menjadi biokontrol yang baik karena memiliki persentase daya hambat yang tinggi dalam menekan pertumbuhan cendawan patogen tanaman.
Interaksi kategori 4 yang dihasilkan oleh Trichoderma harzianum IPBCC 13.1034 dan T. harzianum IPBCC 07.547 menunjukkan bahwa Trichoderma mampu melakukan interaksi dengan Foc melalui mekanisme antagonis dengan menghancurkan dinding sel atau melalui kompetisi ruang. Proses terhambatnya pertumbuhan cendawan patogen tersebut dapat diketahui dari senyawa metabolit yang dikeluarkan oleh Trichoderma, misalnya senyawa β-1-3 glukanase dan chitinase penyebab eksolisis atau hancurnya dinding sel patogen (Nugroho et al. 2001). Senyawa yang sama mungkin juga dihasilkan oleh T. harzianum IPBCC 13.1034 dan T. harzianum IPBCC 07.547. Oleh karena itu, analisis metabolit sekunder terhadap kedua isolat ini perlu dilakukan.
Uji Senyawa Volatil Trichoderma
Semua galur Trichoderma yang diuji memiliki aktivitas senyawa volatil penghambat Foc. Pada uji senyawa volatil ini diketahui 16 galur memiliki persentase daya hambat terhadap Foc berkisar antara 30-40% pada media PDA. Amin et al. (2010) menguji kemampuan senyawa volatil Trichoderma dalam menghambat beberapa patogen tanaman dan menyatakan bahwa galur-galur T. viride serta galur T. harzianum mampu menghambat pertumbuhan miselium F. oxysporum sebesar 41.88% dan 35.36% pada media PDA. Selain itu, galur-galur T. harzianum dan T. viride juga mampu menekan pertumbuhan miselium Altenaria brassicicola dengan persentase daya hambat berturut-turut 34.73% dan 34.25%. Shaigan et al. (2008) melaporkan bahwa cendawan T. viride, T. harzianum dan T. longibrachiatum mampu memproduksi senyawa volatil yang dapat menghambat pertumbuhan miselium Sclerotium rolfsii setelah 72 jam pada media PDA dengan persentase daya hambat berturut 60.8%, 54.8% dan 54.4%.
25
Siddiquee et al.(2009), juga meneliti senyawa volatil Trichoderma bersifat antagonis terhadap cendawan patogen Ganoderma boninense di media PDA dan menyatakan bahwa Trichoderma menghasilkan senyawa metabolit sekunder yaitu 6-pentil-alpha-pyrone (6PAP) yang berperan dalam menghambat pertumbuhan cendawan G. boninense.
Beberapa peneliti lainnya juga menguji dan mengindentifikasi senyawa volatil Trichoderma. Kemampuan Trichoderma dalam menghasilkan senyawa volatil diduga sebagai reaksi pertahanan diri pada saat terjadi penyerangan dari cendawan patogen. Mumpuni et al. (1998) menyatakan bahwa T. harzianum menghasilkan CO2 dan etanol sebagai respon dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen A. bisporus. Selain itu, Trichoderma juga menghasilkan senyawa volatil yang tergolong etilen, aldehid, keton, hidrogen sianida dan peptide yang berperan sebagai senyawa penghambat pertumbuhan cendawan patogen (Vey et al. 2001; Ajith dan Lakshmidevi 2010; Schubert et al. 2008). Sudantha et al. (2011) menduga terhambatnya pertumbuhan koloni Foc terjadi karena cendawan Trichoderma mengeluarkan antibiotik atau alkaloid yang mudah menguap dan menyebabkan pertumbuhan patogen terhambat. Pada penelitian ini, uji senyawa penghambat yang dihasilkan oleh Trichoderma untuk menghambat pertumbuhan Foc masih belum diketahui. Oleh sebab itu, penelitian lanjutan masih diperlukan.