• Tidak ada hasil yang ditemukan

8.1 Pengaruh Luas Lahan Garapan terhadap Optimalisasi Produksi dan Pendapatan Usahatani

Berdasarkan hasil konversi produksi padi sawah dalam satu hektar pada usahatani milik sempit ternyata memberikan hasil produksi yang lebih besar dibandingkan dengan usahatani milik luas. Hal ini mungkin disebabkan karena usahatani milik sempit lebih banyak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang relatif lebih sungguh-sungguh dalam bekerja dibandingkan dengan tenaga kerja luar keluarga.

Usahatani milik sempit umumnya memiliki kondisi permodalan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan usahatani milik luas. Di sisi lain, usahatani milik sempit memiliki akses terhadap input dan perbankan yang sangat terbatas dibandingkan dengan usahatani milik lahan luas. Dengan demikian, usahatani milik sempit biasanya lebih hemat dalam penggunaan faktor- faktor produksi lainnya seperti obat pemberantas hama (pestisida) dan penggunaan faktor produksi tenaga kerja luar keluarga. Di samping lahan, faktor produksi tenaga kerja dalam keluarga merupakan asset yang dimiliki usahatani milik sempit, sehingga dalam menjalankan usahatani, petani akan berusaha memaksimumkan produktivitas tenaga kerja, khususnya tenaga kerja dalam keluarga. Hal ini adalah salah satu upaya yang ditempuh pada usahatani milik sempit dalam meminimumkan biaya yang harus dikeluarkan, mengingat keterbatasan kemampuan modal yang dimiliki.

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, petani lahan sempit relatif bersungguh-sungguh dalam berproduksi. Karena dengan keterbatasan lahan yang dimiliki mereka harus mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Tetapi tingkat ketekunan mereka untuk aktif dalam kegiatan penyuluhan maupun pelatihan yang sebenarnya dapat menambah pengetahuan mereka akan teknologi relatif rendah jika dibandingkan dengan petani lahan luas karena kesibukan petani lahan sempit dalam berusahatani. Mereka umumnya berusaha memaksimumkan produktivitas tenaga kerja yang mereka miliki agar dapat lebih sedikit menggunakan tenaga kerja upahan. Hal ini membuat mereka sibuk dan lelah, sehingga sebagian dari mereka malas untuk datang ke kegiatan penyuluhan yang biasanya dilakukan pada pagi ataupun siang hari.

Berbeda dengan petani lahan luas, karena pada umumnya petani lahan luas lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Sehingga tenaga/energi mereka tidak habis dicurahkan hanya untuk berusahatani di sawah, dampaknya mereka memiliki waktu yang cukup luang untuk menghadiri kegiatan penyuluhan.

Menurut hasil penelitian dilapang, usahatani milik luas lebih menguntungkan meskipun jika dilihat dari hasil produksi rata-rata per hektar usahatani luas lebih rendah dibandingkan usahatani milik sempit. Akan tetapi, usahatani milik luas pada umumnya memiliki akses terhadap pasar yang luas dan bargaining position yang cukup tinggi. Sehingga, meskipun usahatani milik luas jika dilihat dari hasil produksi rata-rata per hektar lebih rendah, tetapi pendapatan bersih yang diterima dari usahatani milik luas lebih tinggi dari usahatani milik sempit.

Walaupun produksi rata-rata per hektar yang diperoleh dari usahatani milik sempit lebih besar dibandingkan usahatani milik luas, namun berdasarkan hasil analisis pendapatan diperoleh bahwa pendapatan bersih usahatani milik luas lebih besar dibandingkan usahatani milik lahan sempit. Hal ini disebabkan biaya yang diperhitungkan pada usahatani milik sempit lebih besar dari pada usahatani milik luas, khususnya biaya tenaga kerja dalam keluarga. Namun, usahatani sempit masih cukup menguntungkan untuk dilakukan. Hal ini terbukti dari nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu (lihat Sub Bab Analisis Profitabilitas Usahatani Padi Sawah pada Bab VII).

8.2 Pengaruh Status Kepemilikan Lahan terhadap Optimalisasi Produksi, Pendapatan dan Pemanfaatan Teknologi

Usahatani bukan milik (sakap) umumnya memiliki kondisi permodalan yang relatif lebih rendah dibandingkan usahatani milik. Di sisi lain, dalam usahatani bukan milik (sakap) ada perjanjian yang mengikat antara penyakap dan pemilik lahan, yang menyebutkan bahwa biaya yang ditanggung oleh pemilik lahan hanya biaya benih, pupuk dan pengairan, sedangkan sisanya ditanggung sepenuhnya oleh petani penyakap. Dengan demikian, usahatani bukan milik (sakap) lebih hemat dalam penggunaan faktor- faktor produksi lainnya seperti obat pemberantas hama (pestisida) dan penggunaan faktor produksi tenaga kerja luar keluarga. Faktor produksi tenaga kerja merupakan satu-satunya asset yang dimiliki oleh petani penyakap sehingga usahatani bukan milik (sakap) akan berusaha memaksimumkan produktivitas tenaga kerja, khususnya tenaga kerja dalam keluarga. Hal ini merupakan salah satu usaha yang ditempuh dalam

usahatani bukan milik (sakap) dalam meminimumkan biaya yang harus dikeluarkan, mengingat keterbatasan kemampuan modal yang dimiliki.

Kondisi permodalan pada usahatani bukan milik (sakap) yang relatif lebih lemah dibandingkan usahatani milik tidak hanya mempengaruhi alokasi penggunaan faktor produksi tenaga kerja. Penggunaan faktor produksi dan pestisida kimia dan pupuk kimia pada usahatani bukan milik (sakap) juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan usahatani milik.

Biaya sarana produksi pupuk dan obat pemberantas hama yang harus ditanggung oleh petani sakap, umumnya dipinjamkan terlebih dahulu oleh pemilik lahan. Hutang sarana produksi oleh petani sakap ini baru dibayar setelah panen tanpa dikenakan bunga. Walaupun mendapat pinjaman modal, petani sakap relatif lebih hemat dalam penggunaan pupuk kimia maupun obat pemberantas hama dibandingkan petani milik.

Relatif lebih rendahnya tingkat produksi per hektar pada usahatani bukan milik (sakap) ini tidak hanya disebabkan karena lebih rendahnya penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia. Hal ini kemungkinan juga dipengaruhi oleh faktor lebih rendahnya tingkat keterampilan dan tingkat pendidikan petani sakap dibandingkan dengan petani milik.

Menurut hasil penelitian dilapangan, petani sakap relatif bersungguh- sungguh dalam berproduksi. Tetapi tingkat ketekunan mereka untuk aktif dalam kegiatan penyuluhan maupun pelatihan yang sebenarnya dapat menambah pengetahuan mereka akan teknologi relatif lebih rendah dibandingkan dengan petani milik. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan kurangnya insentif yang diberikan oleh pemilik lahan bila petani sakap dapat meningkatkan produksi padi

dari lahan yang digarapnya. Dengan demikian, pada akhirnya dapat mengurangi motivasi mereka untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Selain itu, relatif lebih rendahnya tingkat ketekunan mereka dalam kegiatan-kegiatan tersebut disebabkan karena kesibukan petani sakap dalam berusahatani. Mereka umumnya berusaha memaksimumkan produktivitas tenaga kerja dalam keluarga yang mereka miliki agar dapat lebih sedikit menggunakan tenaga kerja upahan. Hal ini membuat mereka sibuk dan lelah, sehingga sebagian dari mereka malas untuk datang ke kegiatan penyuluhan yang biasanya dilakukan pada pagi ataupun siang hari.

Menurut hasil penelitian dilapang, sistem bagi hasil (maro) di desa karacak ini lebih menguntungkan pihak pemilik lahan dibandingkan bagi petani sakap. Dari hasil analisis biaya usahatani (lihat Sub Bab Biaya Usahatani pada Bab Hasil dan Pembahasan) dapat diketahui bahwa sekitar 80 persen dari total biaya produksi, ternyata harus ditanggung oleh petani sakap. Di sisi lain, petani sakap berada pada posisi lemah. Kedudukannya sebagai penyakap tergantung kebaikan hati pemilik lahan. Bila pemilik lahan tidak mau menunjuknya lagi sebagai petani yang menggarap lahannya, petani sakap tidak mempunyai hak untuk tetap bertahan (tenancy security). Petani sakap tidak mempunyai hak untuk menentukan letak lahan maupun luas lahan yang akan digarapnya. Resiko kegagalan ditanggung bersama. Total biaya yang harus dikeluarkan penyakap relatif lebih besar dibandingkan pemilik lahan, namun hasil panen yang diperoleh harus dibagi dua sama besar dengan pemilik lahan.

Walaupun menurut hasil analisis pendapatan usahatani, sistem bagi hasil di Desa Karacak cukup menguntungkan pemilik lahan. Tetapi motivasi pemilik

lahan untuk memberikan kesempatan kepada orang lain (yang biasanya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dan dapat dipercaya) bukan dilatarbelakangi tujuan yang komersil melainkan tujuan untuk membantu orang lain dengan memberikan sumber mata pencaharian. Hal ini diperkuat dengan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa pemilik lahan tidak memberikan bunga atas modal yang dipinjamkan kepada penyakap. Selain itu, pemilik lahan tidak menargetkan suatu tingkat produksi yang harus dicapai. Lahan yang disakapkan kepada petani penyakap tersebut tidak sebatas hanya musim kemarau saja, yaitu disaat produksi relatif lebih rendah, tetapi juga pada musim penghujan. Seluruh tindakan ini sebenarnya disatu sisi cukup memberikan kemudahan bagi petani sakap, tetapi disisi lain tindakan pemilik lahan ini tidak dapat memacu petani sakap untuk lebih termotivasi dalam meningkatkan produksi.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani sakap berusaha untuk melakukan penghematan dalam penggunaan faktor produksi untuk menekan biaya produksi dan melakukan produksi dengan sungguh-sungguh. Selain itu, petani sakap berusaha memaksimumkan produktivitas tenaga kerja sebagai satu-satunya asset yang dimiliki olehnya. Hal yang masih disayangkan adalah tindakan tersebut belum diikuti dengan pemanfaatan teknologi secara tepat dan benar sehingga tingkat produksi yang dicapainya tidak maksimal bahkan relatif lebih rendah dibandingkan dengan petani milik.

Tingkat produksi per hektar yang lebih rendah menyebabkan penerimaan yang diperoleh dari usahatani bukan milik (sakap) pun menjadi lebih rendah dibandingkan penerimaan yang diperoleh dari usahatani milik. Ditambah lagi pada usahatani bukan milik (sakap), petani harus membagi dua sama besar hasil

panennya kepada pemilik lahan. Akibatnya pendapatan bersih yang diterima dari usahatani bukan milik (sakap) jauh lebih rendah dibandingkan usahatani milik.

Bagi petani di Desa Karacak, yang terpenting dari usahatani mereka adalah modal yang mereka keluarkan untuk usahatani dapat kembali lagi. Meskipun usahatani padi sawah tersebut hanya bisa mengembalikan modal, mereka akan tetap berusahatani padi dengan alasan daripada lahan didiamkan begitu saja. Selain itu pula karena alasan mereka tidak memiliki keterampilan lain disamping berusahatani padi sawah.

Berdasarkan hasil analisis R/C rasio menunjukkan bahwa usahatani bukan milik (sakap) cukup menguntungkan, yang dibuktikan dengan nilai R/C rasio lebih besar dari satu (lihat Sub Bab Analisis Profitabilitas Usahatani Padi Sawah pada Bab VII).

8.3 Kendala-Kendala Usahatani Padi Sawah

Secara umum, perkembangan usahatani padi sawah di Desa Karacak dihadapkan pada beberapa kendala, seperti kendala teknis, kendala finansial dan kendala sumberdaya manusia. Kendala teknis pertanian ya ng paling dominan adalah pengairan. Dimana pengairan di Desa Karacak masih bersifat sederhana dan tidak beraturan pada setiap musim tanam. Sehingga hal ini mempengaruhi pola tanam para petani di Desa Karacak, yaitu pola tanam yang tidak serempak. Ketidakseragaman dalam pola tanam dalam berusahatani padi di Desa karacak, mengakibatkan petani lebih beresiko terserang hama, khususnya hama tikus. Hal ini menjadi salah satu penyebab penurunan produksi padi di Desa Karacak

dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang dapat mencapai enam ton per hektar.

Kendala finansial berkaitan dengan pembiayaan usahatani. Biaya produksi yang cenderung kian meningkat membuat petani padi sawah semakin mengalami kesulitan dalam usaha menerapkan anjuran dan dosis penggunaan input yang diberikan pemerintah agar produksi yang dihasilkan optimal. Kesulitan ini disebabkan petani padi sawah di Desa Karacak pada umumnya memiliki modal yang terbatas. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya koperasi. Hal ini memaksa petani untuk mencari sumber dana pinjaman pada petani kaya ataupun dengan cara membeli faktor produksi secara kredit. Selain itu tidak adanya lembaga yang mendukung permodalan, menyebabkan petani kurang dapat menerapkan teknologi yang berimbang sesuai anjuran pemerintah.

Kendala lainnya adalah relatif rendahnya sumberdaya manusia para petani di daerah setempat. Hal ini mempengaruhi keragaan usahatani padi yang diterapkan dan mengakibatkan sulitnya mengadaptasikan inovasi- inovasi baru terhadap sistem pertanian guna perbaikan kualitas dan kuantitas produksi serta pertanian yang berwawasan lingkungan.

Dokumen terkait