• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN 1 Infeksi Kecacingan

KECACINGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KOTA MAKASSAR

4. PEMBAHASAN 1 Infeksi Kecacingan

102

JIMKI Volume 5 No 2 | September – Maret 2018

menunjukkan bahwa dari 71 responden, yang memiliki kebersihan diri yang kurang dengan positif kecacingan yaitu sejumlah 1 responden saja (14.3%) dan yang negatif kecacingan sebanyak 6 responden (85.7%). Sedangkan yang mempunyai kebersihan diri yang baik dengan positif kecacingan sebanyak 11 (17.2%) dan yang negatif kecacingan sebanyak 53 (82.8%). Oleh karena itu, maka diketahui P value 0.38 (>0.05).

4. PEMBAHASAN 4.1 Infeksi Kecacingan

Infeksi kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat di

negara berkembang termasuk negara Indonesia. Infeksi kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia. Pada umumnya infeksi kecacingan tidak menyebabkan penyakit berat dan juga tidak mematikan sehingga sering kali diabaikan, tetapi dalam jangka panjang dapat menurunkan derajat kesehatan. [3]

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 71 responden yang diperiksa fesesnya secara laboratoris, ditemukan yang positif kecacingan sebanyak 12 (16,9%) responden. Infeksi kecacingan terbanyak adalah cacing gelang (Ascaris

103

JIMKI Volume 5 No 2 | September – Maret 2018

lumbricoides) 66,7%, cacing cambuk (Trichuris trichiura) 25% dan infeksi campuran yang disebabkan oleh dua spesies atau lebih sebanyak 8,3%.

Tingginya kasus infeksi cacing gelang dan cacing cambuk pada penelitian ini mengindikasikan bahwa penularan berlangsung melalui oral. Kebersihan diri yang kurang akan meningkatkan infeksi cacingan khususnya faktor kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan sehabis buang air besar dan menjaga kebersihan kuku tangan dan kaki. [7]

Penyakit cacingan dapat menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin. Infeksi kecacingan yang disebabkan oleh STH terjadi pada semua golongan umur sebesar 40%- 60%, sedangkan pada usia Sekolah Dasar (7-15) tahun sebesar 60%- 80%.[6] Hasil penelitian ini menunjukkan distribusi infeksi cacingan terbanyak pada kelompok umur 9-10 tahun. Pada usia ini frekuensi bermain anak cukup tinggi, sering bermain tanpa alas kaki, bermain di tanah, dan kebersihan diri yang kurang. [8] [9] Kebiasaan bermain di tanah tanpa menggunakan alas kaki memiliki risiko untuk terinfeksi cacing yang ditularkan melalui tanah. [10]

4.2 Kebersihan Diri

Infeksi kecacingan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya yaitu faktor kebersihan perorangan. Kebersihan perorangan khususnya pada usia anak Sekolah Dasar sangat penting mengingat pada usia ini infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah sangat tinggi. Buruknya personal higiene seseorang menyebabkan kecacingan yang sering dipengaruhi oleh perilaku anak yang tidak baik seperti tidak mencuci tangan setelah buang air besar, setiap kali mandi tidak menggunakan sabun, tidak mencuci kaki dan tangan dengan sabun setelah bermain di tanah, tidak menggunakan alas kaki ketika bermain dan keluar dari rumah, kebersihan kuku tidak dijaga dengan baik. Higiene yang baik merupakan syarat penting dalam mencegah dan memutuskan mata rantai penyebaran penyakit menular seperti kecacingan. Lingkungan dan personal higiene buruk akan memperberat kejadian kecacingan pada anak Sekolah

Dasar, karena pada usia Sekolah Dasar ini belum mampu mandiri untuk mengurus kebersihan diri. [11] [14]

Namun, dalam penelitan ini ditemukan personal higiene yang baik justru mengalami infeksi lebih banyak dari pada anak yang memiliki personal higiene yangburuk yaitu dengan selisih sebesar 2.9%. Maka dari itu disimpulkan bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi hasil penelitian. Diketahui, bahwa selain kebersihan diri seseorang, penggunaan obat cacing juga berperan dalam melawan kejadian infeksi kecacingan pada anak. [12] Pada penelitian ini diketahui bahwa 53.5% siswa telah meminum obat cacing dalam 3 bulan terakhir.

4.3 Kebersihan Diri dan Infeksi Kecacingan

Dari 71 responden didapatkan bahwa responden yang memiliki kebersihan diri yang kurang hanya positif kecacingan 14,3% dibandingkan dengan murid yang memiliki kebersihan diri perorangan yang baik tetapi positif kecacingan sebanyak 17.2%. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Martila di SD Negeri Abe Pantai Jayapura yang mendapatkan responden dengan personal higiene yang buruk mengalami infeksi lebih banyak dari pada anak yang memiliki personal higiene yangbaik. [13]

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hubungan Kebersihan diri dengan kejadian kecacingan tidak bermakna dengan P value = 0,38. Berdasarkan hasil Uji Chi Square diperoleh p>0,05 berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara Kebersihan diri dengan kejadian kecacingan pada siswa SD di Kota Makassar. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syam di SD Negeri Koya Koso yang menyatakan ada hubungan antara kebersihan diri dengan kejadian kecacingan dengan P value = 0,0001, RP = 2,82. [14]

Selain itu, dari 71 responden diperoleh distribusi frekuensi kebersihan diri diperoleh kategori kebersihan diri yang baik jauh lebih banyak yaitu 64 responden (90.1%) dan hanya 7 responden dengan kebersihan diri kategori kurang (9.9%).

104

JIMKI Volume 5 No 2 | September – Maret 2018

Keterbatasan penelitian ini adalah bisa terdapat bias dalam jawaban setiap pertanyaan pada kuesioner. Oleh karena itu, observasi langsung terhadap responden diperlukan untuk mengukur tingkat kebersihan diri secara lebih akurat. Selain itu, dibutuhkan pula penelitian lanjutan agar responden yang diperoleh mencakup seluruh SD di Kota Makassar. Selain itu, perlu pemeriksaan secara kuantitatif untuk menentukan beratnya infeksi cacingan.

5. SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan proporsi infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah tidak begitu tinggi pada kelompok usia sekolah dasar kelas 3 dan 4 di Kota Makassar dan tingkat pengetahuan Kebersihan diri pada murid SD sudah baik. Berdasarkan hasil uji Chi Square tidak diperoleh hubungan bermakna antara Kebersihan diri dengan infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah pada murid SD di Kota Makassar.

6. SARAN

Diharapkan bagi pihak puskesmas setempat maupun sekolah, agar senantiasa melakukan kegiatan pencegahan dengan melakukan pemeriksaan kebersihan diri pada siswa dan pemberian obat cacing secara berkala.

Selain itu, diperlukan adanya penelitian serupa ataupun terkait di masa yang akan datang untuk melihat tingkat kebersihan masyarakat serta keberhasilan dari program pemberian obat cacing dari Pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dunn JC, et al. “Epidemiological Surveys Of, And Research On, Soil-Transmitted Helminths In Southeast Asia: A Systematic Review”. Parasites & Vectors 9:31(2016). 2. WHO | Soil-transmitted helminth

infections. WHO. 2016

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013;1–384. 4. Pullan RL, Brooker SJ. “The Global

Limits And Population At Risk Of Soil-Transmitted Helminth Infections in 2010”, 2012:1–14.

5. Ziegelbauer K, Speich B, Mäusezahl D, Bos R, Keiser J, Utzinger J. “Effect Of Sanitation On Soil-Transmitted Helminth Infection: Systematic Review And Meta-Analysis”. 2012 Jan.

6. Sandy S, Sumarni S, Soeyoko S. “Footwear As A Risk Factor Of Hookworm Infection In Elementary School Students”. Universa Med. 33:2(2015):133–40.

7. Sudoyo A. IPD (Ilmu Penyakit Dalam). Jakarta, 2006.

8. OR Adikankwu, OO Odikamnoro, Uhuo,Nwuzo AC. “The Prevalence Of Intestinal Nematode In School Children In Ebonyi Local Government Area, Ebonyi State, Nigeria”. Continental J. Biomedical Sciences 6:1(2016):13-17.

9. SB Avhad and CJHiware. “Soil Transmitted Helminthiasis Among School Age Children In Aurangabad 10. District, Maharashtra State, India”.

Trend in Parasitology Research 1:2(2012):32-34.

11. Ahmed A, Al-Mekhlafi HM, Choy SH, Ithoi I, Al-Adhroey AH, Abdulsalam AM and Surin J. “The Burden Of Moderate-To-Heavy Soiltransmitted Helminth Infections Among Rural Malaysian Aborigines: An Urgent Need For An Integrated Control Programme”. Journal Parasite and Vectors.2011;4:242.doi:10.1186/17 56-3305-4-242.

12. Kundaian F, Umboh JML dan Kepel BJ. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi CacingMurid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa. Manado: FKM-Universitas Samratulangi Manado, 2011.

13. Depkes RI. Pedoman Pengendalian Cacingan, Kepmenkes RI nomor 424/MENKES/SK/V/2006. Jakarta. 2007

14. Martila, Semuel Sandy , Nopita Paembonan. “Hubungan Higiene Perorangan dengan Kejadian Kecacingan pada Murid SD Negeri Abe Pantai Jayapura”. PLASMA, 1:2 (2015) : 87-96

15. Syam, I. Hubungan Kejadian Kecacingan dengan Hygiene Perorangan pada Anak SD Negeri

105

JIMKI Volume 5 No 2 | September – Maret 2018

Koya Koso di Wilayah Kerja Puskesmas Abepura, 2007.

106

JIMKI Volume 5 No 2 | September – Maret 2018

ABSTRAK

Latar Belakang: Keadaan hipersplenisme pada penyandang talasemia-β mayor

merupakan indikasi untuk dilakukan splenektomi. Komplikasi pasca splenektomi yang paling utama ialah infeksi yang memiliki tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini yaitu menggambarkan kejadian infeksi pasca splenektomi yang berguna untuk pencegahan dan penanganan penyandang talasemia-β mayor.

Metode: Penelitian ini menggunakan studi desain deskriptif kuantitatif. Subjek penelitian

adalah penyandang talasemia-β mayor pasca splenektomi antara Januari 2012-Desember 2016 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Data sekunder dan wawancara diambil pada subjek penelitian. Karakteristik penyandang, jenis infeksi, keparahan infeksi, frekuensi infeksi, serta organ terkait infeksi merupakan variabel penelitian.

Hasil: 14 subjek peneliltian dari total 37 penyandang yang diwawancara, terdapat 33 kasus

jenis kejadian infeksi. Infeksi pasca splenektomi menyerang beberapa organ yaitu 19 kasus pernafasan, 7 kasus pencernaan, 2 kasus kulit, 1 kasus oral, dan 4 infeksi lainnya. Paling banyak ialah infeksi saluran pernafasan akut sekitar 15 kasus, diikuti dengan 7 kasus gastroenteritis. Berdasarkan derajat keparahannya terdapat 38 kasus dengan 14 kasus ringan, 16 kasus sedang, 8 kasus berat. Frekuensi infeksi pada penyandang bervariasi dari yang tidak pernah mengalami infeksi hingga 101 kali episode infeksi pasca splenektomi.

Kesimpulan: Infeksi saluran pernafasan akut menjadi jenis infeksi yang paling sering pada

kelompok penyandang talasemia-β mayor pasca splenektomi. Infeksi derajat sedang memiliki jumlah paling banyak. Frekuensi infeksi pasca splenektomi memiliki jumlah yang bervariasi berdasarkan rentang tahun splenektomi.

Kata Kunci: infeksi, talasemia-β mayor, pasca splenektomi

ABSTRACT

Background: Hipersplenism on patients with thalassemia-β major was the indication for

doing splenectomy. The most common splenectomy complication was infection which has high mortality and morbidity rates. The aim of this study was to describe occurence of infection post-splenectomy patient that are useful in the prevention and management of thalasssemia-β major

Penelitian GAMBARAN KEJADIAN INFEKSI

PADA PENYANDANG TALASEMIA-β