• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waduk Ir. H. Djuanda merupakan waduk multi fungsi yaitu untuk kegiatan pembangkit listrik, irigasi, olah raga, pariwisata, pengendali banjir, sumber air baku air minum, sumber air untuk industri, transportasi dan perikanan baik perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Salah satu kegiatan perikanan budidaya yang sangat berkembang adalah budidaya ikan dalam karamba jaring apung (KJA) dengan jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan mas dan ikan nila. Jumlah unit KJA dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan pada tahun 2010 telah mencapai 19630 unit dan ini telah melebihi jumlah maksimal yang diijinkan yaitu 2100 unit sesuai dengan SK Bupati Purwakarta No 06 Tahun 2000. Hal ini diduga karena kegiatan budidaya memberikan dampak positif antara lain kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan keluarga. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa sebagian karyawan dari kegiatan KJA adalah warga sekitar waduk, sedangkan pemilik KJA adalah orang luar kota yang mempunyai modal besar namun sebagian juga adalah milik warga sekitar waduk.

Selain dampak positif, terdapat pula dampak negatifnya yaitu peningkatan pencemaran perairan akibat kegiatan budidaya ikan dalam KJA. Pencemaran perairan tersebut bersumber dari pakan yang terbuang dan tidak tercerna oleh ikan, feses dan urin ikan. Pencemaran perairan tersebut menyebabkan perubahan kualitas air, seperti kecerahan yang semakin menurun yaitu pada tahun 1984 sekitar 1-4 m menjadi berkisar 0,5-1,26 m di tahun 2004 (Krismono et al. 2008) dan konsentrasi oksigen terlarut cenderung mengalami penurunan yaitu pada tahun 1977 berkisar 5,4-7,3 mg/L menjadi berkisar 2,1-5,41 mg/L di tahun 2006 (Krismono dan Hardjamulia 1986; Tjahjo dan Purnamaningtyas 2008).

Oksigen merupakan unsur penting dan merupakan faktor kunci bagi kehidupan biota terutama untuk proses respirasi biota akuatik dan dekomposisi bahan organik perairan. Konsentrasi oksigen dapat berfluktuasi, sehingga ada kalanya perairan mengalami deplesi oksigen atau oksigen rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan kelimpahan tumbuhan air atau alga yang dapat menyebabkan pembalikan massa air (turnover), masuknya limbah organik ke perairan seperti sisa pakan dan juga dekomposisi bahan organik dari tumbuhan atau alga yang mati (Floyd 1997). Bakteria menggunakan oksigen untuk mendekomposisi bahan organik. Pada perairan yang tercemar, bakteria mengkonsumsi oksigen lebih cepat daripada produksi oksigen dari fotosintesis dan difusi atmosfer (Ji 2008).

Menurut Salmin (2005) pada lapisan permukaan (epilimnion), kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan

organik dan anorganik. Ketersediaan oksigen pada lapisan hipolimnion sangat

penting untuk proses oksidasi serta penting bagi organisme yang hidup pada lapisan tersebut. Pada lapisan hipolimnion, konsentrasi oksigen terlarut akan semakin sedikit atau bahkan tidak ada oksigen (anoksik) karena oksigen telah dimanfaatkan untuk proses oksidasi bahan organik dan proses respirasi.

Hasil pengamatan saat ini, kondisi hipoksia yaitu apabila konsentrasi oksigen terlarut < 3 mg/L di lokasi karamba dimulai pada kedalaman 3 m yaitu sekitar

2-2,6 mg/L. Kecerahan selama penelitian 120-140 cm dengan kedalaman maksimal 38-40 m dan warna air kehitaman menyerupai warna air teh. Simarmata (2007) menyebutkan bahwa kedalaman lapisan oksik di zona transisi yaitu daerah sekitar kegiatan KJA di Waduk Ir H Djuanda pada musim kemarau berkisar 0,66-1,77 m; pada musim peralihan 1,92-2,56 m dan pada musim penghujan 6,08-7,55 m. Ini berarti bahwa lapisan oksik lebih tebal pada musim kemarau dan peralihan namun lebih tipis dibandingkan musim penghujan. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan untuk kehidupan ikan karena dalam kegiatan budidaya dalam KJA, kedalaman KJA adalah 4 m sehingga apabila konsentrasi oksigen rendah dapat menyebabkan penurunan daya hidup ikan, mempengaruhi kecepatan makan ikan dan menurunkan proses metabolisme bahkan apabila konsentrasinya sangat rendah dapat mematikan ikan dan biota akuatik lainnya. Ikan dalam karamba yang kekurangan oksigen akan terlihat naik ke atas permukaan dan mengambil udara dari lapisan permukaan yang berhubungan dengan atmosfer yang kaya akan oksigen daripada lapisan bawah atau melakukan aquatic surface respiration (Chapman and Mc. Kenzie 2009).

Upaya untuk meningkatan oksigen perairan pada kedalaman hipoksia adalah melalui aerasi. Aerasi dapat dilakukan dengan mengalirkan udara bertekanan ke perairan. Hasil pengamataan aerasi menggunakan tanki menunjukkan adanya peningkatan oksigen baik yang menggunakan ikan uji maupun tanpa ikan uji. Peningkatan oksigen lebih cepat pada tanki tanpa menggunakan ikan uji dibandingkan pada tanki dengan ikan uji. Hal ini menunjukkan bahwa oksigen yang masuk ke air dimanfaatkan untuk respirasi ikan sehingga penambahan oksigen ke perairan lebih lambat dibandingkan dengan yang tanpa ikan uji. Sementara hasil aerasi di lokasi karamba menunjukkan bahwa pada awal aerasi mengalami penurunan kemudian perlahan-lahan meningkat walau masih sangat kecil dan berfluktuasi. Penelitian Mc Queen et al. (1986) yang menyebutkan bahwa pada awal pengoperasian aerasi di Danau St George mempunyai konsentrasi oksigen terlarut yang lebih rendah daripada lokasi yang tidak diaerasi namun dengan pengoperasian aerasi ini perlahan-lahan menunjukkan peningkatan oksigen terlarut sementara di lokasi tidak diaerasi menunjukkan penurunan oksigen terlarut.

Banyaknya oksigen terlarut tiap lapisan dan luasan perairan berbeda-beda. Gambar 16 menunjukkan bahwa lapisan 4-3,6 m pada jarak 1,5 m baik di belakang atau di depan lubang pipa mempunyai oksigen terlarut lebih banyak dibandingkan dengan oksigen pada jarak antara 1,5 dan 3 m di depan lubang aerator. Demikian juga pada lapisan 3,6-3 m menunjukkan bahwa oksigen terlarut pada jarak 1,5-3 m di depan aerator lebih sedikit dibandingkan pada jarak 1,5 m di depan dan di belakang lubang aerator. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh dari pipa aerator maka oksigen yang diterima oleh perairan juga semakin sedikit.

Berdasarkan Gambar 17. menunjukkan bahwa pada kedalaman 3 m di titik +1,5; +3; dan 0 mulai ada peningkatan oksigen sementara pada kedalaman 3,6 dan 4 m pada semua titik pengamatan, konsentrasi oksigen belum menunjukkan peningkatan. Pada kedalaman 1 dan 2 m di semua titik pengamatan menunjukkan peningkatan dan yang tertinggi pada jarak -1,5 m. Rendahnya peningkatan oksigen ini diduga karena adanya konsumsi oleh ikan yang terdapat dalam karamba sehingga oksigen dimanfaatkan oleh ikan dan untuk kegiatan dekomposisi bahan organik oleh mikrobia. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa ikan-ikan pada lokasi aerasi banyak yang berada di bawah permukaan di dekat lubang aerasi. Pada kedalaman 3,6 dan 4 m menunjukkan penurunan konsentrasi oksigen yang diduga

42

karena pada kedalaman tersebut sedikit mendapatkan gelembung udara dari proses injeksi dan digunakan terlebih dahulu untuk dekomposisi bahan organik sehingga tidak terjadi penambahan oksigen di perairan kedalaman tersebut. Gelembung udara dari proses aerasi injeksi udara akan naik ke kolom air dan pecah sehingga terjadi difusi oksigen di kolom air tersebut. Lubang aerasi berada pada kedalaman 3,6 m sehingga yang mendapatkan gelembung lebih banyak adalah kedalaman yang berada di atasnya. Pada permukaan perairan, konsentrasi oksigen cenderung meningkat yang diduga oksigen berasal dari proses fotosintesis fitoplankton karena proses tersebut sebagai sumber oksigen sekitar 90-95%. Oksigen dapat berkurang oleh oksidasi karbon organik, nitrifikasi, dan respirasi (Ji 2008). Perubahan konsentrasi oksigen berupa penurunan tertinggi berada di titik kontrol yaitu sebesar 21,08% pada kedalaman 3 m; 52,12% pada kedalaman 3,6 m dan 111,54% pada kedalaman 4 m.

(a) (b)

(c)

Gambar 16. Banyaknya oksigen terlarut (mg) pada tiap kedalaman (a) luasan antara -1,5 m; 0; kanan 1,5 dan kiri 1,5 m (b) luasan antara 0; +1,5 m; kanan dan kiri 1,5 m (c) luasan antara +1,5 dan 3 m

Gambar 17. Prosentase perubahan konsentrasi oksigen pada tiap jarak dan kedalaman

Oksigen hasil dari aerasi diduga digunakan terlebih dahulu untuk mendekomposisi bahan organik perairan. Gambar 18 menunjukkan bahwa pada lapisan kedalaman 3,6-4 m oksigen sesudah aerasi (3116,81 mg) lebih kecil dibanding sebelum aerasi (4311 mg) namun ternyata oksigen hasil aerasi tersebut diduga dimanfaatkan terlebih dulu untuk mendekomposisi bahan organik Berdasarkan hasil analisis BOD menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah aerasi sebesar 0,78 mg/l atau sekitar 1409 mg yang diduga merupakan oksigen dari proses aerasi ini sehingga total oksigen di perairan pada lapisan 3,6-4 m sesudah aerasi dan tambahan oksigen sebanyak 1409 mg yang digunakan untuk dekomposisi bahan organik adalah 4526,2 mg. Jumlah oksigen sesudah aerasi ditambah oksigen untuk proses dekomposisi (4526,2 mg) lebih tinggi dibandingkan sebelum aerasi (4311 mg). Hal ini menunjukkan bahwa oksigen dari proses aerasi dimanfaatkan terlebih dahulu untuk dekomposisi bahan organik oleh mikrobia pendekomposisi bahan organik.

Gambar 18. Banyaknya oksigen pada tiap lapisan di titik pengamatan 0; +1,5 m; kanan dan kiri 1,5 m. sebelum aerasi,

sesudah aerasi, sesudah aerasi ditambah oksigen untuk dekomposisi

44

Laju dekomposisi bahan organik lebih tinggi sesudah diaerasi (0,246-0,334 per hari) dibandingkan sebelum diaerasi (0,126-0,278 per hari). Ini menunjukkan bahwa melalui aerasi dapat menambah pasokan oksigen sehingga oksigen yang tersedia dapat mempercepat laju dekomposisi bahan organik dibandingkan laju dekomposisi sebelum aerasi. Ini berarti oksigen mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik, sementara ketersediaan oksigen juga dipengaruhi oleh suhu dan juga oleh aerasi. Menurut Ji (2008), suhu mempengaruhi kerja enzim-enzim mikrobia pendekomposisi bahan organik.

Menurut Simarmata (2007) konsentrasi bahan organik total yang aman diterima di zona transisi (zona yang terdapat kegiatan budidaya dalam KJA) di Waduk Ir. H. Djuanda pada musim kemarau sebesar 4,480 mg/L, antara musim kemarau ke musim penghujan sebesar 7,760 mg/L dan pada musim hujan sebesar 4,240 mg/L. Berarti apabila konsentrasi bahan organik yang diterima melebihi konsentrasi tersebut dapat menyebabkan terjadinya defisit oksigen. Konsentrasi bahan organik sebelum aerasi pada penelitian ini berkisar 5,78-6,73 mg/L yang artinya bahwa konsentrasi tersebut telah melebihi batas aman konsentrasi bahan organik yang dapat diterima di Waduk Ir. H. Djuanda. Pada permulaan aerasi menunjukkan adanya peningkatan bahan organik namun perlahan-lahan terus menurun. Ini berarti bahwa aerasi dapat meningkatkan oksigen yang akan mendekomposisi bahan organik walaupun proses ini membutuhkan waktu yang lebih lama. Pada permulaan aerasi menunjukkan bahwa konsentrasi orthofosfat mengalami peningkatan namun perlahan-lahan menurun.

Dokumen terkait