• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan .1 Jenis cairan .1Jenis cairan

7.Distribusi Frekuensi hubungan antara lama terpasang infus dengan

kejadian plebitis di ruang Melati RSUD Bangil 2018

Tabel 5.11 Tabulasi Silang hubungan antara lama terpasang infus dengan kejadian plebitis di ruang Melati RSUD Bangil 2018

Lama Pemasangan infus

Kejadian Plebitis

Total Tidak terjadi

Plebitis Terjadi plebitis

f % F % f %

≤3 hari 18 42% 9 21% 27 63%

>3 hari 3 7% 13 30% 16 37% Total 21 26% 22 51% 43 100%

Chi-Square Test p = 0,002 Sumber : Data Primer 2018

Berdasarkan Tabel 5.11 dapat diketahui bahwah responden yang terpasang infus selama ≤3 hari 18 responden (42%) tidak terjadi plebitis dan 9 responden (21%) terjadi plebitis, sedang responden yang terpasang infus >3 hari 3 responden (7%) tidak terjadi plebitis dan 13 responden (30%) terjadi plebitis.

Berdasarakan data diatas hasil perhitungan data dengan menggunakan uji statistik Chi-Square Test didapatkan nilai p<0,05 yaitu p=0,002 hasil dimana p<0,05 yaitu 0,002<0,05, sehingga H1 diterima H0 ditolak yang berarti terdapat hubungan antara lama pemasangan infus dengan kejadian plebitis di ruang Melati Rumah Sakit Umum Daerah Bangil

5.2Pembahasan 5.2.1Jenis cairan

Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden menggunakan jenis cairan Isotonik sebanyak 27 responden (63%).

Cairan isotonik merupakan cairan yang secara fisiologis sesuai dengan cairan tubuh, cairan ini di gunakan untuk mengganti serta mempertahankan cairan tubuh. Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi.

Cairan yang diklasifikasikanisotonis mempunyai osmolalitas totalyang mendekati cairan ekstraseluler dantidak menyebabkan sel darah merahmengkerut atau membengkak. Hal inimenunjukkan bahwa jenis cairan isotonislebih aman digunakan karena osmolalitastotalnya hampir sama dengan osmolalitas darah (Smeltzer dan Bare, 2001)

5.2.2 Tempat pemasangan infus

Berdasarkan Tabel 5.6 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden terpasang infus pada Vena sefalika sebanyak 22 responden (51%).

Pada vena yang lebih besar dan sedikit cabang akan memudahkan dalam pemasangan cairan infus, menghindari resiko pecahnya pembuluh darah dan trauma/injury.

Trauma/injurypada pemasangan infus bisa dilakukan dengan cara memilihvena yang besar dan lurus sesuai denganukuran jarum. Vena tangan lebih baik daripada vena lengan karena bila terjadisesuatu dapat di pindahkan kelengan danvena lengan lebih baik daripada venakaki dan paha karena pemasangan divena kaki dan paha lebih berisikoterjadinya inflamasi/ phlebitis (Rohani, 2010),

53 5.2.3 Lamanya infus terpasang

Berdasarkan Tabel 5.7 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden terpasang infus selama ≤3 hari sebanyak 27 responden (63%).

Infus yang terpasang dalam waktu lama akan memicu terjadinya reaksi alergi ataupun reaksi plebitis. Hal ini bisa terjadi karena terpapar oleh agen infeksi ataupun karena faktor lainya.

The center for disease control and prevention telah menyusun penggantian infus tidak boleh lebih dari 72 jam, kecuali untuk penanganan darah dan lipid emulsi diganti tiap 24 jam (Perry & Potter, 2005).

5.2.4 Kejadian plebitis

Berdasarkan Tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden terjadi plebitis sebanyak 22 responden (51%).

Plebitis merupakan suatu peradangan pada pembuluh darah (vena) yang dapat terjadi karena adanya injury misalnya oleh faktor (trauma)mekanik dan faktor kimiawi yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada endothelium dinding pembuluh darah khususnya vena.

Plebitis dapat menyebabkan thrombus yang selanjutnya menjadi trombo Plebitis,perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian jika thrombus terlepas dan kemudian diangkut ke aliran darahdan masuk jantung maka dapat menimbulkan seperti katup bola yang menyumbat atrio ventikular secara mendadak dan menimbulkan kematian. Hal ini menjadikan Plebitis sebagai salah satu permasalahan yang penting untuk dibahas di samping Plebitis juga sering ditemukan dalam proses keperawatan (Hidayat,2006).

5.2.5 Hubungan antara Jenis cairan dengan kejadian plebitis di ruang Melati RSUD Bangil 2018

Berdasarkan Tabel 5.9 dapat diketahui bahwah responden responden yang menggunakan jenis cairan isotonik lebih banyak tidak terjadi plebitis yaitu sebesar 19 responden (44%), dan terjadi plebitis sebesar 8 responden (19%) sedangkan yang menggunakan hipotonik 2 responden (5%) tidak terjadi plebitis dan 9 responden (21%) terjadi plebitis dan pada jenis cairan Hipertonik seluruhnya terjadi plebitis sejumlah 5 responden (12%).

Berdasarakan data diatas hasil perhitungan data dengan menggunakan uji statistik T-test didapatkan nilai p<0,05 yaitu p=0,003 hasil dimana p <0,05 yaitu 0,003<0,05, sehingga H1 diterima H0 ditolak yang berarti terdapat hubungan antara jenis cairan dengan kejadian plebitis di ruang Melati Rumah Sakit Umum Daerah Bangil.

Pemberian cairan intravena merupakan salah satu tindakan invasif yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pemberian cairan intravena disesuaikan dengan kondisi kehilangan cairan pada klien, seberapa besar cairan tubuh yang hilang.

Menurut Perry & Potter (2006) pemberian cairan intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh masuk ke pembuluh darah vena untuk memperbaiki atau mencegah gangguan cairandan elektrolit, darah, maupun nutrisi.

Hal ini sesuai dengan penelitian Ari, et al (2010) bahwa jenis cairan yang di gunakan mempengaruhi terjadinya plebitis, Hal ini terjadi akibat

55 cairan tersebut masuk selendotelial sehingga terjadi ruptur. Iritasi dapat jugaterjadi ketika cairan hipotonik seperti NaCl 0,45% dicampurkan dengan air yang dimasukan dalamterapi intravena. Cairan hipertonik seperti D5% dalam NaCl dan D5% dalam RL dapat menyebabkan phlebitis dengan sel endotelial terjadi kerusakan yaitu membran pembuluh darah menyusut dan terbuka. Kedua cairan (hipotonik dan hipertonik) dapat mengakibatkan iritasi pada pembuluh darah (Wahyunah, 2011). 5.2.6 Hubungan antara Tempat pemasangan infus dengan kejadian plebitis

di ruang Melati RSUD Bangil 2018

Berdasarkan Tabel 5.10 dapat diketahui bahwah responden yang terpasang infus pada vena metacarpal 16 responden (37%) terjadi plebitis dan 5 responden (12%) tidak terjadi plebitis, sedang pada responden yang terpasang pada Vena sefika 16 responden (37%) tidak terjadi plebitis dan 6 responden (14%) terjadi plebitis.

Berdasarakan data diatas hasil perhitungan data dengan menggunakan uji statistik Chi-Square Test didapatkan nilai p<0,05 yaitu p=0,001 hasil dimana p <0,05 yaitu 0,001<0,05, sehingga H1 diterima H0 ditolak yang berarti terdapat hubungan antara tempat pemasangan infus dengan kejadian plebitis di ruang Melati Rumah Sakit Umum Daerah Bangil.

Ukuran vena sefalika yang besar dan lurus lebih dominan dipilih sebaga ilokasi pemasangan infus dibandingkan vena metakarpal yang berukuran kecil dan tidak lurus. Selain itu pada orang dewasa bagian metacarpal sering digunakan untuk beraktifitas sehingga resiko terjadi

injur yatau plebitis lebih besar.Penelitian Yasir (2014) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara lokasi pemasangan infus dengan kejadian plebitis.

Nurjanah (2004) menyatakan bahwa lokasi atau penempatan kateter intravena pada area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian flebitis, oleh karena saat ekstremitas digerakkan kateter yang terpasang ikut bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding vena. Pemilihan vena yang terlalu dekat dengan pergelangan tangan yang memudahkan untuk terjadinya aliran balik balik darah sehingga terjadi flebitis.

Menurut Potter dan Perry (2010) bahwa posis iekstremitas yang berubah, khususnya pada pergelangan tangan atau siku dapat mengurangi kecepatan aliran infus dan mempengaruhi aliran dalam darah. Pemasangan infus pada vena sefalika lebih baik digunakan.

5.2.7 Hubungan antara lama terpasang infus dengan kejadian plebitis di ruang Melati RSUD Bangil 2018

Berdasarkan Tabel 5.11 dapat diketahui bahwah responden yang terpasang infus selama ≤3 hari 18 responden (42%) tidak terjadi plebitis dan 9 responden (21%) terjadi plebitis, sedang responden yang terpasang infus >3 hari 3 responden (7%) tidak terjadi plebitis dan 13 responden (30%) terjadi plebitis.

Berdasarakan data diatas hasil perhitungan data dengan menggunakan uji statistik Chi-Square Test didapatkan nilai p<0,05 yaitu p=0,002 hasil dimana p <0,05 yaitu 0,002<0,05, sehingga H1 diterima H0 ditolak yang berarti terdapat hubungan antara lama pemasangan infus

57 dengan kejadian plebitis di ruang Melati Rumah Sakit Umum Daerah Bangil

kejadian phlebitis diakibatkan karena seringnya pasien melakukan pergerakan pada daerah yang terpasang infus. Pasien yang sering melakukan pergerakan seperti fleksi dengan lokasi pemasangan kateter intravena di daerah lekukan dapat beresiko mengakibatkan plebitis mekanik. Selain itu waktu yang lama menyebabkan resiko terpaparnya agen infeksi lebih tinggi.

Menurut Masiyati (2002) bahwa angka kejadian plebitis paling banyak dalam waktu pemasangan infus 4-5 hari sebesar 60%. Begitu juga dalam Darmawan (2008) bahwa the Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi.

Hal ini sesuai dengan penelitian Hartini (2016) bahwa terdapat hubungan antara jangka waktu pemasangan kateter dengan kejadian plebitis, begitu juga penelitian Yasir (2014) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara lama waktu pemasangan infus dengan kejadian phlebitis

Dokumen terkait