• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI KABUPATEN CIANJUR

5 PEMBAHASAN UMUM

Sub sektor peternakan memiliki peranan penting dalam kehidupan dan pembangunan sumberdaya manusia Indonesia. Peranan ini dapat dilihat dari fungsi produk peternakan sebagai penyedia protein hewani yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia. Produk-produk peternakan disebut sebagai bahan pembangun (sumber protein) dalam kehidupan ini. Peningkatan kesejahteraan masyarakat akan diikuti dengan peningkatan konsumsi produk-produk peternakan, dengan demikian maka turut menggerakan perekonomian pada sub sektor peternakan.

Kenyataan menunjukkan bahwa konsumsi produk peternakan masyarakat Indonesia relatif rendah. Untuk meningkatkan gizi masyarakat agar sehat dan cerdas dibutuhkan asupan protein hewani yang memadai. Sumber protein yang potensial dikembangan adalah ternak kerbau. Di Indonesia sebagian besar terdiri dari kerbau lumpur (swamp bufallo), namun telah muncul berbagai spesifikasi mengikuti agroekosistem yang membentuknya (Siregar et al. 1997), sementara ada sekitar 5% kerbau sungai seperti Murrah di sekitar Medan (Murti dan Ciptadi 2002). Pemanfaatan utama ternak kerbau sampai saat ini selain sumber daging juga merupakan ternak pekerja.

Kerbau merupakan ternak yang sudah lama dikenal di Indonesia umumnya dan Kabupaten Cianjur khususnya, karena kerbau mampu bertahan hidup dengan kondisi pakan berkualitas rendah yaitu serat kasar tinggi. Kerbau pada umumnya dipelihara sebagai tabungan yang dilakukan secara turun temurun dan digunakan sebagai pembajak sawah. Keunggulan ternak kerbau dibandingkan sapi adalah kemampuan mikroba rumen pada kerbau mampu mencerna serat kasar lebih baik daripada sapi (Udeybir et al. 2000). Kebutuhan bahan kering pada kerbau lebih rendah, sementara effisiensi pemanfaatan protein dan energi pakan lebih tinggi, sehingga kebutuhan protein dan energi lebih rendah (Texeira et al. 1987).

Berkembangnya teknologi mengakibatkan lahan pertanian semakin sempit, lapangan pekerjaan di perkotaan semakin meningkat, sehingga minat berternak kerbau berkurang drastis, karena peternak tidak dapat mengandalkan kehidupannya hanya dengan beternak kerbau. Hal ini akan berdampak terhadap perkembangan populasi kerbau dan akhirnya berdampak pada produksi daging nasional. Pemerintah harus melakukan kebijakan yang efektif dan peningkatan kerjasama antara pemerintah, pakar ahli dari akademisi dan masyarakat peternak sebagai pelaksana kebijakan, sehingga diperlukan penelitian yang komprehensif dengan menggali informasi performa reproduksi dan produksi ternak kerbau, potensi sumber hijauan sebagai pakan utama kerbau serta analisis strategi pengembangan kerbau.

Potensi rumput lokal cukup baik, namun belum termanfaatkan secara optimal. Rumput banyak dijumpai pada lahan rawa maupun lahan kering, di dataran rendah dan dataran tinggi, sehingga perlu identifikasi dan pemisahan rumput-rumput yang tumbuh baik pada agrosistem yang berbeda, karena hal ini akan menentukan rumput yang lebih tepat untuk kerbau lumpur. Analisis vegetasi di sekitar pemeliharaan kerbau bertujuan untuk memberi informasi kualitas hijauan pakan kerbau dan menggali potensinya. Kandungan mineral tanah pada agrosistem yang berbeda menunjukkan perbedaan, sehingga jenis vegetasi yang tumbuh juga

berbeda. Kandungan mineral tanah tertinggi di dataran rendah dan dataran tinggi adalah Kalium (K), namun Kalium di dataran tinggi jauh lebih tinggi daripada dataran rendah. Perbedaan yang mencolok juga terlihat pada mineral Phosphor (P) dan Mangaan (Mn). Kandungan Phosphor tanah di dataran rendah empat kali lipat dataran tinggi. Kandungan Mn dataran tinggi tujuh kali lipat dataran rendah.

Morfometri adalah suatu studi yang berhubungan dengan variasi dan perubahan dalam bentuk dan ukuran dari organisme, meliputi pengukuran panjang dan analisis kerangka suatu organisme. Studi morfometri didasarkan pada sekumpulan data pengukuran yang mewakili variasi bentuk dan ukuran hewan (ternak). Dalam biologi hewan (ternak) pengukuran morfometri digunakan untuk mengukur ciri-ciri khusus dan hubungan variasi dalam suatu taksonomi populasi hewan (ternak). Variasi morfometri suatu populasi pada kondisi geografi yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan struktur genetik dan kondisi lingkungan (Tzeng et al. 2000), oleh karena itu sebaran dan variasi morfometri yang muncul merupakan respon terhadap lingkungan fisik tempat hidup ternak tersebut. Ternak kerbau di Asia Tenggara mempunyai fenotipe yang serupa, tetapi mempunyai keragaman genetik yang cukup besar. Pengujian terhadap jarak genetik dan jarak geografi menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Keadaan ini menunjukkan perbedaan genetik tersebut disebabkan terisolasinya ternak kerbau dari satu lokasi lainnya, yang menyebabkan randomgenetic drift (Mukherjee et al. 1991).

Produktivitas kerbau dapat dianalisis melalui pengamatan performa reproduksi dan pengukuran morfometri. Hasil pengamatan performa reproduksi dapat dijadikan bahan pengembangan populasi kerbau dengan perbaikan manajemen pakan dan perbaikan mutu genetik. Pengukuran morfometri dapat dijadikan bahan peningkatan pertumbuhan kerbau dengan perbaikan manajemen pemeliharaan dan kualitas pakan.

Selama ini kerbau lumpur (Swamp Buffalo) adalah ternak yang dinilai memiliki produktivitas rendah yaitu lambat dewasa, berahi tidak jelas, lama bunting panjang. Menurut Toelihere (1980) kerbau melahirkan pertama umur 4 tahun, di Malaysia umur 3 sampai 4.5 tahun, di Thailand umur 3 tahun dan di Indonesia umur 3 sampai 5 tahun. Hal ini disebabkan faktor kelemahan manajemen pemeliharaan yaitu kerbau dipelihara dengan kualitas dan jumlah pakan yang rendah, sementara digunakan sebagai pembajak sawah yang membutuhkan energi tinggi. Hal ini perlu dikaji ulang tentang performa reproduksi kerbau. Menurut Talib et al. (2014) kerbau yang diberi pakan 2.5-2.7% Berat Kering dengan komposisi 70% sumber serat dan 30% konsentrat memilki daya reproduksi yang sama dengan sapi lokal, dengan ciri-ciri berahi yang sama jelas dan berpeluang untuk dapat dikawinkan lebih cepat yaitu dengan perbaikan kualitas dan jumlah pakan. Pakan yang berkualitas dan cukup akan mencapai bobot dewasa tubuh lebih cepat, sehingga umur berahi pertama lebih cepat atau masak cepat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa performa reproduksi kerbau baik di dataran tinggi maupun dataran rendah tidak menunjukkan perbedaan dengan hasil mendekati maksimal. Rataan umur berahi pertama 25.6±6.62 bulan, lama berahi 5.3±2.79 hari, umur beranak pertama 38.7±7.10 bulan (3.5 tahun) dan unoestrus post partum (kawin setelah beranak) 55.17±54.79 hari. Hasil peneltian Iskandar (2011) performa reproduksi sapi PO di dataran tinggi nyata lebih baik daripada di dataran rendah Propinsi Jambi. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa

perbedaan ketinggian di Kabupaten Cianjur tidak berpengaruh terhadap performa reproduksi kerbau lumpur. Kerbau betina produktif yang ditemukan hanya sampai enam tahun, hal ini menunjukkan bahwa terjadi penjualan betina produktif di atas umur enam tahun. Pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah nyata untuk mencegah penjualan atau pemotongan betina produktif, agar populasi kerbau meningkat pesat. Hasil analisis menunjukkan jika kerbau betina dipertahankan hingga umur 10 tahun akan menambah jumlah anak sebanyak tiga ekor.

Produktivitas daging kerbau dapat dianalisis melalui bobot badan, sementara bobot badan dapat diduga dengan pengamatan frame size tubuh dan ukuran-ukuran morfometri. Pengukuran morfometri merupakan sarana untuk mengetahui pertumbuhan dan menaksir bobot badan. Pada umumnya kerbau dipelihara peternak dalam skala kepemilikan kecil, dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan tenaganya dalam mengolah lahan sawah dan sebagai ternak penghasil daging (Kusnadi et al. 2005). Apabila kerbau diberi kesempatan berendam di air atau berkubang sangat berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan karena manfaat pakan dapat mencapai optimal. Hasil penelitian Yurleni (2013) menunjukkan bahwa dengan perbaikan kualitas pakan dan memandikan kerbau setiap hari, menghasilkan pertambahan bobot badan per hari 1.2 kg lebih tinggi daripada sapi PO sebesar 0.9 kg hari-1. Kerbau jantan dengan konsumsi 2.7- 3.5% BK menghasilkan pbb 0.6 kg hari-1 (Talib et al. 2014).

Berdasarkan pengamatan frame size (BCS) kerbau lumpur di dataran tinggi memiliki performa yang lebih baik daripada dataran rendah, namun performa kerbau jantan lebih kecil dibandingkan kerbau betina baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Hal ini dimungkinkan, karena dari segi manajemen pemberian pakan, kerbau lumpur di dataran tinggi diberikan pakan hijauan secara adlibitum, memiliki kelompok peternak dan tingkat pendidikan peternak lebih baik. Nilai BCS kerbau jantan lebih kecil, karena karakteristik kerbau jantan lebih agresif, sehingga tidak dipelihara melebihi umur tiga tahun. Kondisi ini sangat merugikan peternak, karena kerbau jantan yang dijual masih dalam masa pertumbuhan, sehingga produksi daging masih rendah. Dengan mempertahankan pemeliharaan kerbau jantan lebih panjang, akan mencapai bobot optimal dengan jumlah daging lebih tinggi. Penjualan kerbau betina produktif juga terjadi baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah, rata-rata kerbau betina dipelihara hingga umur enam tahun. Penjualan kerbau betina masih dalam masa produktif akan berpengaruh pada penurunan populasi kerbau, sehingga pemerintah harus melakukan langkah tegas dalam pencegahan pemotongan kerbau betina produktif. Hasil analisis berdasarkan jarak kelahiran, kerbau di Kabupaten Cianjur mendekati maksimal. Pemeliharaan kerbau betina hingga umur 10 tahun dapat menghasilkan penambahan tiga ekor anak, sehingga populasi kerbau dapat cepat ditingkatkan.

Berdasarkan pengukuran morfometri kerbau, performa kerbau dipengaruhi secara nyata oleh agrosistem dan jenis kelamin, ada interaksi pada panjang badan, tinggi pinggul dan bobot badan. Menurut Jaelani et al. (2013) indikator penilaian produktivitas dapat dilihat berdasarkan parameter tubuh ternak tersebut. Parameter tubuh yang sering digunakan dalam menilai produktivitas antara lain lingkar dada, tinggi badan dan panjang badan. Berat badan juga merupakan indikator penilaian produktivitas dan keberhasilan manajemen peternakan (Saladin 1981).

Hasil penelitian menunjukkan kerbau betina di dataran tinggi memiliki tinggi pundak, tinggi pinggul, panjang badan dan lingkar dada sebesar 120.2 cm, 119.2 cm, 165.5 cm, 184.7 cm; kerbau jantan 111.7 cm, 113.1 cm, 146.7 cm, 163.1 cm. Menurut Praharani dan Triwulanningsih (2007) kerbau lumpur mempunyai variasi yang cukup besar pada berat badan dan ukuran tubuh maupun warna kulit, sehingga dikenal dengan bermacam nama seperti kerbau Jawa, Aceh, Toraja, Kalang, Moa dan lain sebagainya. Berbagai faktor yang menyebabkan variasi jenis kerbau antara lain agroekosistem berkaitan dengan lingkungan pakan dan eksternal (suhu dan kelembaban udara) serta sosial budaya (preferensi ternak kerbau). Selanjutnya dikatakan bahwa ukuran tubuh yang dapat dijadikan standar seleksi pada agroekosistem dataran tinggi masing-masing untuk betina dewasa dengan tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan dan lingkar dada sebesar 122.3 cm, 122.1 cm, 121.4 cm, 179.1 cm; jantan dewasa: 125.8 cm, 125.7 cm, 127.1 cm, 191.0 cm.

Dalam rangka penataan peternakan kerbau, harus diupayakan agar peternak tidak sekedar sebagai pengguna, tapi juga mengarahkan usahanya untuk memelihara kerbau penghasil daging. Kerbau diusahakan sebagai komoditas komersial dalam kegiatan penggemukan. Fungsi atau peranan kerbau harus diupayakan sebagai bagian integral kegiatan usahatani dalam memanfaatkan limbah pertanian, penghasil kompos dan tenaga kerja (Diwyanto dan Handiwirawan 2006). Peran ternak kerbau dalam mendukung kecukupan daging nasional menjadi sangat penting, karena daging kerbau dapat menjadi komplemen bahkan substitusi daging sapi. Sebagian besar konsumen dalam negeri dapat menerima dan tidak dapat membedakan daging kerbau dengan daging sapi.

Kerbau lumpur memiliki potensi yang tinggi sebagai penghasil daging dengan kualitas yang tidak berbeda dengan daging sapi. Pertumbuhan kerbau dapat dilihat melalui ukuran lingkar dada, dapat dilihat pada Gambar 5.1 dan Gambar 5.2 berikut.

2 Gambar 5.1 Lingkar dada kerbau betina pada tingkat umur berbeda

Dokumen terkait