• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Contoh Produk Olahan Daging yang Diteliti

Jumlah merek produk olahan daging yang diperoleh dari hasil pengumpulan contoh yang berasal dari 12 pasar (empat jenis pasar) di Kota Bogor ini berjumlah 63 merek. Beberapa pasar yang dijadikan tempat pengambilan sampel adalah 2

hypermart, 4 supermarket, 3 minimarket, serta 3 pasar tradisional yang berlokasi di Kota Bogor, Jawa Barat. Produk olahan daging yang diteliti adalah jenis produk olahan daging yang dikemas dan dilabeli yang meliputi sosis, naget, bakso, jenis lain (chicken wing, karage, kornet, dan rolade). Merek yang memiliki banyak varian produk, hanya diambil satu contoh untuk diteliti pelabelannya karena diasumsikan untuk produk yang memiliki merek yang sama, pemenuhan terhadap pelabelannya juga sama. Merek yang terdapat di beberapa pasar tempat pengambilan contoh, hanya satu merek contoh yang diambil untuk mewakili. Sebaran merek yang diteliti beserta pasar yang menjual merek tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah merek contoh produk olahan daging yang ditemukan di setiap pasar di Kota Bogor

Jenis tempat Tempat pengambilan contoh

(Inisial) Jumlah merek yang didapat

Hypermart GB HB 29 9 Supermarket FE SI YJ RB 17 22 28 26 Minimarket Alf Ind Ala 11 2 6 Pasar Tradisional PB PA PG 9 9 1

Total jumlah merek yang diteliti 63 merek

Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa produk olahan daging terbanyak dapat ditemui di pasar GB dan paling sedikit ditemukan di pasar tradisional PG. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan konsumen untuk membeli produk olahan daging pada lokasi pasar tertentu. Semakin banyak jumlah merek yang ditemukan pada suatu pasar mengindikasikan semakin banyak konsmen di pasar tersebut yang membeli produk olahan daging. Dilihat dari segi kategori jenis pasar, paling banyak ditemukan varian merek produk olahan daging adalah pada kategori jenis pasar supermarket sedangkan paling sedikit ditemukan jumlah varian merek adalah pada kategori jenis pasar minimarket.

Tabel 5 hanya menunjukkan jumlah merek yang ditemukan di lokasi pasar tersebut tanpa menampilkan irisan penemuan merek di setiap pasar, sedangkan

9 untuk mengetahui sebaran merek dan irisan penemuan merek di setiap lokasi pasar dapat dilihat di Lampiran 8. Pengambilan sampel merek produk olahan daging berdasarkan perbedaan lokasi pasar diharapkan dapat melengkapi perolehan sampel merek karena beberapa merek tertentu hanya dapat ditemukan di kategori jenis pasar tertentu pula. Hal ini berkaitan dengan segmentasi pasar dan konsumen. Selain itu, pengambilan sampel berdasarkan kategori jenis pasar dapat memberikan informasi apakah semakin besar kategori pasar semakin selektif terhadap produk yang dipasarkan dan mempertimbangkan label produk yang dipasarkan sesuai degan regulasi yang ada atau tidak, sehingga ini dapat menjadi masukan bagi BPOM juga pengelola pasar yang terkait. Olehkarena itu, pada pembahasan dibahas mengenai pemenuhan label berdasarkan kategori pasar.

Beberapa merek tertentu dapat ditemukan lebih dari di satu pasar sehingga setiap pasar memiliki irisan dengan pasar lainnya untuk keberadaan merek produk olahan daging yang dijual. Total merek yang diambil menjadi contoh untuk diteliti adalah sebanyak 63 merek. Pengambilan contoh di 12 pasar yang berbeda tersebut bersifat saling melengkapi. Semua merek yang didapatkan dari tiap pasar tersebut diamati. Apabila di tempat pengambilan contoh selanjutnya terdapat merek yang telah diamati di tempat sebelumnya, maka merek tersebut tidak diamati kembali.

Terdapat empat kelompok jenis produk olahan daging yang diamati antara lain adalah sosis, bakso, naget, serta jenis produk lain-lain. Sosis merupakan produk yang paling banyak ditemukan yakni 23 merek (37%), bakso 19 merek (30%), naget 11 merek (17%), dan jenis produk lain yang meliputi kornet, rolade, chikcken wing,

ayam cincang, dan karage ditemukan 10 merek (16%) (Gambar 1). Perbedaan jumlah jenis produk menunjukkan tingkat peredaran jenis produk olahan daging yang beredar di pasar di Kota Bogor. Sosis merupakan produk olahan daging yang banyak diminati oleh konsumen di Indonesia (Mujiono 2009) sedangkan menurut Situmorang (2013) bakso merupakan produk olahan daging yang paling popoler di Indonesia. Selain itu, semua bakso yang ditemukan merupakan bakso sapi karena bakso sapi merupakan bakso yang paling disukai oleh konsumen (Suradi 2007). Oleh karena itu, kedua jenis produk ini yang mendominasi produk olahan daging yang beredar di pasar di Kota Bogor. Jenis produk lain-lain digabungkan menjadi satu kelompok karena memiliki jumlah yang sedikit/kecil sehingga akan lebih mudah memahami data sebaran jenis produk yang diamati. Berikut Gambar 1 yang menunjukkan persentase produk olahan daging yang ditemukan dari total 63 merek.

Gambar 1 Jenis produk olahan daging yang diamati

37% 30% 17% 16% Sosis Bakso Naget

10

Berdasarkan PP Nomor 69 Tahun 1999 dan SK Kepala BPOM (KBPOM RI Nomor HK.03.1.23.11.11.09909 Tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim Dalam Label dan Iklan Pangan Olahan) bahwa pemenuhan aturan pelabelan dibahas dalam lima kelompok unsur pelabelan yang meliputi teknis pencantuman label, teknis penulisan label, keterangan minimum, keterangan lain pada label, serta keterangan yang dilarang untuk dicantumkan pada label.

Teknis Pencantuman Label

Label produk olahan daging umumnya dicantumkan pada bagian luar kemasan. Regulasi yang mengatur tentang teknis pencantuman label adalah PP 69 Tahun 1999 pasal 2 ayat 2 yang berbunyi “Pencantuman label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca “. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa label kemasan pada produk harus tidak mudah lepas, tidak mudah luntur atau rusak, serta diletakkan pada tempat yang mudah dilihat.

Hasil pengamatan pada contoh produk olahan daging berlabel berdasarkan analisis teknis pencantuman label dapat dilihat di Lampiran 3. Hasil pengamatan menunjukkan bawa tingkat pemenuhan unsur teknis pencantuman label adalah sebanyak 25.40% dari 63 merek yang diamati atau dengan kata lain 47 merek dari 63 merek belum memenuhi teknis pencantuman label dengan benar. Pemenuhan ini merupakan yang paling rendah apabila dibandingkan dengan kelompok unsur label yang lain pada kemasan produk olahan daging yang diteliti. Berdasarkan pengamatan teknis pencantuman label pada produk olahan daging, kesalahan yang seringkali dilakukan adalah penulisan kode produksi dan tanggal kadaluwarsa yang mudah hilang dengan cara digosok dengan menggunakan jari sehingga menyalahi aturan pencantuman label. Selain itu pencantuman label yang menggunakan stiker yang ditempel pada kemasan (tidak tercetak pada kemasan) sehingga mudah dikelupas atau dicopot. Hal ini juga menyalahi aturan pelabelan yang berlaku. Kemasan yang benar adalah tercetak langsung pada kemasan sehingga tidak mudah luntur atau rusak.

Teknis Penulisan Label

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap label produk daging olahan (Lampiran 2) dapat dilihat bahwa pemenuhan terhadap aturan penulisan label produk olahan daging yang beredar di pasar di Kota Bogor adalah sebanyak 84.13% atau dengan kata lain 10 merek dari 63 merek yang diamati belum memenuhi aturan penulisan label yang sesuai dengan PP 69 Tahun 1999 pasal 13 ayat 1 dan 2 serta pasal 15 sebagai berikut:

a. Pasal 13 ayat 1: “Bagian utama Label sekurang-kurangnya memuat tulisan tentang keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dengan teratur, tidak berdesak-desakan, jelas dan dapat mudah dibaca.

11 b. Pasal 13 ayat 2: “Dilarang menggunakan latar belakang, baik berupa Gambar, warna maupun hiasan lainnya, yang dapat mengaburkan tulisan pada bagian utama Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

c. Pasal 15: “Keterangan pada Label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin.”

Berdasarkan pada dua pasal tersebut maka penulisan label pada kemasan harus mudah dibaca, menggunakan warna tulisan yang berlawanan dengan warna latar kemasan sehingga mudah dibaca, tidak berdesak-desakan, tidak menggunakan huruf dan bahasa asing (untuk yang memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia) dan jelas sehingga mudah dibaca. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 15.87% (10 merek dari 63 merek yang diamati) yang beredar di pasar di Kota Bogor masih belum sesuai dengan aturan teknis pencantuman label. Teknis penulisan label merupakan pemenuhan terhadap aturan pelabelan urutan kedua terendah setelah teknis pencantuman label untuk produk olahan daging yang beredar di pasar di Kota Bogor. Kesalahan yang ditemukan dari hasil pengamatan untuk teknis penulisan label adalah menggunakan bahasa asing dan menggunakan warna tulisan yang mirip dengan latar kemasan sehingga tulisan sulit untuk dibaca. Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian ini, bahasa asing yang sering digunakan adalah bahasa Inggris, bahasa Jepang dan bahasa Jerman. Bahasa asing biasanya digunakan untuk menuliskan nama produk (chicken wing, karage, dan bruchwurst), unsur tanggal kadaluwarsa (best before), dan unsur keterangan promosi (I like it!). Data analisis teknis penulisan label terdapat pada Lampiran 4.

Keterangan Minimum Label

Pemenuhan keterangan minimum label diatur oleh PP 69 Tahun 1999 pada pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 sebagai berikut:

a. Pasal 3 ayat (1) Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.

b. Pasal 3 ayat (2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang kurangnya memuat:

1. nama produk;

2. daftar bahan yang digunakan; 3. berat bersih atau isi bersih;

4. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;

5. tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa.

Berdasarkan pasal tersebut maka kemasan produk olahan daging harus memuat 5 keterangan minimal yang disebutkan di atas. Hasil pengamatan terhadap 63 merek contoh menunjukkan 90.16% (57 merek) sudah memenuhi ketentuan ini. Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.

12

Tabel 6 Pemenuhan kelompok keterangan minimum label produk olahan daging di beberapa pasar di Kota Bogor (dari total 63 merek)

Unsur label Jumlah merek yang memenuhi aturan (dari total 63 merek)

TPP (%)

Nama produk pangan 61 96.83%

Daftar bahan 61 96.83%

Berat bersih 46 73.02%

Nama dan alamat produsen 56 88.89%

Tanggal kadaluwarsa 60 95.24%

Rata-rata 90.16%

Keterangan: TPP: Tingkat Persentase Pemenuhan

Berdasarkan data pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa pemenuhan yang paling tinggi untuk keterangan minimum adalah pencantuman nama produk dan daftar bahan yang memenuhi 96.83% (61 merek) diikuti pencantuman tanggal kadaluwarsa 95.24% (60 merek) kemudian pencantuman alamat produsen yang memenuhi sebanyak 88.89% (56 merek) serta yang paling rendah adalah pemenuhan terhadap pencantuman berat bersih sebesar 73.02% (46 merek). Kesalahan yang ditemukan bedasarkan hasil pengamatan adalah tidak mencantumkan keterangan minimal tersebut pada kemasan. Selain itu, untuk berat bersih tidak dicantumkan dalam satuan gram/kilogram namun dicantumkan dalam satuan pcs (pieces) atau “buah”. Hal ini menyalahi aturan pada pasal 23 PP 69 Tahun 1999 sebagi berikut:

Pasal 23 Berat bersih atau isi bersih harus dicantumkan dalam satuan metrik: a. dengan ukuran isi untuk makanan cair;

b. dengan ukuran ukuran berat untuk makanan padat;

c. dengan ukuran isi atau berat untuk makanan semi padat atau kental. Berdasarkan data hasil pengamatan tersebut pemenuhan terhadap keterangan minimum label tergolong tinggi (90.16% atau 57 dari 63 ), sehingga produk olahan daging yang beredar di Kota Bogor sebagian besar telah memenuhi aturan pencantuman keterangan minimum pada label kemasan.

Keterangan Lain pada Label

Keterangan lain pada label pada dasarnya tidak wajib untuk dicantumkan, namun dapat menjadi wajib dicantumkan karena alasan atau sebab-sebab tertentu. Landasan hukum untuk hal ini terdapat pada PP 69 Tahun 1999 pasal 10 serta pasal 38 hingga pasal 43. Sebagai contoh pembahasan maka akan dibahas pasal 10 dan pasal 40 tentang metode penyimpanan. Pasal 10 ayat (1) menyatakan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label sedangkan pada ayat (2) menyatakan pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label.

Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa keterangan halal dapat menjadi wajib untuk dicantumkan apabila produsen mengklaim bahwa produk yang dihasilkannya

13 adalah halal. Keterangan halal ini wajib dicantumkan pada kemasan produk pangan tesebut walaupun aturan dasar mencantumkan logo halal pada kemasan adalah bersifat volunteery (sukarela/tidak diwajibkan). Namun, menjadi wajib mencantumkan logo halal apabila produsen mengklaim produknya adalah halal.

Pasal 40 PP 69 Tahun 1999 menyebutkan dalam hal mutu suatu pangan tergantung pada cara penyimpanan atau memerlukan cara penyimpanan khusus, maka petunjuk tentang cara penyimpanan harus dicantumkan pada label.

Berdasarkan pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa mencantumkan metode penyimpanan adalah tidak wajib dicantumkan, namun apabila produk yang dihasilkan akan mengalami perubahan mutu tertentu ketika tidak disimpan dengan metode penyimpanan tertentu maka petunjuk tentang tata cara penyimpanan menjadi wajib untuk dicantumkan pada kemasan. Sebagai contoh, ketika suatu produsen memproduksi kerupuk udang maka metode penyimpanan tidak wajib untuk dicantumkan karena kerupuk udang tidak akan berubah ketika disimpan pada suhu dan kondisi ruang biasa. Berbeda ketika produsen yang memproduksi produk olahan daging yang akan rusak mutunya bahkan akan beresiko terhadap keamanannya ketika dikonsumsi (seperti contoh yang diamati pada penelitian ini) maka produsen wajib mencantumkan metode penyimpanan yang sesuai dengan produk olahan daging tersebut yakni disimpan pada kondisi dingin ((-15)°C - 0°C). Pada penelitian ini ada 11 jenis keterangan lain yang diamati berdasarkan PP 69 Tahun 1999 terhadap produk olahan daging. Berikut Tabel 7 menjelaskan pemenuhan terhadap keterangan lain pada produk olahan daging.

Tabel 7 Pemenuhan kelompok keterangan lain pada label produk olahan daging di beberapa pasar di Kota Bogor (dari total 63 merek)

No Unsur label

Jumlah merek yang memenuhi aturan (dari total 63 merek)

TPP (%)

1 Manfaat pangan bagi kesehatan 63 100%

2 Pernyataan halal 51 80.95%

3 Nomor pendaftaran pangan 61 96.83%

4 Kode produksi 50 79.37%

5 Keterangan kandungan gizi (nutrition facts)

63 100%

6 Iradiasi pangan 63 100%

7 Produk pangan rekayasa genetik 63 100%

8 Produk sintesis dari bahan baku alamiah

63 100%

9 Produk pangan olahan tertentu 63 100%

10 Keterangan Bahan Tambahan Pangan 42 66.67%

11 Keterangan mengenai metode penyimpanan

43 68.25%

Rata-rata 90.19%

Keterangan: TPP: Tingkat Persentase Pemenuhan

Pada Tabel 7 dapat kita lihat bahwa pemenuhan paling tinggi untuk kelompok keterangan lain pada label adalah pemenuhan terhadap unsur label manfaat pangan bagi kesehatan, keterangan kandungan gizi (nutrition facts),

14

iradiasi pangan, produk pangan rekayasa genetik, produk sintesis dari bahan baku alamiah, dan produk pangan olahan tertentu yang masing-masing mencapai pemenuhan maksimal 100%. Hal ini disebabkan unsur ini tidak dicantumkan dan tidak ada sebab-sebab yang mewajibkan unsur ini dicantumkan sehingga pemenuhannya mencapai 100%. Pemenuhan keterangan bahan tambahan pangan (BTP) merupakan pemenuhan terendah yakni mencapai 66.67% (42 merek) yang memenuhi. Beberapa kesalahan pencantuman BTP pada kemasan adalah tidak menuliskan golongan BTP, tidak menjelaskan mengandung BTP sesuai aturan, dan hanya menyebutkan bahan tambahan saja. Berdasarkan PP 69 Tahun 1999 tentang tata cara penulisan BTP diatur pada pasal 43 ayat 1.

Pasal 43 ayat (1) menyatakan Selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), pada Label untuk Bahan Tambahan Pangan wajib dicantumkan:

a. tulisan Bahan Tambahan Pangan;

b. nama golongan Bahan Tambahan Pangan;

c. nama Bahan Tambahan Pangan, dan atau nomor kode internasional yang dimilikinya.

Berdasarkan pasal tersebut maka kesalahan-kesalahan yang telah disebutkan di atas menjadi pelanggaran sehingga belum dikatakan memenuhi aturan pelabelan ketika hanya mencantumkan “monosodium glutamate (msg)” seharusnya mencantumkan secara lengkap yakni “penguat rasa monosodium glutamate(msg)”.

Pernyataan halal memenuhi sebesar 80.19% (51 merek mencantumkan logo halal dengan benar). Hasil pengamatan menunjukkan beberapa kesalahan yang ditemukan adalah menggunakan logo halal tidak tersertifikasi MUI (bukan logo halal MUI) dan atau tidak ada nomor registrasi halal MUI. Beberapa merek ditemukan masih menggunakan logo halal umum (tulisan halal dalam huruf arab). Berikut contoh Gambar logo halal yang digunakan pada kemasan.

Gambar 2 Contoh perbandingan logo halal MUI (kiri) dan logo halal bukan MUI (kanan)

Gambar 2 sebelah kiri merupakan contoh gambar logo yang benar untuk dapat digunakan pada kemasan sedangkan sebelah kanan merupakan contoh gambar logo halal salah sehingga tidak boleh digunakan. Produk yang menggunakan logo halal yang tidak sesuai dengan contoh gambar logo halal yang benar (Gambar 2 sebelah kanan) seperti di atas dikategorikan sebagai produk yang belum/tidak memenuhi pencantuman pernyataan halal. Logo halal merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap konsumen yang beragama Islam. Selain itu, menurut Falah (2004) label halal pada produk olahan daging sapi menjadi hal yang paling diutamakan oleh konsumen yang memiliki pendapatan yang tinggi.

15 Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam sehingga bagi umat Islam mengkonsumsi makanan halal merupakan suatu kewajiban (seperti sholat dan puasa). Pencantuman logo halal yang belum memenuhi sebagian besar disebabkan oleh produsen kecil dan menengah. Selain itu, pengawasan terhadap label halal yang telah ada di pasaran belum optimal dilakukan dan produsen pangan olahan terutama industri menengah dan industri kecil seringkali tidak memenuhi aturan yang berlaku (Utami 2004). Hal ini menjadi evaluasi bagi pemerintah dan lembaga yang terkait untuk melakukan tindakan pengawasan yang lebih ketat terhadap produk yang memiliki resiko keharaman agar dapat mencantumkan logo halal yang benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pemenuhan terhadap nomor pendaftaran pangan cukup baik yakni mencapai 96.83% (61 merek) atau dengan kata lain hanya 2 yang tidak mencantumkan nomor pendaftaran pangan. Sebagian besar produk yang diamati pada penelitian ini memiliki jenis nomor pendaftaran MD. Berikut ini data mengenai jenis pangan berdasarkan nomor pendaftaran pangan yang diteliti.

Gambar 3 Jenis nomor pendaftaran produk pangan yang diamati

Dapat dilihat pada Gambar 3 di atas bahwa produk yang diteliti sebanyak 86% (54 merek) memiliki jenis MD (diproduksi di dalam negeri dengan izin BPOM) dan IRT-P atau PIRT (dirpoduksi oleh perusahaan rumah tangga dengan izin dinas kesehatan) sebanyak 14% (9 merek). Nomor pendaftaran pangan adalah nomor yang diberikan untuk satu jenis produk pangan yang diproduksi di suatu perusahaan (Gunanta 2007). Selain itu menurut Keputusan Kepala BPOM nomor 00/05.1.2569 nomor pendaftaran pangan sebagai syarat produk menjadi legal untuk dipasarkan (izin edar). Nomor pendaftaran MD diperuntukkan bagi perusahaan yang bermodal besar yang diproduksi di dalam negeri serta ML untuk produk- produk impor (diproduksi di luar negeri). Produk olahan daging yang ditemukan di pasar di Kota Bogor tidak ada yang memiliki jenis nomor pendaftaran pangan ML. Sebagian besar produk yang diamati memiliki jenis pendaftaran MD (terdaftar di BPOM) namun masih memiliki kesalahan/kekurangan pada pemenuhan label padahal ketika mendaftarkan produknya, produsen pangan harus melampirkan contoh label yang digunakan. Hal ini menjadi catatan penting bagi BPOM untuk memeriksa kelengkapan pemenuhan label pangan produk pada saat produsen

IRT-P 14% MD

16

mendaftarkan produknya. Selain itu, perlu diadakan investigasi lapangan untuk memastikan kesesuaian label produk yang beredar dengan aturan yang berlaku.

Pemenuhan terhadap pencantuman kode produksi dan metode penyimpanan tergolong rendah. Pemenuhannya mencapai 79.37% untuk kode produksi dan 68.25% untuk pencantuman metode penyimpanan. Tidak mencantumkan kode produksi dan metode penyimpanan merupakan pelanggaran terhadap aturan pelabelan. Walaupun tidak semua produk pangan wajib mencantumkan metode penyimpanan pada label, tetapi untuk produk olahan daging hal ini menjadi wajib karena produk olahan daging akan berubah mutu dan karakteristik produknya apabila tidak disimpan berdasarkan metode penyimpanan yang tepat bahkan berpotensi menyebabkan kerusakan produk dan bahaya untuk dikonsumi. Hal ini disbabkan karena produk olahan daging termasuk kategori pangan perishable

(mudah rusak). Bahaya kerusakan yang disebabkan oleh mikroba (bakteri) mudah sekali terjadi pada produk olahan daging. Pemenuhan pencantuman metode penyimpanan merupakan pemenuhan terendah kedua setelah pencantuman BTP pada kelompok keterangan lain.

Keterangan yang Dilarang untuk Dicantumkan pada Label

Peraturan Pemerintan Nomor 69 Tahun 1999 juga menjelaskan beberapa keterangan yang dilarang untuk dicantumkan pada label pangan. Hal ini berkaitan erat dengan kebenaran informasai yang disampaikan melalui label. Beberapa keterangan yang dilarang menurut PP 69 Tahun 1999 antara lain adalah keterangan yang tidak benar dan menyesatkan berupa gambar maupun tulisan, pangan dapat berfungsi obat, mencantumkan nama dan lembaga yang menganalisis produk pangan, keterangan bahwa pangan mengandung zat gizi lebih unggul dari produk pangan lain, keterangan pangan terbuat dari bahan baku alamiah padahal hanya sebagian atau tanpa bahan baku alamiah dalam proses pembuatannya, keterangan pangan terbuat dari bahan segar apabila terbuat dari bahan jadi/setengah jadi.

Pemenuhan tidak mencantumkan keterangan yang dilarang pada label mencapai 100% kecuali untuk pemenuhan tidak mencantumkan keterangan yang tidak benar dan menyesatkan (79.37%), tidak mencantumkan keterangan lembaga analisis (98.41%), serta tidak mencantumkan keterangan terbuat dari bahan segar (88.89%). Berdasarkan penjelasan PP Nomor 69 Tahun 1999 pasal 5 mengenai keterangan yang tidak benar dan menyesatkan menyebutkan keterangan yang tidak benar yang dimaksud merupakan suatu keterangan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya atau tidak memuat keterangan yang diperlukan agar keterangan tersebut dapat memberikan gambaran atau kesan yang sebenarnya tentang pangan. Berikut Tabel 8 menampilkan data mengenai pemenuhan tidak mencantumkan kelompok keterangan yang dilarang dicantumkan pada label.

17 Tabel 8 Pemenuhan tidak mencantumkan kelompok keterangan yang dilarang pada

label produk olahan daging di Beberapa Pasar di Kota Bogor

No Unsur label

Jumlah merek yang memenuhi aturan (dari total 63 merek)

TPP (%) 1 Keterangan yang tidak benar dan

menyesatkan 50 79.37%

2 Pangan dapat berfungsi sebagai obat 63 100% 3 Mencantumkan nama dan lembaga

yang menganalisis produk pangan 62 98.41%

4 Keterangan bahwa pangan mengandung zat gizi lebih unggul dari produk lain

63 100%

5 Keterangan bahwa pangan terbuat dari bahan baku alamiah apabila hanya sebagaian bahan baku alamiah dalam pembuatannya

63 100%

6 Keterangan pangan terbuat dari bahan segar apabila hanya terbuat dari bahan setengah jadi/bahan jadi

56 88.89%

Rata-rata 94.44%

Keterangan: TPP: Tingkat Persentase Pemenuhan

Pada Tabel 8 juga dapat dilihat bahwa pemenuhan tidak mencantumkan keterangan yang tidak benar adalah yang paling rendah yakni sebesar 79.37% atau dengan kata lain, 13 merek dari 63 merek yang diamati masih mencantumkan

Dokumen terkait