• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daging

Definisi daging menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 3932:2008) tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi yang dimaksud daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia. Soeparno (2005) mendefinisikan daging sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Komposisi daging terdiri atas air 75%, protein 19%, lemak 2.5%, dan substansi nonprotein 3.5% (Lawrie 2003). Substansi nonprotein yang yang larut terdiri dari karbohidrat, vitamin, dan mineral dalam daging (Rahmawati 2012).

Menurut Yalcin S et al. (2003) proses pengolahan daging memiliki banyak

critical control point yang dapat menyebabkan daging dapat terkontaminasi mikroba diantaranya adalah penyembelihan, pelepasan kulit, pencucian daging, serta pendinginan (chilling). Dengan demikian proses pengolahan produk daging memiliki resiko keamanan pangan yang tinggi sehingga diperlukan adanya regulasi dan pengawasan yang ketat terhadap produk-produk daging olahan yang beredar dipasaran sehingga mutu dan keamanannya dapat terjamin dengan baik.

Tingkat konsumsi daging di Indonesia senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Terutama produk daging yang beredar di pasaran seperti daging sapi dan daging ayam boiler. Berikut Tabel yang menunjukkan konsumsi daging di Indonesia.

2

penduduk oleh Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk beragama Islam pada tahun 2010 adalah 207.176.162 orang. Semua penduduk Islam di Indonesia tersebut berhak mendapatkan perlindungan untuk mengkonsumsi produk pangan yang halal.

Pengetahuan konsumen saat ini terhadap pelabelan produk pangan masih sangat minim (Rahayu WP 2011). Masyarakat perlu mengetahui adanya regulasi pelabelan yang dipersyaratkan pada produk olahan daging. Hal ini sebagai langkah preventif agar masyarakat terlindungi haknya serta produk yang dikonsumsi terjamin keamanannya serta kehalalannya.

Oleh karena itu, perlu diketahui sejauh mana tingkat pemenuhan aspek pelabelan produk olahan daging yang telah memenuhi syarat label pangan untuk mengetahaui keterjaminan keamanan dan kehalalan produk daging olahan bagi konsumen serta melihat efektivitas penerapan peraturan pemerintah sebagai bahan masukan terhadap penerapan dan perbaikan regulasi pelabelan yang ada saat ini.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat pemenuhan label produk olahan daging yang beredar di pasar Kota Bogor berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Definisi daging menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 3932:2008) tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi yang dimaksud daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia. Soeparno (2005) mendefinisikan daging sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Komposisi daging terdiri atas air 75%, protein 19%, lemak 2.5%, dan substansi nonprotein 3.5% (Lawrie 2003). Substansi nonprotein yang yang larut terdiri dari karbohidrat, vitamin, dan mineral dalam daging (Rahmawati 2012).

Menurut Yalcin S et al. (2003) proses pengolahan daging memiliki banyak

critical control point yang dapat menyebabkan daging dapat terkontaminasi mikroba diantaranya adalah penyembelihan, pelepasan kulit, pencucian daging, serta pendinginan (chilling). Dengan demikian proses pengolahan produk daging memiliki resiko keamanan pangan yang tinggi sehingga diperlukan adanya regulasi dan pengawasan yang ketat terhadap produk-produk daging olahan yang beredar dipasaran sehingga mutu dan keamanannya dapat terjamin dengan baik.

Tingkat konsumsi daging di Indonesia senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Terutama produk daging yang beredar di pasaran seperti daging sapi dan daging ayam boiler. Berikut Tabel yang menunjukkan konsumsi daging di Indonesia.

3 Tabel 1 Konsumsi daging rata-rata per kapita setahun di Indonesia, 2007-2011

No Jenis Daging Tahun (dalam Kg)

Rata-rata Pertumbuhan (%)

2007 2008 2009 2010 2011

1 Daging sapi 0,417 0,365 0,313 0,365 0,469 4,61 2 Daging ayam ras

(boiler meat) 3,441 3,233 3,076 3,546 4,328 6,60 3 Daging ayam

kampung 0,678 0,574 0,521 0,626 0,626 -1,12 Sumber: Survei Sosial-Ekonomi Nasional, 2007-2011 (www.bps.go.id)

Tabel di atas menunjukkan bahwa konsumsi daging di Indonesia semakin meningkat. Hal ini perlu adanya regulasi yang lebih tegas agar persaingan diantara produsen daging tidak menyebabkan menurunnya kualitas daging sehingga konsumen yang dirugikan. Aturan pelabelan pada produk daging olahan pun harus dikontrol dengan baik sehingga menjadi indikator mutu dan perlindungan konsumen bagi konsumen yang membeli produk daging tersebut.

Regulasi Pelabelan

Menurut CAC (Codex Alimentarius Comission) (2012), label pada kemasan pangan mempunyai fungsi untuk menjamin kesehatan dan keselamatan konsumen serta menciptakan perdagangan pangan yang adil dan jujur. Berdasarkan PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk Gambar, tulisan, kombinsai keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan sedangkan pangan halal menurut PP Nomor 69 Tahun 1999 adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu, dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.

Saat ini, regulasi pelabelan yang berlaku di Indoneia adalah PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 8 bab. Aturan pelabelan tercantum pada Bab II sedangkan pengawasan dan tindakan administratif tercantum pada Bab III dan Bab IV. Bab II terdiri dari 15 bagian dan 42 pasal (pasal 2 hingga pasal 43). Tabel rincian Bab II tentang Label Pangan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

4

Tabel 2 Rincian Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang label pangan

Bagian Perihal Jumlah Pasal

1 Umum 10 (pasal 2-11)

2 Bagian utama label 3 (pasal 12-14)

3 Tulisan pada label 2 (pasal 15-16)

4 Nama produk pangan 2 (pasal 17-18)

5 Keterangan tentang bahan yang dignakan 4 (pasal 19-22) 6 Keterangan tentang berat bersih atau isi bersih 3 (pasal 23-25) 7 Keterangan tentang nama dan alamat produsen 1 (pasal 26)

8 Tanggal kadaluwarsa 3 (pasal 27-29)

9 Nomor pendaftaran pangan 1 (pasal 30)

10 Keterangan tentang kode produksi pangan 1 (pasal 31) 11 Keterangan tentang kandungan gizi 2 (pasal 32-33) 12 Keterangan tentang iradiasi pangan dan rekayasa

genetika 2 (pasal 34-35)

13 Keterangan tentang bahan pangan yang dibuat dari

bahan baku alami 2 (pasal 36-37)

14 Keterangan lain pada label tentang pangan olahan

tertentu 5 (pasal 38-42)

15 Keterangan tentang bahan tambahan pangan 1 (pasal 43)

Jumlah 42 pasal

Label pangan merupakan kesepakatan tidak langsung antara konsumen, produsen, dan pemerintah. Pemerintah sebagai pembuat regulasi menjadi acuan utama untuk dapat memenuhi hak konsumen serta tidak menyulitkan produsen. Konsumen secara mayoritas tidak memiliki tuntutan khusus terhadap konten pelabelan hanya saja konsumen mengharapakan label pangan dapat menyediakan informasi kepada konsumen dalam memilih produk yang akan dibeli dan dikonsumsi (Blanchfield 2000). Produsen menggunakan label pangan sebagai media promosi dan iklan untuk meningkatkan minat konsumen dalam memilih produknya. Setiap kepentingan ini harus dapat diakomodir oleh pemerintah sebagai pembuat regulasi. Regulasi yang dibuat merupakan titik temu antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen (hak konsumen).

Label pangan merupakan bagian penting dari perdagangan pangan. Tanggung jawab mengenai label pangan melibatkan konsumen, produsen, dan pemerintah sebagai pembuat regulasi. Menurut Blanchfield (2000), konsumen tidak memiliki tuntutan khusus pada label pangan, tetapi konsumen mengharapkan label pangan dapat menyediakan informasi yang menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam memilih produk. Syarat unsur label berdasarkan PP Nomor 69 Tahun 1999 dapat dilihat pada Lampiran 1.

Setiap negara memiliki aturan yang berbeda dalam regulasi kemasan. Sebagai contoh di Amerika Serikat regulasi tentang aturan pelabelan disebut Food Labelling Guide yang dikeluarkan oleh FDA, Labelling of Package Food yang berlaku di

5 Australia, serta Euro Council 2000/13/EC yang berlaku di Uni Eropa yang merupakan revisi dari Euro Council 79/112/EC sedangkan peraturan yang dikeluarkan CAC (Codex Allimentarius Comission) adalah codex stan 1-1985. Berikut Tabel 3 yang menjelaskan beberapa perbedaan peraturan pelabelan yang berlaku di dunia.

Tabel 3 Perbedaan keterangan kemasan pada beberapa peraturan pelabelan

No Keterangan label PP 69 th 1999 CAC (codex stan 1-1985) EC 2000/13 FDA ‘Food Labelling Guide’ Australia ‘Labelling of Package Food’ 1 Nama produk √ √ √ √ √ 2 Berat bersih √ √ √ √ √

3 Nama dan alamat

produsen √ √ √ √ √ 4 Daftar bahan √ √ √ √ √ 5 Tanggal kadaluwarsa √ √ √ - √ 6 Informasi gizi - - - √ √ 7 Kode produksi - √ - - √ 8 Country of origin - √ √ - - 9 Informasi allergen - - - - √ 10 Cara penyimpanan - √ √ - √ 11 Petunjuk penggunaan - √ √ - √ Jumlah 5 9 8 5 10

Keterangan: √ : Diatur Sumber: Maradhika (2012)

- : Tidak diatur

Tabel 3 menunjukkan bahwa regulasi pangan di setiap negara berbeda satu dengan yang lain. Dilihat dari Tabel 3, Australia memiliki aturan pelabelan yang paling banyak mengenai aturan minimum label dibandingkan negara lain. Sanksi terhadap pelanggaran pelabelan di setiap negara berbeda-beda. Seperti contoh, pelanggaran pelabelan di Singapura mendapat hukuman berupa denda sebesar lima ribu hingga sepuluh ribu dollar Singapura dan atau kurungan penjara selama tiga bulan. Hukuman pelanggaran pelabelan di Malaysia adalah denda dan atau penjara selama tiga tahun. Pelanggaran pelabelan di Indonesia dikenakan tindakan administratif. Tindakan administratif yang dikenakan tercantum dalam pasal 61 PP Nomor 69 Tahun 1999. Tindakan tersebut beruapa peringatan tertulis, larangan peredaran produk untuk sementara waktu maupun penarikan produk, pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia, penghentian produksi, pengenaan denda (paling tinggi lima puluh juta rupiah), dan pencabutan izin produksi atau usaha.

6

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan dari bulan Februari sampai dengan Juni 2013, bulan pertama melakukan studi pustaka dan membuat instrumen penelitian. Pada bulan kedua dan ketiga melakukan pengambilan data primer di dua belas pasar di Kota Bogor serta pada bulan keempat dan kelima (mei dan juni) menyusun laporan penelitian.

Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei yang termasuk dalam penelitian deskriptif. Metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan- keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Menurut Kerlinger dan Lee (2000), penelitian survei mengkaji populasi (universe) yang besar dengan menyeleksi serta mengkaji sampel yang dipilih dari polpulasi tersebut.

Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek dalam penelitian dapat berupa orang, lembaga, masyarakat dan yang lainnya pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya (Zulnaidi 2007). Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Menurut Nazir M (2003) penelitian deskriptif secara lebih umum dikenal dengan istilah metode survei walaupun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa metode yang dapat digunakan tidak hanya dengan metode survei.

Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode survei dengan teknik purposive sampling dan pengambilan data primer menggunakan check sheet sebagai alat pengumpul data serta teknik content analysis (analisis isi). Tipe penelitian ini tergolong ke dalam penelitian deskriptif (descriptive research) karena peneliti bertujuan untuk mengukur tingkat pemenuhan label kemasan terhadap regulasi yang berlaku sehingga diperoleh gambaran terhadap tingkat pemenuhan tersebut (Singarimbun dan Effendi 2008).

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dua tahap. Tahap pertama pengumpulan data dan tahap kedua adalah analisis data. Berikut ini penjelasan mengenai tahapan penelitian yang digunakan pada penelitian ini.

7 a). Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei menggunakan pengumpulan data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan atau percobaan di laboratorium (Nasution 2007). Data label kemasan produk olahan daging dikumpulkan dari masing-masing minimarket (empat buah), supermarket (empat buah), dan hypermart (dua buah) yang berada di kota Bogor. Tempat dan lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Tempat dan lokasi pengambilan sampel produk olahan daging

Jenis Tempat Jumlah lokasi pengambilan sampel

Hypermart 2 lokasi pasar

Supermarket 4 lokasi pasar

Minimarket 3 lokasi pasar

Pasar Tradisional 3 lokasi pasar

Pada prinsipnya, seluruh produk olahan daging yang terdapat di pasar tradisional, hypermart, supermarket, dan minimarket yang dipilih akan diamati. Berbagai jenis pasar yang dipilih bersifat saling melengkapi.

b). Analisis Data

Analisis data hasil pengamatan informasi label produk olahan daging dilakukan dengan content analysis (analisis isi). Analisis isi dengan membandingkan kesesuain konten label produk dengan ketentuan regulasi yang berlaku saat ini yang dikenal dengan istilah Legal Analysis Research (Whitney dalam Gunanta 2007). Pada penelitian ini, label produk olahan daging akan dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Unsur-unsur label yang diamati dapat dilihat pada Lampiran 1.

Menurut Gunanta (2007) untuk menghitung tingkat pemenuhan persyaratan label rata-rata untuk setiap unsur atau kelompok unsur dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

TPP = ∑

��

�= � %

� Keterangan:

TPP : tingkat pemenuhan kriteria rata-rata unsur atau kelompok unsur Ui : jumlah merek yang memenuhi persyaratan unsur label ke-i m : jumlah seluruh merek produk olahan daging

n : jumlah unsur label

Disamping itu, dilakukan juga analisis sebaran tingkat pemenuhan persyaratan unsur label dengan menggunakan histogram. Penelitian ini didasarkan pada tahapan penelitian yang sesuai dengan validitas metodologi penelitian survei (Singarimbun dan Effendi 2008).

8

Dokumen terkait