• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Daya berkecambah (DB)

Hasil pengamatan rata-rata daya berkecambah benih kelapa sawit dan sidik ragam (Tabel Lampiran 1 dan 2), menunjukkan bahwa faktor periode simpan dan faktor pemanasan ulang berpengaruh sangat nyata terhadap daya berkecambah benih. Rata-rata daya berkecambah benih dan hasil uji jarak Duncan pada tiap pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Persentase Daya Berkecambah (%) Benih Akibat Berbagai Perlakuan Periode Simpan dan Pemanasan Ulang

Tanpa Disimpan Disimpan 1 Bulan Disimpan 2 Bulan Disimpan 3 Bulan Rataan Pemanasan Tanpa Dipanasi 76.71 76.07 71.13 65.59 72.37 aA Dipanasi 5 hari 73.96 70.55 61.43 53.77 64.93 bB Dipanasi 10 hari 73.70 59.33 58.94 47.74 59.93 cBC Dipanasi 15 hari 65.92 56.33 55.20 45.25 55.68 dCD Dipanasi 20 hari 62.81 56.18 50.15 43.21 53.09 dD Rataan Penyimpanan 70.62 aA 63.69 bB 59.37 cB 51.11 dC

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan

Dari Tabel 1. Terlihat bahwa perlakuan periode simpan berbeda sangat nyata terhadap daya berkecambah, dimana perlakuan tanpa disimpan memiliki daya berkecambah tertinggi yaitu 70.62% berbeda sangat nyata dengan periode simpan 1, 2 dan 3 bulan masing-masing daya berkecambah 63.69%, 59.37% dan 51.11%. Selanjutnya dari Tabel 1 juga di dapat persentase daya berkecambah yang terendah pada perlakuan periode simpan 3 bulan. Daya berkecambah yang rendah ini diduga disebabkan oleh lamanya benih berada alam penyimpanan yakni selama 3 (tiga) bulan sehingga benih mengalami kemunduran.

Hubungan antara persentase perkecambahan benih terhadap beberapa periode simpan adalah linier negatif dengan rumus Ŷ = -6.285x + 70.62, r= 0.987 (Gambar 10). Persamaan tersebut mengindikasikan bahwa persentase daya berkecambah benih adalah 70.62%. Setelah ada perlakuan penyimpanan terjadi penurunan persentase

perkecambahan sebesar 6.28% dalam setiap periode simpan (setiap 1 bulan). Terdapat hubungan antara periode simpan dengan daya berkecambah sebesar 98.7%.

Gambar 10. Korelasi Daya Berkecambah Benih Terhadap Periode Simpan (bulan)

Gambar 11. Hubungan Daya Berkecambah Benih Terhadap Pemanasan Ulang (hari)

Ŷ= -6.285x + 70.62 r = 0.987 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 0 1 2 3 D ay a K e camb ah ( % )

Periode Simpan (bulan)

Ŷ= -0.956x + 70.76 r = 0.966 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 0 5 10 15 20 D ay a K e camb ah ( % )

Perlakuan pemanasan ulang berbeda nyata terhadap daya berkecambah benih (DB). Pemanasan ulang yang terbaik terdapat pada perlakuan kontrol (tanpa pemanasan) dimana daya berkecambah benih 72.37%. Hal ini berbeda sangat nyata dengan lama pemanasan 5, 10, 15, dan 20 hari, dengan masing-masing daya berkecambah benih 64.93%, 59.93%, 55.68% dan 53.93%.

Hubungan nilai daya bekecambah benih tehadap beberapa lama pemanasan adalah linear negatif (Gambar 11), Ŷ= -0.956x + 70.76, r = 0.966. Persamaan tersebut mengindikasikan bahwa persentase daya berkecambah benih adalah 70.76%. Setelah ada perlakuan pemanasan ulang terjadi penurunan persentase perkecambahan sebesar 0.95% dalam setiap pemanasan ulang (setiap 5 hari). Terdapat hubungan antara pemanasan ulang dengan daya berkecambah sebesar 96.6%.

Laju Respirasi

Hasil pengamatan laju respirasi dan sidik ragam (Tabel Lampiran 3 dan 4), menunjukkan bahwa faktor periode simpan dan pemanasan ulang berpengaruh sangat nyata terhadap persentase respirasi benih. Rata-rata laju respirasi benih dan hasil uji jarak Duncan pada tiap pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata Laju Respirasi Benih (ml/kg.jam) Akibat Berbagai Periode Simpan dan Pemanasan Ulang Tanpa Disimpan Disimpan 1 Bulan Disimpan 2 Bulan Disimpan 3 Bulan Rataan Pemanasan Tanpa Dipanasi 0.57 1.59 2.34 2.72 1.80 dC Dipanasi 5 hari 0.76 1.74 2.42 2.80 1.93 cBC Dipanasi 10 hari 0.91 1.89 2.49 2.87 2.04 bB Dipanasi 15 hari 1.13 2.12 2.57 2.95 2.19 aA

Dipanasi 20 hari 1.28 2.19 2.65 3.02 2.29 aA

Rataan Penyimpanan 0.93 dD 1.90 cC 2.49 bB 2.87 aA

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan

Dari Tabel 2 terlihat periode simpan berpengaruh sangat nyata terhadap laju respirasi. Laju respirasi tertinggi terjadi pada periode simpan selama 3 bulan dimana laju respirasinya sebesar 2.87 ml/kg.jam berbeda sangat nyata dengan tanpa periode simpan, disimpan 1 bulan, dan disimpan 2 bulan dengan masing-masing laju respirasi 0.93 ml/kg.jam, 1.90 ml/kg.jam, dan 2.49 ml/kg.jam. Hubungan laju respirasi terhadap periode simpan menunjukkan hubungan kuadratik dimana sampai periode simpan 2 bulan laju respirasi benih meningkat secara tajam. Namun manakala periode simpan 3 bulan laju respirasi benih ada kecendrungan kenaikkan tidak terlalu tajam bahkan mulai menampakkan penurunan.

Hubungan laju respirasi benih pada berbagai tingkat periode simpan adalah kuadratik dengan persamaan Ŷ= -149 x2

+ 1.089 x, r = 0.938, R² = 0.999 (Gambar 12) Ŷ = -0.149x2+ 1.089x + 0.938 R² = 0.999 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 R e sp ira si

Gambar 12. Hubungan Respirasi Benih Terhadap Periode Simpan (bulan)

Perlakuan pemanasan ulang berbeda sangat nyata terhadap respirasi benih dimana laju respirasi tanpa pemanasan 1.80 ml/kg.jam lebih rendah dibandingkan dengan pemanasan ulang selama 5, 10, 15 dan 20 hari dengan masing-masing nilai laju respirasi 1.93 ml/kg.jam, 2.04 ml/kg.jam, 2.19 ml/kg.jam dan 2.29 ml/kg.jam.

Hubungan laju respirasi terhadap pemanasan ulang adalah linier positif (Gam bar 13). Ŷ = 0.024x + 1.804 r = 0.996 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 R e sp ira si

Gambar 13. Hubungan laju Respirasi Benih Terhadap Pemanasan Ulang (Hari) Hubungan laju respirasi benih terhadap beberapa lama pemanasan ulang adalah linear positif (Gambar 11), Ŷ = 0.024x + 1.804, r = 0.996. Persamaan tersebut mengindikasikan bahwa persentase respirasi benih adalah 1.80 ml/kg.jam. Setelah ada perlakuan pemanasan ulang terjadi kenaikan laju respirasi benih sebesar 0.02 ml/kg.jam dalam setiap pemanasan ulang (setiap 5 hari). Terdapat hubungan linier antara pemanasan ulang dengan laju respirasi sebesar 96.6%.

Kadar Air

Hasil pengamatan kadar air dan sidik ragam (Tabel Lampiran 5 dan 6), menunjukkan bahwa faktor periode simpan dan pemanasan ulang berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air benih sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Rata-rata kadar air pada setiap pengamatan dapat dilihat ada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Kadar Air Benih Kelapa Sawit (%) Akibat Berbagai Perlakuan Periode Simpan dan Efek Pemanasan Ulang

Tanpa Disimpan Disimpan 1 Bulan Disimpan 2 Bulan Disimpan 3 Bulan Rataan Pemanasan Tanpa Dipanasi 22.42 21.99 21.05 20.36 21.46 aA Dipanasi 5 hari 21.16 20.68 20.43 18.30 20.14 bB Dipanasi 10 hari 20.52 19.63 19.97 17.63 19.44 bB Dipanasi 15 hari 19.44 19.15 18.01 17.03 18.41 cC Dipanasi 20 hari 17.96 17.64 16.66 16.00 17.07 dD Rataan 20.30 aA 19.82 abAB 19.22 bB 17.86 cC

Penyimpanan

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan

Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa periode simpan 20.34%. Selanjutnya kadar air cenderung menurun akibat berbagai pengaruh periode simpan dan nilai kadar air terendah 17.86% terdapat pada periode simpan 3 bulan.

Hubungan kadar air benih terhadap beberapa periode simpan adalah linier negatif (Gambar 14) dengan persamaan Ŷ = -0.790x + 20.48, r = 0.936. Persamaan tersebut mengindikasikan bahwa persentase kadar air benih adalah 20.48%. Setelah ada perlakuan penyimpanan terjadi penurunan persentase kadar air sebesar 0.79% dalam setiap periode simpan (setiap 1 bulan). Terdapat hubungan antara periode simpan dengan kadar air benih sebesar 93.6%.

Gambar 14. Hubungan Kadar Air Benih Kelapa Sawit Terhadap Periode Simpan (bulan) Ŷ= -0.790x + 20.48 r = 0.936 17,50 18,00 18,50 19,00 19,50 20,00 20,50 21,00 0 1 2 3 K ad ar Ai r ( % )

Pengaruh perlakuan pemanasan ulang berbeda sangat nyata terhadap kadar air benih. Pada penelitian ini kandungan air tertinggi yakni tanpa pemanasan ulang (kontrol) dengan kadar air 21.46% berbeda sangat nyata dengan pemanasan ulang 5, 10, 15, dan 20 hari masing-masing nilai kadar air benih 20.14%, 19.44%, 18.41% dan 17.07%. Hubungan persentase kadar air benih terhadap beberapa pemanasan ulang adalah linier negatif dengan persamaan Ŷ = 0.210x + 21.40, r = 0.990 (Gambar 15). Persamaan ini mengindikasikan bahwa persentase kadar air benih adalah 21.40%. Setelah ada perlakuan pemanasan ulang terjadi penurunan persentase kadar air benih sebesar 0.21% dalam setiap pemanasan ulang (setiap 5 hari). Terdapat hubungan antara pemanasan ulang dengan kadar air benih sebesar 99.0%.

Gambar 15. Hubungan Persentase Kadar Air Benih Terhadap Pemanasan Ulang (hari)

Asam lemak Bebas (Free Fatty Acid)

Hasil pengamatan asam lemak bebas/FFA dan sidik ragam (Tabel Lampiran 7 dan 8), menunjukkan bahwa faktor periode simpan dan pemanasan ulang berpengaruh

Ŷ= -0.210x + 21.40 r= 0.990 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 0 5 10 15 20 K ad ar Ai r ( % )

sangat nyata terhadap asam lemak bebas dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata.

Rata-rata Asam lemak bebas/FFA benih dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata Asam Lemak Bebas/FFA Benih (%) Akibat Berbagai Pengaruh Periode Simpan dan Pemanasan Ulang Notasi Tanpa Disimpan Disimpan 1 Bulan Disimpan 2 Bulan Disimpan 3 Bulan Rataan Pemanasan Tanpa Dipanasi 0.0544 0.0807 0.1104 0.1329 0.0946 cC Dipanasi 5 hari 0.0545 0.0900 0.1143 0.1415 0.1001 cBC Dipanasi 10 hari 0.0545 0.0948 0.1201 0.1435 0.1032 bcABC Dipanasi 15 hari 0.0613 0.1071 0.1303 0.1510 0.1124 abAB Dipanasi 20 hari 0.0653 0.1075 0.1341 0.1553 0.1156 aA

Rataan

Penyimpanan 0.0580 dD 0.0960 cC 0.1218 bB 0.1448 aA

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan

Tabel 4 menunjukkan bahwa kandungan FFA pada perlakuan tanpa disimpan 0.0580% lalu meningkat menjadi 0.0960 %, 0.1218 %, dan 0.1448% masing-masing pada periode simpan 1, 2 dan 3 bulan. Hal ini menandakan semakin lama periode simpan terjadi peningkatan kandungan FFA.

Hubungan perlakuan periode simpan terhadap FFA benih adalah kuadratik dengan persamaan Ŷ = 0.003x + 0.039, r = 0.998 (Gambar 16). Pada periode simpan 2 bulan kandungan FFA cenderung meningkat tajam namun pada level periode simpan 3 bulan sudah memperlihatkan kenaikan yang tidak tajam bahkan nampak mulai menurun.

Gambar 16. Hubungan Asam lemak Bebas/FFATerhadap Periode simpan (bulan)

Perlakuan pemanasan berbeda sangat nyata terhadap kandungan asam lemak bebas/FFA benih dimana pada perlakuan tanpa pemanasan kandungan FFA 0.0946% lebih rendah dibandingkan perlakuan pemanasan 5, 10, 15 dan 20 hari dengan kandungan FFA 0.1001%, 0.1032%, 0.1124% dan 0.1156%.

Hubungan Asam Lemak Bebas/FFA pada perlakuan pemanasan ulang adalah linier posotif dengan persamaan Ŷ = 0.001x +0.094, r= 0.975 (Gambar 17). Persamaan ini mengindikasikan bahwa persentase kandungan FFA benih dalam pemanasan ulang adalah 0.09%. Setelah ada perlakuan periode simpan terjadi kenaikan persentase kandungan FFA sebesar 0.001% dalam setiap pemanasan ulang (setiap 5 hari). Terdapat hubungan antara pemanasan ulang dengan persentase kandungan FFA sebesar 97.5%.

Ŷ = -0.003x2+ 0.039x + 0.058 R² = 0.998 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0 1 2 3 As am Le mak B e b as ( % )

Gambar 17. Hubungan Asam Lemak Bebas/FFA Benih Terhadap Pemanasan Ulang (hari)

Kebocoran Membran (Uji konduktivitas)

Kebocoran membran dilihat dari nilai konduktivitas listrik dari air rendaman biji. Uji ini merupakan pengujian secara fisik untuk melihat tingkat kebocoran membran sel. Berdasarkan Lampiran 9 dan 10 dapat dilihat data pengamatan rata-rata konduktivitas listrik dan sidik ragam air rendaman biji sawit. Hasil sidik ragamnya menunjukkan bahwa perlakuan periode simpan, pemanasan ulang dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap konduktivitas listrik air rendaman benih kelapa sawit. Perlakuan tanpa periode simpan (kontrol) dikombinasikan dengan tanpa pemanasan ulang (kontrol) lebih kecil nilai kebocoran

Ŷ= 0.001x + 0.094 r = 0.975 0,00 0,02 0,04 0,06 0,08 0,10 0,12 0,14 0 5 10 15 20 As am Le mak B e b as ( % ) Pemanasan Ulang(hari)

membrannya dibandingkan kombinasi perlakuan lainnya. Kombinasi perlakuan tanpa periode simpan dan pemanasan ulang didapat nilai kebocoran membran terendah yakni 1.47 µmhos sedangkan nilai tertinggi 10.23 µmhos terdapat pada kombinasi periode simpan 3 bulan dengan pemanasan ulang 20 hari.

Rata-rata konduktivitas listrik air rendaman biji dan hasil uji jarak Duncan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata Kebocoran membran (µ mhos) Air Rendaman Benih Kelapa Sawit Akibat berbagai Perakuan Periode Simpan dan Pemanasan Ulang

Pemanasan Ulang (hari) Periode Simpan (bulan)

0 1 2 3

Tanpa Dipanasi (0 hari) 1.47 iL 5.47 hiGHI 7.97 cdCD 10.37bB Dipanasi 5 hari 3.80 kK 5.90 efFGH 8.50 cCd 10.47bB Dipanasi 10 hari 4.23 jkJK 6.37 fgFG 8.80 cC 10.53bB Dipanasi 15 hari 4.67 jlJK 6.90 efEF 10.23 bB 10.73bB Dipanasi 20 hari 4.90 ijHIJ 7.50 deDE 10.23 bB 12.13aA Rataan Penyimpanan 3.81 dD 6.43 cC 9.15 bB 10.85aA Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan

baris yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan

Gambar 18. Hubungan Kebocoran (Uji konduktivitas) Membran Benih Terhadap Pemanasan Ulang (hari)

Hubungan pengaruh interaksi perlakuan periode simpan dan pemanasan ulang terhadap kebocoran membran dapat dijelaskan bahwasanya akibat periode simpan dan pemanasaan terjadi kenaikan kebocoran membran. Namun kenaikan kebocoran membran pada perlakuan tanpa periode simpan dikombinasikan dengan tanpa pemanasan ulang dan pemanasan ulang 5 hari nampak kurva meningkat lebih tajam. Sementara itu pada periode simpan yang sama pemanasan ulang 10, 15 dan 20 hari kenaikan tidak terlalu tajam (kurva agak landai).

Pembahasan

Daya berkecambah (DB) Ŷ= 2,92x + 1,936 r = 0,983 Ŷ= 2,26x + 3,776 r = 0,997 Ŷ= 2.133x + 4.283 r = 0.996 Ŷ= 2,153x + 4,903 r = 0,938 Ŷ= 2,443x + 5,026 r = 0,994 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 0 1 2 3 K e b o co ran me mb ran

Periode Simpan (bulan)

0 5 10 15 20

Daya berkecambah (DB) suatu lot benih sangat penting diketahui untuk memberi gambaran persentase pertumbuhannya setelah ditanam di lapangan atau di lahan. Untuk produsen benih kelapa sawit, daya berkecambah mencerminkan jumlah benih yang dapat dijual, karena benih kelapa sawit dijual dalam bentuk kecambah normal. Pengecambahan benih kelapa sawit tanpa perlakuan sebelum pengecambahan dapat menghasilkan perkecambahan sekitar 50% dalam waktu 6 bulan (Fauzi et al, 2002). Hussey (1958) dalam Corley (1976) menyatakan bahwa dormansi benih sawit tidak disebabkan oleh embrionya tetapi akibat inti yang akan tetap dorman hingga 6 bulan, dormansi ini dapat diatasi dengan pemanasan pada suhu 40° C selama 80 hari.

Akan halnya benih yang sudah dipatahkan dormansinya tersebut ketika diberikan perlakuan periode simpan ternyata menunjukkan adanya perilaku dormansi yang disebut sebagai dormansi kedua (dormansi sekunder). Benih dalam hal ini tidak berkecambah dikarenakan benih berada pada suhu 18°C yang tidak sesuai untuk perkecambahannya. Sebagaimana defenisi dari dormansi sekunder adalah benih berada pada kondisi yang tidak sesuai untuk berkecambah maka benih tersebut tidak akan memperlihatkan perkecambahannya. Syarat dari berlangsungnya proses perkecambahan sangat ditentukan oleh faktor luar yakni lingkungan seperti oksigen, temperatur, dan media. Benih kelapa sawit akan memberikan respon perkecambahan pada ruang perkecambahan yang memiliki kisaran suhu 28oC.

Daya berkecambah yang tinggi pada perlakuan tanpa di simpan diduga akibat kadar air benih berada pada keadaan yang paling optimum sehingga kemampuan

benih baik dalam berkecambah. Namun daya kecambah benih tertinggi ini sesungguhnya masih berada dibawah persentase daya kecambah di PPKS. Pada kondisi yang sama benih pasca pematahan dormansi saat dikecambahkan di PPKS daya berkecambahnya mencapai 90 %. Hal ini diduga ada kaitannya dengan media kecambah yang dipakai, dimana media dari kantongan pelastik dalam penelitian ini tidak sebanding dengan jumlah benih yang dikecambahkan. Adapun 1 (satu) kantong pelastik yang diuji untuk dikecambahkan dalam penelitian ini hanya berisi 30 butir. Di PPKS media pengecambahan menggunakan tray plastik dan jumlah benih mencapai lima ratusan butir. Banyaknya jumlah benih yang dikecambahkan di PPKS mengakibatkan benih kerapatannya menjadi tinggi sehingga tercipta kelembaban udara yang cukup mendukung terjadinya perkecambahan yang serempak dan daya berkecambah 90%. Dalam penelitian ini jelas ditemukan bahwasanya benih pasca pematahan dormansi semakin menurun viabilitasnya ketika disimpan hingga periode 3 (tiga) bulan.

Selanjutnya dari Tabel 1 persentase daya kecambah yang terendah diperoleh pada perlakuan (periode simpan 3 bulan dan pemanasan ulang 20 hari). Daya kecambah yang rendah ini diduga disebabkan oleh lamanya benih berada dalam penyimpanan yakni selama 3 bulan dan pemberian panas yang terlalu lama yakni selama 20 hari.

Kemunduran benih yang disebabkan oleh penuaan (kemunduran kronologis) tidak dapat dihindarkan, merupakan faktor lain penyebab menurunnya viabilitas benih kelapa sawit. Benih yang disimpan 3 bulan daya kecambahnya rendah diduga

telah terjadi kemunduran yang secara teori bahwa proses kemunduran terjadi sejalan dengan waktu. Semakin lama waktu berjalan maka benih juga akan mengalami kemunduran viabilitasnya menjadi menurun. Demikian halnya pemberian panas selama 20 hari terhadap benih sebagai akibat pemanasan yang terlalu lama dapat menurunkan kadar air benih. Pada pemanasan 20 hari kadar air turun menjadi 17%. Menurut Chaerani (1992) apabila kadar air benih kelapa sawit kurang dari 17 % maka benih akan kekeringan dan dapat merusak embrio.

Laju Respirasi

Semua sel hidup melakukan respirasi untuk memenuhi kebutuan energi. Respirasi merupakan proses katabolisme atau penguraian senyawa organik menjadi senyawa an organik. Dalam respirasi aerob diperlukan oksigen dan dihasilkan karbon dioksida serta energi. Proses respirasi pada benih diawali dengan penangkapan O2 dari lingkungan.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa periode simpan sangat nyata mempengaruhi respirasi benih. Penggunaan oksigen sebagai tolok ukur kegiatan laju respirasi benih mengalami peningkatan dalam taraf periode simpan, sementara pada perlakuan tanpa periode simpan laju respirasi benih adalah 0,93% dan periode simpan 3 bulan menjadi 2,87%. Hal ini mengindikasikan pula bahwa telah terjadi penurunan kadar oksigen semakin besar akibat dari proses respirasi yang terjadi dalam benih atau laju tingkat penggunaan oksigen masih rendah pada tanpa periode simpan dibanding periode simpan selama 3 bulan.

Meningkatnya laju respirasi benih dengan bertambah lama penyimpanan menunjukkan bahwa benih mengalami stress sebagai respon benih terhadap suhu dimana benih semulanya berada dalam periode simpan pada temperatur rendah (18 0

C), lalu diberi perlakuan pemanasan ulang dengan suhu tinggi 400C mengakibatkan benih aktif mengadakan respirasi. Adapun respirasi yang terjadi diduga merupakan respirasi an aerob akibat terbatasnya ruang yang dipenuhi udara atau kadar oksigen yang terbatas. Hasil respirasi dalam simpanan benih berupa panas dan uap air. Panas yang timbul sebagai hamburan energi dalam benih yang seharusnya disimpan selama penyimpanan, secara langsung dapat menyebabkan viabilitas benih menurun (Purwanti, 2004). Fenomena ini digambarkan dalam matrix korelasi (Lampiran 11) dimana hubungan antara respirasi terhadap daya berkecambah nilainya negatif yang menginterpretasikan daya kecambah menurun.

Secara visual pada penelitian ini benih yang melakukan respirasi di dalam setoples kaca memperlihatkan banyak ditemukan titik uap air pertanda respirasi berjalan aktif, sebagaimana hasil dari respirasi selain CO2 adalah air (H20).

Kadar Air

Pada penelitian ini persentase kadar air akibat pengaruh periode simpan memperlihatkan sifat dari benih yakni mengalami apa yang disebut kemunduran. Pada awal terlihat kadar air tertinggi pada perlakuan tanpa periode simpan 20.30% Selanjutnya kadar air cenderung menurun akibat berbagai pengaruh periode simpan hingga periode simpan 3 bulan 17.86%. Adapun pada kombinasi perlakuan periode

simpan 3 bulan dan pemanasan ulang 20 hari, kadar air semakin tajam penurunannya menjadi 16.00 %. Kadar air menurun secara berarti sejalan dengan semakin lamanya benih di ruang pemanas karena kondisi ruang pemanas yang memiliki suhu tinggi (39o-40oC) serta kelembaban yang relatif rendah. Hal ini dapat menyebabkan kadar air benih dapat menurun walaupun benih berada dalam keadaan tertutup.

Pada penelitian ini, meskipun diusahakan agar tidak terjadi pertukaran udara yang ada didalam tray yang ditutup sebagai tempat pemanasan benih dengan udara yang diluar tray tetapi pada kenyataannya masih terjadi pertukaran udara. Hal ini dapat terlihat pada kadar air yang tajam menurunnya meskipun jarak lamanya hari pemanasan tidak terlalu jauh. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar pemanasan ditempatkan pada media tertutup rapat, misalnya menggunakan kantongan yang permiable untuk dapat mempertahankan udara yang ada didalam kantong tidak keluar dari kantong atau udara kering yang ada di luar kantong tidak dapat masuk. Benih bersifat higroskopis maka uap air yang masuk ataupun uap air yang keluar akan berpengaruh kepada kadar air didalam benih. Menurut Harrington (1972), masalah yang dihadapi dalam penyimpanan benih makin kompleks sejalan dengan meningkatnya kadar air benih. Benih adalah bersifat higroskopis, sehingga akan mengalami kemundurannya tergantung dari tingginya faktor-faktor kelembaban relative udara dan suhu lingkungan dimana benih disimpan.

Bewley dan Black (1982) menyatakan bahwa penurunan kadar air benih rekalsitran dapat mengakibatkan pengeringan di bagian embrio sehingga menekan aktifitas ribosom dalam mensintesa protein, sehingga viabilitas benih dapat menurun.

Selanjutnya Anshory (1999) menambahkan bahwa penurunan kada air dapat menyebabkan kerusakan membran sel, sehingga terjadi kebocoran metabolit seperti gula, fosfat dan kalium yang akan menurunkan viabilitas benih.

Menurut Chaerani (1992) apabila kadar air benih kelapa sawit kurang dari 17% maka benih akan kekeringan dan dapat merusak embrio. Selain itu kemunduran benih yang disebabkan oleh penuaan (kemunduran kronologis) tidak dapat dihindarkan merupakan faktor lain penyebab turunnya viabilitas benih kelapa sawit selama di ruang pemanas. Adiguno (1988) menambahkan kadar air benih kelapa sawit selama di pemanas tidak kurang dari 18%, sehingga viabilitasnya dapat dipertahankan.

Berdasarkan matrik korelasi (Lampiran 11) digambarkan hubungan kadar air dengan daya berkecambah (0.9220), dimana daya berkecambah benih masih baik. Fenomena ini dikarenakan kadar air masih berada kisaran yang optimum untuk proses perkecambahan. Dengan kata lain, kadar air meningkat daya kecambah akan meningkat.

Kebocoran Membran (Uji Konduktivitas)

Pengujian daya hantar listrik pada benih merupakan salah satu pengujian vigor yang memiliki keunggulan sendiri. Uji ini merupakan pengujian secara fisik untuk melihat tingkat kebocoran membran sel. Struktur membran sel yang jelek

menyebabkan kebocoran sel yang tinggi erat kaitannya dengan benih yang rendah vigornya.

Pengujian konduktivitas dalam penelitian ini menunjukkan bahwa periode simpan dan pemanasan ulang menaikkan nilai kebocoran membran. Pada perlakuan tanpa periode simpan dan tanpa pemanasan ulang nilai konduktivitasnya rendah (1.47 µmhos). Sebaliknya pada periode simpan 3 (tiga) bulan dan pemanasan ulang 20 (dua puluh) hari nilai konduktivitas benih menaik menjadi 12.13 µmhos. Hal ini di duga akibat periode simpan dan pemanasan ulang yang berlangsung menyebabkan benih banyak mengeluarkan senyawa metabolit disebabkan benih sudah mengalami kebocoran pada membran sel. Byrd 1988 dalam Zanzibar (2008) menjelaskan semakin banyak elektrolit seperti asam amino, asam organik lainnya serta ion-ion an organik yang dikeluarkan benih ke air rendaman maka akan semakin tinggi pula pengukuran daya hantar listriknya. Prinsip kerja konduktivitas adalah bahwa benih hidup/mati akan memberikan reaksi yang berbeda jika dialiri arus listrik. Uji konduktivitas merupakan pengujian secara fisik untuk melihat tingkat kebocoran membran sel. Struktur membran sel yang jelek akan menyebabkan kebocoran sel yang erat kaitannya dengan benih bervigor rendah (Byrd 1988 dalam Zanzibar, 2008).

Copeland dan Mc Donald (2001), benih bervigor rendah memiliki integritas membran yang rendah, sebagai akibat deteriorasi selama penyimpanan dan disebabkan adanya luka mekanis. Vigor benih dapat di deteksi secara dini dari integritas membran sel yang dapat diukur melalui konduktivitas kebocoran benih.

Purwanti (2004) mengatakan bahwa proses penuaan pada benih kedelai kuning yang disimpan pada suhu tinggi mengakibatkan kebocoran membran sel-sel benih semakin tinggi dan permeabilitas sel juga menurun. Menurunnya permeabilitas benih

Dokumen terkait