• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolat dan Morfologi Kapang Endofit dari Tumbuhan Pesisir Sarang Semut (Hydnophytum formicarum)

Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam melakukan proses isolasi kapang endofit yaitu proses sterilisasi permukaan. Sterilisasi permukaan sampel dilakukan untuk menghindari terjadinya kontaminasi mikroorganisme yang dapat tumbuh saat isolasi kapang endofit berlangsung. Pada penelitian ini digunakan larutan alkohol 70% sebagai desinfektan pada proses sterilisasi permukaan. Mekanisme kerja alkohol sebagai desinfektan yaitu dapat mendenaturasi protein dan melarutkan lemak pada membran protein mikroba sehingga dapat merusak sel mikroba kontaminan (Siswandono 1995).

Media yang digunakan dalam proses isolasi kapang juga merupakan faktor utama yang harus diperhatikan. Media isolasi yang digunakan yaitu media yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi kapang endofit untuk tumbuh. Pada penelitian ini media isolasi yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (PDA). Media PDA merupakan media yang umum digunakan untuk menumbuhkan kapang dan sebagai media isolasi (Kumala et al. 2006). Selain itu, media PDA juga dapat digunakan sebagai media pemurnian dan peremajaan kapang endofit karena mudah dicerna oleh kapang endofit dalam proses pertumbuhannya (Gandjar et al. 2006). Hasil isolasi kapang endofit dari sampel umbi tumbuhan sarang semut (Hydnophytum formicarum) menghasilkan 7 isolat kapang endofit (Tabel 2).

11 Table 2 Isolat kapang endofit

Kode isolat

Pengamatan makroskopik

dan mikroskopik Ciri morfologi kapang endofit

1A Makroskopik

Warna miselium: merah

Permukaan miselium: tidak rata, menghasilkan eksudat berwarna merah dengan bentuk permukaan menyerupai serbuk-serbuk kasar berwarna hijau keabu-abuan. Koloni bagian bawah berwarna merah.

Mikroskopik

Pengamatan mikroskop dengan perbesaran 40x10 menunjukkan konidia berbentuk bulat saling menempel dan membentuk rantai. Pertumbuhan isolat ini terjadi saat 3 hari inkubasi, kemudian pada usia 7 hari menghasilkan eksudat berwarna merah. Isolat kapang diduga merupakan Penicillium sp.

1B Makroskopik

Warna miselium: abu-abu Permukaan isolat: seperti beludru, permukaan menggunung dan tepian tidak rata disertai adanya garis-garis lingkaran konsentris berwarna putih dari pusat hingga ke tepian. Koloni bagian bawah berwarna abu-abu kehitaman. Mikroskopik

Pengamatan di bawah mikroskop perbesaran 40x10 menunjukkan konidia berbentuk bulat dengan konidiofor pendek.

Waktu tumbuh isolat terlihat saat 3 hari inkubasi. Isolat diduga jenis

Aspergillus sp. konidia

konidiofor konidia

12 Kode isolat

Pengamatan makroskopik dan

mikroskopik Ciri morfologi kapang endofit

2A Makroskopik

Warna miselium: putih Permukaan miselium: permukaan seperti kapas berwarna putih, hifa menyebar dengan tepian rata. Koloni bagian bawah berwarna putih namun terlihat ada bintik-bintik hitam kecil yang mengelilingi miselia.

Mikroskopik

Pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 40x10 menunjukkan konidiofor bercabang pendek.

Dalam waktu sehari pertumbuhan isolat mulai menyebar, setelah 3 hari inkubasi hifa mulai lebat. Isolat belum teridentifikasi.

2B Makroskopik

Warna miselium: putih

Permukaan miselium: tumbuh lebat dengan bentuk tepian rata. Koloni bagian bawah berwarna putih.

Mikroskopik

Pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 40x10 menunjukkan konidia berbentuk lonjong dengan konidiofor yang panjang.

Dalam waktu tumbuh sehari hifa sudah mulai menyebar dan lebat. Isolat belum teridentifikasi.

konidiofor

konidia

13 Kode

isolat

Pengamatan makroskopik dan

mikroskopik Ciri morfologi isolat kapang

3 Makroskopik

Warna miselium: bagian tengah berwarna cokelat dan dibagian tepih berwarna putih.

Permukaan miselium: miselia seperti kapas dan berwarna putih dengan tepian rata, menghasilkan pigmen warna cokelat kehitaman di dalam media agar.

Mikroskopik

Hasil pengamatan mikroskop perbesaran 40x10, terlihat bahwa konidiofor bersepta pendek dan konodia berbentuk bulat.

Dalam waktu tumbuh 1 hari, hifa mulai menyebar dan memenuhi cawan petri. Isolat belum teridentifikasi.

6A

Makroskopik

Warna miselium: kuning kecokelatan.

Permukaan miselium: isolat berbentuk serbuk berwarna cokelat keemasan dengan tepian tidak rata. Sebalik koloni berwarna kuning kecokelatan. Mikroskopik

Pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 40x10 menunjukkan konidia berbentuk semi bulat dan konidiofor kecil dan pendek.

Waktu tumbuh isolat selama 6 hari menunjukkan hifa mulai menyebar dan berwarna kuning. Isolat diduga jenis Aspergillus sp.

konidia konidiofor

konidia konidiofor

14 Kode isolat

Pengamatan makroskopik

dan mikroskopik Ciri morfologi kapang endofit

6B Makroskopik

Warna miselium: putih

Permukaan miselium: bentuk seperti kapas dengan tepian yang rata, garis-garis lingkaran konsentris yang mengelilingi miselia hingga ke tepian terlihat dengan jelas. Koloni sebalik berwarna putih kekuningan.

Mikroskopik

Pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 40x10 menunjukkan konidiofor berbentuk panjang dan bersepta.

Pertumbuhan isolat sangat cepat, dalam waktu 1 hari hifa mulai menyebar dan lebat. Isolat belum teridentifikasi.

Pertumbuhan kapang dapat dilihat dari penampakannya yang berserabut seperti kapas yang mula-mula berwarna putih, tetapi jika spora timbul maka akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang tersebut (Fardiaz 1992). Setiap isolat memiliki ciri-ciri dan waktu tumbuh yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan waktu tumbuh isolat kapang ada yang kurang dari 5 hari dan ada yang lebih dari 5 hari. Menurut Ramadhan (2011) ciri-ciri koloni kapang yang dianggap kapang endofit yaitu memiliki waktu tumbuh lebih dari 5 hari, tumbuh di sekitar sampel umbi tumbuhan yang ditanam pada media PDA dan memiliki morfologi yang berbeda-beda. Pujiyanto dan Rejeki (2010) juga mempertegas bahwa mikroba endofit yang ditanam pada media agar memiliki waktu tumbuh 3-5 hari.

Kapang 1A diduga merupakan isolat kapang jenis Penicillium sp. Hal ini sesuai dengan ciri morfologi isolat kapang menurut Gandjar et al. (2006) bahwa

Penicillium purpurogenum memiliki permukaan seperti beludru kasar dengan tepian koloni yang rata, miselia berwarna putih atau merah muda, konidia lebat berwarna hijau keabu-abuan dan menghasilkan eksudat berwarna merah serta koloni bagian bawahnya berwarna merah tua hingga hitam. Mendez et al. (2011) berhasil memproduksi dan mendapatkan pigmen merah alami dari eksudat isolat kapang Penicillium purpurogenum yang berpotensi sebagai pewarna alami dalam industri makanan.

Kapang 1B dan 6A diduga merupakan isolat kapang jenis Aspergillus sp. Koloni isolat 1B memiliki permukaan seperti beludru berwarna abu-abu dengan tepian yang rata dan sebalik koloni berwarna hijau kehitam-hitaman. Hal ini sesuai dengan Gandjar et al. (2006) yang telah mengidentifikasi isolat kapang

15

Aspergillus fumigatus memiliki ciri-ciri berwarna hijau tua dengan konodiofor dan yang lebat. Konidia bulat hingga semibulat berwarna hijau. Koloni 6A memiliki isolat koloni dengan permukaan tidak rata berwarna cokelat keemasan menyerupai serbuk kasar dan sebalik koloni berwarna kuning kecokelatan. Sesuai dengan identifikasi Raper dan Fennel (1965) terhadap isolat Aspergillus unguis yang memiliki ciri-ciri berwarna kuning, saat fungi berumur tua koloni berubah menjadi warna kecokelatan serta bentuk permukaan koloni tidak rata. Isolat kapang 2A, 2B, 3 dan 6B merupakan jenis isolat yang belum teridentifikasi.

Hasil Seleksi Kapang Endofit

Uji seleksi kapang endofit dilakukan melalui uji antagonisme (Sudantha dan Abadi 2007). Uji antagonisme dilakukan untuk memperoleh kapang yang bertindak sebagai antagonis. Mekanisme antagonis pada mikroba dapat terjadi melalui tiga cara yaitu parasitisme secara langsung, antibiosis dengan menghasilkan metabolik sekunder yang bersifat toksin dan kompetisi dalam hal ruang dan kebutuhan nutrisi (Pradana et al. 2013).

Hasil uji antagonisme menunjukkan bahwa kapang 3 dan kapang 6B memiliki pertumbuhan yang lebih dominan daripada kapang lainnya (Gambar 3). Hasil uji antagonisme menunjukkan interaksi antara kapang 3 terhadap kapang 1A dan kapang 2B menunjukkan pola interaksi parasitisme, yaitu kapang 3 mampu tumbuh di atas koloni kapang 1A dan 2B (Gambar 3.A.iii). Kapang 3 juga menunjukkan pola interaksi kompetisi terhadap kapang 6A dan kapang 2B (Gambar 3.B.iv) serta kapang 6B dan 2A (Gambar 3.B.v), kompetisi yang terjadi adalah kompetisi ruang dan makanan artinya kapang 3 mampu mengambil ruang dan nutrisi yang tersedia dalam media dengan menghambat pertumbuhan kapang lainnya.

Kapang 6B memiliki pertumbuhan yang dominan terhadap kapang 1A dan 6A (Gambar 3.A.i). Kapang 6B mampu tumbuh di atas kapang 6A dan menghambat pertumbuhan kapang 6A, pola interaksi ini adalah parasitisme. Pola interaksi yang terbentuk antara kapang 6B dan 1A adalah antibiosis, dimana kapang 1A menghasilkan eksudat berwarna merah sebagai resisten diri selama proses uji anatagonisme berlangsung. Widyastuti (2008) menyatakan bahwa fungi dan mikroorganisme lain memproduksi substansi kimia yang dalam bentuk metabolit sekunder, enzim, toksin, senyawa organik maupun senyawa organik sebagai bentuk pertahanan diri dalam kompetisi. Hal ini juga dilaporkan oleh Sudantha dan Abadi (2007) bahwa isolat jamur endofit Trichoderma spp. dan

Rhizoctonia spp. mampu menghambat pertumbuhan F.oxysporum dengan cara fisik (kompetisi ruang dan mikoparasit) dan mengeluarkan antibiotik yang didifusikan ke dalam medium agar.

16

(i) (ii) (iii)

(A)

(iv) (v) (B)

Gambar 3 Hasil uji antagonisme kapang pada umur 7 hari

Keragaman tingkat penghambatan kapang 3 dan kapang 6B terhadap kapang lainnya diduga erat kaitannya dengan kemampuan dari kapang 3 dan kapang 6B berkompetisi dengan kapang lain terutama sebagai mikoparasit dan kecepatan tumbuh. Widyastuti (2007) juga mempertegas bahwa kemampuan mikoparasit merupakan kemampuan mikroba memproduksi enzim ekstraseluler untuk merusak dinding sel fungi lain yang kemudian digunakan sebagai sumber makanan. Kejadian seperti ini dilaporkan oleh Papavizas (1985) dalam Sudantha dan Abadi (2007), bahwa mekanisme mikoparasitisme dimulai dengan pelunakan sel inang jamur lainnya oleh enzim yang dihasilkan oleh mikoparasit

Trichoderma sebelum kerusakan dan kematian sel inang jamur lainnya. Ismed et al. (2011) melaporkan bahwa Trichoderma hamatum memproduksi enzim

b-1,3-3 1A 2A 1B 6B 1A 6A 2B 1A 6B 6A 1A 1B 3 2A 1A 2B 1A 6A 2B 3 6A 2B 3 3 2A 6B 3 2A 6B

17 glukanase dan kitinase yang dapat menyebabkan eksolisis hifa inang.

Trichoderma harzianum strain 1295-22 juga menghasilkan antibiotik volatil yang mampu mengurangi pertumbuhan miselium Rhizoctonia solani.

Kapang endofit yang lebih dominan terhadap pertumbuhan kapang endofit lain adalah kapang endofit yang bertindak sebagai antagonis. Hasil seleksi antagonisme menunjukkan kapang 3 dan 6B bersifat antagonis terhadap kapang lain selanjutnya untuk menyeleksi kapang terpilih dilakukan uji pendahuluan penghambatan enzim α-glukosidase Tahap 1.

Ekstrak Media Kultur Kapang 3 dan Kapang 6B

Ekstraksi adalah metode pemisahan suatu komponen cair dari campurannya menggunakan sejumlah massa pelarut sebagai tenaga pemisah. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam proses ekstraksi adalah temperatur, waktu kontak, perbandingan solute, faktor ukuran partikel, pengadukan dan waktu dekantasi (Yasita dan Intan 2009). Sampel yang diekstrak yaitu media kultur kapang 3 dan kapang 6B hasil pemanenan dengan masa inkubasi 7 hari dengan perlakuan shaking dan statis. Ekstraksi media kultur kapang 3 dan kapang 6B dilakukan dengan maserasi menggunakan etil asetat sebagai pelarut.

Kelebihan metode maserasi adalah relatif sederhana, yaitu tidak memerlukan alat-alat yang rumit, relatif mudah, murah dan dapat menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas (Meloan 1999). Etil asetat digunakan karena memiliki polaritas sedang (semi polar) sehingga mampu melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat polar maupun non polar. Selain itu, etil asetat tidak bercampur dengan media kultur sehingga mudah dipisahkan dengan media kultur (Nursid 2010). Semua filtrat yang diperoleh dari hasil ekstraksi kemudian diuapkan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh rendemen ekstrak kental etil asetat kapang 3 dan kapang 6B.

Hasil evaporasi dari ekstrak media kultur kapang 3 dan kapang 6B dengan pelarut etil asetat menghasilkan sifat yang berbeda. Ekstrak etil asetat kapang 3 berwarna cokelat kehitaman dan berbentuk pasta dengan tekstur kasar, sedangkan ekstrak etil asetat kapang 6B berwarna kuning kecokelatan dan berbentuk pasta dengan tekstur keras. Perbedaan rendemen disebabkan kemampuan pelarut dalam proses ektraksi untuk memperoleh zat aktif dalam sampel, dan kelarutan zat aktif dalam pelarut yang berbeda (Adewole et al.

2006). Nilai rendemen (% b/v) ekstrak etil asetat kapang 3 dan kapang 6B dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai rendemen ekstrak etil asetat kapang 3 dan kapang 6B

Jenis sampel Rata-rata rendemen

(% b/v)* Ekstrak media kultur kapang 3 Shaking 9.5 Ekstrak media kultur kapang 3 Statis 7.83 Ekstrak media kultur kapang 6B Shaking 8.5 Ekstrak media kultur kapang 6B Statis 7.5 *dihitung terhadap 300 mL media kultur

18

Nilai rendemen ektrak etil asetat kapang 3 dan kapang 6B dengan perlakuan shaking dan statis menghasilkan nilai rata-rata rendemen yang berbeda-beda. Nilai rendemen ekstrak dengan perlakuan shaking (keadaan goyang) menghasilkan nilai lebih besar daripada rendemen ekstrak dengan perlakuan statis (tidak digoyang). Adewole et al. (2006) menyatakan bahwa perbedaan rendemen disebabkan kemampuan pelarut dalam proses ektraksi untuk memperoleh zat aktif dalam sampel, dan kelarutan zat aktif dalam pelarut. Rendemen ekstrak yang diperoleh dipengaruhi oleh kondisi alamiah senyawa aktif pada bahan, metode ekstraksi, waktu ekstraksi, ukuran partikel sampel, serta pelarut sampel (Harborne 1987). Hasil ekstrak etil asetat kapang 3 dan kapang 6B digunakan sebagai sampel pada uji inhibitor enzim α-glukosidase tahap 1.

Aktivitas Inhibitor Ekstrak Media Kultur Kapang 3 dan Kapang 6B terhadap Enzim α-Glukosidase (Uji Tahap 1)

Alfa glukosidase merupakan enzim yang berfungsi memecah karbohidrat menjadi glukosa dan monosakarida lainnya di dalam saluran pencernaan manusia (Kim et al. 2008). Senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim tersebut menunjukkan indikasi sebagai inhibitor enzim α-glukosidase. Penelitian

uji daya hambat aktivitas α-glukosidase secara in vitro ini menggunakan ρ -nitrofenil-α-D-glukopiranosida sebagai substrat.

Prinsip pengujian penghambatan α-glukosidase adalah terjadinya perubahan warna substrat yang berubah menjadi warna produk. Menurut Sugiwati et al. (2009) daya hambat terhadap aktivitas α-glukosidase dipelajari secara pseudo-substrat dengan mengetahui kemampuan sampel untuk menghambat reaksi hidrolisis glukosa pada substrat p nitrofenil-α-D glukopiranosida sehingga substrat akan terhidrolisis menjadi α-D-glukosa dan p

nitrofenol yang berwarna kuning (Gambar 4). Hasil hidrolisis tersebut dapat diukur absorbansinya dengan spektofotometer UV-Vis. Rahman et al. (2011)

menyatakan bahwa semakin besar kemampuan inhibitor untuk menghambat maka produk yang dihasilkan semakin sedikit atau warna larutan setelah inkubasi lebih cerah dibandingkan dengan larutan tanpa inhibitor.

Gambar 4 Persamaan reaksi enzimatis α- glukosidase Sumber: Sugiwati et al. (2009)

Uji tahap 1 dilakukan untuk menentukan besar penghambatan ekstrak media kultur kapang 3 dan kapang 6B. Masa inkubasi dilakukan selama 7 hari dengan perlakuan kondisi statis dan shaking dengan kecepatan 120 rpm.

19 Penelitian pendahuluan ini mengacu pada Artanti et al. (2011) yang melakukan pengujian ekstrak kapang endofit terhadap aktivitas enzim α-glukosidase dengan masa inkubasi 7 hari. Ekstrak diuji pada konsentrasi 625 ppm; 1250 ppm; 2500 ppm; 5000 ppm dan 10000 ppm. Aktivitas penghambatan ekstrak media kultur

kapang 3 dan 6B terhadap enzim α-glukosidase dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Penghambatan ekstrak kapang 3 dan 6B terhadap aktivitas enzim α

-glukosidase pada kondisi statis dan shaking dengan masa inkubasi 7 hari

Sampel

Konsentrasi (ppm)

625 1250 2500 5000 10000

Ekstrak media kultur kapang 3

Shaking -0.356% -3.629% -8.426% -9.591% -9.196%

Ekstrak media kultur kapang 3

Statis -1.564% 8.934% 4.745% -2.427% -25.134%

Ekstrak media kultur kapang

6B Shaking -2.774% 8.276% 4.947% 4.835% 2.453%

Ekstrak media kultur kapang

6B Statis 3.288% -0.622% -2.872% 3.050% 2.294%

Akarbose 89.462% 91.989% 91.989% 91.514% 90.475%

Hasil uji tahap 1 menunjukkan bahwa secara umum ekstrak media kultur kapang 3 dan 6B yang diinkubasi selama 7 hari pada kondisi shaking (digoyang) dan statis (tidak digoyang) tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan

enzim α-glukosidase (Tabel 4). Namun, pada beberapa sampel dengan konsentrasi tertentu menunjukkan aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase . Ekstrak media kultur kapang 3 dengan perlakuan statis dengan konsentrasi 1250 ppm dan 2500 ppm menunjukkan nilai inhibisi adalah sebesar 8.943% dan 4.745%. Ekstrak media kultur kapang 6B dengan perlakuan shaking pada konsentrasi 1250 ppm, 2500 ppm, 5000 ppm dan 10000 ppm berturut-turut menunjukkan nilai inhibisi adalah sebesar 8.276%, 4.947%, 4.835% dan 2.453%. ekstrak media kultur kapang 6B dengan perlakukan statis dengan pada konsentrasi 625 ppm, 5000 ppm dan 10000 ppm berturut-turut adalah sebesar 3.288%, 3.050% dan 2.294%. Hal ini diduga saat dipanen pada hari ke-7 kedua kapang belum menghasilkan metabolit sekunder yang mampu menghambat aktivitas enzim α-glukosidase.

Menurut Powthong et al. (2012), beberapa faktor yang mempengaruhi keberadaan senyawa bioaktif dari suatu kapang endofit saat kultivasi yaitu, tingkat inokulum, pemilihan medium kultur, periode inkubasi dan pelarut yang digunakan untuk ekstraksi. Penelitian Artanti et al. (2011) menunjukkan bahwa ekstrak media kultur kapang yang diiisolasi dari tumbuhan Taxus sumatrana

memiliki penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase pada 2 jenis kapang yaitu sebesar 18.2% dan 18.6%. Sathiyaseelan dan Stella (2012) juga melaporkan bahwa ekstrak media kultur isolat Actinomycetes sp. yang diinkubasi selama 7 hari menunjukkan dari 8 isolat Actinomycetes sp, hanya 1 jenis yang menunjukkan aktivitas penghambatan enzim α–glucosidase yang signifikan.

Hasil uji tahap 1 menunjukkan kapang 3 sebagai kapang terpilih karena memiliki aktivitas inhibitor enzim lebih tinggi dari pada kapang 6B sehingga

20

kapang 3 merupakan isolat kapang yang akan digunakan sebagai sampel dalam pengujian selanjutnya.

Pertumbuhan Kapang 3

Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui perubahan suasana pH media yang telah ditumbuhi kapang selama proses fermentasi. Hasil pengamatan selama proses fermentasi, nilai pH media kultur kapang 3 turun dari 5 menjadi 4 selama 27 hari masa inkubasi. Nilai pH media kultur dari hari ke-0 sampai hari ke-12 sebesar 5. Nilai pH kemudian mengalami penurunan pada hari ke-15 sampai hari ke-27 yaitu 4. Perubahan pH yang terjadi menunjukkan terjadinya pertumbuhan kapang dan menghasilkan suatu senyawa yang bersifat asam atau basa. Gandjar et al. (2006) menyatakan bahwa pada umumnya kapang hidup pada lingkungan dengan nilai pH di bawah 7. Kondisi pH suatu media mempengaruhi pertumbuhan kapang, karena beberapa enzim tertentu hanya aktif sesuai dengan pH substrat tertentu. Srikandace et al. (2007) mengemukakan bahwa perubahan pH pada media fermentasi disebabkan oleh aktivitas metabolisme isolat kapang.

Kurva pertumbuhan kapang menunjukkan bahwa waktu mempunyai hubungan yang erat dengan fase pertumbuhan kapang (Srikandace et al. 2007). Produksi metabolit sekunder pada kapang endofit berfluktuasi dan berhubungan dengan tahap pertumbuhannya. Metabolit sekunder dari kapang dapat dipanen pada fase stasioner dari pertumbuhan kapang (Gandjar et al. 2006). Penentuan kurva pertumbuhan kapang endofit diperoleh dari menimbang biomassa kering kapang. Hal ini dilakukan untuk mengetahui waktu yang tepat untuk panen atau waktu kapang tersebut menghasilkan sel paling banyak (Wuryanti 2008).

Kapang 3 diduga mengalami fase adaptasi pada hari ke-0 sampai hari ke-3 yaitu kapang melakukan adaptasi dengan media dan lingkungannya. Jumlah awal sel yang dipindah ke media baru mempengaruhi cepat lambatnya proses adaptasi. Wuryanti (2008) mengemukakan bahwa jika media dan lingkungan

Gambar 5 Kurva pertumbuhan kapang selama 27 hari 0.0625 0.089 0.126 0.177 0.202 0.333 0.342 0.507 0.4785 0.418 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 0 1 2 3 4 5 6 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27

Masa inkubasi (Hari ke-)

Nila i pH B io m a ss a k er ing ( g r/m L )

21 pertumbuhan sama dengan media sebelumnya, mungkin tidak perlu waktu adaptasi.

Kapang diduga mengalami fase eksponensial dari hari ke-12 sampai hari ke-15, hal ini dapat dilihat pada peningkatan jumlah biomassa sel kapang yang banyak. Kapang mengalami fase deselerasi pada hari ke-15 sampai hari ke-18, hal ini dapat dilihat dari biomassa sel kapang yang mengalami peningkatan sel yang relatif sedikit. Fase deselerasi kapang ditandai dengan pertumbuhan sel-sel kapang yang mulai menurun.

Kapang 3 memiliki fase stasioner pada hari ke-21 sampai hari ke-24 (Gambar 5). Fase stasioner dimulai ketika biomassa sel kapang tidak lagi menunjukkan pertambahan jumlah yang signifikan. Jumlah biomassa tertinggi dihasilkan pada hari ke-21 sehingga ditentukan bahwa hari optimasi panen kapang 3 berada pada hari ke-21. Penelitian Simanjuntak et al. (2002) membuktikan bahwa produk metabolit sekunder mulai dihasilkan kapang dengan intensitas terbesar pada akhir fase eksponensial atau awal fase stasioner (saat beberapa sumber nutrisi mulai terbatas) hingga akhir fase kematian. Menurut Gandjar et al. (2006), fase stasioner kapang, yaitu banyaknya jumlah sel yang bertambah sama dengan banyaknya jumlah sel yang mati. Penurunan kecepatan tumbuh terjadi karena keterbatasan unsur-unsur pertumbuhan setelah digunakan pada fase sebelumnya. Srikandace et al. (2007) menyatakan bahwa keterbatasan sumber utama sintesis tersebut antara lain gula sebagai sumber karbon dan protein sebagai sumber asam amino atau nitrogen. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pelepasan zat-zat hasil proses katabolisme yang merupakan metabolit sekunder.

Melewati hari ke-24, kapang memasuki fase kematian, jumlah sel kapang semakin berkurang dan tidak ada penambahan jumlah sel kapang. Hal ini terjadi karena nutrisi dalam media serta cadangan makanan di dalam sel telah habis.

Ekstrak Media Kultur dan Ekstrak Miselium Kapang 3

Ekstraksi yang dilakukan adalah proses ekstraksi media kultur menggunakan pelarut etil asetat (semi polar) dan ekstraksi miselium kapang menggunakan pelarut metanol (polar). Pelarut etil asetat digunakan karena memiliki polaritas sedang sehingga mampu melarutkan senyawa aktif yang bersifat polar maupun nonpolar. Pelarut metanol merupakan pelarut polar yang bersifat multipolar pelarut yang dapat melarutkan hampir semua senyawa organik, baik polar, semi polar, dan non polar sehingga mudah diuapkan (Putri et al. 2010). Menurut Borges et al. (2006), senyawa penghambat α-glukosidase pada umumnya adalah senyawa semi polar hingga polar yang memiliki ikatan glikosida pada strukturnya.

Ekstrak dari kedua sampel memiliki warna yang sama yaitu cokelat kehitam-hitaman dan berbentuk pasta yang diduga mengandung metabolit sekunder (Gambar 6). Nilai rendemen (% b/v) ekstrak kasar media kultur kapang 3

sebesar 11.57%. Nilai rendemen (%b/b) ekstrak miselium kapang 3 sebesar 23.57%. Perbedaan rendemen ekstrak yang dihasilkan karena jumlah pelarut dan metode ekstraksi yang digunakan berbeda. Markham (1988) menyatakan bahwa komponen yang terbawa pada proses ekstraksi adalah komponen yang

22

berpolaritas sesuai dengan pelarutnya, sehingga jenis pelarut yang digunakan dapat mempengaruhi jumlah rendemen yang dihasilkan.

Gambar 6 Ekstrak kasar kapang 3, a) ekstrak etil asetat, b) ekstrak metanol Aktivitas Inhibitor Ekstrak Media Kultur dan Ekstrak Miselium Kapang 3

terhadap Enzim α-Glukosidase (Uji Tahap 2)

Uji tahap 2 dilakukan untuk menentukan aktivitas ekstrak media kultur dan miselium kapang 3 sebagai isolat terpilih dalam menghambat enzim α -glukosidase. Aktivitas penghambatan ekstrak media kultur dan ekstrak miselium kapang 3 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Penghambatan ekstrak media kultur dan ekstrak miselium kapang 3

terhadap aktivitas enzim α-glukosidase dengan masa inkubasi 21 hari

Konsentrasi sampel (ppm)

% inhibisi ekstrak media kultur

% inhibisi ekstrak miselium 1250 14.54 9.083 5000 43.68 31.22 10000 60.69 38.06 15000 67.19 42.22 20000 72.63 42.55

Daya inhibisi ekstrak kapang 3 terhadap enzim α-glukosidase pada berbagai konsentrasi menghasilkan nilai yang berbeda-beda. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan distribusi metabolit sekunder yang dapat

menghambat aktivitas α-glukosidase (Purwatresna 2012). Nilai inhibisi enzim α -glukosidase tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak media kultur kapang 3 pada

Dokumen terkait