• Tidak ada hasil yang ditemukan

(a) (b)

Gambar 16 Hasil foto SEM permukaan (a) film formula 6, (b) film formula 28 dengan perbesaran 5000 kali

Hasil Pencetakan Kapsul

Pada tahap akhir (tahap validasi) dilakukan pencetakan kapsul dari solusi optimasi yang dipilih yaitu formula 6 dan formula 28. Bentuk dari kapsul yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 17.

(a) (b)

Gambar 17 Hasil pencetakan kapsul (a) formula 6, (b) formula 28

PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan Baku

Air menurut Winarno (2002) dapat mempengaruhi penampakan, cita rasa, tekstur serta mutu dari suatu bahan pangan. Pengujian kadar air perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung dalam bahan baku yang dalam hal

20kV X5,000 26.4um 000006 20kV X5,000 26.4um 000028

22

ini adalah kadar air amilopektin dan karagenan. Kadar air akan berpengaruh pada daya simpan bahan baku sebagai bahan dasar film. Hal ini terkait dengan aktivitas metabolisme yang terjadi selama penyimpanan seperti aktivitas mikroba dimana semakin tinggi kadar air maka daya simpan bahan baku akan semakin pendek karena akan mudah terkontaminasi oleh mikroba (Setiani et al. 2013).

Kadar air dari amilopektin dan karagenan yang diperoleh sebesar 13.12 % dan 8.24 % (Tabel 1). Tinggi rendahnya kadar air suatu bahan baku ditentukan oleh sifat dan kemampuan bahan tersebut dalam menarik air serta proses pengeringan dan kadar air bahan baku itu sendiri. Kadar air yang diperoleh untuk karagenan telah memenuhi standar FAO, dimana nilai yang ditetapkan oleh FAO untuk standar kadar air karagenan adalah 12 %.

Kadar abu dari amilopektin dan karagenan yang diperoleh sebesar 0.12 % dan 18.04 % (Tabel 1). Pengujian kadar abu dilakukan untuk mengetahui kandungan komponen anorganik atau garam mineral yang tertinggal pada pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Nilai kadar abu suatu bahan dapat menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Semakin tinggi kadar abu suatu bahan, maka semakin rendah kemurniannya. Tinggi rendahnya nilai kadar abu dapat dipengaruhi oleh bebrapa faktor, diantaranya dapat dipengaruhi oleh proses demineralisasi pada saat pembuatan bahan baku dan kandungan mineral yang berbeda pada sumber bahan baku tersebut. Kadar abu yang diperoleh untuk karagenan telah memenuhi standar FAO yaitu sebesar 15 % - 40 %.

Rendemen Amilopektin

Pati merupakan karbohidrat penyimpan energi pada tumbuhan. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang terdiri dari dua fraksi yaitu amilopektin dan amilosa. Amilosa merupakan komponen pati dengan rantai lurus yang larut dalam air. Komposisi amilosa sebagai penyusun pati umumnya berkisar antara 15 % - 30 %. Amilosa terdiri dari satuan glukosa yang tergabung melalui ikatan (1,4) D-glukosa. Rantai lurusnya menyebabkan amilosa bersifat kristalin yang mengakibatkan molekul pati menjadi rapuh jika digunakan sebagai bahan baku pembuat film, sehingga perlu dilakukan pemisahan antara amilosa dan amilopektin untuk mendapatkan film dengan hasil yang lebih baik. Amilopektin merupakan komponen pati yang paling dominan dengan rantai bercabang dan kurang larut dalam air. Komposisi amilopektin sebagai penyusun pati umumnya berkisar antara 70 % - 85 %. Amilopektin memiliki sifat alir dan daya kompresibilitas yang kurang baik, tetapi memiliki sifat granuler yang mengembang dan daya pengikat yang baik, sehingga sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan cangkang kapsul pengganti gelatin (Krogras 2003, Oktavia et al. 2013).

Secara umum, pemisahan amilosa dan amilopektin dilakukan menggunakan pelarut organik yaitu dimetil sulfoksida (DMSO) dan n-butanol. Ben et al. (2007), melakukan pemisahan amilosa dan amilopektin dengan cara fraksinasi butanol-air menggunakan perbandingan 1:7 pada pati singkong yang menghasilkan amilosa sebesar 11% dan amilopektin sebesar 14%. Penggunaan pelarut organik tersebut ternyata menimbulkan efek samping seperti sakit kepala, gangguan pernapasan, serta rasa mual. Selain itu, pelarut organik tersebut mahal dan kurang efisisen dalam memisahkan amilosa serta amilopektin (Hanslick et al. 2008). Alternatif

23 baru untuk pemisahan amilosa dan amilopektin dengan menggunakan air telah diberikan oleh Riyanto (2012) yang melakukan pemisahan dan pencirian amilosa dan amilopektin pada tepung tapioka dan sagu menggunakan ragam suhu air. Kadar amilopektin tertinggi dari tepung tapioka didapatkan pada suhu pemanasan 55 0C dengan nisbah 1:30 (tepung-air) sebesar 76.74 %, sedangkan untuk pati sagu kadar amilopektin tertinggi didapatkan pada suhu pemanasan 55 0C dengan nisbah 1:45 sebesar 79.39 %. Boediono (2012), juga melakukan pemisahan dan pencirian amilosa dan amilopektin dari pati jagung dan pati kentang pada berbagai suhu. Kadar amilopektin pati jagung tertinggi didapatkan pada kondisi suhu 70 0C, nisbah 1:30 sebesar 97.74 %; sedangkan untuk pati kentang berada pada suhu 55 0C, nisbah 1:30 sebesar 93.69 %.

Amilopektin diisolasi dari pati dan dipisahkan dari amilosa berdasarkan pada perbedaan sifat keduanya dalam air panas yaitu amilosa bersifat dapat larut dalam air panas sedangkan amilopektin tidak larut. Pemisahan amilosa dilakukan pada pati singkong dengan perbandingan 1:30 (pati-air) pada suhu 55 0C selama 1.5 jam yang mengacu pada hasil penelitian Riyanto (2012). Digunakannya air dalam pemisahan amilopektin dari amilosa dikarenakan air lebih aman, ekonomis serta efisien untuk proses lebih lanjut dibandingkan dengan menggunakan DMSO dan n-butanol (Mua dan Jackson 1995).

Dari hasil pemisahan didapatkan dua fase yaitu filtrat dan endapan. Filtrat yang dihasilkan diduga amilosa sedangkan endapan yang didapat diduga merupakan amilopektin. Identifikasi fraksi amilosa dan amilopektin dilakukan secara kualitatif. Hasil analisis menunjukkan jika fraksi amilosa ditetesi dengan pereaksi iodin akan memberikan warna biru keunguan sedangkan fraksi amilopektin ditetesi dengan pereaksi iodin memberikan warna merah ungu. Pati jika berikatan dengan iodium akan memberikan warna biru jika polimer glukosanya lebih besar dari 20 (seperti amilosa) dan jika polimer glukosanya kurang dari 20 (seperti amilopektin) akan menghasilkan warna merah atau ungu coklat (Koswara 2009).

Rendemen merupakan parameter yang sangat penting untuk diketahui sebagai dasar perhitungan finansial, memperkirakan jumlah bahan baku untuk memproduksi suatu produk dalam jumlah tertentu serta untuk mengetahui efisiensi dari suatu proses pengolahan bahan baku. Semakin besar rendemen yang didapat menunjukkan semakin efektin dan efisien proses yang dilakukan pada pengolahan bahan baku. Dari hasil pemisahan 100 gr pati singkong, didapatkan rendemen amilopektin sebesar 96.24 %.

Hasil Analisis Trial and Error Formulasi

Trial and error dilakukan untuk menentukan batas maksimum dan minimum dari bahan baku yang akan digunakan. Bahan baku (variabel faktor) yang akan digunakan yaitu amilopektin, karagenan dan gliserin. Trial and error

dilakukan sebanyak 12 kali dengan komposisi persentase amilopektin, karagenan dan gliserin yang berbeda (Lampiran 2) dengan mengamati kekentalan larutan. Kekentalan larutan sangat berpengaruh terhadap proses pencetakan kapsul selain suhu pencetakan. Semakin kental larutan maka pencetakan kapsulnya akan semakin sulit karena larutan akan semakin cepat beku pada suhu ruangan. Dari hasil trial and error ditetapkan kisaran nilai batasan maksimum dan minimum untuk amilopektin 1 % - 3 %, karagenan 1 % - 2 % dan gliserin 2 % - 3 % (Tabel

24

2). Penetapan kisaran nilai tersebut merujuk pada penggunaan karagenan yang dianjurkan dalam produk makanan berkisar antara 0.05 % - 2 % (Necas dan Bartosikova 2013) dan penggunaan gliserin sebesar 10 % - 60 % dari berat hidrokoloid.

Hasil Analisis Rancangan Formulasi dan Pengukuran Respon Tujuan dari rancangan formulasi yaitu untuk menentukan formula/perlakuan yang akan dianalisis dilaboratorium. Rancangan formulasi dilakukan dengan menggunakan program Design Expert 7.0.0 (trial version) Response Surface Methodology Central Compoiste Design untuk menetukan variabel faktor. Hasil dari tahapan ini adalah rekomendasi formula oleh program yang akan dianalisis dimana jumlah rekomendasi formulanya tergantung dari berapa jumlah variabel faktor yang digunakan. Variabel faktor merupakan variabel yang akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Pada penelitian ini yang menjadi variabel faktor adalah persentase amilopektin, karagenan dan gliserin. Penentuan variabel faktor diperoleh berdasarkan kajian penelitian sebelumnya (Saleha dan Desiyana 2011, Anggraeni 2011, dan Anthony 2009) dan dilakukan trial and error untuk menentukan batas minimum dan maksimum dari variabel faktor yang akan digunakan. Dari hasil trial and error yang telah dilakukan didapatkan nilai batas minimum dan maksimum seperti pada Tabel 2. Setelah didapatkan nilai minimum dan maksimum, nilai tersebut dimasukkan ke dalam program untuk dilakukan pengacakan kombinasi. Setelah dilakukan pengacakan kombinasi didapatkan 20 rancangan formula rekomendasi program yang akan dianalisis di laboratorium (Tabel 3) dengan respon yang akan diukur meliputi kadar air, kadar abu, kelarutan dalam air, kekuatan gel dan viskositas. Respon yang dioptimasi meliputi kadar air, kadar abu dan kelarutan dalam air yang merupakan bagian dari standar cangkang kapsul komersial. Standar cangkang kapsul komersial meliputi bobot cangkang kapsul (69-83 mg/100 cangkang kapsul), kadar air (13 % - 16 %), kadar abu (< 15 %), derajat keasaman (pH) (5 – 7), kelarutan dalam air (< 15 menit), dan kelenturan cangkang kapsul (Kapsulindo Nusantara 2007, Depkes RI 1995).

Formulasi merupakan tahap pembuatan film sesuai dengan formula yang diberikan oleh program Design Expert 7.0.0 (trial version). Proses pembuatan film dimulai dengan melarutkan karagenan dan amilopektin hingga suhu gelatinasinya yang kemudian ditambahkan dengan gliserin pada amilopektin. Pada proses gelatinasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intramolekueler, dimana ikatan hidrogen tersebut berperan dalam mempertahankan struktur integritas granula. Adanya gugus hidroksil bebas akan menyerap air dan terperangkap dalam susunan molekul-molekul amilopektin dan karagenan sehingga terjadi pembengkakan granula. Dengan demikian, semakin banyak gugus hidroksil maka akan semakin tinggi kemampuannya menyerap air. Gliserin berfungsi sebagai pemlastis yang akan meningkatkan sifat kelenturan dan kemuluran pada film. Gliserin merupakan plasticizer yang bersifat hidrofilik sehingga mempunyai kemampuan mengikat air. Gliserin memiliki kemampuan untuk mengurai ikatan hidrogen internal pada ikatan intramolekuler dengan cara masuk kedalam jaringan polimer amilopektin yang mengakibatkan rantai polimernya menjadi lebih renggang dan menyebabkan struktur polimernya menjadi elastis. Karagenan ditambahkan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap sifat fisik film yang dibuat.

25 Setelah suhu gelatinasi masing-masing tercapai, dilakukan pencampuran kedua larutan tersebut dan dipanaskan hingga suhu 90 0C ± 5 0C yang bertujuan agar amilopektin dan karagenan benar-benar larut yang berarti ikatan hidrogen antar amilopektin dan karagenan terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen antara molekul amilopektin dan karagenan dengan molekul air. Pada saat pemanasan gerakan molekul air akan lebih besar sehingga penetrasi kedalam molekul amilopektin dan karagenan akan menjadi lebih besar yang menyebabkan akan banyak molekul air yang terperangkap pada molekul karagenan dan amilopektin.

Film dicetak dengan metode gel casting, dimana pelarut diuapkan melalui pengeringan dingin sehingga menurunkan kelarutan polimer dan rantai polimer menyesuaikan diri untuk membentuk film. Film dikeringkan selama 48 jam pada suhu 20 0C – 25 0C dengan kelembapan 40 % - 45 %. Digunakannya suhu dan kelembapan tersebut yaitu menyesuaikan dengan kondisi pengeringan dan kelembapan cangkang kapsul pada pabrikasi cangkang kapsul. Film yang dihasilkan homogen, bening dan lentur, tetapi tidak mudah robek. Karagenan dapat membentuk film karena memiliki kemampuan untuk terhidrasi dan membentuk gel yang baik. Pemlastis gliserin menyebabkan film menjadi lentur dan penambahan amilopektin diharapkan dapat memperbaiki kekuatan film.

Setelah film kering kemudian dilakukan pengukuran respon yang meliputi kadar air, kadar abu dan kelarutan dalam air, sedangkan pengukuran viskositas dan kekuatan gel dilakukan sebelum pencetakan film. Data-data hasil pengukuran respon tersebut kemudian dimasukkan ke dalam program Design Expert 7.0.0 (trial version) untuk kemudian dilakukan analisis dari masing-masing respon oleh program sebelum program melakukan optimasi untuk menentukan solusi optimasi.

Hasil Analisis Respon

Analisis respon dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor terhadap variabel respon yang diamati. Data hasil pengujian dianalisis dengan Design Expert 7.0.0 (trial version untuk menghasilkan persamaan matematis dan model polinomial yang sesuai dengan hasil penelitian (Lampiran 3 - 7). Ada empat tipe model polinomial yaitu mean (pangkat 0), linear (pangkat 1),

quadratic (pangkat 2) dan cubic (pangkat 3). Masing-masing dari variabel respon akan menghasilkan satu tipe model yang disarankan oleh program. Kelayakan dari model polinomial ditunjukkan oleh determinasi koefisien R2 dan signifikasi dari nilai F-hitung masing-masing variabel faktor (Puspitojati dan Santoso 2012, Aktas

et al. 2006).

Penentuan tipe model polinomial dilakukan dengan mengacu pada kriteria yang disarankan oleh bagian Sequential Model Sum of Squareds (SMSS), lack of fit, nilai R2 dan adjusted-R2. Kemudian dilanjutkan dengan analisis keragaman (ANOVA), model yang baik memiliki nilai yang signifikan terhadap respon dan nilai yang tidak signifikan terhadap lack of fit, nilai R2 dan R2 prediksi yang mendukung. Pada analisis keragaman juga dapat diketahui pengaruh kombinasi terhadap faktor yaitu dengan melihat nilai F-hitung. Semakin besar nilai F-hitung maka pengaruhnya semakin nyata. Pengaruh variabel faktor yang signifikan terhadap respon ditandai dengan p-value “Prob > F” yang lebih kecil dari 0.05. Solusi titik optimum variabel faktor diperoleh dengan melihat persamaan regresi dan analisis respon permukaan dan garis konturnya (Chowdhury dan Saha 2011).

26

Variabel respon yang dianalisis meliputi kadar air, kadar abu, kelarutan dalam air, kekuatan gel dan viskositas. Sedangkan variabel respon yang dioptimasi adalah kelarutan dalam air, kadar air dan kadar abu.

Respon Kadar Air

Respon kadar air sangat penting ditentukan nilainya karena berkaitan dengan ketahanan cangkang kapsul terhadap aktivitas dari mikroba. Produk dari bahan organik umumnya akan ditumbuhi oleh jamur dan kapang jika kadar airnya lebih dari 20 % sampai dengan 60 %, sedangkan jika kadar airnya melebihi 60 % akan mudah untuk ditumbuhi oleh bakteri sehingga kadar air menjadi salah satu parameter penting yang harus dipenuhi untuk cangkang kapsul komersial (Junianto et al. 2013).

Pada analisis keragaman (ANOVA) (Lampiran 3) dapat dilihat pengaruh masing-masing faktor terhadap respon kadar air. Dari ketiga faktor yang digunakan, faktor yang berpengaruh terhadap kadar air adalah karagenan dengan F-hitung = 5.16. Faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap respon kadar air ditandai dengan p-value “Prob > F” lebih kecil dari 0.05 (0.0407). Pada pengujian

lack of fit didapatkan nilai lack of fit yang tidak signifikan yaitu lebih besar dari 0.05 (0.4328). Lack of fit yang tidak signifikan menunjukkan adanya kesesuaian data respon kadar air dengan model yang didapatkan. Model yang dihasilkan signifikan dengan dengan p-value “prob>F” lebih kecil dari 0.05 (<0.0065). Nilai

R2 pada model respon kadar air sebesar 0.7036 yang berarti bahwa pengaruh variabel A, B dan C terhadap perubahan variabel respon sebesar 70.36 % sedangkan sisanya 29.64 % dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui.

Grafik kontur permukaan pada Gambar 1, 2 dan 3 menggambarkan hubungan antara variabel persentase amilopektin, karagenan dan gliserin dalam bentuk dua dimensi. Perbedaan warna yang terdapat pada grafik, menunjukkan nilai respon kadar air. Warna biru menunjukkan nilai respon kadar air terendah yaitu 9.91 % sampai warna merah yang menunjukkan nilai respon kadar air tertinggi yaitu 25.29 %. Pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa kadar air akan meningkat meskipun tidak signifikan jika persentase amilopektin dinaikkan dan persentase karagenan dibuat konstan. Pada Gambar 2, jika persentase amilopektin dibuat konstan dan persentase karagenan dinaikkan maka akan meningkatkan nilai kadar air meskipun tidak terlalu signifikan. Pada Gambar 3, kenaikan persentase amilopektin dan persentase gliserin yang dibuat konstan akan menaikkan nilai kadar air namun tidak signifikan, sebaliknya nilai kadar air akan menurun jika persentase amilopektin dan gliserin dinaikkan. Dari keseluruhan nilai respon yang didapat, terdapat beberapa nilai respon yang memenuhi standar cangkang kapsul komersial yaitu antara 13 % sampai 16 % (Kapsulindo Nusantara 2007).

Respon Kadar Abu

Abu merupakan bahan organik berupa mineral yang harus diusahakan seminimal mungkin keberadaannya dalam cangkang kapsul yaitu tidak boleh lebihi dari 5 % (Depkes RI 1995). Kadar abu menunjukkan komponen anorganik atau mineral sisa pembakaran bahan organik, dimana semakin banyak kandungan mineral maka kadar abu menjadi semakin besar. Besaran kadar abu yang terkandung dalam suatu produk dapat menunjukkan tingkat kemurnian dari produk tersebut. Tingkat kemurnian tersebut dipengaruhi oleh komposisi dan juga kandungan mineral dalam suatu bahan baku.

27 Pada analisis keragaman (ANOVA) (Lampiran 4) dapat dilihat pengaruh masing-masing faktor terhadap respon kadar abu. Dari ketiga faktor yang digunakan, faktor yang berpengaruh terhadap kadar abu adalah karagenan dengan F-hitung = 53.69. Faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap respon kadar abu ditandai dengan p-value “Prob > F” lebih kecil dari 0.05 (<0.0001). Pada pengujian lack of fit didapatkan nilai lack of fit yang tidak signifikan yaitu lebih besar dari 0.05 (0.0550). Lack of fit yang tidak signifikan menunjukkan adanya kesesuaian data respon kadar abu dengan model yang didapatkan. Model yang dihasilkan signifikan dengan dengan p-value “prob>F” lebih kecil dari 0.05 (<0.0001). Nilai R2 pada model respon kadar abu sebesar 0.7865 yang berarti bahwa pengaruh variabel A, B dan C terhadap perubahan variabel respon sebesar 78.65 % sedangkan sisanya 21.35 % dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui.

Grafik kontur permukaan pada Gambar 4, 5 dan 6 menggambarkan hubungan antara variabel persentase amilopektin, karagenan dan gliserin dalam bentuk dua dimensi. Perbedaan warna yang terdapat pada grafik, menunjukkan nilai respon kadar abu. Warna biru menunjukkan nilai respon kadar abu terendah yaitu 4.3 % sampai warna merah yang menunjukkan nilai respon kadar abu tertinggi yaitu 11.24 %. Pada Gambar 4, persentase amilopektin yang konstan dan kenaikan persentase karagenan dapat meningkatkan nilai kadar abu, sedangkan persentase karagenan yang konstan dan kenaikan persentase amilopektin dapat menurunkan kadar abu namun tidak signifikan. pada Gambar 5, nilai kadar abu akan meningkat jika persentase karagenan dinaikkan dan persentase gliserin konstan, sedangkan jika persentas karagenan konstan dan persentase gliserin dinaikkan akan menyebabkan penurunan nilai kadar abu. Pada Gambar 6, jika persentase gliserin dinaikkan dan persentase amilopektin konstan dapat menyebabkan penurunan kadar abu, penurunan nilai kadar abu juga terjadi jika persentase amilopektin dinaikkan dan persentase gliserin konstan. Kadar abu yang tinggi melebihi dari standar diduga karena tingginya mineral bahan baku yang dapat dilihat dari tingginya kadar abu karagenan yaitu sebesar 18.04 %.

Respon Kelarutan dalam Air

Kelarutan dalam air (waktu hancur) merupakan waktu yang diperlukan untuk hancurnya kapsul sehingga tidak ada bagian yang tertinggal. Sebagai pembungkus sediaan obat, cangkang kapsul haruslah mudah dimetabolisme oleh tubuh karena setelah ditelan oleh pasien, kapsul akan langsung menuju ke lambung sehingga cangkang kapsul sudah harus hancur dalam waktu kurang dari 15 menit.

Pada analisis keragaman (ANOVA) (Lampiran 6) dapat dilihat pengaruh masing-masing faktor terhadap respon kelarutan dalam air. Dari ketiga faktor yang digunakan, faktor yang berpengaruh terhadap respon kelarutan dalam air adalah karagenan dengan F-hitung = 3.84. Faktor tersebut berpengaruh tidak signifikan terhadap respon kelarutan dalam air ditandai dengan p-value “Prob > F”

lebih besar dari 0.05 (0.0719). Pada pengujian lack of fit didapatkan nilai lack of fit yang tidak signifikan yaitu lebih besar dari 0.05 (0.7084). Lack of fit yang tidak signifikan menunjukkan adanya kesesuaian data respon kelarutan dalam air dengan model yang didapatkan. Model yang dihasilkan tidak signifikan dengan dengan p-value “prob>F” lebih besar dari 0.05 (0.0741) yang berarti bahwa tidak

28

respon kelarutan dalam air sebesar 0.5406 yang berarti bahwa pengaruh variabel A, B dan C terhadap perubahan variabel respon sebesar 54.06 % sedangkan sisanya 45.94 % dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui.

Grafik kontur pada Gambar 7, 8 dan 9 menunjukkan kombinasi antara komponen yang saling mempengaruhi terhadap nilai respon kelarutan dalam air melalui warna warni yang berbeda. Akan tetapi, grafik tersebut tidak dapat menjelaskan respon kelarutan dalam air, hal ini dikarenakan keseluruhan data yang didapat untuk respon kelarutan dalam air nilainya tidak ada yang diatas standar sehingga tanpa pengujian nilai kelarutan dalam air sudah masuk dalam standar meskipun dengan kombinasi faktor yang berbeda akan menghasilkan kelarutan dalam air yang sama.

Nilai dari respon kelarutan dalam air yang didapat berkisar antara 3’41” sampai 9’41”. Nilai respon yang didapat keseluruhannya memenuhi standar nilai kelarutan untuk cangkang kapsul komersial yaitu kurang dari 15’.

Respon Kekuatan gel

Kekuatan gel adalah beban maksimum yang dibutuhkan untuk dapat memecahkan matriks polimer pada daerah yang diberi beban. Semakin berat beban yang diperlukan maka akan menghasilkan kekuatan gel yang semakin tinggi (Whyte dan Englar 1980). Kekuatan gel sangat penting ditentukan terkait dengan kemampuan membentuk gel dari karagenan yang menjadi dasar penggunaannya dalam pembuatan cangkang kapsul.

Pada analisis keragaman (ANOVA) (Lampiran 6) dapat dilihat pengaruh masing-masing faktor terhadap respon kekuatan gel. Dari ketiga faktor yang digunakan, faktor yang berpengaruh terhadap respon kekuatan gel adalah karagenan dengan F-hitung = 289.0365. Faktor tersebut berpengaruh signifikan terhadap respon kekuatan gel ditandai dengan p-value “Prob > F” lebih kecil dari

0.05 (< 0.0001). Sementara untuk kombinasi dari ketiga faktor tersebut, tidak didapatkan kombinasi faktor yang berpengaruh signifikan terhadap respon viskositas karena p-value “Prob > F” lebih besar dari 0.05. Pada pengujian lack of fit didapatkan nilai lack of fit yang tidak signifikan yaitu lebih besar dari 0.05 (0.3966). Lack of fit yang tidak signifikan menunjukkan adanya kesesuaian data respon kekuatan gel dengan model yang didapatkan. Model yang dihasilkan signifikan dengan dengan p-value “prob>F” lebih kecil dari 0.05 (<0.0001). Nilai R2 pada model respon kekuatan gel sebesar 0.9881 yang berarti bahwa pengaruh variabel A, B dan C terhadap perubahan variabel respon sebesar 98.81 % sedangkan sisanya 1.19 % dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak diketahui.

Grafik kontur pada Gambar 7, 8 dan 9 menunjukkan kombinasi antara komponen yang saling mempengaruhi terhadap nilai respon kekuatan gel melalui warna warni yang berbeda. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik kontur menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen faktor dengan jumlah berbeda yang menghasilkan respon kekuatan gel yang berbeda. Pada Gambar 7, nilai kekuatan gel akan meningkat dengan kenaikan persentase karagenan dan persentase amilopektin yang konstan, sedangkan jika persentase amilopektin dinaikkan dan persentase karagenan konstan dapat menyebabkan kenaikan nilai kekuatan gel namun tidak signifikan. pada Gambar 8, kenaikan persentase

Dokumen terkait