• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1. PENDAHULUAN

5.3. Pembahasan

Pada penilitian ini, sampel yang digunakan adalah 109 sampel dengan diagnosa polip hidung. Dari gambaran karakteristik polip hidung berdasarkan umur, didapati kejadian paling banyak pada usia 51-60 tahun yaitu 27,5% dan disusul dengan kejadian pada usia 41-50 tahun sebanyak 26,6%. Insidensi ini sesuai dengan studi sebelumnya yang dicantumkan Munir dalam tulisannya tahun 2010 yang mengatakan bahwa kejadian polip hidung dapat terjadi pada semua umur umumnya pada dewasa muda usia 30-60 tahun. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Soraya pada tahun 2011 di RSUP Haji Adam Malik Medan, didapatkan 59 kasus polip hidung, dimana kejadian polip hidung paling sering didapati pada pasien dengan usia 45-54 tahun yaitu 27,1%. Pearlman, dalam bukunya Nasal Polyposis : Pathogenesis, Medical and Surgical Treatment mengatakan insidensi polip hidung meningkat dengan usia dan kemungkinan terbesar antara usia 40 dan 60 tahun (Pearlman, 2010). Menurut penelitian, hubungan usia dengan kejadian polip hidung dipengaruhi oleh adanya protein S100 akibat meningkatnya usia. Protein S100 ini penting dalam fungsi barrier epitel yaitu antara lain transport nutrisi, mencegah infeksi, sistem pertahanan dan sistem imun. Akibat gangguan tersebut, mukosa epitel hidung akan semakin mudah mengalami inflamasi yang akan berakibat pada terjadinya polip hidung (Cho et al, 2015).

Gambaran karakteristik polip hidung berdasarkan jenis kelamin menunjukkan kejadian paling banyak pada laki-laki, dimana didapati sebanyak 67% pada laki dan 33% kejadian pada perempuan, dimana rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 2,03:1. Kejadian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Soraya pada tahun 2011 di RSUP Haji Adam Malik Medan dimana ditemui polip hidung paling sering pada pasien laki-laki yaitu sebesar 61%. Selain itu, penelitian sebelumnya di Indonesia oleh Fransina pada tahun 2008 juga menunjukkan studi epidemiologi yang signifikan dengan perbandingan pria dan wanita sebanyak 2-3:1. Penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Newton dan Sheh juga menyebutkan perbandingan insidensi pada laki-laki dan perempuan 2:1 (Newton & Sheh, 2008). Polip hidung merupakan inflamasi akibat adanya iritasi yang bisa diakibatkan oleh polusi udara, baik debu maupun asap

Universitas Sumatera Utara rokok. Menurut penelitian faktor lingkungan dan aktivitas laki-laki yang lebih banyak terpapar dengan rokok dan debu juga mempengaruhi kejadian polip hidung sehingga lebih banyak dijumpai pada pasien laki-laki (Gorgulu et al, 2012). Penelitian menyebutkan adanya hubungan merokok dengan kejadian polip hidung dimana zat pada rokok mengakibatkan defisiensi vitamin D3 yang berfungsi melemahkan mediator inflamasi. Paparan rokok yang berkelanjutan akan menurunkan level vitamin D3 dan menyebabkan proses inflamasi yang memicu kejadian polip hidung (Khalid et al, 2015).

Distribusi polip hidung berdasarkan faktor risiko menunjukkan adanya kaitan erat dengan riwayat sinusitis dengan persentasi 72,5%, diikuti dengan riwayat rhinitis alergi sebanyak 22,9%, dan ada juga yang memiliki riwayat asma sebanyak 3,7%. Penelitian sebelumnya oleh Soraya pada tahun 2011 di RSUP Haji Adam Malik Medan juga menyebutkan faktor risiko yang paling sering ditemukan adalah sinusitis yaitu 70,2%. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan polip hidung sering dihubungkan dengan sinusitis, asma dan rinitis alergi (Nizar & Mangunkusumo, 2001). Hal ini berhubungan dengan adanya inflamasi kronik baik akibat defek pada barrier epitel maupun akibat infeksi kronis oleh fungi atau bakteri pada pasien dengan sinusitis. Bersamaan, faktor tersebut akan memicu mediator inflamasi dan memicu terbentuknya polip pada hidung (Hulse et al, 2015).

Gejala klinis dari polip hidung dapat berupa hidung tersumbat. Kejadian hidung tersumbat pada pasien polip hidung adalah sebanyak 99,1%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Soraya, disebutkan 98,1% pasien polip hidung mengalami gejala hidung tersumbat. Hidung tersumbat merupakan akibat dari adanya massa di hidung dan juga akumulasi cairan dan lendir di dalam rongga hidung. Selain itu, edema mukosa hidung akibat proses inflamasi juga menyebabkan hidung menjadi tersumbat (Nizar & Mangunkusumo, 2001).

Gejala lainnya adalah gangguan penciuman. Gejala ini tidak dikeluhkan oleh semua pasien. Sebanyak 66,1% pasien polip hidung mengeluhkan gangguan penciuman. Gangguan penciuman dapat disebabkan karena adanya penyumbatan pada hidung baik celah maupun persarafannya, biasanya disebabkan deviasi

Universitas Sumatera Utara septum nasi, alergi dan pembengkakan mukosa akibat polip hidung. Gejala ini akan berpengaruh pada fungsi indra pengecapan, sehingga dapat menyebabkan pasien mangalami gangguan nafsu makan (Jeremiah et al, 2015). Selain itu gejala yang umum dialami pasien adalah lendir di hidung (post nasal drips). Lendir ini dapat berkonsistensi cair dan berwarna putih, dapat juga berwarna kuning kehijauan dengan konsistensi kental. Kejadian post nasal drips pada polip hidung ditemukan sebanyak 91,7%. Gejala ini disebabkan oleh adanya penyumbatan pada drainase lendir dalam saluran sinus (Ferguson et al, 2006). Gejala lain yang juga dapat mempengaruhi aktivitas pasien adalah nyeri kepala. Adapun persentasi nyeri kepala pada pasien polip hidung adalah sebanyak 75,2%. Penelitian sebelumnya oleh Soraya didapati kejadian nyeri kepala pada pasien polip hidung sebesar 42,4%. Nyeri kepala disebabkan oleh inflamasi kronis pada aliran sinus yang umumnya bersifat hilang timbul, namun dapat menyebabkan gangguan tidur yang berdampak pada kualitas hidup pasien, sesuai dengan studi di Canada yang dilakukan Spafford pada tahun 2002.

Gambaran karakteristik polip hidung berdasarkan stadiumnya menunjukkan hasil terbanyak pada stadium II yaitu sebesar 52,3%. Namun penelitian yang dilakukan oleh Soraya sebelumnya, kejadian polip hidung terbanyak pada stadium III yaitu 60,7%. Stadium II ditunjukkan dengan polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga hidung, sedangkan stadium III ditunjukkan dengan polip yang massif (memenuhi rongga hidung). Pembagian stadium polip hidung tersebut berdasarkan hasil studi Mackay & Lund tahun 1997. Stadium II ini dapat diterapi dengan medikamentosa atau bedah.

Untuk distribusi polip hidung berdasarkan terapi menunjukkan hasil terbanyak dengan terapi medikamentosa yaitu sebesar 50,5%. Hal ini berkaitan dengan stadium yang paling banyak ditemukan yaitu stadium II yang diberi terapi bedah, dapat berupa operasi FESS ataupun polipektomi. Hal ini sesuai dengan anjuran PERHATI-KL yang menyatakan stadium II dianjurkan untuk mendapat terapi bedah ataupun medikamentosa. Terapi medikamentosa yang sering diberikan yaitu dengan steroid topikal seperti nasal spray dan HDST (High Dose

Universitas Sumatera Utara Short Term oral steroid) dengan pilihan Deksametason, Methylprednisolon, atau Prednison (Perhati, 2007). Untuk distribusi terapi bedah pada pasien polip hidung ini memiliki persentase 49,5%. Pilihan yang dapat dilakukan adalah polipektomi dan etmoidektomi. Terapi bedah yang paling banyak dilakukan adalah polipektomi, dimana indikasi terapi bedah adalah untuk polip hidung stadium II dan III.

Universitas Sumatera Utara

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian pada pasien polip hidung mulai bulan Januari 2012 sampai bulan Desember 2014 yang memenuhi kriteria peneliti didapatkan 109 pasien, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Jumlah total pasien yang menderita polip hidung di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2012-2014 yang memenuhi kriteria peneliti adalah sebanyak 109 orang.

2. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan umur paling banyak dijumpai pada kelompok umur 51-60 tahun yaitu sebanyak 30 orang (27,5%)

3. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan jenis kelamin paling banyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 73 orang (67%)

4. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan faktor risiko paling banyak dijumpai pada pasien dengan riwayat sinusitis yaitu sebanyak 79 orang (72,5%)

5. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan keluhan dijumpai 108 orang (99,1%) mengalami gejala hidung tersumbat.

6. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan keluhan dijumpai 73 orang (66,1%) mengalami gejala gangguan penciuman

Universitas Sumatera Utara 7. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan keluhan dijumpai 100 orang (91,7%) mengalami gejala post nasal drips

8. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan keluhan dijumpai 82 orang (75,2%) mengalami gejala nyeri kepala

9. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan stadium dijumpai paling banyak pada stadium II yaitu sebanyak 57 orang (52,3%)

10.Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan terapi dijumpai paling banyak diberikan terapi medikamentosa yaitu sebanyak 55 orang (50,5%), sedangkan yang mendapat terapi bedah adalah 54 orang (49,5%).

Universitas Sumatera Utara

6.2. Saran

Dari seluruh proses penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu kepada:

a. Peneliti Lain

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk penelitian selanjutnya mengenai kasus polip hidung.

b. Rumah Sakit

Rekam medis merupakan catatan dokter berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang pada pasien. Jadi, pencatatan rekam medis yang lengkap sangat diperlukan untuk status pasien. Maka, dokter atau tenaga kesehatan yang bertugas disarankan mencatat dengan terperinci tentang diagnosis pasien serta mencatat riwayat-riwayat penyakit yang pernah diderita oleh pasien. Sistem organisasi rumah sakit juga harus lebih teratur untuk menghindari adanya data-data pasien yang hilang. Rumah sakit beserta institusi kesehatan yang terkait juga perlu memberikan penyuluhan tentang polip hidung agar dapat terdeteksi dan berobat lebih awal.

c. Masyarakat

Diharapkan peningkatan pengetahuan masyarakat, tenaga paramedis dan medis mengenai gejala polip hidung sehingga dapat terdeteksi lebih dini agar memberi prognosis yang lebih baik.

Universitas Sumatera Utara

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidung

2.1.1. Anatomi Hidung

Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas, kubah tulang, yang tidak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan (Adams & George, 1997).

Gambar 2.1. Anatomi Hidung Sumber: Frank Netter, 2010

Rongga hidung atau kavum nasi terbentang dari nares di depan sampai ke apertura nasalis posterior atau koana di belakang, dimana hidung bermuara ke dalam nasofaring. Vestibulum nasi adalah area di dalam kavum nasi yang terletak di belakang nares. Kavum nasi dibagi menjadi dua bagian, kiri dan kanan oleh septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh kartilago septi nasi, lamina vertikalis tulang etmoidalis, dan vomer (Snell, 2012).

Universitas Sumatera Utara Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil lagi ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil adalah konka suprema yang biasanya rudimenter. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus (inferior, medius dan superior). Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muarasinus frontal sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Soetjipto et al, 2007).

Gambar 2.2. Dinding Lateral Hidung Sumber: Van De Graff, 2008

Crista galli of ethmoid bone

Cribriform plate of ethmoid bone

Sella turcica Sphenoidal sinus Sphenoidal bone Basilar part of occipital one

Medial and lateral plate of sphenoid bone

Palatine bone

Maxillla Middle nasal concha

Inferior nasal concha Frontal process of maxilla Lacrimal bone Nasal bone Superior nasal concha Frontal sinus

Universitas Sumatera Utara Kompleks Ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus usinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainasi dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait (Soetjipto, 2007).

Pendarahan Hidung

Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna). Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis (Lund, 1997).

Gambar 2.3. Vaskularisasi Hidung Sumber: Frank Netter, 2010

Universitas Sumatera Utara Persarafan Hidung

Nervus olfaktorius yang berasal dari membrana mucosa olfaktorius berjalan ke atas melalui lamina cribrosa os ethmoidale menuju ke bulbus olfaktorius. Saraf untuk sensasi umum merupakan cabang-cabang nervus ophtalmicus (N. VI) dan nervus maxillaris (N. V2) divisi nevus trigeminus (Snell, 2012).

Aliran Limfe Cavum Nasi

Pembuluh limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares. Bagian lain cavum nasi dialirkan limfenya menuju ke nodi cervicales profundi superiores (Snell, 2012 ).

2.1.2. Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:

1. Fungsi respirasi untuk mengatur udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal

2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu

3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang 4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

terhadap trauma dan pelindung panas 5. Refleks nasal (Soetipjo et al, 2007)

Universitas Sumatera Utara

2.2. Polip Hidung 2.2.1. Definisi

Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip hidung bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi adalah manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rinitis alergi,dan asma (Nizar & Mangunkusumo, 2001).

Polip hidung adalah penyebab tersering dari sumbatan hidung, dan dapat menyebabkan anosmia. Polip hidung bersifat jinak dan tidak menimbulkan perdarahan. Pada pemeriksaan tampak benjolan keabu-abuan yang timbul pada daerah etmoid dengan konka inferior yang berwarna kemerahan (Bull, 2003).

Polip hidung ialah bentuk selaput lendir yang turun (biasanya akibat radang kronis), licin, berwarna keabu-abuan atau merah muda, dan biasanya bilateral. Walaupun tidak ganas, polip hidung dapat mengganggu dengan banyak keluhan karena cepat berkembang menjadi besar dan cenderung residif (Van den Broek & Feenstra, 2010).

2.2.2. Epidemiologi

Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3% (Drake Lee, 1997; Ferguson et al, 2006). Polip nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasi biasanya terjadi pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada pria (Kirtsreesakul, 2005; Ferguson et al, 2006; Erbek et al, 2007).

Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1 (Fransina, 2008). Di Amerika Serikat diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita polip nasi, sedangkan di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%. Frekuensi kejadian polip nasi meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya pada umur sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding wanita dengan perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak.

Universitas Sumatera Utara Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-anak untuk menderita polip (Fransina, 2008).

2.2.3. Etiologi

Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip, yaitu:

1. Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus 2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor

3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral dan multipel. Polip yang berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium asesorisnya, masuk ke rongga hidung dan berlanjut ke koana lalu membesar di nasofaring. Polip ini disebut polip koana (polip antrokoana) (Nizar & Mangunkusumo, 2001).

2.2.4. Faktor Risiko

Kondisi-kondisi yang memicu inflamasi kronis dapat meningkatkan risiko terkena polip hidung. Beberapa keadaan yang sering dihubungkan dengan polip hidung adalah:

a.Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi adalah radang selaput lendir yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas/ alergi tipe 1, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin,

Universitas Sumatera Utara rinore encer dan hidung tersumbat yang reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.

b. Asma

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hipresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bevariasi dan seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

c. Sinusitis

Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan cairan atau kerusakan tulang di bawahnya, terutama pada daerah fossa kanina dan menyebabkan sekret purulen, napas bau dan post nasal drips.

d. Riwayat Keluarga

Ada kemungkinan polip hidung diwariskan pada keluarga yang memilki riwayat polip hidung sebelumnya. Hampir 50% penderita polip hidung memiliki riwayat keluaga yang sama. (Newton, 2008)

2.2.5. Klasifikasi

Polip hidung adalah massa non-neoplasma pada hidung atau mukosa snus yang mengalami edema.

Polip hidung diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: 1. Polip antrokoanal

Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Perbedaan Polip Antrokoanal dan Polip Etmoidal

Polip Antrokoanal Polip Etmoidal

Usia Umumnya pada anak-anak Umumnya pada dewasa

Etiologi Infeksi Alergi atau multifaktor

Jumlah Tunggal Jamak

Lateralitas Unilateral Bilateral

Asal Sinus maksilari di dekat

ostium

Sinus etmoidal, prosesus uncinate, konka media, dan meatus media

Pertumbuhan Tumbuh ke belakang ke arah koana, bisa melekat pada soft palate

Paling sering tumbuh di anterior dan pada orifisium eksternal rongga hidung

Bentuk dan Ukuran

Tiga lobus, dengan bagian antral, nasal, dan koanal.

Bagian koanal dapat

menonjol melewati koana dan mengisi naofaring sehingga terjadi sumbatan

Umumnya kecil dan berbentuk seperti anggur (graape-like masses)

Rekurensi Jarang, dapat diangkat secara utuh

Sering

Terapi Polipektomi, pengangkatan

endoskopis, atau Caldwell-Luc operation jika terjadi rekurensi

Polipektomi

Pembedahan endoskopis atau etmoidektomi ( bisa intranasal, ekstranasal, atau transnasal) Sumber: PL Dhingra, 1992

2.2.6. Patogenesis

Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terjadi di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut,

Universitas Sumatera Utara mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus ( Nizar & Mangunkusumo, 2001).

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi, teruama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tungkai (Mangunkusumo & Wardani, 2007)

2.2.7. Gejala Klinis

Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang terus menerus namun dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien juga mengeluh keluar ingus encer dan post nasi drip. Anosmia dan hiposmia juga menjadi ciri dari polip nasi. Sakit kepala dan gangguan tidur dapat terjadi pada polip nasi (Drake Lee, 1997; Ferguson et al, 2006).

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai massa polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan yang kebanyakan berasal dari meatus media dan prolaps ke kavum nasi. Polip nasi tidak sensitif terhadap palpasi dan tidak mudah berdarah (Newton, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.2.8. Penegakan Diagnosa

1. Anamnesis

Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung tersumbat. Rinore

Dokumen terkait