Nama : Fetra Olivia Simbolon
Tempat / Tanggal Lahir : Samosir/ 28 November 1994
Agama : Katolik
Alamat : Jalan Rotan XII No. 33 Simalingkar Medan
Riwayat Pendidikan :
1. Sekolah Dasar Swasta Santo Thomas 3 Palipi (2000-2006)
2. Sekolah Menengah Pertama Swasta Bintang Timur Samosir (2006-2009)
3. Sekolah Menengah Atas Swasta Cahaya Medan (2009-2012)
Riwayat Kepanitiaan :
1. Panitia Senjun FK USU 2013
2. Panitia Medical Humanity Day (MHD) FK USU 2014
3. Panitia Paskah FK USU 2014
4. Panitia Natal FK USU 2014
5. Panitia Baksos KMK St. Lukas USU 2015
6. Panitia Baksos FK USU 2015
Kelamin Risiko Tersumbat Penciuman
Drips Kepala
00.51.40.00 41 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa
00.52.48.00 50 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Tidak ada III Medikamentosa
00.50.22.01 30 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Tidak ada III Bedah
00.52.22.01 46 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Tidak ada Ada Ada III Bedah 00.54.24.01 35 Laki-laki Asma Ada Tidak ada Ada Ada II Bedah
00.54.99.01 21 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada III Bedah
00.60.37.02 59 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada II Medikamentosa 00.27.93.03 53 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Tidak ada I Medikamentosa
00.46.76.26 24 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.61.16.25 21 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Bedah
00.39.17.21 47 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.51.49.23 51 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada I Bedah
00.55.49.23 48 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Tidak ada II Medikamentosa
00.57.34.23 55 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa 00.54.00.24 42 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Medikamentosa
00.58.27.25 28 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.30.65.19 44 Perempuan Sinusitis Tidak ada Ada Ada Tidak ada II Bedah
00.48.46.19 52 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Tidak ada Ada II Medikamentosa
00.55.45.19 39 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Tidak ada Ada Tidak ada III Bedah
00.56.42.19 39 Laki-laki Riwayat
Keluarga Ada Ada Ada Tidak ada I Medikamentosa 00.59.44.19 69 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Tidak ada II Bedah
00.57.73.16 24 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Ada I Medikamentosa
00.57.73.16 54 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.60.80.17 52 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa
00.50.97.14 30 Perempuan Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada I Medikamentosa
00.54.19.13 58 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada II Medikamentosa
00.53.46.13 72 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Tidak ada III Bedah
00.53.71.11 21 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada I Medikamentosa
00.57.21.11 20 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa
00.59.45.11 57 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada III Bedah
00.49.78.10 23 Perempuan Rhinitis
Alergi Ada Ada Ada Ada III Bedah 00.52.93.10 32 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Bedah
00.45.53.08 55 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Tidak ada Ada Ada II Medikamentosa 00.51.78.09 56 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Bedah
00.61.56.57 24 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Tidak ada II Bedah
00.51.66.58 57 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Ada Tidak ada Ada I Medikamentosa
00.57.58.30 66 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Tidak ada Ada Ada II Medikamentosa 00.55.54.28 49 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Bedah
00.54.23.57 28 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa
00.52.88.58 44 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Tidak ada I Medikamentosa
00.40.69.53 57 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada II Medikamentosa
00.61.02.42 35 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada II Bedah
00.82.40.59 32 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.49.02.53 45 Perempuan Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada II Bedah
00.51.86.53 42 Perempuan Rhinitis
Alergi Ada Tidak ada Ada Ada II Medikamentosa
00.57.98.54 61 Perempuan Rhinitis
Alergi Ada Ada Ada Ada II Bedah 00.01.31.56 61 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Tidak ada Ada I Medikamentosa
00.52.70.56 50 Perempuan Asma Ada Tidak ada Ada Tidak ada II Medikamentosa
00.51.83.51 22 Perempuan Rhinitis
Alergi Ada Tidak ada Ada Ada II Medikamentosa
00.55.50.51 60 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Ada Tidak ada Tidak ada II Bedah 00.52.88.49 34 Laki-laki Asma Ada Tidak ada Ada Tidak ada II Medikamentosa
00.54.64.49 52 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Tidak ada III Bedah
00.59.39.49 60 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa
00.51.60.50 22 Perempuan Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada II Bedah
00.50.88.57 45 Perempuan Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada I Medikamentosa
00.39.39.38 45 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada II Bedah
00.53.87.38 60 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Tidak ada I Medikamentosa
00.58.20.39 38 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa
00.52.99.40 45 Perempuan Rhinitis
Alergi Ada Ada Ada Tidak ada I Medikamentosa 00.55.61.41 52 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Tidak ada II Medikamentosa
00.52.83.44 48 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada I Medikamentosa
00.53.34.44 73 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Ada Ada Ada II Bedah 00.58.02.44 53 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.52.97.45 46 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Tidak ada II Medikamentosa
00.53.86.45 50 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada I Medikamentosa
00.54.70.83 65 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa
00.41.92.87 60 Perempuan Rhinitis
Alergi Ada Tidak ada Ada Ada I Medikamentosa 00.59.31.69 39 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa
00.59.48.69 29 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Bedah
00.60.51.69 44 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada I Bedah
00.19.31.72 57 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Tidak ada Ada I Medikamentosa
00.53.63.72 58 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa
00.56.32.74 35 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.58.24.74 46 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Tidak ada I Medikamentosa
00.51.12.76 23 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Ada Ada I Medikamentosa
00.52.87.76 45 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.60.09.76 21 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Bedah
00.61.39.81 54 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Bedah
00.60.08.81 34 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa
00.58.26.81 53 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.51.39.77 24 Laki-laki Sinusitis Ada Tidak ada Tidak ada Ada I Medikamentosa
00.50 57.80 41 Laki-laki Asma Ada Ada Ada Ada I Medikamentosa
00.52.14.77 68 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.55.41.77 53 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Bedah
00.59.85.77 30 Perempuan Sinusitis Ada Tidak ada Ada Tidak ada II Bedah
00.38.31.79 53 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.52.83.79 20 Perempuan Rhinitis
Alergi Ada Ada Ada Ada II Medikamentosa
00.51.08.91 50 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Ada Ada Ada III Bedah 00.50.79.89 36 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada II Bedah
00.53.09.91 57 Perempuan Rhinitis
Alergi Ada Ada Ada Ada III Bedah 00.58.84.91 21 Perempuan Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Bedah
00.59.54.92 46 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Bedah
00.54.17.94 47 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada I Medikamentosa
00.51.13.94 61 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Tidak ada II Bedah
00.59.51.95 20 Perempuan Rhinitis
Alergi Ada Tidak ada Ada Ada II Medikamentosa 00.58.13.96 55 Laki-laki Sinusitis Ada Ada Ada Ada III Medikamentosa
00.54.89.28 21 Laki-laki Rhinitis
Alergi Ada Tidak ada Ada Ada II Medikamentosa
00.53.01.97 46 Laki-laki Rhinitis
1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur Statistics
Umur Pasien
N
Valid 109
Missing 0
Umur Kategori
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
1 26 23.9 23.9 23.9
2 14 12.8 12.8 36.7
3 29 26.6 26.6 63.3
4 30 27.5 27.5 90.8
5 8 7.3 7.3 98.2
6 2 1.8 1.8 100.0
Total 109 100.0 100.0
2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin Statistics
Jenis Kelamin
N
Valid 109
Missing 0
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Laki-laki 73 67.0 67.0 67.0
Perempuan 36 33.0 33.0 100.0
N
Missing 0
Faktor Risiko
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Rhinitis Alergi 25 22.9 22.9 22.9
Asma 4 3.7 3.7 26.6
Sinusitis 79 72.5 72.5 99.1
Riwayat Keluarga 1 .9 .9 100.0
Total 109 100.0 100.0
4. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Hidung Tersumbat
Statistics
Hidung Tersumbat
N
Valid 109
Missing 0
Hidung Tersumbat
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Ada 108 99.1 99.1 99.1
Tidak ada 1 .9 .9 100.0
Gangguan Penciuman
N Valid 109
Missing 0
Gangguan Penciuman
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Ada 72 66.1 66.1 66.1
Tidak ada 37 33.9 33.9 100.0
Total 109 100.0 100.0
6. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Post Nasal Drips
Statistics
Lendir di Hidung (pnd)
N Valid 109
Missing 0
Lendir di Hidung (pnd)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Ada 100 91.7 91.7 91.7
Tidak ada 9 8.3 8.3 100.0
Nyeri Kepala
N Valid 109
Missing 0
Nyeri Kepala
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Ada 82 75.2 75.2 75.2
Tidak ada 27 24.8 24.8 100.0
Total 109 100.0 100.0
8. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Stadium Statistics
Stadium
N Valid 109
Missing 0
Stadium
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
I 25 22.9 22.9 22.9
II 57 52.3 52.3 75.2
III 27 24.8 24.8 100.0
N
Missing 0
Terapi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Medikamentosa 55 50.5 50.5 50.5
Bedah 54 49.5 49.5 100.0
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.C. & George, L., 1997. Hidung: Anatomi & Fisiologi Terapan. Dalam: Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 173-188.
Aouad, R. K.. & Chiu, A.G., 2011. State of the Art Treatment of Nasal Polyposis. American Journal of Rhinology and Allergy. 25(5): 291-8.
Assanasen, P. & Naclerio, R. M., 2008. Medical and Surgical Management of Nasal Polyps. Otolaryngology & Head and Neck Surgery. (9): 27-36. Bachert, C., 2011. “Evidence-Based Management of Nasal Polyposis by
Intranasal Corticosteroids: from the Cause to the Clinic”. International
Archieves of Allergy-Immunology. 155 (4): 309-21.
Bull, Tony R., 2003. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th Edition. New York: Thieme.
Cho, SH., Kim, DW., Lee, SH., Kolliputi, N., Hong, SJ., Suh, L.,& Norton, J. 2015. Age-Related Increased Prevalence of Asthma and Nasal Polyps in Chronic Rhinosinusitis and Its Association with Altered IL-6 Trans-Signaling. American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology. 53(5): 601-6
Cody, D., 1993. Penyakit Hidung, Telinga, dan Tenggorok. Petrus Adrianto(Ed). Jakarta: EGC.
Dhingra, P.L., 1992. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4th Edition. New Delhi: Elsevier.
Drake-Lee, A.B., 1997. Nasal Polyps. In: Bull, Tony R. et al. Scott Brown’s Otlaryngology. 6th Edition. Vol. 4. Rhinology, Oxford: Butterworth-Heinneman.
Erbek, S.S., Topal, O. & Cakmak, O., 2007. The Role of Allergy in the Severity of Nasi Polyposis. American Journal of Rhinology. 21(6): 686-90. Ferguson, B.J. & Orlandi, R.R., 2006. Chronic Hypertrophic Rhinosinusitis and
Universitas Sumatera Utara Otolarynglogy. 4th Edition. Vol. 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Fransina. 2008. The Decrease of Nasi Polyp Size After COX-2 Inhibitor Treatment In Comparison with Corticosteroid Treatment. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Georgy, M.S. & Peters, A.T., 2012. Nasal Polyps. Allergy & Asthma Proceedings. 33: 3537.
Gorgulu, O., Ozdemir, S., Canbolat, EP., Sayar, C., Olgun, MK., & Akbas, Y. Analysis of the Roles of Smokingand Allergy in Nasal Polyposis. Annals of Otology, Rhinology & Laryngology. 121(9): 615-9.
Hulse, KE., Stevens, WW., Tan, BK., & Schleimer, RP. Pathogenesis of Nasal Polyposis. Clinical & Experimental Allergy. 45(2): 328-46.
Jeremiah, A., Atrhur, Wu., & Zara, Patel. Disorders of Smell & Taste. American Rhinologic Society.
Khalid, Ayesha., Ladha, Karim., Luong, Amber., & Quraishi, Sadeq. Association of Vitamin D Status and Acute Rhinosinusitis. Medicine (Baltimore). 94(40): e1447
Kim, J. & Hanley, J. A., 2002. The Role of Woodstoves in Etiology of Nasal Polyposis. Archieves of Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 128(6): 682-6.
Kirtsreesakul, V., 2005. Update on Nasal Polyps: Etiopatogenesis. Journal Medical Association Thailand 88(12): 1996-72.
Lund, V. J., 1997. “Diagnosis and Treatment of Nasal Polyps”. British Medical Journal 311(7017): 1411-1414.
Mangunkusumo, E. & Wardani, R. S. 2007. Polip Nasi. Dalam: Soepardi, E., Iskandar, N., Bashirudin, J., Restuti, R.D. (Eds). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta:
FK UI.
Universitas Sumatera Utara Munir, D., 2006. Polip Hidung dan Sinus Paranasal di RS H. Adam Malik.
Majalah Kedokteran Nusantara. 39(1): 12-15.
Mygind, N. & T. Lildholdt, T., 1996. Nasal Polyps Treament: Medical
Management. American Journal of Allergy and Asthma. 17(5): 275-82. Netter, Frank H., 2010. Atlas of Human Anatomy. 5th Edition. Philadelphia
Elsevier.
Newton, J.R. & Ah-See., 2008. A Review of Nasal Polyposis. Theraupetics and Clinical Risk Management. 4(2): 507-512.
Nizar, N.W. & Mangunkusumo, E., 2001. Polip Nasi. Dalam: Soepardi, E., Iskandar, N., Bashirudin, J., Restuti, R.D. (Eds). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 5. Jakarta:
FK UI.
Patel, P.M. & Rowe-Jones., 2007. Paranasal Sinus Disease and Infetion. In: Ludman, H. and Bradley, P.J. (Ed). ABC of Ear, Nose, and Throat. 5th Edition. UK: Blackwell Publishing.
Pearlman, Aaron N., 2010. Epidemiology of Nasal Polyps. In: Onerci, T. M. & Ferguson, B. J. (Eds). Nasal Polyposis : Pathogenesis, Medical and Surgical Treatment. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
PERHATI-KL., 2007. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung dan Sinus Paranasal (Dewasa). Dalam: Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia: 25.
Promios, E., Papadakis, C.E., Chimona, T.S., Kiagiadaki, D., Ferekidis, E., Yiotakis, J., 2010. The Effect of Functional Endoscopic Sinus Surgery on Patients with Asthma and CRS with Nasal Polyps. Rhinology. 48(3): 331-8.
Snell, Richard S., 2012. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., & Wardani, R.S., 2007. Hidung. Dalam: Soepardi, E., Iskandar, N., Bashirudin, J., Restuti, R.D. (Eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6.
Universitas Sumatera Utara Spafford, P., 2002. Nosing Around: Dealing with Nasal Polyps. The Canadian
Journal of CME. 149-152.
Van de Graaff, M.P., 2008. Human Anatomy. 6th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies.
Van den Broek, P. & Feenstra, L., 2010. Buku Saku Ilmu Kesehatan THT. Edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Umur
Jenis Kelamin
Faktor Risiko
Keluhan
Stadium
Terapi
Universitas Sumatera Utara
3.2. Definisi Operasional
1. Variabel : Definisi Operasional :
Cara Ukur : Alat Ukur : Hasil Ukur :
Skala Ukur :
Polip Hidung
massa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan yang terdapat pada rongga hidung pasien.
Analisis data sekunder rekam medis Rekam Medis
Postif polip hidung Negatif polip hidung Nominal
2. Variabel : Definisi Operasional :
Cara Ukur : Alat Ukur : Hasil Ukur :
Skala Ukur :
Usia
Jumlah tahun hidup pasien polip hidung yang sesuai dengan rekam medis tahun 2012-2014 Analisis data sekunder rekam medis
Rekam Medis 20-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun 61-70 tahun >70 tahun Interval 3. Variabel :
Definisi Operasional :
Cara Ukur : Alat Ukur : Hasil Ukur :
Skala Ukur :
Jenis Kelamin
Jenis kelamin pasien polip hidung sesuai dengan rekam medis tahun 2012-2014
Analisis data sekunder rekam medis Rekam Medis
Universitas Sumatera Utara 4. Variabel :
Definisi Operasional :
Cara Ukur : Alat Ukur : Hasil Ukur :
Skala Ukur :
Faktor Risiko
Faktor yang memapar manusia sehat, sehingga meningkatkan risiko menderita penyakit polip hidung
Analisis data sekunder rekam medis Rekam Medis Rhinitis Alergi Asma Sinusitis Riwayat keluarga Nominal
5. Variabel : Definisi Operasional :
Cara Ukur : Alat Ukur : Hasil Ukur :
Skala Ukur :
Keluhan
Keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien polip hidung datang ke rumah sakit
Analisis data sekunder rekam medis Rekam Medis
Hidung tersumbat Gangguan penciuman Lendir di hidung/ pnd Nyeri kepala
Nominal 6. Variabel :
Definisi Operasional : Cara Ukur : Alat Ukur : Hasil Ukur :
Skala Ukur :
Stadium
Universitas Sumatera Utara 7. Variabel :
Definisi Operasional :
Cara Ukur : Alat Ukur : Hasil Ukur :
Skala Ukur :
Terapi
Pengobatan dan tindakan lanjut yang diberian dokter pada pasien polip hidung
Analisis data sekunder rekam medis Rekam Medis
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah pendekatan retrospektif dimana data yang diambil merupakan data-data yang telah ada sebelumnya.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data akan dilakukan pada bulan Maret hingga Desember tahun 2015. Lokasi penelitan ini adalah di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan, Sumatera Utara.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian
Yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien polip hidung yang datang ke Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada tahun 2012-2014.
4.3.2. Sampel Penelitian
Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah total sampling yang terdiagnosa polip hidung di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik pada tahun 2012-2014.
Universitas Sumatera Utara Kriteria Inklusi :
Seluruh pasien polip hidung dengan keterangan usia, jenis kelamin, faktor risiko, keluhan, stadium, dan terapi pada tahun 2012-2014.
Kriteria Eksklusi :
Data rekam medis yang tidak lengkap.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari status penderita dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik tahun 2012-2014.
4.5. Pengolahan Data
Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara tertentu.
Proses ini meliputi: a. Editing
Pada tahap ini data diperiksa ketepatan dan kelengkapannya. b. Coding
Data yang sudah terkumpul kemudian dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya, lalu diberi kode secara manual oleh peneliti sebelum diolah dengan komputer.
c. Entry
Data yang sudah dibersihkan selanjutnya dimasukkan ke dalam program komputer.
d. Data Cleaning
Semua data yang sudah dimasukkan ke dalam komputer diperiksa kembali untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam memasukkan data.
e. Saving
Universitas Sumatera Utara Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Statistic Product of Social Science. Selanjutnya, data disajikan dalam bentuk tabel distribusi
Universitas Sumatera Utara
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Proses pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan setelah melakukan proses administrasi di RSUP Haji Adam Malik Medan mulai tanggal 16 September - 20 Oktober 2015 di RSUP Haji Adam Malik, Medan. Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, maka dapat disimpulkan hasil penelitian dalam pemaparan di bawah ini
5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan sebuah rumah sakit pemerintah yang dikelola pem erintah pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara, Rumah Sakit H. Adam Malik mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan rawat jalan, sedangkan untuk pelayanan rawat inap baru dimulai tanggal 2 Mei 1992. Pada tahun 1990 Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik berdiri sebagai rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Kemudian di tahun 1991 ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991 RSUP H. Adam Malik juga sebagai Pusat Rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Rumah sakit ini terletak di Jl. Bunga Lau No. 17.
5.2. Karakteristik Sampel
Universitas Sumatera Utara
5.2.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien yang berada pada rentang dewasa awal sampai manula (20 s/d 70) tahun dengan distribusi terbanyak pada pasien umur 51-60 tahun sebesar 27,5%, kemudian pada pasien umur 41-50 tahun sebesar 26,6%. Sementara kejadian terendah terdapat pada pasien umur >70 tahun yaitu 1,8%. Rata-rata umur sampel adalah 43,72 dengan sampel termuda berusia 20 tahun dan sampel tertua berusia 73 tahun.
Tabel 5.2.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur
Umur Frekuensi Persentase ( % )
20-30 tahun 26 23,9
31-40 tahun 14 12,8
41-50 tahun 29 26,7
51-60 tahun 30 27,5
61-70 tahun 8 7,3
>70 tahun 2 1,8
Total 109 100,0
5.2.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.2.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase ( % )
Laki-Laki 73 67,0
Perempuan 36 33,0
Total 109 100,0
5.2.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Faktor Risiko
Faktor risiko yang paling sering didapati pada pasien adalah sinusitis yaitu sebesar 72,5%, kemudian rhinitis alergi sebesar 22,9%, riwayat asma sebesar 4%, sedangkan riwayat keluarga sebesar 0,9%.
Tabel 5.2.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Faktor Risiko
Faktor Risiko Frekuensi Persentase ( % )
Rhinitis Alergi 25 22,9
Asma 4 3,7
Sinusitis 79 72,5
Riwayat Keluarga 1 0,9
Total 109 100,0
5.2.4. Distribusi Sampel Berdasarkan Keluhan
5.2.4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Keluhan Hidung Tersumbat
[image:30.595.114.518.394.608.2]Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.2.4.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Hidung Tersumbat
Hidung Tersumbat Frekuensi Persentase ( % )
Ada 108 99,1
Tidak Ada 1 0,9
Total 109 100,0
5.2.4.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Keluhan Gangguan Penciuman
Gangguan atau penurunan penciuman merupakan salah satu manifestasi polip hidung yang dapat mengganggu kualitas hidup. Dari 109 sampel, sebanyak 72 sampel (66,1%) mengeluhkan adanya penurunan fungsi penciuman pada hidungnya.
Tabel 5.2.4.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Gangguan Penciuman
Gangguan Penciuman Frekuensi Persentase ( % )
Ada 72 66,1
Tidak Ada 37 33,9
Total 109 100,0
5.2.4.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Keluhan Post Nasal Drips
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.2.4.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Post Nasal Drips
Post Nasal Drips Frekuensi Persentase ( % )
Ada 100 91,7
Tidak Ada 9 8,3
Total 109 100,0
5.2.4.4. Distribusi Sampel Berdasarkan Keluhan Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah salah satu dampak dari polip hidung yang sering mengganggu aktivitas. Dari 109 sampel, sebanyak 82 pasien (75,2%) mengeluhkan adanya nyeri kepala.
Tabel 5.2.4.4. Karakteristik Sampel Berdasarkan Keluhan Nyeri Kepala
Nyeri Kepala Frekuensi Persentase ( % )
Ada 82 75,2
Tidak Ada 27 24,8
Total 109 100,0
5.2.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Stadium
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.2.5. Karakteristik Sampel Berdasarkan Stadium
Stadium Frekuensi Persentase ( % )
I 25 22,9
II 57 52,3
III 27 24,8
Total 109 100,0
5.2.6. Distribusi Sampel Berdasarkan Terapi
Berdasarkan karakteristik terapi, yang paling banyak dilakukan adalah medikamentosa sebanyak 50,5%. Sedangkan terapi bedah yaitu operasi FESS ataupun polipektomi sebanyak 49,5%.
Tabel 5.2.6. Karakteristik Sampel Berdasarkan Terapi
Terapi Frekuensi Persentase ( % )
Medikamentosa 55 50,5
Bedah 54 49,5
[image:33.595.105.518.437.583.2]Universitas Sumatera Utara
5.3. Pembahasan
Pada penilitian ini, sampel yang digunakan adalah 109 sampel dengan diagnosa polip hidung. Dari gambaran karakteristik polip hidung berdasarkan umur, didapati kejadian paling banyak pada usia 51-60 tahun yaitu 27,5% dan disusul dengan kejadian pada usia 41-50 tahun sebanyak 26,6%. Insidensi ini sesuai dengan studi sebelumnya yang dicantumkan Munir dalam tulisannya tahun 2010 yang mengatakan bahwa kejadian polip hidung dapat terjadi pada semua umur umumnya pada dewasa muda usia 30-60 tahun. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Soraya pada tahun 2011 di RSUP Haji Adam Malik Medan, didapatkan 59 kasus polip hidung, dimana kejadian polip hidung paling sering didapati pada pasien dengan usia 45-54 tahun yaitu 27,1%. Pearlman, dalam bukunya Nasal Polyposis : Pathogenesis, Medical and Surgical Treatment mengatakan insidensi
polip hidung meningkat dengan usia dan kemungkinan terbesar antara usia 40 dan 60 tahun (Pearlman, 2010). Menurut penelitian, hubungan usia dengan kejadian polip hidung dipengaruhi oleh adanya protein S100 akibat meningkatnya usia. Protein S100 ini penting dalam fungsi barrier epitel yaitu antara lain transport nutrisi, mencegah infeksi, sistem pertahanan dan sistem imun. Akibat gangguan tersebut, mukosa epitel hidung akan semakin mudah mengalami inflamasi yang akan berakibat pada terjadinya polip hidung (Cho et al, 2015).
Universitas Sumatera Utara rokok. Menurut penelitian faktor lingkungan dan aktivitas laki-laki yang lebih banyak terpapar dengan rokok dan debu juga mempengaruhi kejadian polip hidung sehingga lebih banyak dijumpai pada pasien laki-laki (Gorgulu et al, 2012). Penelitian menyebutkan adanya hubungan merokok dengan kejadian polip hidung dimana zat pada rokok mengakibatkan defisiensi vitamin D3 yang berfungsi melemahkan mediator inflamasi. Paparan rokok yang berkelanjutan akan menurunkan level vitamin D3 dan menyebabkan proses inflamasi yang memicu kejadian polip hidung (Khalid et al, 2015).
Distribusi polip hidung berdasarkan faktor risiko menunjukkan adanya kaitan erat dengan riwayat sinusitis dengan persentasi 72,5%, diikuti dengan riwayat rhinitis alergi sebanyak 22,9%, dan ada juga yang memiliki riwayat asma sebanyak 3,7%. Penelitian sebelumnya oleh Soraya pada tahun 2011 di RSUP Haji Adam Malik Medan juga menyebutkan faktor risiko yang paling sering ditemukan adalah sinusitis yaitu 70,2%. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan polip hidung sering dihubungkan dengan sinusitis, asma dan rinitis alergi (Nizar & Mangunkusumo, 2001). Hal ini berhubungan dengan adanya inflamasi kronik baik akibat defek pada barrier epitel maupun akibat infeksi kronis oleh fungi atau bakteri pada pasien dengan sinusitis. Bersamaan, faktor tersebut akan memicu mediator inflamasi dan memicu terbentuknya polip pada hidung (Hulse et al, 2015).
Gejala klinis dari polip hidung dapat berupa hidung tersumbat. Kejadian hidung tersumbat pada pasien polip hidung adalah sebanyak 99,1%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Soraya, disebutkan 98,1% pasien polip hidung mengalami gejala hidung tersumbat. Hidung tersumbat merupakan akibat dari adanya massa di hidung dan juga akumulasi cairan dan lendir di dalam rongga hidung. Selain itu, edema mukosa hidung akibat proses inflamasi juga menyebabkan hidung menjadi tersumbat (Nizar & Mangunkusumo, 2001).
Universitas Sumatera Utara septum nasi, alergi dan pembengkakan mukosa akibat polip hidung. Gejala ini akan berpengaruh pada fungsi indra pengecapan, sehingga dapat menyebabkan pasien mangalami gangguan nafsu makan (Jeremiah et al, 2015). Selain itu gejala yang umum dialami pasien adalah lendir di hidung (post nasal drips). Lendir ini dapat berkonsistensi cair dan berwarna putih, dapat juga berwarna kuning kehijauan dengan konsistensi kental. Kejadian post nasal drips pada polip hidung ditemukan sebanyak 91,7%. Gejala ini disebabkan oleh adanya penyumbatan pada drainase lendir dalam saluran sinus (Ferguson et al, 2006). Gejala lain yang juga dapat mempengaruhi aktivitas pasien adalah nyeri kepala. Adapun persentasi nyeri kepala pada pasien polip hidung adalah sebanyak 75,2%. Penelitian sebelumnya oleh Soraya didapati kejadian nyeri kepala pada pasien polip hidung sebesar 42,4%. Nyeri kepala disebabkan oleh inflamasi kronis pada aliran sinus yang umumnya bersifat hilang timbul, namun dapat menyebabkan gangguan tidur yang berdampak pada kualitas hidup pasien, sesuai dengan studi di Canada yang dilakukan Spafford pada tahun 2002.
Gambaran karakteristik polip hidung berdasarkan stadiumnya menunjukkan hasil terbanyak pada stadium II yaitu sebesar 52,3%. Namun penelitian yang dilakukan oleh Soraya sebelumnya, kejadian polip hidung terbanyak pada stadium III yaitu 60,7%. Stadium II ditunjukkan dengan polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga hidung, sedangkan stadium III ditunjukkan dengan polip yang massif (memenuhi rongga hidung). Pembagian stadium polip hidung tersebut berdasarkan hasil studi Mackay & Lund tahun 1997. Stadium II ini dapat diterapi dengan medikamentosa atau bedah.
Universitas Sumatera Utara Short Term oral steroid) dengan pilihan Deksametason, Methylprednisolon, atau Prednison (Perhati, 2007). Untuk distribusi terapi bedah pada pasien polip hidung ini memiliki persentase 49,5%. Pilihan yang dapat dilakukan adalah polipektomi dan etmoidektomi. Terapi bedah yang paling banyak dilakukan adalah polipektomi, dimana indikasi terapi bedah adalah untuk polip hidung stadium II dan III.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian pada pasien polip hidung mulai bulan Januari 2012 sampai bulan Desember 2014 yang memenuhi kriteria peneliti didapatkan 109 pasien, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Jumlah total pasien yang menderita polip hidung di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2012-2014 yang memenuhi kriteria peneliti adalah sebanyak 109 orang.
2. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan umur paling banyak dijumpai pada kelompok umur 51-60 tahun yaitu sebanyak 30 orang (27,5%)
3. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan jenis kelamin paling banyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 73 orang (67%)
4. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan faktor risiko paling banyak dijumpai pada pasien dengan riwayat sinusitis yaitu sebanyak 79 orang (72,5%)
5. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan keluhan dijumpai 108 orang (99,1%) mengalami gejala hidung tersumbat.
Universitas Sumatera Utara 7. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan keluhan dijumpai 100 orang (91,7%) mengalami gejala post nasal drips
8. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan keluhan dijumpai 82 orang (75,2%) mengalami gejala nyeri kepala
9. Distribusi frekuensi pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan stadium dijumpai paling banyak pada stadium II yaitu sebanyak 57 orang (52,3%)
Universitas Sumatera Utara
6.2. Saran
Dari seluruh proses penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu kepada:
a. Peneliti Lain
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk penelitian selanjutnya mengenai kasus polip hidung.
b. Rumah Sakit
Rekam medis merupakan catatan dokter berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang pada pasien. Jadi, pencatatan rekam medis yang lengkap sangat diperlukan untuk status pasien. Maka, dokter atau tenaga kesehatan yang bertugas disarankan mencatat dengan terperinci tentang diagnosis pasien serta mencatat riwayat-riwayat penyakit yang pernah diderita oleh pasien. Sistem organisasi rumah sakit juga harus lebih teratur untuk menghindari adanya data-data pasien yang hilang. Rumah sakit beserta institusi kesehatan yang terkait juga perlu memberikan penyuluhan tentang polip hidung agar dapat terdeteksi dan berobat lebih awal.
c. Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hidung
2.1.1. Anatomi Hidung
[image:41.595.133.477.326.589.2]Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas, kubah tulang, yang tidak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan (Adams & George, 1997).
Gambar 2.1. Anatomi Hidung Sumber: Frank Netter, 2010
Rongga hidung atau kavum nasi terbentang dari nares di depan sampai ke apertura nasalis posterior atau koana di belakang, dimana hidung bermuara ke
Universitas Sumatera Utara Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil lagi ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil adalah konka suprema yang biasanya rudimenter. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus (inferior, medius dan superior). Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muarasinus frontal sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Soetjipto et al, 2007).
Gambar 2.2. Dinding Lateral Hidung Sumber: Van De Graff, 2008
Crista galli of ethmoid bone
Cribriform plate of ethmoid bone
Sella turcica Sphenoidal sinus Sphenoidal bone Basilar part of occipital one
Medial and lateral plate of sphenoid bone
Palatine bone
Maxillla Middle nasal concha
Universitas Sumatera Utara Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus usinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainasi dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait (Soetjipto, 2007).
Pendarahan Hidung
[image:43.595.147.469.515.705.2]Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna). Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis (Lund, 1997).
Universitas Sumatera Utara Persarafan Hidung
Nervus olfaktorius yang berasal dari membrana mucosa olfaktorius berjalan ke atas melalui lamina cribrosa os ethmoidale menuju ke bulbus olfaktorius. Saraf untuk sensasi umum merupakan cabang-cabang nervus ophtalmicus (N. VI) dan nervus maxillaris (N. V2) divisi nevus trigeminus (Snell, 2012).
Aliran Limfe Cavum Nasi
Pembuluh limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares. Bagian lain cavum nasi dialirkan limfenya menuju ke nodi cervicales profundi superiores (Snell, 2012 ).
2.1.2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal
2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang 4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
Universitas Sumatera Utara
2.2. Polip Hidung 2.2.1. Definisi
Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip hidung bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi adalah manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rinitis alergi,dan asma (Nizar & Mangunkusumo, 2001).
Polip hidung adalah penyebab tersering dari sumbatan hidung, dan dapat menyebabkan anosmia. Polip hidung bersifat jinak dan tidak menimbulkan perdarahan. Pada pemeriksaan tampak benjolan keabu-abuan yang timbul pada daerah etmoid dengan konka inferior yang berwarna kemerahan (Bull, 2003).
Polip hidung ialah bentuk selaput lendir yang turun (biasanya akibat radang kronis), licin, berwarna keabu-abuan atau merah muda, dan biasanya bilateral. Walaupun tidak ganas, polip hidung dapat mengganggu dengan banyak keluhan karena cepat berkembang menjadi besar dan cenderung residif (Van den Broek & Feenstra, 2010).
2.2.2. Epidemiologi
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3% (Drake Lee, 1997; Ferguson et al, 2006). Polip nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasi biasanya terjadi pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada pria (Kirtsreesakul, 2005; Ferguson et al, 2006; Erbek et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-anak untuk menderita polip (Fransina, 2008).
2.2.3. Etiologi
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip, yaitu:
1. Adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus 2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral dan multipel. Polip yang berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium asesorisnya, masuk ke rongga hidung dan berlanjut ke koana lalu membesar di nasofaring. Polip ini disebut polip koana (polip antrokoana) (Nizar & Mangunkusumo, 2001).
2.2.4. Faktor Risiko
Kondisi-kondisi yang memicu inflamasi kronis dapat meningkatkan risiko terkena polip hidung. Beberapa keadaan yang sering dihubungkan dengan polip hidung adalah:
a.Rhinitis Alergi
Universitas Sumatera Utara rinore encer dan hidung tersumbat yang reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.
b. Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hipresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bevariasi dan seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
c. Sinusitis
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan cairan atau kerusakan tulang di bawahnya, terutama pada daerah fossa kanina dan menyebabkan sekret purulen, napas bau dan post nasal drips.
d. Riwayat Keluarga
Ada kemungkinan polip hidung diwariskan pada keluarga yang memilki riwayat polip hidung sebelumnya. Hampir 50% penderita polip hidung memiliki riwayat keluaga yang sama. (Newton, 2008)
2.2.5. Klasifikasi
Polip hidung adalah massa non-neoplasma pada hidung atau mukosa snus yang mengalami edema.
Polip hidung diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: 1. Polip antrokoanal
Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Perbedaan Polip Antrokoanal dan Polip Etmoidal
Polip Antrokoanal Polip Etmoidal
Usia Umumnya pada anak-anak Umumnya pada dewasa
Etiologi Infeksi Alergi atau multifaktor
Jumlah Tunggal Jamak
Lateralitas Unilateral Bilateral
Asal Sinus maksilari di dekat
ostium
Sinus etmoidal, prosesus uncinate, konka media, dan meatus media
Pertumbuhan Tumbuh ke belakang ke arah koana, bisa melekat pada soft palate
Paling sering tumbuh di anterior dan pada orifisium eksternal rongga hidung
Bentuk dan Ukuran
Tiga lobus, dengan bagian antral, nasal, dan koanal.
Bagian koanal dapat
menonjol melewati koana dan mengisi naofaring sehingga terjadi sumbatan
Umumnya kecil dan berbentuk seperti anggur (graape-like masses)
Rekurensi Jarang, dapat diangkat secara utuh
Sering
Terapi Polipektomi, pengangkatan
endoskopis, atau Caldwell-Luc operation jika terjadi
rekurensi
Polipektomi
Pembedahan endoskopis atau etmoidektomi ( bisa intranasal, ekstranasal, atau transnasal) Sumber: PL Dhingra, 1992
2.2.6. Patogenesis
Universitas Sumatera Utara mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus ( Nizar & Mangunkusumo, 2001).
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi, teruama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tungkai (Mangunkusumo & Wardani, 2007)
2.2.7. Gejala Klinis
Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang terus menerus namun dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien juga mengeluh keluar ingus encer dan post nasi drip. Anosmia dan hiposmia juga menjadi ciri dari polip nasi. Sakit kepala dan gangguan tidur dapat terjadi pada polip nasi (Drake Lee, 1997; Ferguson et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.2.8. Penegakan Diagnosa
1. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung tersumbat. Rinore mulai yang jernih sampai purulen atau post nasal drips, gangguan penghidu, suara sengau serta rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala (Lund, 1997).
2. Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).
3. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila (Nizar dan Mangunkusumo, 2001).
4. Pemeriksaan Radiologi
Universitas Sumatera Utara 5. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas (gold standard) penegakan diagnosa polip hidung.
Tabel 2.2. Klasifikasi histopatologi Polip Hidung menurut Hellquist HB, 1996
Tipe Klasifikasi
I Eosinophilic edematous type (stroma edematous dengan
eosinofil yang banyak)
II Chronic inflammatory or fibrotic type (mengandung
banyak sel inflamasi terutama limfosit da neutrofil dengan sedikit eosinofil)
III Seromucinous gland type (tipe I + hiperplasia kelenjar seromucous)
IV Atypical stromal type
Sumber: Kim, 2002
2.2.9. Stadium
Tabel 2.3. Stadium Polip Menurut Mackay & Lund 1997
Kondisi Polip Stadium
Tidak ada polip
Polip terbatas pada meatus media
Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga hidung
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung)
0 1 2
3 Sumber: Assanasen & Naclerio 2008
2.2.10. Penatalaksanaan
Tujuan Penatalaksanaan Polip Hidung.
1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin. 2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.
Universitas Sumatera Utara 4. Penciuman kembali normal.
5. Mencegah kekambuhan polip hidung.
6. Mencegah komplikasi (Mygind & Lildholdt, 1996).
Penatalaksanaan polip hidung dengan medikamentosa, operasi atau kombinasi. Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut Mackay & Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi medikamentosa), untuk stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi (Aouad & Chiu, 2011; PERHATI-KL, 2007).
Tingkat keberhasilan dengan steroid topikal dan sistemik bervariasi. Sekali polip terbentuk, biasanya terapi medis tidak berhasil. Sekarang dianggap bahwa ada penurunan insidensi rekurensi setelah polip nasi diangkat, bila disemprotkan betametason topikal ke dalam hidung, walaupun hal ini masih dalam penelitian. Pengangkatan polip tunggal dapat dilakukan dengan jerat dengan anestesi lokal dan topikal. Angka rekurensi yang membenarkan pembedahan lebih lanjut mendekati 30%. Semua polip nasi harus dikirim untuk pemeriksaan patologi mikroskopik karena kadang-kadang terjadi ‘garden variety’ atau ‘polip alergi’ tidak jinak (Cody, 1993).
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi lokal, etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional) (Mangunkusumo & Wardani, 2007).
1. Medikamentosa Kortikosteroid
Universitas Sumatera Utara operasi atau bahkan menghilangkan polip sehingga tidak perlu dioperasi lagi (Bachert, 2011; VLckova et al, 2010).
Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator. Kortikosteroid mengurangi amplifikasi reaksi inflamasi dengan mengurangi rekruitmen sel-sel inflamasi dan juga menghambat proliferasi fibroblast dan sintesa matrix protein ekstraselular. Beberapa penderita polip hidung tidak menunjukkan adanya perbaikan dengan steroid. Hal ini mungkin dikarenakan jenis polip yang tidak respon terhadap glukokortikoid seperti cystic fibrosis atau primary ciliary dyskinesia, yang khas dengan infiltrasi lokal neutrofil bukan eosinofil. Penyebab
lain adalah adanya infeksi purulen sehingga polip tidak respon secara temporer terhadap steroid atau dikarenakan distribusi steroid semprot hidung yang tidak adekuat oleh karena hidung yang dipenuhi massa polip (Mygind & Lildholdt, 1996).
2. Bedah Polipektomi
Universitas Sumatera Utara da
Gambar 2.4. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal Sumber: Perhati (2007)
KELUHAN
Sumbatan hidung dengan 1/> gejala:
Rinore purulen, anosmia/hiposmia, post nasal drips, sakit kepala frontal Tampak massa dengan Rinoskopi/Naso-endoskopi
MASSA POLIP HIDUNG Tentukan stadium
CURIGA KEGANASAN Permukaan berbenjol,
mudah berdarah
JIKA MUNGKIN: Biopsi untuk tentukan tipe polip (Eosinofilik/ Neutrofilik) dan/ lakukan POLIPEKTOMI REDUKSI pada polip stadium 2&3 memperbaiki airway
Biopsi tatalaksana awal
Stad. 2&3 TERAPI BEDAH Stad. 1&2 TERAPI MEDIK Semua stadium Tipe Eosinofilik TERAPI MEDIK Semua stadium Tipe Neutrofilik TERAPI BEDAH PERSIAPAN PRA BEDAH 1. HOST 2. CT-Scan TERAPI MEDIK: 1. Steroid topikal dan atau
2. POLIPEKTOMI MEDIKAMENTOSA (HDST = High Dose Short Term oral steroid, dengan cara
- Deksametason 12 mg (3 hr), 8 mg(3hr), 4mg(3hr) - Methylprednisolon 64mg—10mg(10 hari) - Prednison 1mg/kgBB (10 hari)
TERAPI BEDAH -Polipektomi -Etmoidektomi TIDAK ADA PERBAIKAN Tetap/membesar/ mengecil sedikit PERBAIKAN Mengecil cukup banyak PERBAIKAN Hilang
Tidak lanjut dengan steroid topikal
Pemeriksaan berkala sebaiknya dengan NE SEMBUH
Polip Rekuren - Cari faktor alergi
- HDST tidak lebih dari 3-4 tahun
- Kauterasi/ekstraksi polip kecil di polikllinik rawat jalan
- Operasi ulang
Ket. MENENTUKAN STADIUM
1. Polip dalam MM(NE) 2. Polip keluar dari MM 3. Polip memenuhi rongga hidung
Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Polip adalah massa edema yang berbentuk seperti anggur pada hidung. Polip hidung dapat berpengaruh besar terhadap kualitas hidup penderitanya. Bukan hanya menyumbat hidung untuk bernapas, tetapi juga dapat menyebabkan penurunan penciuman dan pengecapan (Spafford, 2002).
Polip hidung adalah hasil inflamasi mukosa sinus paranasal yang disebabkan oleh peradangan mukosa kronis yang biasanya timbul pada meatus media dan daerah etmoid. Gejala utama dari polip hidung adalah sumbatan hidung, dan anosmia dan hiposmia. Polip hidung tampak semitranslusen berwarna pucat keabu-abuan di rongga hidung dengan mukosa konka berwarna merah muda atau eritematosa. Polip hidung lebih sering terjadi pada pasien dengan asma persisten, Aspirin - Exarcebated Respiratory Disease (AERD), Chronic Rhinosinusitis (CRS), dan cystic fibrosis (Georgy, 2012).
Polip hidung adalah penyebab umum dari obstruksi hidung dan dapat menyebabkan anosmia. Polip hidung bersifat jinak dan jarang menyebabkan perdarahan. Pada pemeriksaan tampak benjolan abu-abu dan mukosa konka yang kemerahan. Polip bisa soliter atau multipel, biasanya bilateral. Polip hidung bisa menjadi sangat besar, menyebabkan perluasan tulang hidung dan alae nasi. Polip hidung yang mengalami ulserasi dan perdarahan menunjukkan keganasan (Bull, 2003).
Universitas Sumatera Utara Drugs) akan meningkatkan risiko polip sekitar 36-60 % (Newton & Sheh, 2008;
Patel & Rowe-Jones, 2007). Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan prevalensi 0,2%-4,3% (Fransina, 2008).
Polip hidung dapat timbul pada semua umur tetapi umumnya dijumpai pada penderita dewasa muda berusia antara 30–60 tahun, sedangkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2–4 : 1 dan tidak ada kekhususan ras pada kejadian polip hidung (Munir, 2006).
Gejala klinis dari penderita polip hidung adalah penurunan indra penciuman, hidung tersumbat, keluar cairan dari hidung, terkadang bisa terlihat massa seperti anggur (Spafford, 2002). Gejala yang timbul pada penderita polip hidung adalah hiposmia dan postnasal drip. Gejala lainnya seperti demam yang persisten, bersin, dan terkadang sakit kepala. Polip etmoidal terlihat pucat, dan terdapat massa yang halus (Maqbool, 2001).
Etiologi pasti dari polip hidung belum diketahui, tetapi ada tiga faktor penting, yaitu adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus, gangguan keseimbangan vasomotor dan peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung. Polip hidung bukan merupakan penyakit tetapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, asma dan rinitis alergi (Nizar & Mangunkusumo, 2001).
Dikarenakan polip hidung dapat berpengaruh besar terhadap aktivitas penderitanya dan etiologinya yang sampai saat ini masih belum diketahui pasti, penulis ingin mengetahui karakteristik penderita polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012-2014.
1.2.Rumusan Masalah
Universitas Sumatera Utara
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran karakteristik pasien polip hidung di bagian THT-KL RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012-2014.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan umur pada pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012-2014.
2. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012-2014.
3. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan faktor risiko pada pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012-2014. 4. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan keluhan pada pasien polip
hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012-2014.
5. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan stadium pada pasien polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012-2014.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Rumah Sakit
Sebagai bahan untuk pengembangan keilmuan di bidang ilmu kesehatan bagian Ilmu Telinga Hidung, Tenggorokan dan Bedah Kepala Leher. 2. Tenaga Medis
Sebagai bahan pertimbangan untuk penatalaksanaan kasus polip hidung. 3. Peneliti
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Pendahuluan: Polip hidung adalah massa edema yang berbentuk seperti anggur
yang disebabkan oleh peradangan mukosa kronis. Polip hidung memiliki gejala klinis yang dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien polip hidung di bagian THT-KL RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012-2014.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif observasional dengan metode potong
lintang (cross-sectional). Pengambilan data dilakukan dengan observasi rekam medis pasien polip hidung. Penelitian ini dilakukan dari bulan September sampai Oktober 2015 dengan sampel penelitian diambil dengan cara total sampling.
Hasil: Dari hasil penelitian diperoleh 109 orang pasien, dimana 73 orang pria
(67%) dan 36 orang wanita (33%) dengan kelompok umur tersering terkena polip hidung adalah umur 51-60 tahun (27,5%). Faktor risiko yang paling sering dijumpai adalah riwayat sinusitis yaitu sebanyak 79 orang (72,5%), 108 orang memiliki keluhan utama hidung tersumbat (99,1%), gangguan penciuman dijumpai pada 72 orang (66,1%), sebanyak 100 orang (91,7%) mengeluhkan adanya post nasal drips, dan 82 orang pasien mengalami gejala nyeri kepala (75,2%). Pada semua pasien dijumpai massa di hidung dimana paling sering pada stadium II sebanyak 57 orang (52,3%) dan diberi terapi dengan medikamentosa yaitu pada 55 orang pasien (50,5%).
Kesimpulan: Dari penelitian ini disimpulkan pasien polip hidung lebih berisiko
pada pria dengan kelompok umur dewasa (51-60 tahun) dan memiliki riwayat sinusitus. Keluhan utama pasien biasanya hidung tersumbat dan dijumpai massa pada hidung dimana paling sering pada stadium II dan diterapi dengan medikamentosa.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Introduction: Nasal polyp is a term explaining of inflammatory outgrowth in
nasal mucosa due to chronic inflammation that emerges as grape-like mass. The symptoms may affect patient’s quality of life. The objectives of this research is to look for Characteristics of Patients with Nasal Polyps at Otolaryngology Department, Hospital of Haji Adam Malik Medan during 2012-2014.
Methods: This research is a descriptive observational in cross-sectional design.
The datas were obtained from medical records using total sampling method; held from September to October 2015.
Results: As result, among 109 patients with nasal polyps, 73 of them are men
(36%), 36 women are the rest (33%), most prevalent data obtained was them in 51-60 years old (27,5%). 79 patients with history of sinusitis have higher risk to suffer Nasal Polyp (72,5%), 108 patients experienced nasal obstruction (99,1%), 72 patients have decrease of smell sensation (66,1%), post nasal drips in 100 patients (91,7%), and 82 patients got a serious headache (75,2%). Clinical examination reveals single or multiple polypoid mass: 57 patients found in 2nd stage (52,3%) and 55 of them (50,5%) are being pharmacologically treated.
Conclusion: Overall, aged-man (51-60 years old) with history of sinusitis have
higher risk to suffer nasal polyp. The most frequently complaint coming up is nasal obstruction with polypoid mass inside nasal cavity, which is considered as 2nd stage and being pharmacologically treated.
Oleh:
FETRA OLIVIA SIMBOLON 120100244
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KARYA TULIS ILMIAH
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh:
FETRA OLIVIA SIMBOLON 120100244
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Pendahuluan: Polip hidung adalah massa edema yang berbentuk seperti anggur
yang disebabkan oleh peradangan mukosa kronis. Polip hidung memiliki gejala klinis yang dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien polip hidung di bagian THT-KL RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2012-2014.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif observasional dengan metode potong
lintang (cross-sectional). Pengambilan data dilakukan dengan observasi rekam medis pasien polip hidung. Penelitian ini dilakukan dari bulan September sampai Oktober 2015 dengan sampel penelitian diambil dengan cara total sampling.
Hasil: Dari hasil penelitian diperoleh 109 orang pasien, dimana 73 orang pria
(67%) dan 36 orang wanita (33%) dengan kelompok umur tersering terkena polip hidung adalah umur 51-60 tahun (27,5%). Faktor risiko yang paling sering dijumpai adalah riwayat sinusitis yaitu sebanyak 79 orang (72,5%), 108 orang memiliki keluhan utama hidung tersumbat (99,1%), gangguan penciuman dijumpai pada 72 orang (66,1%), sebanyak 100 orang (91,7%) mengeluhkan adanya post nasal drips, dan 82 orang pasien mengalami gejala nyeri kepala (75,2%). Pada semua pasien dijumpai massa di hidung dimana paling sering pada stadium II sebanyak 57 orang (52,3%) dan diberi terapi dengan medikamentosa yaitu pada 55 orang pasien (50,5%).
Kesimpulan: Dari penelitian ini disimpulkan pasien polip hidung lebih berisiko
pada pria dengan kelompok umur dewasa (51-60 tahun) dan memiliki riwayat sinusitus. Keluhan utama pasien biasanya hidung tersumbat dan dijumpai massa pada hidung dimana paling sering pada stadium II dan diterapi dengan medikamentosa.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Introduction: Nasal polyp is a term explaining of inflammatory outgrowth in
nasal mucosa due to chronic inflammation that emerges as grape-like mass. The symptoms may affect patient’s quality of life. The objectives of this research is to look for Characteristics of Patients with Nasal Polyps at Otolaryngology Department, Hospital of Haji Adam Malik Medan during 2012-2014.
Methods: This research is a descriptive observational in cross-sectional design.
The datas were obtained from medical records using total sampling method; held from September to October 2015.
Results: As result, among 109 patients with nasal polyps, 73 of them are men
(36%), 36 women are the rest (33%), most prevalent data obtained was them in 51-60 years old (27,5%). 79 patients with history of sinusitis have higher risk to suffer Nasal Polyp (72,5%), 108 patients experienced nasal obstruction (99,1%), 72 patients have decrease of smell sensation (66,1%), post nasal drips in 100 patients (91,7%), and 82 patients got a serious