• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Lahan Pengamatan

Pengamatan kelimpahan lalat predator Coenosia dilakukan pada pertanaman caisin yang terletak di daerah Desa Tugu Selatan, Cisarua, Bogor. Daerah lahan pengamatan memiliki ketinggian 1147 m dpl. Luas lahan yang diamati pada tanaman organik dan konvensional milik petani setempat adalah masing-masing 78 m2. Jarak kedua lahan tersebut sekitar 30 meter dan umur tanaman yang diamati berkisar antara 14 hingga 49 HST (Hari Setelah Tanam). Pengamatan pertama dilakukan saat tanaman sudah berumur 32 HST dan pada saat menjelang panen pengamatan dilanjutkan pada jenis komoditas tanaman yang sama di sekitar lahan pengamatan. Penanaman pada masing-masing lahan dilakukan secara monokultur dengan tanaman di sekitar lahan pengamatan di lahan organik berupa tanaman kacang kapri, kacang panjang, kubis, wortel, dan bawang daun, sedangkan pada lahan konvensional ditanami tanaman selada, bawang daun, dan kol. Aplikasi insektisida untuk pengendalian hama pada lahan masing-masing lahan dilakukan 1 - 2 kali per minggu. Jenis insektisida yang digunakan pada lahan konvensional yaitu profenofos sedangkan pada lahan organik dilakukan penyemprotan dengan menggunakan pestisida organik hasil beberapa ekstrak tanaman yang berada di sekitar wilayah lahan pertanian setempat, antara lain gadung, kacang babi, cabai, dan beberapa jenis bahan-bahan alami lainnya dengan ditambahkan menggunakan bahan-bahan organik komersil yang mengandung mikroorganisme seperti Actinomycetes sp, Lactobacillus sp, dan mikroorganisme lainnya yang menguntungkan dan dijual di pasaran untuk membantu dalam mengendalian atau menekan kerugian yang dapat ditimbulkan oleh hama dan penyakit.

Kelimpahan Coenosia humilis

Pengamatan yang dilakukan terhadap kelimpahan populasi C. humilis di lapang bersifat fluktuatif pada kedua lahan organik dan konvensional. Kelimpahan pada umumnya di lahan organik relatif lebih tinggi bila dibandingkan pada lahan konvensional. Dengan menggunakan perangkap kuning dan pengamatan

langsung, diperoleh hasil bahwa kelimpahan populasi Coenosia humilis pada saat pengamatan dengan menggunakan perangkap kuning jumlah C. humilis relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pengamatan langsung (Gambar 1).

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 Umur tanaman (HST)

Lalat predator / 12 tanaman

Organik Anorganik A 14 18 21 25 28 32 35 39 42 46 49 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 Umur tanaman (HST)

Lalat predator / 12 tanaman

Organik Anorganik

B

14 18 21 25 28 32 35 39 42 46 49

Gambar 1 Rataan kelimpahan Coenosia humilis dengan menggunakan perangkap kuning (A) dan pengamatan langsung (B)

Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan perangkap kuning menunjukkan bahwa kelimpahan C. humilis pada lahan organik relatif lebih tinggi

bila dibandingkan pada lahan konvensional, hal ini dapat diketahui dengan banyaknya C. humilis yang terperangkap pada lahan organik. Jumlah tertinggi kelimpahan C. humilis ditunjukkan pada pengamatan kelima yaitu 3,88 ekor per unit contoh, sedangkan yang terendah pada pengamatan terakhir dengan 0,63 ekor per unit contoh. Pada lahan konvensional, jumlah C. humilis tertinggi ditunjukkan pada pengamatan ketiga dengan jumlah 2,63 ekor per unit contoh dan terendah sekitar 0,25 per unit contoh yang terdapat pada pengamatan kesembilan dan kesebelas.

Hasil pengamatan langsung menunjukkan kelimpahan C. humilis relatif lebih tinggi pada lahan organik dibandingkan dengan konvensional. Pada lahan organik jumlah C. humilis tertinggi sekitar 0,83 ekor per unit contoh yaitu pada pengamatan kedua, keempat, dan kelima, sedangkan terendah yaitu 0,25 ekor per unit contoh. Pengamatan yang dilakukan di lahan konvensional menunjukkan jumlah C. humilis tertinggi pada pengamatan keenam yaitu 1,3 ekor per unit contoh dan terendah pada pengamatan keempat, kesepuluh, dan kesebelas dengan jumlah sekitar 1,7 ekor per unit contoh.

Pada pengamatan kelimpahan dengan menggunakan perangkap kuning menunjukkan jumlah yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengamatan langsung. Hal ini disebabkan penggunaan perangkap kuning dapat memungkinkan terperangkapnya C. humilis yang tidak hanya berasal dari dalam lahan pengamatan tetapi juga dari luar lahan, sehingga jumlah C. humilis yang terperangkap lebih banyak.

Faktor yang Mempengaruhi Kelimpahan

Pada pertanaman organik yang memiliki kelimpahan lalat predator

Coenosia relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan konvensional. Hal ini diduga disebabkan oleh cara bercocok tanam yang dilakukan oleh petani, umur tanaman, dan faktor iklim (curah hujan, suhu dan kelembaban).

Cara Bercocok Tanam. Pada lahan organik dengan kelimpahan lalat predator Coenosia yang relatif lebih tinggi, memiliki peluang hidup yang lebih baik daripada kelimpahan di lahan konvensional. Pada lahan organik mampu mendukung perkembangan hidup larva lalat Coenosia. Untuk tempat

perkembangan larva lalat Coenosia di tanah dengan penggunaan pupuk alami yaitu berupa kotoran hewan ternak seperti kotoran sapi, kambing atau kotoran ayam, larva tersebut dapat lebih mudah untuk dapat bertahan hidup dengan ketersediaan berupa pakan cacing lebih berlimpah yang berada pada kompos atau kotoran hewan ternak tersebut. Dilaporkan bahwa untuk larva Coenosia yang berada dalam kompos atau bahan organik lainnya dapat bertahan hidup dengan memangsa cacing Eisenia spp (Yanke & George 1972).

Selain pemupukan, penggunaan insektisida pada lahan konvensional dapat mempengaruhi kelimpahan lalat Coenosia. Penggunaan insektisida dapat mempengaruhi jumlah populasi serangga yang berada dipertanaman. Tidak hanya hama yang akan terbunuh tetapi juga musuh alami hama dan serangga lain dapat ikut terbunuh. Dengan berkurangnya musuh alami dipertanaman konvensional maka akan mempengaruhi perkembangan hama yang mengalami resistensi terhadap penggunaan pestisida. Aplikasi insektisida mampu mendorong perkembangan populasi hama L. huidobrensis yang merupakan salah satu mangsa lalat predator Coenosia. Jumlah populasi hama L. huidobrensis semakin meningkat pada lahan petani sebagai akibat dari dampak negatif aplikasi insektisida yang intensif (Rauf 1995). Sedangkan pada lahan organik yang hanya menggunakan pengendalian hama dengan bahan-bahan yang berasal dari alam, yang berupa tanaman yang dapat dijadian sebagai pestisida organik, maupun pengendaliaan hama dengan pestisida khusus tanaman organik yang siap pakai maka populasi dan keragaman jenis serangga di sekitar pertanaman pada umumnya relatif lebih tinggi. Sehingga dapat terjadi keseimbangan agroekosistem dipertanaman tersebut. Hal ini dapat menyebabkan perkembangan populasi musuh alami seperti Coenosia dapat lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan dilakukannya penyemprotan insektisida sintesis. Dengan ketersediaan dan beragamnya jenis mangsa pada lahan organik, maka lalat predator Coenosia lebih mampu mempertahankan keberadaan kelimpahan populasinya.

Salah satu upaya pengelolaan hama adalah dengan memanfaatkan musuh alami dan keefektifan musuh alami dipengaruhi oleh keaneragaman tanaman penyusun struktur lanskap atau vegetasinya. Cara bercocok tanam yang dilakukan oleh petani pada lahan organik dengan melakukan penanaman berbagai jenis

tanaman yang lebih banyak dibandingkan dengan lahan konvensional mampu membantu mempertahankan kelimpahan populasi lalat Coenosia di sekitar pertanaman tersebut. Coenosia dengan sifat generalis mampu bertahan dengan memanfaatkan tanaman yang berada di sekitar lahan pengamatan. Tanaman yang berada di sekitar lahan pengamatan berupa kacang kapri, kacang panjang, kubis, wortel, dan bawang daun yang diduga mampu menjadi tempat tempat berlindung, atau sebagai penyedia mangsa alternatif untuk tanaman yang terserang hama dan bila tidak tersedia tanaman yang menjadi penyedia mangsa lalat Coenosia. Menurut Letournea dan Altieri (1991), tingginya keanekaragaman struktur lanskap dapat meningkatkan kelimpahan dan keanekaragaman serangga yang ada di sekitar pertanaman sehingga sumber makanan bagi musuh alami dapat terus terjamin, bahkan pada saat mangsa utama tidak ada.

Umur tanaman. Pada awal pengamatan saat umur tanaman 14 HST dengan menggunakan kedua metode penelitian yang dilakukan, populasi lalat

Coenosia tidak berbeda nyata yaitu pada lahan konvensional populasi lalat

Coenosia lebih banyak daripada populasi di lahan organik, tetapi pada akhir pengamatan saat umur tanaman 49 HST umumnya lalat Coenosia pada lahan organik lebih banyak dibandingkan lahan konvensional. Diduga lalat Coenosia

yang berada di lahan organik lebih mampu bertahan, sedangkan pada lahan konvensional populasi Coenosia berkurang karena dampak dari penyemprotan pestisida yang membunuh sebagian dari musuh alami khususnya Coenosia. Fluktuasi lalat Coenosia pada umur tanaman muda dan mencapai titik tertinggi pada umur tanaman 28 HST pada pengamatan dengan penggunaan perangkap kuning di lahan organik dan 32 HST dengan pengamatan langsung di lahan konvensional. Adanya perbedaan antara umur tanaman yang berbeda dan jumlah

Coenosia yang teramati pada lahan berbeda tersebut disebabkan oleh faktor suhu dan curah hujan yang tidak terlalu tinggi yang mendukung perkembangan lalat

Coenosia.

Iklim. Faktor lingkungan abiotik seperti suhu, kelembaban dan curah hujan diduga dapat mempengaruhi kelimpahan seranggga di wilayah tersebut. Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Darmaga, saat awal pengamatan bulan Maret dan April dengan umur tanaman sekitar satu setengah bulan, suhu rata-rata

yang tidak jauh berbeda yaitu sekitar 21 oC tidak berpengaruh nyata terhadap kelimpahan populasi Coenosia. Pada kisaran suhu tersebut masih dapat mendukung bagi pertumbuhan populasi lalat Coenosia. Kelembaban rata-rata yang berkisar antara 78 – 87 % diduga mampu mendukung dalam perkembangan populasi Coenosia. Pada curah hujan rata-rata yang cukup tinggi pada bulan Maret dan April tidak mendukung bagi perkembangan kelimpahan lalat predator

Coenosia sehingga lalat tersebut berkurang populasinya di lapang. Sedangkan pada awal musim tanam bulan Juni dengan curah hujan rata-rata yang rendah sekitar 40 mm diduga dapat menyebabkan pertumbuhan kelimpahan populasi

Coenosia (Tabel 1).

Tabel 1 Data suhu, kelembaban dan curah hujan per bulan untuk bulan Maret sampai Juli 2004 di Wilayah Cisarua, Bogor

Bulan Suhu rata-rata (oC) Kelembaban (%) Curah hujan rata-rata (mm) Maret 21,5 84 269 April 21,7 87 355 Mei 21,5 95 245 Juni 21,0 78 40 Juli 20,5 83 72

Sumber: Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor

Selain suhu, kelembaban dan curah hujan, faktor abiotik lainnya yang dapat mempengaruhi keberadaan kelimpahan dan keanekaragaman serangga lalat predator Coenosia adalah ketinggian di atas permukaan laut (dpl). Pada daerah dataran tinggi saat penelitian dengan ketinggian sekitar 950 – 1100 dpl masih dapat dijumpai lalat predator Coenosia sp. Sedangkan menurut hasil penelitian Suhendra (2005) pada dataran rendah yang berada pada ketinggian 187 – 213 dpl keberadaan lalat predator Coenosia belum dapat ditemukan. Pada dataran rendah dengan suhu dan curah hujan yang tinggi mempengaruhi keberadaan Coenosia.

Pendugaan Keragaman Beberapa Jenis Coenosia sp.

Pendugaan keragaman beberapa jenis Coenosia sp. dilakukan pada bulan Juni – Juli 2005 selama dua minggu pada lahan yang sama dengan umur tanaman

pada awal pengamatan sekitar 32 HST dengan menggunakan metode perangkap kuning untuk melihat keragamannya. Pengelompokkan jenis Coenosia sp. dibagi menjadi dua jenis yang didasarkan pada struktur fisik serangga yang dilakukan dengan pengamatan visual secara langsung dengan atau tanpa alat bantu seperti mikroskop (Tabel 2).

Tabel 2 Ciri-ciri umum yang tampak secara langsung pada beberapa dugaan jenis

Coenosia sp.

Ciri-ciri Coenosia sp. jenis 1 Coenosia sp. jenis 2 (Coenosia humilis) Ukuran tubuh Umumnya besar

(3 – 4 mm)

Umumnya lebih kecil (2 – 3 mm) Warna abdomen Kuning kelabu Hitam kelabu/abu-abu Corak pada abdomen Titik/bercak

(warna hitam)

Garis (warna hitam) Rambut pada abdomen Banyak dan berukuran

pendek

Sedikit dan berukuran panjang Warna sayap Kuning mengkilap Bening mengkilap

(A) (B)

Gambar 2 Pengelompokkan imago betina Coenosia sp. jenis 1 (A) dan jenis 2 (Coenosia humilis)

Pengelompokkan meliputi ukuran tubuh, warna abdomen, corak pada abdomen, rambut pada abdomen dan warna sayap. Untuk jenis Coenosia sp. yang pertama dikelompokkan berdasarkan pada ukuran tubuh imago yang relatif lebih besar dibandingkan dengan jenis Coenosia sp. yang kedua dengan ukuran tubuh sekitar 3 – 4 mm, sedangkan ukuran tubuh Coenosia sp. jenis kedua yang merupakan spesies Coenosia humilis adalah 2 – 3 mm. Abdomen jenis Coenosia

abdomen berwarna hitam berbentuk bulat atau titik dan memiliki rambut abdomen yang sedikit serta berukuran pendek. Dan jenis Coenosia sp. yang kedua berwarna hitam kelabu atau dapat dijumpai dengan warna cerah dengan corak yang terdapat pada abdomen berwarna hitam berbentuk garis membujur dan memiliki rambut abdomen yang lebih banyak dibandingkan Coenosia jenis 1 dengan ukuran lebih panjang (Gambar 3).

(A) (B)

Gambar 3 Bentuk corak abdomen jenis spesies 1 Coenosia sp. (A) dan jenis 2

Coenosia humilis (B)

Kelimpahan populasi Coenosia sp. jenis 1 pada lahan organik lebih banyak dibandingkan Coenosia sp. jenis 2. Populasi Coenosia sp. jenis 1 mencapai puncaknya pada 41 HST dengan 5,5 ekor serangga per unit contoh dan

Coenosia sp. jenis 2 lebih rendah dibandingkan Coenosia sp. jenis 1 dengan 2,83 ekor serangga per unit contoh. Sedangkan populasi. jenis 2 pada lahan konvensional lebih bersifat berfluktuasi dibandingkan dengan spesies Coenosia sp jenis 1 (Gambar 4).

0 1 2 3 4 5 6 Umur tanaman (HST)

Lalat predator per unit contoh

Lalat predator jenis 1 Lalat predator jenis 2

32 35 39 42 A 0 1 2 3 4 5 6 Umur tanaman (HST)

Lalat predator per unit contoh

Lalat predator jenis 1 Lalat predator jenis 2

32 35 39 42

B

Gambar 4 Kelimpahan populasi serangga di lahan organik (A) dan lahan konvensional (B)

Berfluktuasi dan lebih rendahnya kelimpahan populasi Coenosia sp jenis 2 dibandingkan Coenosia sp jenis 1 kemungkinan disebabkan oleh adanya kompetisi antar spesies Coenosia pada lahan tersebut. Kompetisi yang terjadi dapat berupa memperebutkan ruang, tempat dan sumber makanan (mangsa). Diduga spesies Coenosia sp. jenis 1 mampu bertahan dalam kompetisi antar spesies karena struktur tubuh dari lalat tersebut relatif lebih besar sehingga mampu memperebutkan tempat dan mangsanya. Apabila dari pengamatan secara langsung yang dilakukan di lapang Coenosia sp. jenis 1 mampu membunuh dan memakan Coenosia sp. jenis 2 atau lalat predator lain yang berukuran lebih kecil

daripada ukurannya. Sehingga keberadaan dan kelimpahannya di lapang dapat lebih terjaga.

Kelimpahan Populasi Mangsa

Pada rataan banyaknya populasi mangsa yaitu hama pengorok L. huidobrensis pada awalpengamatan saat umur tanaman 32 HST diperoleh hasil bahwa pada lahan organik populasi L. huidobrensis relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lahan konvensional, tetapi semakin bertambahnya umur tanaman maka populasinya menjadi berkurang dan tidak berbeda jumlahnya dengan lahan konvensional. Pada keadaan tersebut menyebabkan peningkatan dari populasi lalat predator Coenosia sp. di lahan organik. Keberadaan lalat predator

Coenosia sp. di lahan pertanian diduga dapat membantu dalam menekan perkembangan serangga hama (Gambar 5).

0 1 2 3 4 5 6 Umur tanaman (HST)

L.huidobrensis per perangkap

Lahan Organik Lahan Anorganik 32 35 3 42 39

Gambar 5 Kelimpahan populasi hama L. huidobrensis

Populasi L. huidobrensis yang cenderung tetap rendah dan populasi

Coenosia sp. yang lebih berfluktuasi, disebabkan oleh lalat predator yang bersifat generalis tidak hanya mampu memangsa L. huidobrensis tetapi juga memangsa serangga lain yang berada di sekitar pertanaman sehingga populasi Coenosia sp. dapat terjaga bahkan mungkin mengalami peningkatan. Hal yang sama dilaporkan oleh Harwanto (2004) yang menyatakan bahwa perkembangan populasi lalat predator Coenosia sp. menunjukkan pola yang tidak tegas hubungannya dengan kelimpahan mangsa.

Kelimpahan C. humulis berdasarkan Musim Tanam Berbeda

Apabila kelimpahan C. humilis dibandingkan berdasarkan umur tanaman dan metode pengamatan yang sama saat penelitian berlangsung pada lahan organik dan konvensional dengan musim tanam yang berbeda, maka diperoleh hasil bahwa kelimpahan C. humilis pada pengamatan awal untuk kedua jenis lahan tersebut di bulan Maret – April 2004 populasi C. humilis tidak terlalu jauh berbeda populasinya dengan penelitian pada bulan Juni – Juli 2005. Tetapi pada akhir pengamatan di bulan Juni 2005 saat tanaman berumur 39 HST populasi C. humilis pada lahan organik cenderung mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan bulan Maret – April 2004 (Gambar 6).

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 Umur tanaman (HST) C. humilis per 12 tanaman Lahan organik Lahan anorganik A 32 35 39 42 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 Umur tanaman (HST) C. humilis per 12 tanaman Lahan organik Lahan anorganik B 32 35 39 42

Gambar 6 Kelimpahan populasi serangga C. humilis pada bulan Maret – April 2004 (A) dan bulan Juni – Juli 2005 (B)

Pada lahan konvensional pada bulan Juni – Juli 2005 lebih bersifat fluktuatif bila dibandingkan dengan jenis lahan pada musim tanam bulan Maret – April 2004. Fluktuasi kelimpahan populasi Coenosia sp. pada saat umur tanaman

yang sama dengan pelaksanaan musim tanam di bulan yang berbeda akan ikut mempengaruhi kelimpahan lalat predator Coenosia sp. di lapang. Hal tersebut di pengaruhi oleh adanya perbedaan dari faktor iklim yaitu curah hujan (Tabel 3). Tabel 3 Data suhu, kelembaban dan curah hujan per bulan untuk bulan Juni –

Juli 2005 di Wilayah Cisarua, Bogor

Bulan Suhu rata-rata (oC) Kelembaban (%) Curah hujan rata-rata (mm)

Juni 21,4 86 238

Juli 21,0 83 140

Sumber: Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor

Pada saat musim tanam bulan Maret – April 2004 terjadi peningkatan curah hujan rata-rata pada bulan April yaitu mencapai 355 mm (Tabel 1) sehingga menyebabkan peningkatan populasi Coenosia sp. Sedangkan untuk bulan Juni – Juli 2005 terjadi peningkatan populasi Coenosia sp. pada akhir pengamatan yang disebabkan oleh adanya penurunan jumlah curah hujan rata-rata pada bulan Juni menjadi 140 mm (Tabel 3). Diduga dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi dapat membantu peningkatan jumlah populasi lalat predator tersebut di lapang.

Dokumen terkait